MasukTwo decades earlier, the realms of the Four Courts waged war against the covens of witches. Neither side would yield, though both were bleeding themselves dry in a war that spanned five brutal years. The Courts relied on their noble bloodlines, the witches on their wild and ancient spells. Each skirmish ended in ash, with neither enemy capable of breaking the other. Then a sorcerer from the Courts revealed a weapon: an octagonal crystal forged from eight different stones, each carved from the essence of a court. On the battlefield, before witches or nobles could comprehend what was happening, the crystal ignited. A blinding eruption of light burst forth, eight rays fusing into one unbearable brilliance. It was not merely sight that was torn away in that flash — but power, essence, and soul. Both Courts and witches alike fell, drained of the magic that had defined them. When the light faded, the battlefield lay silent under a sky of glittering dust. The enchantments were gone. The witches’ spellcraft, the courts’ line-born sorcery — extinguished forever. Neither side had won. Both had lost. And magic never returned.
Lihat lebih banyakDor!
Suara dentuman keras disertai lesatan peluru menembus tubuh seorang gadis bernama Sua Luqi di tengah hiruk pikuk medan peperangan. "Aaaaagh!" jerit gadis itu terjatuh. Darah mengalir dari luka di dadanya, dengan kesakitan yang mendera. Hampir mengenai jantung. Ia berusaha untuk bangkit, menggerakkan tubuhnya yang lemas. Suasana semakin tegang dengan suara lolong dan teriakan prajurit yang terdengar berbaur dengan suara tembakan senjata api. Saat itu, pikiran Sua berkelana ke momen-momen tenang sebelum peperangan. Sebelum semua ini, Sua adalah seorang mahasiswa jenius yang telah mendapat julukan Master Herbalis di negaranya. Sua dikenal karena kecintaannya pada tanaman obat dan pemahaman yang mendalam tentang berbagai ramuan dan pil. Dia juga memiliki ketangkasan yang luar biasa, mampu bergerak lincah di antara tanaman-tanaman liar di hutan, menjadikannya tidak hanya pandai tetapi juga terampil. Dalam beberapa waktu sebelum perang, ia juga sempat belajar tentang titik akupuntur dan membuka pengobatan gratis untuk rakyat jelata. Ketika peperangan mulai pecah akibat konflik antara pemerintah dan pemberontak yang ingin menggulingkan kekuasaan, Sua merasa dipanggil untuk bertindak. Ia bergabung dengan kelompok medis militer, bertekad untuk membantu menyelamatkan nyawa di medan perang yang mengerikan. Bersama tim medisnya, Sua merawat prajurit yang terluka, menggunakan keterampilan herbalnya untuk meredakan sakit, dan dalam beberapa kesempatan, mempertaruhkan nyawanya untuk membantu orang lain. Namun, takdir berkata lain. Di tengah pertempuran yang brutal melawan pemberontak, sebuah peluru menghantam dadanya, menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan menggemparkan jiwa. "Tidak, Aku tidak bisa mati di sini!" Sepasang kaki bersepatu hitam mengkilap datang ke hadapan Sua yang sedang terkapar tengkurap di tanah. Sua yakin, bahwa orang itu yang telah menembaknya. Pandanganya perlahan memandang ke atas. "Bian Yu!" Suatu keterkejutan yang luar biasa bagi Sua. Bian Yu, kekasihnya, menggenggam sebuah pistol menatap dingin ke arahnya. Suara pertempuran semakin menghilang, dan dengan satu usaha terakhir, Sua berusaha untuk bergerak, tetapi tubuhnya ambruk. Ia terjatuh, dunia di sekelilingnya pun menjadi gelap. Tiba-tiba, Sua terbangun di suasana yang sangat berbeda. Tidak ada suara tembakan, tidak ada teriakan kesakitan. Ia membuka mata dan menemukan dirinya di tepi sungai yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Suara gemericik air dan kicauan burung menciptakan suasana damai yang kontras dengan pengalaman pahit yang baru saja dilaluinya. Ketika membangkitkan tubuhnya yang lemah, ia terkejut melihat wajah seorang gadis muda buruk rupa yang terpancar dari air sungai. Gadis itu mengenakan gaun khas kuno yang sederhana, kotor, dan berantakan. Ia juga mendapati bintik-bintik merah yang sedikit mengeluarkan nanah di tubuhnya. Sua melihat lebih dekat, ia menyadari itu adalah dirinya sendiri. "Apa yang terjadi?" ujar Sua lirih sembari memegang kedua pipi. Sekali lagi, ingatan bertubrukan dalam pikirannya. Kepala Sua berdenyut hebat merasakan bayang-bayang ingatan sang pemilik tubuh yang malang. Dua pengawal menyeret dan mendorongnya jatuh tersungkur ke tanah, membuat debu-debu beterbangan di sekeliling. Dalam kepanikan, ia berusaha bangkit dan mendongakkan kepala. Ia tertegun melihat seorang lelaki berdiri angkuh di hadapannya, menggandeng mesra seorang gadis, seolah-olah semua ini adalah hal yang biasa. “Liu Chang Hai!” seru sang pemilik tubuh, suaranya bergetar antara kecewa dan putus asa. Dia merasa terkejut dan hatinya hancur ketika melihat tunangannya ternyata terlibat dalam hubungan gelap dengan sang adik. Rasa tidak percaya dan sakit hati mengguncang batinnya. Sementara wajahnya memucat dan tatapan matanya dipenuhi kebingungan dengan luka yang mendalam. Seolah dunia di sekelilingnya runtuh seketika. Lelaki bernama Liu Chang itu, berjongkok menarik kuat rambutnya. "Kau yang buruk rupa, tak lagi pantas bersanding denganku!" Semakin kuat cengkeraman lelaki itu, lalu menghantamkan wajah sang pemilik tubuh hingga kepalanya membentur batu sangat keras. Sekali lagi, Liu Chang menjambak kuat rambut sang pemilik tubuh. Kepalanya terdongak dengan darah yang mengalir deras dari dahi. Pandangannya kabur disertai rasa sakit yang luar biasa di kepala. "Kau harus mati hari ini, sehingga aku bisa menikahi adikmu dan menjadi menantu perdana menteri." Suara begitu menekan dan keras terus menggema dalam benak Sua, mengingatkan gadis itu pada sesosok pria yang telah menembaknya, Bian Yu. Sakit dan terasa nyeri di dada. Sua bangkit terhuyung menyandarkan dirinya di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Sekejap, ia memejamkan mata. Muncul kembali ingatan masa lalu sang pemilik tubuh. Dia bernama Sua Linjin Feng, seorang gadis yang cantik jelita, pendiam, lugu, dan polos. Saat ini, usianya telah menginjak 18 tahun. Ia merupakan puteri sulung dari istri sah pertama perdana menteri, memiliki seorang adik laki-laki bernama Zihan Feng (13 tahun), dan adik tiri perempuan beda ibu bernama Cai Ji Feng (17 tahun). Cai Ji adalah anak hasil hubungan gelap antara perdana mentri dan pelayannya. Hal ini membuat dirinya tidak terlalu diperhatikan, sehingga gadis itu merasa iri kepada sang kakak. Bahkan, ada sebuah rumor yang mengatakan, bahwa sang putera mahkota jatuh cinta kepada Sua pada pandangan pertama karena kecantikannya. Sayangnya, dia harus mengasingkan diri mengatasi krisis di wilayah pelosok sebagai bentuk hukuman karena berani mengganggu selir kaisar. Sua yang lugu dan polos jatuh cinta pada pujangga muda lulusan sarjana sastra. Ia terpikat oleh rayuan dan kata-kata indah dari seorang pemuda dari kalangan bangsawan bernama Liu Chang. Rasa iri dalam diri Cai Ji menggerogoti hati. Dia mencampurkan racun bubuk gatal secara diam-diam pada setiap makanan yang akan dimakan oleh Sua. Hal ini menyebabkan seluruh permukaan kulit di tubuh Sua terasa mendidih dan meletup-letup. Bintik-bintik merah bernanah meletup membuat rasa gatal yang tak tertahankan. Racun itu juga menyebabkan Sua menjadi lemah dan rentan terhadap penyakit. Awal penderitaan Sua pun di mulai. Dua hari sebelum pernikahannya, tak disangka, Liu Chang yang merupakan calon suaminya, secara terang terangan menyatakan hubungannya dengan sang adik. Kemudian, lelaki itu membunuh Sua dan membuang mayatnya ke sungai. Arus deras membawa tubuh Sua selama tiga hari hingga ke hutan dekat perbatasan kerajaan. Kini, ia terbangun dengan jiwa yang berbeda bersandar menatap dedaunan kering yang berguguran. Sua mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Sekarang, dia benar-benar paham apa yang telah terjadi "Sungguh gadis yang malang, sama seperti nasibku yang tragis," gumamnya menatap punggung tangan yang di sana terdapat bintik-bintik merah menguasai permukaan kulitnya. Cacing-cacing dalam perutnya pun bergejolak menuntut hak mereka. "Aku sangat lapar," rintih Sua bangkit tertatih, sambil memegang perutnya. Ia melangkah gontai menelusuri hutan mengumpulkan makanan dan tanaman-tanaman obat. Ketika hari menjelang malam, Sua kembali beristirahat di bawah pohon besar. Tiba-tiba, dia mendengar suara derap langkah beberapa orang. Ia pun bersembunyi di balik pohon besar itu melihat beberapa orang berpakaian serba hitam tampak sedang mengejar seseorang. “Pembunuh bayaran?” gumam Sua bertanya-tanya dalam benaknya. Tak disangka, di sisi Sua ada sesosok lelaki yang juga sedang bersembunyi. Lelaki itu tiba-tiba memeluk Sua dari belakang dengan napas terengah-engah. Keadaan ini membuat Sua terperanjat. Gadis itu membalikan badan dan mendapati wajah si lelaki memerah, matanya berkilau namun terlihat setengah linglung. "Si-siapa kau?" tanya Sua.The ball had always been an obligation.He knew it even before the torches of Cromwell’s palace burned into sight, before the heralds announced the Four Courts assembled, before his father’s hard stare pressed against his skull like a weight he had long grown accustomed to carrying. The Winter Court had no place for excess or spectacle; their halls were narrow and plain, their feasts measured in silence, their festivals solemn meditations beneath a sky of unbroken darkness. For them, beauty was not a thing to be flaunted but endured—the glimmer of frost upon stone, the sound of snow cracking beneath boots, the stillness of a frozen lake.But here, in Cromwell, everything gleamed. Candles spilled their light across honey-gold walls, ribbons shimmered from the rafters, and servants scurried like well-trained doves with their trays of wine. It was unbearable in its brightness. To August’s eyes, it seemed almost mocking.His father, however, reveled in it. The King of Winter smiled when h
There had been a time when hopelessness wrapped itself around me so tightly I thought I might suffocate. It was not here in this prison, not even when the wardens’ hands bruised my arms and their chains carved into my skin, but long before. It was when my father—my father who once told me stories of my mother as if they were sacred relics—stood before the court and placed Tremaine at his side. I remembered that moment as clearly as though it had just passed. The chamber had been filled with whispers, the kind of silken murmurs that rise from curiosity and hunger, and in the middle of it all, I stood still as stone, watching my father vow himself to another woman while my mother’s memory still lingered like incense. I had opposed it. I had spoken, argued, pleaded. But my voice was as dust against stone walls. And when my father’s gaze slid past me, when it favored Tremaine’s jeweled smile instead of his daughter’s trembling hands, I knew something within him had changed forever. His lo
The chains bit into me like fangs. Every movement pulled against the stiff iron circling my wrists and ankles, sending jolts of spasms through my limbs until the pain forced air out of me in ragged bursts. A sound, half-snarl and half-sob, escaped from my throat. The cell was more nest than prison, an ancient stone cavern draped in webs of rust and rot, as though spiders had claimed dominion here long before wardens ever had. The floor was matted with hay, its sharp ends poking into my skin wherever I shifted. The itch it raised was unbearable, but the shackles ensured I could not scratch. I forced myself to look outward, peering through the narrow cracks in the iron bars. A faint glow shimmered at the far end of what seemed like a tunnel, too dim to promise freedom, but enough to suggest a direction. Beyond it, who knew? Another chamber, another trick of stone. For all I knew, this was not a castle at all. I had awakened here without memory of the passage—dragged, bound, half-conscio
The night had been cruel to me. I had not truly slept, though I had tried. Perhaps I drifted once or twice into that shallow kind of rest that only mocks the body with its pretense of peace. Each time I closed my eyes, I saw it again—the warped reflection in the mirror, the grotesque thing that answered Tremaine in whispers. Each time I let my mind wander, I felt the beating of wings and the snap of talons from the dragon, as though it hovered still above the roof, waiting to tear us apart. No bed could protect me from that kind of remembering, and certainly not the splintered chair I had chosen to sit upon until dawn. When the first line of sun broke the forest’s edge, the air shifted. A light breeze brushed through the half-rotted shutters of the old house, and I stepped outside to meet it, hoping it might clear my thoughts. For a moment, the world seemed merciful: the leaves whispered against each other as though exchanging confidences, birds scattered notes into the still air, and
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.