Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini.
"Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima.
"Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."
Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan.
"Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me
Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan
Obrolan sederhana tentang sein motor emak-emak membuat kami tidak berhenti tertawa. Hujan yang deras, bahkan tidak mampu meredam suara tawa milik kami."Kamu tau gak, Ki, kenapa papa muda enggak berani nglawan emak-emak pakai daster?" Pak Bima masih memeluk bahuku dengan erat."Hmm mungkin karena emak berdaster galak kali ya, Pak?" Aku menjawab pertanyaan Pak Bima dengan sebuah pertanyaan."Yee salah!" Serunya sambil menahan tawa."Lah kenapa emang?""Soalnya kalau emak berdaster udah dandan, pesonanya bikin papa muda kelonjotan kaya orang epilepsi hahaha." Tawanya meledak.Aku tersenyum mendengar ocehannya. Kalau diamati dari samping begini, ternyata Pak Bima ganteng juga. Wajah tirusnya, dagu yang terbelah secara alami, tatapan mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tebal, dan semua yang tercetak di wajahnya membuat siapa saja bisa tertarik kepadanya dengan begitu mudah.
Aku mengusap pipiku yang tergenang oleh air mata. Entah bercanda atau tidak, tapi perkataan Pak Bima tentang aksi bunuh diri tetangga sebelah, membuat pikiranku jadi tidak fokus. Aku langsung kabur dari kamar ketika menyadari punggung Pak Bima tidak nampak dari pandanganku.Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, celingukan mencari keberadaan manusia super iseng yang tadi tega membuatku menangis."Pak...." panggilku dengan suara agak lirih. Aku tidak ingin membuat kegaduhan ketika tetanggaku sedang khusuk melaksanakan tahilan bersama."Pak ...." Aku mengendap-endap ke ruangan sebelah dengan mata yang ku edarkan ke setiap sudut ruangan. Hatiku masih berdesir tidak karuan, takut kalau saja ada sesuatu melayang di atas kepalaku."Pak ...." Untuk ketiga kalinya aku menyebutkan sapaanku padanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Bima.'klek'Aku membuka pintu secara perlahan dan seketika it
Aku masih celingukan ke sana sini mencari sumber suara. Bahkan aku melongokkan kepala ke bawah kasur untuk mengecek apakah suara itu benar bersumber dari sana. Takutnya nanti beneran ada ular yang masuk ke dalam kamar, kemudian merayap dan melilit ke tubuhku atau ke Pak Bima.Namun, setelah aku cek berulang kali, hasilnya nihil. Padahal semakin aku cari, suara desisan itu justru semakin kencang. Aku menoleh ke samping, mempertanyakan kenapa Pak Bima masih bisa tertidur pulas meski ada suara desisan sekeras itu."Sssshhhhhhhhhhhhh."Bibirku mencebik kesal. Setelah mencari suara desisan itu ke sana sini, ternyata sumber suaranya berasal dari orang yang tidur di sampingku. Aku lalu mendekat ke arah Pak Bima, mengamati gerakan bibirnya yang sedikit terbuka. Giginya rapat, matanya terpejam, eh seperti orang yang sedang memaksakan netranya untuk menutup. Badan Pak Bima sedikit bergetar, seperti orang yang sedang menggigil karena kedingina
Pukul setengah tiga dini hari aku terbangun. Udara dingin akibat hujan yang turun dengan sangat deras, memaksa mataku untuk terbeliak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih mengantuk. Namun percuma, rasa perih dan berat yang menempel di kelopak mataku seakan tidak mengijinkan kedua netraku untuk terbuka, meski hanya sedikit.Aroma parfum leather menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Telapak tanganku mengusap guling yang sedari tadi berada dalam pelukanku. Tapi, aku merasakan ada sesuatu yang janggal."Kok jadi tambah berisi gini, ya?" gumamku dengan mata yang masih terpejam.Aku melingkarkan kakiku pada guling di sampingku lalu menggesek-gesekkan perlahan. Aneh, ukurannya kok jadi lebih panjang dari pada biasanya. Masa iya, sih, guling bisa tumbuh layaknya anak bayi.Aku memeluk gulingku lebih erat lagi. Eh tapi tung
Selepas sarapan, aku langsung bergegas menuju halte bis, meninggalkan Pak Bima yang masih bersiap di dalam kamar. Pesan pribadi dari Pak Naufal selaku Kepala Divisi membuat pikiranku tidak tenang. Biasanya, Pak Naufal tidak akan memanggil bawahannya untuk hal-hal yang remeh, kecuali bawahannya memang melakukan sebuah kesalahan yang tidak bisa ditoleransi.Sampai di halte, aku merasa ada yang kurang dengan pagiku. Aku refleks membuka tas kerja berwarna hitam yang sedari tadi ku jinjing, ingin memastikan bahwa tidak ada satu barang pun yang tertinggal di rumah. Dompet, kacamata, gawai, id card, dan alat tulis sudah tersimpan rapi di dalam tas. Lalu apa yang tertinggal?Aku memainkan ujung rambut sambil mengingat-ingat sebenarnya barang apa yang lupa aku bawa. Tidak lama setelah itu, aku melihat Pak Bima berjalan cepat dari ujung gang. Mukanya tegang dan mulutnya menggembung. Aku menepuk jidatku pelan, astaga ternyata yang ketinggalan bukan barang bawaan, tetapi sua
Aku mengelap wajah yang sudah penuh dengan peluh. Siang ini, ruang kerja Pak Brian terasa sangat panas sekali. Entah karena udara di luar memang sedang panas-panasnya atau mungkin karena tubuhku sedang diserang oleh perasaan tegang yang bercampur dengan rasa takut.Aku menundukkan kepala berusaha untuk tidak bersitatap dengan orang yang sedang duduk di depanku. Wajah jutek dan ekspresi dingin milik Pak Brian membuatku seperti orang stroke, kaku dan juga gagu. Aku menghela napas berkali-kali, memaksa hatiku untuk tetap tenang. Tapi, bagaimanapun juga ketakutan ini membuat pikiranku jadi berkelana kemana-mana.“Kedatangan Anda ke mari, merupakan sebuah kehormatan bagi saya, Nyonya. Bagaimana saya tidak tersanjung, jika istri dari tuan muda Bima, bersedia masuk dan bahkan duduk di sofa butut milik saya.” Pak Brian mulai membuka percakapan. Tubuhku menggigil mendengar suara dingin miliknya. Jika saja aku tidak menjadi istri dari Pak
“Yang dijemput kan enggak Cuma anak-anak, Ki. Tapi nenek-nenek juga.” Dia terkekeh.“Heh, suka sembarangan ya kalau ngomong.” Aku memukul bahunya menggunakan tas jinjing milikku. Pak Bima mengelak kemudian berlari menjauhiku.Dari jarak lima meter ini, aku bisa melihat senyum manis yang tercetak di wajahnya. Tatapan mata elang milik suamiku, malam ini berubah menjadi teduh, bahkan sangat sangat teduh. Aku melempar senyum ke arah lain kemudian baru berlari mendekatinya.Pak Bima masih berlari sambil tertawa dengan renyahnya. Sedangkan aku sengaja memperlambat langkahku agar dia tidak tahu bahwa aku sedang mengamati wajahnya dari kejauhan. Aku suka senyumnya, aku suka tawanya, aku suka tatapannya, aku suka ekspresi tengilnya dan entah sejak kapan aku mulai suka mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan tingkahnya. Pak Bima seperti candu bagiku. Setiap menit, bahkan setiap detik, bayangannya selalu mampir ke dalam pikiranku. Su