Pak Albert menunggu Rinjani yang baru saja datang. Pria itu masih saja terus mencari celah untuk mendekatinya walau sudah jelas Rinjani seperti menghindar. Bu Ani—guru Biologi sering mengingatkan untuk tidak terlalu memaksa karena wanita tidak suka di kejar.“Bu Rinjani,” sapa Pak Albert saat Rinjani datang.“Iya, ada apa, Pak?”“Bu Rinjani, Papa saya datang untuk mengambil ponsel saya. Dia tidak bisa lama, mau bicara di mana?”Bian datang dengan tergesa-gesa karena sang ayah sudah menunggu di mobil. Rinjani sampai terkesiap dengan kedatangan Bian yang menyelak pembicaraan dirinya dan Pak Albert. Seolah-olah tidak terima, Pak Albert meminta Bian untuk kembali nanti.“Bian, saya sedang ada urusan dengan Bu Rinjani. Bisa nanti bicaranya?”“Pak, orang tua saya datang untuk mengambil ponsel. Dia sibuk, masih untung mau datang, Bu, bagaimana?” tanya Bian.“Pak, saya bicara dulu dengan orang tua Bian. Setelah itu saya akan bicara dengan Bapak,” ujar Rinjani.“Bian, ikut saya. Saya tunggu di
Rinjani terdiam sembari memainkan pulpen di meja. Beberapa murid pun memperhatikan dirinya dari tempat duduk. Terutama Bian juga ikut melihat keanehan di wajah guru Akuntansinya. Tidak seperti biasa Rinjani diam dan tidak banyak bicara.Edi—teman sebangku Bian menyenggol lengan Bian hingga ia tersadar dari lamunan.“Masih waras, kan? Lu nggak suka sama Tante-tante, kan?” tanya Edi.Bian mencebik saat Edo mengira dirinya menyukai Rinjani.“Sarap, ya. Gua masih normal, ya. Masih suka gadis se umuran, bukan Tante-tante apalagi dia guru.” Bian melirik kesal.“Tami?” Pertanyaan Edi malah membuat Bian membulatkan mata.“Lu pikir gua sama Joni berantem karena berebut dia? Ogah, amat,” tutur Bian.“Kiraiin, terus lu kenapa memperhatikan Bu Jani macam itu?”Bian masih bergeming. Entah benar atau tidak yang ada di pikirannya kali ini.“Gua lagi memikirkan, Bu Jani anteng dan nggak banyak ngomong, apa efek habis ketemu bokap gua, seperti yan sudah-sudah setelah bokap datang, terbitlah guru-guru
Semua telah diungkapkan Erik. Sebuah kekesalan masa lalu juga membuatnya tidak bisa memaafkan perselingkuhan Anindi. Jelas di depan matanya dia bermesraan dengan pria lain dan meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu. Semua sudah di cukupi olehnya, entah wanita itu memilih pria lain untuk bermesraan.“Tuhan saja maha pengampun. Jangan sombong hanya jadi manusia,” tutur Anindi.“Wajar aku sombong, aku tampan, menarik, kaya dan bisa saja kapan saja menikah dengan wanita yang aku mau. Tapi, aku bukan kamu yang biasa bergonta-ganti pacar.” Lagi, Erik sengaja membuat hati Andini sakit.Erik berpikir jika Andini harus tahu bagaimana sakit dan sulitnya bangkit dari terpuruk saat wanita itu mempermainkan biduk rumah tangganya.“Kamu—“ Bibir Andini bergetar saat netra mereka saling bertemu. Baru kali ini ia menyesal dengan apa yang ia perbuat. Kesalahan yang tidak pernah ia akui karena merasa selalu benar.Perselingkuhan itu terjadi karena kurangnya waktu Erik bersamanya. Keinginan bersama s
Rinjani mengajak sang duda ke luar untuk berbicara empat mata. Ia takut jika masih ada yang menguping. Dirinya tidak mau sampai Ratna dan Tama mengetahui jika mereka hanya berpura-pura.Sebuah kafe romantis di pilih Erik untuk berbicara dengan Rinjani. Alunan lagu dari band pengisi acara membuat suasana semakin sangat romantis. Sebelum itu, Erik memesan dua milk shake untuk pemanis mulut.Rinjani memindahi sekitar yang ia anggap sudah aman. Lalu, ia kembali fokus pada apa yang akan mereka bahas.“Om, ini jelaskan maksud Om bagaimana bisa datang-datang melamar saya?” tanya Jani.Terpaksa Duda itu harus bercerita. Di mulai dari kedatangan Andini. Lalu, Erik terus bercerita tentang proses ia bercerai dengan mantan kekasih. Rinjani mendengarkan dengan serius pria di depannya bercerita. Ia tidak mau melewatkan cerita kehidupan si duda itu.“Begitu ceritanya.”“Om, ini pernikahan bukan main-main, loh. Kalau hanya ingin memanfaatkan saya, sepertinya Om salah orang deh.” Rinjani agak sedikit
Sesampainya di rumah, Erik langsung menemui sang ibu. Ia juga meminta sang adik untuk duduk bersama. Namun, Bian tak diikutsertakan karena ia ingin berbicara pelan dengan anak laki-lakinya itu.Meli menatap lekat sang kakak. Dari wajahnya, gadis itu bisa menebak jika akan ada kabar baik karena terlihat kakak laki-lakinya sangat semringah.“Ada apa, Ka?” tanya Meli.“Aku akan menikah,” tuturnya.Kedua wanita di hadapannya saling pandang menatap tidak percaya. Erik tidak pernah membawa wanita, tapi kini ia mau menikah. Meli tertawa sembari menepuk pundak Erik yang tegang. Begitu pun sang ibu, wanita tua itu hanya menggeleng.“Memangnya punya calon?” tanya Meli seraya menggoda.“Kalau nggak punya, untuk apa aku mau menikah. Besok kukenalkan pada kalian, setelah itu lamarkan dia untukku, Bu,” pinta Erik.“Ka, kamu serius, kan? Bukan prank untuk kita, kan? Bian bagaimana?” Lagi, Meli memastikan.“Nanti aku bicara padanya. Yang penting aku sudah bicara dengan kalian.”Setelah mengumumkan pe
“Kamu kenapa seperti itu?” tanya sang ibu.“Biarkan saja, Ma. Biar kapok, enak saja bilang maaf dan seolah-olah kesalahan dia itu kecil. Dia pikir, hebat bisa berlaku kasar sama aku!” Rinjani mulai emosi dengan kejadian tadi.Sang ibu mengelus pundak Rinjani. Kesabaran itu ada batasnya, ia mulai kesal dengan tingkah Tama. Dirinya berharap bisa keluar dari rumah sang ayah karena ada mantan kekasihnya yang berengsek.“Tapi kamu jangan seperti itu. Minyak itu panas, lihat saja Tama sampai kesakitan,” ujar sang ibu.“Luka dia bisa sembuh, tapi luka hati aku sulit untuk sembuh.”Sang ibu tidak tega melihatnya. Walau Rinjani terlihat sangat tegar, tetapi ia sangat rapuh. Ditinggalkan sangat sakit, apalagi mereka sudah bermimpi pernikahan yang begitu indah“Aku tidak akan sesakit ini jika bukan Ka Ratna yang jadi selingkuhan Tama. Sakit rasanya, saat tahu mereka berselingkuh dan melakukan hal di luar dugaan. Dia Kakakku, tapi seperti orang lain. Tega menikung adiknya.” Penuturan Rinjani memb
“Maafkan Papa, Ma karena sifat Ratna mirip sekali dengan ibunya,” ucap Budi pada sang istri.“Sudah, jangan bahas ini lagi. Kita fokus pada pernikahan Rinjani saja. Toh, semua sudah terjadi.” Sang istri menyemangati sang suami. Wanita dengan gamis merah itu tidak mau memperkeruh suasana.Sejak menikah dengan suaminya, Ibu Rinjani sudah menerima konsekuensi menjadi istri dari duda beranak satu. Ia menerima Ratna dengan ikhlas dan mengurusnya dengan baik, sama seperti ia memperlakukan Rinjani. Namun, sayang sikapnya malah menjadi seperti sang ibu kandung.“Tapi, Mah. Papa merasa tidak enak dengan Rinjani. Kasihan dia, Papa sadar selama ini selalu mengikuti kemauan Ratna hingga tanpa sadar Papa membedakan mereka,” tuturnya penuh rasa bersalah.Sang istri mengelus lembut tangannya. Semua sudah terjadi dan tidak akan berubah sampai kapan pun. Pertengkarannya dengan Tama membuatnya geram karena pria itu malah menjelekkan Ratna. Dalam perselingkuhan itu, keduanya memang salah.“Kita temui Er
“Kamu serius menjalin hubungan dengan Rinjani?” Hastuti—ibu Erik kembali bertanya pada pria dengan wajah tidak merasa bersalah.Hastuti sengaja mengajak Erik berbicara di kamar agar tidak membuat Rinjani bersedih. Ibu Erik hanya ingin memastikan apa yang di lakukan sang anak adalah benar bukan sebuah keputusan terburu-buru.“Serius, Bu. Kalau nggak, buat apa aku bawa dia dan meminta Ibu melamarkan Rinjani untuk aku.” Erik mencoba membuat sang ibu percaya jika dirinya memang benar serius dengan Rinjani.“Tapi dia terlalu muda, bagaimana jika emosinya belum bisa tertahan. Ibu hanya nggak mau rumah tangga kamu kembali hancur.”Merasa bersalah, hal itu yang dirasakan Erik saat mendengar sang ibu mencemaskan kehidupannya. Tidak mungkin ia mengatakan jika mereka hanya bersandiwara. Pasti, Hastuti tidak akan setuju.Erik kembali meyakinkan sang ibu jika Rinjani sudah matang walau masih berusia muda. Ia tahu sang ibu mencemaskan dirinya karena mengingat saat menikah dengan Andini, usia mereka