Reya berjalan tertatih menaiki tangga, mengabaikan panggilan orang-orang. Ia juga menepis saat Alvaro atau pun mamanya yang berniat membantu. Reya gondok dengan papanya yang selalu memaksakan kehendak.
"Emangnya gue bocah kecil apa, pake bodyguard segala. Anak artis aja gak dikawal bodyguard aman-aman aja tuh, padahal emaknya banyak haters," gerutu Reya.
Reya menyeret kakinya masuk ke kamar, membanting pintu sampai menimbulkan bunyi dentuman keras. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan bintang dan benda-benda angkasa lainnya.
Masih jelas diingatan Reya, bagaimana ia dijauhi waktu kecil. Semua teman-temannya tidak mau bermain dengannya. Bukan karena Reya nakal, ia justru pendiam dulu. Tapi tak ada satu pun yang mau menjadi temannya, mereka semua takut. Takut pada bodyguard-nya.
Tentu saja, bodyguard Reya menyeramkan. Kalau kalian penasaran, kalian bayangin saja Thanos. Bodyguard Reya mirip banget dengan Thanos, badan besar, tinggi, tangannya kekar dan kepalanya botak mengkilap.
"Reya." Ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
Reya beringsut ke kepala ranjang, menyenderkan punggungnya dan meluruskan kaki. Rasa nyeri begitu terasa ketika Reya menggerakkan sebelah kakinya yang di gips. Bahkan ia baru sadar jika lukanya separah ini.
"Reya, mama masuk ya." Pintu terbuka, Ana muncul dengan wajah sendu. Ia menghampiri Reya dan duduk di sebelahnya. "Kamu mau makan?" tanya Ana, tangannya membelai surai Reya secara lembut.
"Reya gak laper." Reya memalingkan wajah ke arah lain, melipat tangannya di depan dada.
"Kamu marah?"
"Hm."
"Cerita sama mama, kamu marah kenapa?" Ana menarik tangan Reya, menggenggam jemari mungil Reya. Mengusap-usap punggung tangannya. Tatapan Ana yang teduh membuat Reya tak kuasa menahan pemberontakan di dalam hati. Reya langsung menghambur memeluk Ana, sambil meracau mengutarakan isi hatinya.
"Ma, Reya bukan anak kecil lagi. Reya udah enam belas tahun Ma, masa masih pake bodyguard. Lagian papa kenapa si overprotective banget sama Reya?"
Ana tersenyum kecil, ia membelai kepala Reya. "Papa sama mama sayang banget sama Reya. Kita gak mau kalau kamu kenapa-napa. Kamu inget kan, waktu itu kamu pernah mau diculik?"
Reya melepaskan pelukannya, ia kembali duduk menghadap mamanya. "Tapi Reya sekarang udah gede."
"Tapi kamu perempuan, kamu rentan banget dijahatin orang. Apalagi kamu tahu sendiri kan pesaing papa kaya gimana?" Ana berusaha memberikan pengertian pada Reya, tapi ya namanya juga Reya yang keras kepala kaya papanya. Bocah itu tetap ngeyel dan menyanggah ucapan mamanya.
"Iya, si. Tapi tetep aja ma gak pake bodyguard segala. Alvaro aja udah bikin pusing ini malah tambah lagi mahluk asing yang gak tahu datengnya dari mana," gerutu Reya.
"Husss, kamu," tegur Ana. "Gak boleh gitu Reya. Gavin tuh anak baik, dia juga jago bela diri. Jadi mama yakin dia bisa jagain kamu kalau mama gak ada."
"Reya juga jago Ma, jago berantem malah. Mama gak lihat si waktu Reya ikutan war. Lihat tuh, otot Reya." Reya dengan bangga menunjukkan otot lengannya.
Ana menghela napas pendek, lelah menghadapi sifat Reya yang keras kepala persis seperti dulu ia menghadapi Rey. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, sepertinya pepatah itu benar. Tapi kenapa sifat Reya keseluruhan meniru papanya, tidak ada sifat Ana yang menurun pada Reya kecuali ketidakpekaannya.
"Tawuran maksud kamu? Terus pulang-pulang kepala kamu bocor kalau gak kaki kamu pincang, babak belur terus apa lagi?"
Reya menyengir, semua yang dibilang mamanya memang benar adanya. Reya selalu pulang dalam keadaan kacau, tapi ia sama sekali tidak kapok dan mengulanginya lagi.
"Lagian papa kenapa si manja banget Ma, ke mana-mana harus diintilin Mama." Reya mencebikkan bibirnya.
"Karena papa gak bisa jauh-jauh dari mama. Mama kan separuh jiwanya papa."
"Hillih," cibir Reya, geli sendiri mendengar ucapan mamanya.
"Pokoknya Kamu ikutin aja kemauan papa, Gavin gak mencolok kok. Dari pada om Reno yang jadi bodyguard kamu?" Reya langsung bergidik, membayangkan om Reno yang berbadan seperti Hulk. "Oh, ya. Kamu baik-baik ya sama Gavin. Dia baru aja kehilangan kedua orangtuanya, om Dipta kamu ingat kan?"
"Om ganteng?" beo Reya, mengingat wajah Dipta yang tampan seperti artis Hollywood.
Ana mengangguk, membenarkan. "Om Dipta sama istrinya kemarin kecelakaan, makanya papa sama mama gak pulang semalem. Jadi kamu jaga sikap sama Gavin ya, walau dia keliatannya kuat mama yakin dia masih terpuruk banget. Mengingat Gavin gak punya keluarga lagi."
Reya mengangguk, ia ingat kata papanya om Dipta dibesarkan di panti asuhan, sementara istrinya sudah yatim piatu dan tak tidak memiliki kerabat.
"Kalau gitu kamu bersih-bersih terus istirahat ya." Ana mengecup kening Reya, lalu berlalu meninggalkan kamar Reya.
-------
"Tembak goblok! Noob banget si!" gerutu Reya, matanya terus fokus menatap layar ponsel dan jemarinya memencet layar. "Di atap, musuh ... tembak. Yah Rembo noob!" teriak Reya kesal sendiri karena teman-temannya yang payah.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, Reya mengabaikannya. Ia masih fokus pada game, tapi ketukan itu terus terdengar dan mengusiknya. "Masuk!" suruh Reya, berdecak kesal pada orang yang berdiri di luar kamarnya karena telah menganggu.
Reya mengangkat wajah, melirik seseorang yang masuk ke kamarnya. Reya memandang cowok itu, cowok bernama Gavin yang kini berdiri di sampingnya.
"Apa?" Reya menaikkan sebelah alisnya, tatapan Gavin yang datar dan bibir yang terkunci rapat membuat Reya jadi semakin kesal.
Emangnya dia mau jadi patung tanpa ngomong sepatah kata pun?
"Yaaa, lo bisu?" Reya meletakkan ponselnya, mengalihkan fokus sepenuhnya ke Gavin yang masih berdiri kaku dengan nampan di tangannya. "Oh, gue tahu. Lo lagi sariawan ya?" tebak Reya. "Gue tahu obat mujarab buat sembuhinnya."
Gavin mendengus, sama sekali tak bereaksi akan ocehan Reya. Menurut Gavin tidak penting, tugasnya hanya membawakan Reya makan karena bocah itu tidak mau makan di bawah.
"Ciuman." Gavin hampir saja tersedak salivanya sendiri, matanya melebar karena mendengar ucapan Reya. "Lo mau gue cium? Biar sariawan lo sembuh?"
Oh, shit!
Gavin tak habis pikir, mahluk seperti apa sebenarnya yang sedang ia hadapi? Omongannya sama sekali tidak disaring, bagaimana bisa seorang cewek berbicara blak-blakan seperti itu dengan cowok yang belum ia kenal.
"Kenapa? Lo gak mau? Yaudah, gue sih cuma mau bantu. Tapi berhubung lo gak mau, ya gue gak maksa." Reya kembali fokus ke game-nya yang sudah mati. "Ah, sial. Woy, upin-ipin kok kalah si!!!" teriak Reya ketika menyalakan microphone.
Gavin mengembuskan napas kasar. Ia harus bersabar menghadapi gadis manja di depannya, andai saja bukan karena balas budi maka Gavin gak akan sudi menjadi bodyguard Reya. Cewek yang masuk kategori cewek yang harusnya Gavin hindari.
"Gue cuma mau nganter ini, disuruh tante Ana." Gavin akhirnya bersuara, ia meletakkan nampannya ke nakas. Gavin yang sudah berbalik hendak keluar berhenti melangkah ketika Reya memanggilnya, Gavin menoleh tanpa berkata apa pun.
"Suapin," kata Reya.
What?
Gavin masih berdiri di tempatnya, membuat Reya kesal dan mengulang kembali perkataanya. "Suapin, buruan."
"Lo punya tangan sendiri kan? Gunain tangan lo," tukas Gavin, wajahnya yang datar semakin terlihat menyebalkan di mata Reya.
"Yaaa! Lo gak liat, gue lagi main game dan tangan gue dua-duanya kepake. Jadi buruan suapin."
"Gak mau." Gavin kembali berbalik, meneruskan langkahnya untuk keluar dari kamar Reya. Ia tak tahan berlama-lama dengan cewek macam Reya. Membuat emosinya tersulut.
"Kalau gitu lo bilang ke bokap gue, lo gak sanggup jadi bodyguard gue. Gampang kan?" Ucapan Reya menginterupsi Gavin, ia berbalik menatap Reya dengan ekspresi kesal. "Why? Lo gak berani? Kalau lo mau jadi bodyguard gue, lo harus turutin semua kemauan gue. Semua ucapan gue itu perintah mutlak yang harus lo patuhi."
Reya tersenyum puas, ia berharap Gavin akan menolak dan bilang ke papanya kalau dia tidak sanggup. Rencana yang cukup jenius bukan? Tapi kesenangan Reya tak bertahan lama karena Gavin berbalik melangkah ke arahnya.
Yaaa, yaaa lo mau ngapain? jerit Reya dalam hati. Woy, berhenti, keluar aja ngapa balik lagi?
Reya melongo, ia terdiam. Bibirnya tiba-tiba kelu saat Gavin tanpa sungkan duduk di sebelahnya, mengambil piring di nampan dan menyuapkan sesendok nasi ke depan mulut Reya.
"Buka." Seakan tuli, Reya sama sekali tak mendengar ucapan Gavin, matanya masih terfokus pada wajah Gavin. "Buka atau gue suapin lo lewat mulut."
"Hah?!" Mata Reya seketika melebar, seakan jadi senjata makan tuan. Kali ini dia dibuat terkejut dengan ucapan Gavin yang ambigu.
Duahal yang tak bisa ditolerir dalam sebuah hubungan, perselingkuhan dan kekerasan.-Reyana Stronghold-Mentari sudah muncul dari persembunyiannya, teriknya masuk ke kamar melewati celah gorden yang tersingkap. Suara kicauan burung santer terdengar, bersahutan dengan suara alarm yang membahana di dalam ruangan kamar yang masih gelap gulita.Reya mengerang, merubah posisi miring serta menutupi telinganya dengan bantal. Suara alarm yang berbunyi nyaring memekakkan telinga, mengusik Reya yang tengah tertidur pulas.Meski telinganya telah ia tutup bantal dan bergelung di dalam selimut tebal, nyatanya suara alarm masih terdengar jelas di telinga Reya."Aaarrg ... berisik!!" Reya bangun, mengacak-ngacak rambut saking kesalnya. Ia melirik alarm yang masih terus berbunyi, menunjukkan pukul 06.00.Reya meraih alarm di atas nakas, bersiap melemparkannya keluar jendela. Tapi ucapan papanya tiba-tiba terngiang di
Satu kebohongan akan menjerumuskan pada kebebohangan-kebohangan selanjutnya.-Gavin-Reya merutuki mulutnya sendiri yang asal nyeplos. Ia menyeret kakinya, berusaha mengabaikan Gavin yang terus menuntut penjelasan."Jadi gue pacar nih bukanbodyguard?"Astaga naga dragon ball!!!
Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.—Reyana—Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari."Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola keringdan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh."Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan."Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.
Ketika lo menyulut api ke gue, maka yang gue lakuin lempar bensin ke apinya.-Reyana Stronghold-"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika melihat darah segar mengalir dari kedua hidung Gavin.Emosi Reya semakin menggebu-gebu, ia menatap tajam cewek di depannya. "Ini semua gara-gara lo nenek lampir!" Telunjuknya menunjuk-nunjuk cewek itu."Gue? Enak aja, lo yang nonjok. Kenapa jadi gue yang disalahin? Dasar nenek sihir!" Cewek itu menepis tangan Reya."Wah kurang ajar ngatain gue nenek sihir, berani lo?!" tantang Reya, menggulung bajunya sampai bahu."Berani sama-sama makan nasi, kecuali lo makannya sajen baru gue takut," cibir cewek di depan Reya."Fuck!"umpat Reya, tangannya sudah gemas ingin merontokkan rambut cewek itu dan baku hantam kembali terjadi.Tapi semua itu tak berlangsung lama karena suara lantang menginterupsi se
Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.-Reyana S-Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.Sinting!Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran."Re," panggil Alvaro."Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro."Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?""Yang ngelakuin bukan lo kan?""Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro."Yang tadi."
Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.-Reyana S-Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap."Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang."Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam."Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.-Gavin-Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.Ucapan Gavin dirooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak."Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu