Entah sudah berapa kali Lea menggedor pintu kayu yang tertutup rapat sejak Zen meninggalkan kamar tersebut. Berteriak, memaki, dan mengumpat hingga pita suaranya nyaris robek, semua terasa sia-sia. Tidak ada seorang pun yang mau mendengarnya.
"Berengsek! Buka pintunya!" Teriakan dan gedoran kesekian yang tidak mendapat respons.
Kelelahan melakukan aksinya, tubuh Lea merosot ke lantai. Punggungnya beradu dengan pintu kayu yang terasa dingin hingga menembus tulang. Untuk pertama kalinya semenjak berhasil melarikan diri dari Bram, wanita itu sangat ingin menumpahkan air mata.
Terkurung di dalam kamar tersebut rasanya seperti mengalami dejavu. Bagaimana dia menghabiskan waktu selama bertahun-tahun dengan siksaan tanpa ampun dari ayah tirinya. Wanita itu menundukkan kepala sambil menutup telinga. Gelegar suara Bram seolah datang kembali. Semakin lama, suara itu terdengar semakin nyaring. Lalu, sabetan ikat pinggang berbahan kulit yang beradu dengan lantai mulai terdengar. Tubuh Lea bergetar seiring air mata yang menetes saat mendengar hentakan pelan sepatu kulit mendekat padanya.
"Jangan ... jangan pukul aku ...," lirih Lea.
Semakin lama, getaran di tubuhnya semakin hebat. Wanita itu tampak seperti menggigil ketakutan. Kedua tangannya mencengkeram rambut semakin kuat. Deru napas yang semakin cepat kemudian berubah menjadi isakan. Isak tangis yang semula lirih, kini terdengar semakin keras.
Dengan posisi masih terduduk di lantai dan tangan yang mencengkeram rambut, wanita itu menggeleng. Ketakutannya semakin besar ketika dia merasakan ikat pinggang berbahan kulit itu dihentakkan ke sisi tubuhnya. Lalu ... wanita itu menjerit histeris. Dia menjerit seperti saat dulu Bram memecutnya dengan ikat pinggang. Rasa panas yang membakar kulit dan rasa takut itu masih terasa nyata seperti dulu.
Lea semakin histeris. Dia menggerakkan tubuhnya seperti sedang menangkis pecutan ikat pinggang tersebut. Semakin lama, jeritan Lea semakin melemah. Hingga akhirnya wanita itu tidak sadarkan diri. Tubuhnya yang dipenuhi peluh keringat dengan wajah yang basah oleh air mata, kini terkulai lemah di depan pintu.
Beberapa saat kemudian, seorang penjaga membuka pintu kamar tersebut dengan tetap menjaga kewaspadaan. Pintu itu hanya bisa terbuka sedikit karena terhalang oleh tubuh Lea. Para penjaga mengira Lea hanya menggunakan trik supaya dia bisa melarikan diri dari kamar tersebut. Melihat Lea yang terkulai lemah, tidak serta merta membuat mereka percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Periksa dia," ujar satu dari dua penjaga itu.
Penjaga tersebut berjongkok, memeriksa keadaan Lea. Sama sekali tidak ada respons saat penjaga itu menepuk-nepuk pipi wanita itu.
"Dia pingsan," kata penjaga yang berjongkok di samping tubuh Lea.
"Tetap waspada. Nyawa kita bisa melayang jika wanita ini sampai melarikan diri." Penjaga yang satunya mengingatkan.
"Lihat, dia benar-benar tidak sadarkan diri." Penjaga yang berjongkok itu menyibak rambut Lea yang menutupi wajah, hingga bibir pucat wanita itu terlihat dengan jelas.
"Benarkah?" Kening penjaga yang berdiri tersebut berkerut. Lalu, dia ikut berjongkok dan memeriksa sendiri keadaan Lea.
"Pindahkan dia ke tempat tidur. Aku akan memanggil Dokter Clint dan pelayan untuk mengurusnya."
Dua penjaga itu berbagi tugas. Salah satu penjaga itu segera memindahkan Lea ke tempat tidur. Berselang beberapa waktu kemudian, tiga orang datang ke kamar tersebut. Salah satunya adalah Clint, dokter pribadi Zen yang selalu bersiaga di mansion tersebut.
"Siapa dia?" tanya Clint.
"Wanita yang datang bersama Tuan Zen."
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Clint pada dua penjaga tersebut.
"Kami tidak tahu. Kami hanya berjaga di luar dan mendengarnya memuntahkan sumpah serapah untuk Tuan Zen. Setelah itu, dia menjerit dan saat kami membuka pintu, dia sudah dalam kondisi seperti ini," jawab si penjaga.
Pria yang sudah mengabdi sebagai dokter pribadi Zen sejak 5 tahun lalu itu duduk di tepi ranjang seraya meletakkan peralatan medis di sebelahnya. Dia melakukan pemeriksaan denyut nadi dan tekanan darah Lea.
"Apa yang kau lakukan pada wanita ini, Zen?" gumam Clint.
Tekanan darah Lea rendah, dia juga mengalami demam. Clint harus menunggu wanita itu sadar terlebih dahulu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
"Demamnya cukup tinggi, siapkan air untuk mengompres," perintah Clint pada pelayan.
Pelayan itu mengangguk lantas melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Clint.
"Biarkan dia beristirahat. Besok aku akan memeriksanya lagi. Jika dia sudah siuman, berikan obat ini untuknya," ujar Clint pada penjaga seraya memberikan obat untuk Lea.
Sebelum pergi, Clint memerhatikan wajah Lea dengan seksama. Wajah itu tampak tidak asing, tapi Clint tidak bisa mengingat di mana dia pernah melihatnya.
Suara deheman membuat Clint berpaling.
"Tuan Zen tidak akan suka Anda menatap wanitanya seperti itu, Dokter."
"Tidak perlu mengingatkanku. Aku mengenal tuanmu jauh lebih baik daripada kalian," balas Clint.
Penjaga itu tersenyum lalu merentangkan satu tangannya ke arah pintu, mempersilakan Clint untuk keluar. Clint pun segera bangkit dan berjalan keluar kamar.
"Oh, aku hampir lupa." Clint yang sudah sampai di ambang pintu berbalik lagi. "Gantikan pakaiannya dengan yang lebih tipis agar dia bisa tidur dengan nyaman," pesan Clint pada pelayan yang sedang mengompres Lea.
Pelayan dan penjaga di sana saling bertukar pandangan. Hal itu membuat kening Clint berkerut, mencoba memahami ekspresi yang ditunjukkan ketiga orang tersebut.
"Jangan katakan kalau wanita ini tidak memiliki pakaian ganti," tebak Clint yang sayangnya sangat tepat.
Tidak adanya jawaban dari ketiga orang di sana membuat Clint yakin bahwa tebakannya benar. Pria yang seumuran dengan Zen itu mengusap wajah lalu membuang napas kasar lewat mulutnya.
"Ya, Tuhan! Jangan katakan kalau tuan kalian menculik wanita ini!" ujarnya lagi sambil berkacak pinggang.
"Tuan Zen tidak menculik wanita ini. Tuan hanya memberi pekerjaan baru padanya," jawab salah satu penjaga.
Helaan napas Clint terdengar semakin kasar. Lantas, pria itu menggeleng. "Aku akan bicara dengan tuan kalian," ujarnya.
Clint berbalik dan meninggalkan kamar tersebut. Dia ingin sekali bertemu dengan Zen, tapi sayangnya ... orang yang ingin dia temui sedang tidak ada di sana. Setelah meninggalkan Lea di dalam kamar, Zen langsung bertolak ke belahan bumi lain untuk melakukan pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan.
"Kau tetap di sini. Jika dia siuman, segera berikan obat dari Dokter Clint pada wanita itu," perintah penjaga kepada pelayan wanita yang sedang mengompres Lea.
"Baik," jawabnya patuh.
Lea siuman ketika matahari sudah terbit di langit timur. Pelayan yang menjaga wanita itu segera mendekat ketika ada pergerakan lemah dari orang yang dia jaga.
"Nona ... Anda sudah siuman?" tanya pelayan wanita itu.
Lea menggerakkan kepala, tapi kelopak matanya masih terpejam rapat. Beberapa saat kemudian, iris hijau indah bak zamrud milik wanita itu mengintip malu-malu di balik kelopak mata. Pelan tapi pasti, kedua mata Lea terbuka.
Pelayan yang menjaga Lea tersenyum lega saat melihat wanita itu telah sadarkan diri. Dia pun lantas memberitahu para penjaga yang bersiaga di depan pintu jika Lea sudah sadar.
Lea mendesis, merasakan kepalanya begitu pusing ketika dia hendak bangkit. Wanita itu kembali memejamkan mata sembari menahan serangan rasa sakit yang terasa menusuk kepalanya.
"Sebaiknya Anda tetap berbaring Nona. Anda baru saja sadar. Sebentar lagi Dokter Clint akan datang untuk memeriksa Anda." Pelayan yang baru saja kembali dari menemui penjaga itu setengah berlari menghampiri Lea.
Masih berusaha meredam rasa sakit di kepala, Lea berusaha bangkit. Dia menepis tangan pelayan yang berusaha untuk membantunya. Berhasil duduk dan bersandar pada headboard, Lea mencoba untuk mengingat apa yang terjadi padanya hingga dia merasakan sakit nyaris di sekujur tubuh wanita itu.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Lea saat dia tidak mampu mengingat apa yang telah membuatnya seperti itu.
"Semalam Anda pingsan, Nona," jawab pelayan itu.
Lea menipiskan bibir. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat dia menggedor pintu kamar tersebut dan mengeluarkan segala makian dan umpatan untuk Zen. Setelahnya, dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Saya sudah menyiapkan makanan untuk Anda dan obat dari dokter," ujar pelayan itu.
Satu piring sandwich dan satu gelas susu yang sudah dipersiapkan oleh pelayan itu semenjak Lea belum sadar, sudah tertata rapi di atas trolly makanan. Pelayan tersebut menarik trolly mendekat pada tempat tidur. Sebuah meja kecil, diletakkan di hadapan Lea. Pelayan itu menyiapkan makanan dan minuman di atas meja supaya Lea bisa memakannya.
Namun, yang terjadi selanjutnya justru Lea melempar meja kecil tersebut hingga menimbulkan suara gaduh. Pelayan itu memekik sambil berjingkat mundur karena takut terkena pecahan kaca.
"Ada apa ini?" Suara itu terdengar berbarengan dengan seorang pria yang masuk ke dalam kamar.
Clint baru saja datang untuk memeriksa keadaan Lea. Tapi pria itu disambut dengan amukan pasiennya.
Lea berpaling ke arah sumber suara. Kedua mata wanita itu melebar saat melihat sosok yang sedang berjalan ke arahnya. Pria itu ....
***
tbc.
Secepatnya Lea menundukkan kepala saat Clint berjalan mendekat. Wanita itu sengaja membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, takut jikalau Clint akan mengenali dirinya.Clint duduk di tepi ranjang, di sebelah kaki Lea yang terbungkus selimut."Biarkan aku memeriksa kondisimu," ujar Clint.Tidak seperti tadi yang begitu menggebu untuk meronta. Ketika Clint memeriksa kondisinya, Lea mendadak bisu. Wanita itu tidak mengatakan apa pun dan hanya menurut ketika Clint memintanya melakukan sesuatu, kecuali menunjukkan wajahnya."Siapa namamu?" tanya Clint seusai memeriksa kondisi Lea.Wanita itu masih menunduk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab."Baiklah." Clint menghela napas.Masih tidak ada respons apa pun dari Lea. Wanita itu membungkam mulutnya rapat-rapat, membuat Clint harus berupaya lebih keras untuk bicara dengan wanita tersebut.
Setelah dua hari, kondisi Lea sudah kembali pulih. Bukan hanya kesehatan Lea saja yang dipulihkan. Zen juga selalu memastikan bahwa wanita yang dia sewa benar-benar bersih. Termasuk pemasangan alat kontrasepsi, karena Zen tidak ingin benihnya tumbuh di dalam rahim wanita sewaannya. Zen juga sudah memenuhi lemari di kamar Lea dengan berbagai macam pakaian sesuai dengan selera pria tersebut."Apa ada yang salah dengan dirimu?" tanya Clint saat sedang melakukan general check up pada Zen."Tidak pernah ada yang salah dengan diriku. Apa aku perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatanku?" Zen balas bertanya pada dokter pribadinya tersebut.Clint mengangkat bahu. "Tidak ada. Hanya saja ... tidak biasanya kau menyewa wanita lebih dari tiga hari. Aku hanya ... heran," jawab Clint."Maksudmu wanita itu?" Zen mendengkus pelan. "Dia bahkan belum pernah sama sekali melayaniku.""Benarkah?" Pertanyaan yang
Bosan? Jelas! Sudah hampir satu bulan Lea terkurung di mansion Zen. Namun, belum sekali pun pria itu meminta untuk dilayani seperti yang pernah dia katakan sebelumnya. Bukan karena Lea juga menginginkan Zen, melainkan karena Lea ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.Lelah memberontak, Lea akhirnya pasrah. Jika memang dia harus melayani pria tersebut untuk bisa terbebas dari Zen, maka dia akan melakukannya."Aku tahu Grace sangat menyebalkan, tapi aku benci saat harus mengakui kalau aku merindukannya," ujar Lea bermonolog.Lea bertanya-tanya dalam hati, apakah Grace saat ini sedang mencarinya karena mangkir dari pekerjaan? Jika memang begitu, Lea sangat berharap bahwa Grace akan menemukan dirinya di sarang penyamun itu.Lea menghela napas. Sejak pagi, dia hanya duduk di dekat jendela untuk melihat hutan belantara yang berada di belakang mansion. Lalu, tiba-tiba pintu kamar Lea dibuka dari luar. Wanita itu berp
Mereka berhenti di tempat yang dimaksud oleh Clint, tepatnya di taman anggrek. Seperti yang dikatakan oleh pria itu, hampir seluruh bunga di ruangan beratap kaca tersebut mekar. Berbagai macam warna dari berbagai macam anggrek yang berbeda terlihat begitu harmonis. Indah sekali."Ini cantik sekali," ujar Lea takjub. Dia sudah lupa dengan pertanyaannya tentang Zen. Wanita itu berlari kecil menghampiri anggrek-anggrek itu sambil tersenyum lebar."Aku tidak menyangka jika pria seberengsek dia memiliki taman seindah ini," ujarnya lagi."Watch your mouth, My Lady!" Clint memberi peringatan sambil tersenyum tipis."Whatever! Dia bahkan tidak marah saat aku mengumpat di depan wajahnya. So ... apa bedanya kalau aku mengumpat di belakangnya? Karena dia memang seberengsek itu!" balas Lea.Tak diduga, ucapan Lea mendapat tawa keras dari Clint."Kau terus terang sekali." Pria itu masih tertawa dan baru berhenti beberapa saat kemudian. "Kau tahu? Biasanya, dia akan menghabisi siapa saja yang menyin
Suasana berubah hening untuk beberapa saat. Clint masih menatap Lea tanpa ekspresi. Lea sendiri terpaku pada pria yang duduk di sampingnya itu. Lantas, wanita itu mengalihkan pandangan ke arah anggrek yang ada di hadapannya."Apa maksudmu, Dokter? Apa yang kau bicarakan?" Lea berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Clint.Clint terkekeh. Lantas ikut mengarahkan pandangannya ke depan."Aku tidak akan mempermasalahkan masa lalu, Lea. Aku hanya penasaran, dari siapa kau melarikan diri," tutur Clint.Wajah wanita itu tampak mengeras. Urat di pelipisnya berkedut. Dia tampak tidak suka Clint membahas masa lalunya."Apa Zen mengetahui hal ini? Tentang siapa dirimu di masa lalu?" selidik Clint."Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Dokter! Aku lelah, aku ingin kembali ke kamar," ujar Lea seraya berdiri."Tunggu!" Dengan sigap, Clint menahan tangan wanita i
Mata cekung dengan iris segelap langit malam itu menatap tajam pada Lea. Tetesan darah dari luka di kening pria itu mengalir melewati alis dan kelopak matanya. Namun, tidak sedikit pun rasa sakit yang tergambar di wajah pria tersebut.Tubuh Lea yang gemetar itu goyah. Nyaris saja wanita tersebut ambruk dan tubuhnya membentur lantai andai saja Zen tidak sigap menangkapnya. Lalu, dengan kedua tangannya, Zen mengangkat tubuh Lea dan membaringkan wanita itu di atas ranjang. Beruntung kaki pria itu masih terbungkus sepatu kulit berkualitas premium yang tampak sangat mengkilap. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena sepatu itu dapat melindungi kaki Zen dari pecahan vas dan kaca yang nyaris memenuhi lantai kamar tersebut."Emosimu sedang labil. Istirahatlah," ujar Zen.Lea terdiam dengan bulir bening yang perlahan meloloskan diri dari ujung matanya. Dia pikir Zen akan marah karena Lea telah membuatnya terluka. Tapi nyatanya, pria it
Dengan tatapan mata saja, para penjaga yang bersiaga di depan pintu kamar Lea langsung mengerti. Pintu kayu itu perlahan tertutup dengan rapat."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Zen, masih dengan posisi duduk di tepi tempat tidur.Sorot mata sayu yang terpancar di wajah Lea, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria tersebut. Zen melepas kancing lengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia menggulungnya hingga batas siku. Selesai dengan kemeja, Zen beralih pada sepatunya. Pria itu melepas sepatu dan kaus kaki sebelum akhirnya dia naik ke atas ranjang."Kemarilah," ucap Zen yang berbaring dengan posisi miring dan satu tangan merentang untuk menyambut kepala Lea.Dengan patuh, Lea bergerak mendekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Zen. Wanita itu mencari kenyamanan dalam dekapan pria tersebut."Tidurlah, aku akan menjagamu," ucap Zen lembut.Namun, Le
Tetap meringkuk di bawah selimut hangat adalah hal ternyaman yang ingin Lea lakukan saat ini. Ini memang bukan pertama kalinya Lea merasakan sentuhan seorang pria. Tapi ini pertama kalinya Lea melakukannya dengan sukarela, atas keinginan hatinya. Beberapa waktu lalu, wanita itu telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada seorang Zen Aberdein.Rasa hangat yang menyelimutinya, membuat wanita itu berpikir bahwa Zen masih berada di atas tempat tidur yang sama dengannya. Namun, saat Lea menggerakkan badan untuk tidur dengan posisi terlentang, sisi lain ranjang yang dia tempati sudah dingin. Kosong.Wanita itu membuka mata dan mendapati bahwa dia hanya seorang diri di dalam kamar tersebut. Dia mengangkat tubuh sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.Lea menatap pintu kamar yang tertutup lalu tersenyum hampa. "Seorang pelacur akan tetap menjadi pelacur."Hampir saja dia lupa siapa dirinya dan di mana posisi