Julia kembali mematut penampilannya di depan cermin. Berkat saran dari Hana dan juga usulan dari Fani dan Viola yang bersikukuh ingin melihat Julia mempunyai seorang kekasih, maka seperti inilah penampilannya sekarang. Untuk pertama kalinya, bagi sang gadis Peterson, ia memakai riasan di wajah dan juga mengenakan gaun pendek selutut.
Jujur saja, Julia belum pernah memakai gaun sependek itu. Dia hanya pernah memakai gaun panjang, dan itu pun hanya dipakainya sebanyak dua kalian saja.
Gaun yang dipakainya saat ini pun, adalah hasil pencarian di mall yang dilakukannya bersama sang sahabat. Pun dengan peralatan make up yang baru kali pertama ini, dia membelinya. Hana sampai keheranan, sebab Julia terus bertanya mengenai cara memakai berbagai alat hias wajah itu.
Pada akhirnya, setelah diajarkan cara menggunakan make up dasar, Julia pun telah siap untuk pergi berkencan bersama cinta pertamanya. Sebuah penantian yang sangat mendebarkan.
Julia berputar sekali di depan cermin, mengakibatkan gaun putih dengan hiasan mutiara di bagian bawahnya itu mengembang dengan indahnya. Rambut yang biasa ia gerai dengan bebas pun, kini disanggulnya tinggi-tinggi menggunakan tusuk rambut mahal, dengan batu giok di ujung atasnya.
Satu kata untuk penampilannya saat ini, menawan. Perpaduan paras yang cantik dengan gaya berpakaian yang manis, menjadikan aura kecantikan yang ada pada Julia menguap dan menimbulkan citra yang menarik.
Namun, ada suatu hal yang membuat Julia sedikit tak nyaman.
Kesan pertama yang didapatkan Julia setelah selesai mengganti bajunya menjadi gaun adalah ... aneh. Julia tidak terbiasa dengan penampilan barunya. Ini jelas bukan gaya yang ia sukai dalam berpakaian sehari-hari. Julia yang terbiasa mengenakan celana panjang longgar ketika keluar dari rumah pun merasa sedikit risih saat memakai baju yang membuatnya tidak bisa bergerak dengan leluasa.
Belum lagi riasan di wajahnya saat ini. Meski masih tergolong natural dan tidak mencolok, tetapi jujur saja Julia tetap tak menyukainya. Gadis itu lebih senang memakai pelembap dan memakai bedak tabur di wajah. Untuk di bibir pun, dia hanya memakai pelembab bibir biasa. Akan tetapi, karena ini semua adalah permintaan dari orang-orang yang peduli dengan penampilannya saat kencan. Mau tak mau Julia pun mengiyakan permintaan mereka semua.
Kapan lagi Julia menghias diri dengan penampilan yang sering dipakai oleh gadis seusianya?
Biasanya, dia hanya mengenakan pakaian santai unisex yang terkesan biasa saja. Namun kali ini, dia harus memakai pakaian seperti gadis muda lainnya.
Julia kembali memperhatikan gayanya berpakaian dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. Apakah Jacob akan menyukai penampilannya yang seperti ini? Apa dia akan memuji Julia dengan baik? Membahas tentang lelaki yang memiliki mata tajam bak elang itu pun, mendadak membuat Julia merasa sangat gugup.
Jelas ini adalah kali pertama bagi Julia bertemu dengan lawan jenis, bertemu dengan seorang laki-laki. Tidak ditemani oleh siapapun, hanya sendirian saja. Semenjak masuk ke sekolah pendidikan khusus perempuan, Julia tak pernah lagi berinteraksi dengan laki-laki. Papa dan sang kakak tak termasuk di dalamnya.
Ponsel berdering sesaat, tanda pesan masuk. Julia buru-buru mengeceknya. Sebuah pesan dari Jacob yang berbunyi, 'aku akan menunggumu di taman Testa' membuatnya kembali merasa gugup sekaligus berbunga-bunga.
Julia langsung meraih tas dan turun dari kamar, hendak berpamitan dengan kedua orang tuanya. "Papa, Mama! Aku izin keluar dulu bersama teman ya!"
Charlie yang sedang duduk menonton televisi menoleh ke anak perempuannya yang duduk di lantai sambil memasang sepatu. "Ke mana, Sayang?" tanyanya kepada sang anak.
"Ke taman Testa, Pa," jawab Julia di sela kegiatan memasang sepatu berhak tingginya. Ia memakai sepatu kulit buaya yang biasa ia pakai untuk ke acara tertentu itu dengan tergesa-gesa.
Meggan yang baru saja selesai mandi dan berpakaian, langsung mendatangi anak dan suaminya yang sedang berkumpul di ruang tengah. "Julia mau ke mana, Sayang? Kenapa terburu-buru sekali?" tanya Meggan ke sang suami. Charlie mengganti saluran yang ingin ia tonton, lalu menjawab, "Ke taman kota bersama temannya."
Julia yang telah selesai memasang sepatu lantas berdiri. Meggan lalu menghampiri anak perempuannya dan memperhatikan penampilan Julia dari anak ke bawah. "Cantik sekali anak Mama pagi ini," komentarnya sambil tersenyum manis.
Julia merapikan kerah bajunya dengan hati-hati, lalu menyunggingkan senyum lebar. "Benarkah?" tanyanya gembira. "Syukurlah! Berarti penampilanku sudah bagus. Aku khawatir penampilanku jelek, Ma," ucap Julia ragu-ragu.
"Tidak, kau sangat cantik kok, Sayang." Meggan menepuk pundak anak gadisnya lalu berpesan, "Hati-hati di jalan ya, pulang sebelum makan malam.
"Baik, Ma!" jawab Julia dengan ceria. Senyumnya merekah semakin lebar. "Aku jalan kaki saja, tak perlu diantar," ucapnya sambil menyampirkan tas tangan ke bahu. "Aku berangkat dulu ya, Ma, Pa!"
"Ya, hati-hati, Sayang," ucap Charlie dari tempat duduknya. Julia beranjak menuju pintu, Louis yang baru saja datang dari luar, berpapasan dengannya ketika hendak keluar. "Mau ke mana?" tanya Louis seraya menatap adiknya. "Aku mau jalan-jalan," jawab Julia dengan wajah riang.
"Sudah dulu ya, Kak. Aku pergi dulu. Bye!" ucap gadis itu sambil melambaikan tangan dengan antusias.
Louis merapikan kerah jas, sama sekali tak berminat membalas lambaian tangan adiknya. Mata hitamnya mengarah pada kepergian Julia dari rumah mereka. Tatapan dingin dan menusuk ia layangkan.
"Pergi saja selamanya," gumam Louis sebelum memasuki kediamannya yang megah. Sama sekali tak ada kepedulian yang tersisa untuk gadis yang berstatus sebagai adik perempuannya itu. Hanya ada kedengkian, dan amarah atas setiap ketidakadilan yang ia terima selama ini. Semua karena kehadiran Julia.
+++
"Hmm, dekat pohon." Julia membaca pesan terakhir dari Jacob. Ia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Eh, benar taman ini, kan?" gumamnya panik, takut jika salah mendatangi tempat janjian mereka.
Julia menghentikan pencarian, ia lalu berdiri diam di pinggir sambil memeriksa ponsel. Ada di mana Jacob? Ia sudah letih mengelilingi taman depan untuk mencari pria itu.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring klakson yang dibunyikan dari arah belakang, Julia sampai terlonjak kaget. Buru-buru gadis berkalung perak membalikkan badan dan menatap sang pelaku. Tampak seseorang sedang duduk dengan tenang di atas motor berwarna hitam, kepalanya yang masih memakai helm dengan warna serupa membuat Julia tak bisa melihat wajah orang asing tersebut.
Siapa dia? Julia tak bisa menebaknya, selain dia adalah lelaki bertubuh tegap. Sosok di depannya kemudian membuka kaca depan helmnya, Julia pun mundur selangkah. Tiba-tiba orang itu mengangkat tangan kirinya. "Hai?" sapa sang lelaki, Julia hampir terpekik di tempat. Itu Jacob.
"Hai juga. Kenapa baru datang?" tanya Julia sambil tersenyum paksa. Ia bukannya tidak suka dengan kehadiran lelaki yang selalu datang di mimpinya itu, tetapi ia hanya gagal mengontrol ekspresi.
"Aku sudah datang sejak satu jam yang lalu," jawabnya sambil turun dari motor besar tipe Harley Davidson. Julia menelan saliva secara perlahan, Jacob benar-benar tinggi. Sekitar 180cm? Tidak, mungkin lebih tinggi dari itu. "Sebenarnya aku tadi menunggumu di taman belakang. Bahkan, aku bisa menyaksikanmu begitu kesulitan mencari keberadaanku dari sana."
Wajah Julia langsung bersemu merah saat menyadari ucapan Jacob. Alangkah malunya dia!
"Kenapa tidak memberi tahu sebelumnya?" Pertanyaan Julia membuat Jacob tertawa, sampai membuat Julia terpana di tempatnya berpijak. "Haha, yah ... aku hanya suka melihatmu kebingungan seperti tadi. Jadi, kubiarkan saja."
Kemudian hening selama beberapa saat, hingga Jacob memulai percakapan baru di antara mereka. "Mau ke sana?" tanyanya seraya menunjuk kedai es krim. Julia dengan cepat mengangguk.
"Kau suka rasa apa?" tanya Julia kepada Jacob begitu mereka tiba di tujuan. Ia sedang memilah rasa es krim di daftar menu. "Cokelat saja," balas Jacob yang berdiri di samping sang gadis. Julia merasa pendek sekali ketika bersebelahan dengannya. Padahal tingginya sudah lebih dari ideal, 168cm. "Baiklah. Paman! Pesan rasa cokelat dan stroberi satu ya!"
+++
Jika orang-orang yang pertama kali bertemu akan jarang berbicara saat sedang bersama, beda halnya dengan Julia dan Jacob. Keduanya malah sedang asyik menceritakan pengalaman satu sama lain. Cerita selama di sekolah, ataupun kisah masa kecil yang dirasa lucu menurut mereka.
Julia tak henti-hentinya tertawa, ekspresinya terlihat cerah saat menatap paras rupawannya Jacob. Ketika es krim keduanya sudah habis, Jacob akan kembali membeli dan memberikan salah satunya kepada Julia yang menerimanya dengan senang hati. "Jadi, apa cita-citamu?" tanya Julia sambil menjilat es krim vanila, ia yang sibuk memakan es krim sampai tidak sadar telah makan dengan berantakan. Sekitar bibirnya dipenuhi dengan es krim.
Jacob yang tiba-tiba saja diam, membuat Julia menoleh kepadanya. Jantung gadis itu langsung berdebar kencang saat tangan besar Jacob terangkat dan mengusap bibirnya dengan lembut. Julia membeku di tempat. "Ada noda es krim di sini," ucap Jacob, ia dengan teliti membersihkan wajah Julia. Hening sesaat terjadi di momen mendebarkan itu, sampai tatapan keduanya bertemu.
Julia refleks menunduk, sedangkan Jacob tertawa melihatnya. Kebersamaan mereka harus terusik saat rintik-rintik air dari langit mulai berdatangan secara perlahan kepada mereka yang duduk di kursi taman. "Hujan?" gumam Julia seraya menengadahkan tangan dan mendongakkan wajah untuk menatap langit yang mulai berubah menjadi hitam kelabu.
Sebelum Julia sempat menundukkan kepalanya untuk melihat Jacob, mendadak jaket pria itu sudah menudungi kepalanya dari rintik hujan. "Pakai ini saja dulu, sampai kita menemukan tempat berteduh," ucap Jacob sambil tersenyum lebar.
Lalu secara tiba-tiba, Jacob menyeruak masuk ke bawah tudungan jaket dan berhasil mengejutkan Julia. Jacob pun dapat melihat dengan jelas rona merah di pipi gadis yang berada di bawah naungan jaket yang sama dengannya, ia tersenyum kepada gadis itu saat tatapan keduanya lagi-lagi bertemu.
Jacob lantas mengajak Julia berteduh di sebuah kedai burger yang sudah tutup. Sepanjang perjalanan, Julia hanya bisa diam sambil mengikuti langkahnya. Julia tak mampu berkata-kata, ia hanya menundukkan kepala dengan detak jantung yang terus bertalu-talu dalam dada. Menyisakan perasaan hangat di tengah dinginnya guyuran hujan, di siang hari itu.
+++
"Aku senang melihat perubahan Julia," ucap Charlie saat berkumpul dengan istri dan anak sulungnya. "Aku pikir anak itu akan terus bersikap dingin kepada kita, tetapi ternyata beberapa waktu ini Julia menunjukkan perkembangan yang bagus."
Louis terlihat tidak suka mendengarnya. Meggan hanya tertawa kecil, lalu mengiyakan perkataan sang suami, "Kau benar, Sayang. Julia kini begitu manis."
"Aku telah membuat surat keputusan pemindahan dua perusahaan atas nama Julia." Ucapan Charlie yang tiba-tiba itu terdengar seperti petir di siang bolong untuk Louis. Pria berkumis tipis itu terbelalak. "APA?!" serunya kaget.
"Papa sudah gila? Mengapa memberi perusahaan untuk anak itu!?" Louis jelas tak terima dengan keputusan sepihak yang diambil oleh sang papa. Papanya itu sudah sangat keterlaluan.
"Louis, jaga mulutmu! Kau mulai berani melawan Papa?! Kau ingin Papa mencabut hak bisnis restoranmu sekarang juga!?"
Gigi-gigi Louis saling bergemeletak menahan amarah. "Kenapa harus Julia yang Papa beri aset kekayaan?! Aku kan ada! Papa bisa memberiku semua perusahaan!"
"Diam! Kau tak perlu ikut campur! Keputusan Papa sudah mutlak!" Charlie langsung berdiri dan meninggalkan istri dan anaknya yang sedang mengepalkan tangan dengan kuat.
Louis bungkam, ia menatap sang papa dengan tatapan yang menusuk. Selalu, selalu saja Julia yang diutamakan. Selalu saja anak itu yang dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Padahal sudah 27 tahun berlalu, tetapi tak sekalipun orang tuanya benar-benar memperhatikannya.
"Kenapa harus sampah itu yang kalian sayangi? Kenapa bukan aku saja?" Gumaman Louis terdengar oleh Meggan yang langsung mengomentari ucapannya. "Berhenti menghina adikmu, Louis," tegur Meggan dengan tegas. "Jangan terus melakukan sesuatu yang dapat merugikan keluarga kita. Ingat kelakuanmu saat remaja itu."
"Kami benar-benar kesulitan saat menghapuskan kotoran yang sudah kau buat waktu itu! Jangan lagi kau membuat malu keluarga ini! Dan hormatilah adikmu!"
"Aku tak pernah mempunyai adik sepertinya," balas Louis sengit, dengan raut wajah datar. Dia tak terima dengan kenyataan yang menyedihkan ini, di mana ibunya tak pernah sekalipun menyayanginya. Dari dulu, bahkan sekarang.
Louis berdiri, memilih untuk tidak menggubris perkataan wanita yang telah melahirkannya. Hatinya sudah terlalu sakit mendapat perlakuan berbeda dari ayah sekaligus ibunya yang seharusnya mendukungnya sebagai anak pertama yang bisa dibanggakan oleh mereka.
Akan tetapi, kenyataan yang ia dapat adalah sebaliknya. Justru Julia sebagai anak kedualah yang didewakan oleh mereka. Louis lantas beranjak menghampiri tangga, menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Sorot matanya begitu kelam dan dingin, seolah dapat membekukan siapa saja yang kebetulan beradu tatap dengannya.
"Aku akan membalas setiap perbuatan Julia," bisik Louis kepada diri sendiri. "Dan mengenyahkan jalang itu untuk selamanya. Lihat saja."
Rongga dadanya sudah sangat sesak karena dipenuhi dengan kebencian yang teramat dalam kepada sang adik. Ini jelas bukan dosa, Louis hanya ingin menuntut haknya yang terampas selama hidup di dunia.
Julia turun dari motor besar milik Jacob dengan hati-hati. Pertama kali baginya naik ke boncengan motor seseorang. "Terima kasih banyak untuk hari ini," ucap sang gadis sambil tersenyum begitu kakinya sudah berpijak di tanah. Jacob melepas helmnya, hanya untuk menatap wajah bersemu Julia yang terlihat begitu menggemaskan, ia tertawa. "Sama-sama," ucapnya seraya menatap sang gadis. Ia menaruh helmnya dengan posisi yang kurang tepat. Julia tersenyum, tetapi begitu melihat helm sang pria berguling karena tak ditaruh dengan baik, ia refleks berseru, "Ah, AWAS! Helmmu hampir!" Julia buru-buru menangkap pelindung kepala Jacob tersebut sebelum menyentuh tanah beraspal yang keras. Ia lalu menaruhnya di tangki bensin yang berada di depan sang lelaki dengan hati-hati. "Oh! Terima kasi—" Ucapan Jacob terputus saat Julia yang menundukkan kepalanya terpekik pelan, saat ujung dari tusuk rambutnya tersangkut di jaket hitam sang pria. Entah karena apa benda berujung sebuah permata hija
"Halo semua, perkenalan dia adalah Javier. Mulai sekarang, dia akan membangun saluran Youtube ini bersamaku," ucap Jacob seraya melambaikan tangan ke arah kamera. Pemuda yang duduk di sebelahnya ikut melambaikan tangan, dan berucap kepada warga internet, "Salam kenal, dan salam edukasi!" Julia yang telah selesai mandi bergegas menonton siaran langsung dari sang kekasih, meskipun ia masih mengenakan gaun mandi. Gadis itu hanya terlalu senang saja ketika mendapat pemberitahuan yang masuk ke ponselnya sampai lupa jika ia belum memasang pakaian. "Hmm, wajah mereka sedikit mirip," gumam Julia di sela-sela aktivitasnya menonton video, masih belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk. "Tapi kekasihku—Jacob jelas lebih tampan!" komentarnya lagi sambil terus menatap paras rupawan milik sang kekasih dengan tatapan memuja. Rupa-rupanya, Julia sudah jatuh begitu dalam ke pesona yang dimiliki oleh seorang pria Leckner. Pria tampan beralis tebal dan rapi—terlihat seperti ulat bul
Sosok yang mulanya berjalan sekitar 20 langkah dari Julia, mendadak semakin dekat saja dengannya. Julia tidak ingin berpikiran buruk dan menuduh yang tidak-tidak kepada orang yang mengenakan jaket bertudung di atas kepala. Akan tetapi sebenarnya, Julia merasa ada sedikit yang mengganjal pikirannya. Menurut Julia, penampilan orang itu memang terlihat sedikit aneh dan tidak cocok di pertengahan musim panas seperti sekarang. Mengapa ia harus memakai jaket tebal seperti itu? Julia tak mengetahui seperti apa wajah orang yang berjalan di belakangnya, sebab sosok misterius bertudung itu terus menundukkan kepala dan terlihat sangat menakutkan di mata gadis Peterson yang sedari tadi memperhatikan. Itu sikap yang wajar ditunjukkan olehnya. Ia hanya bersikap lebih berhati-hati saja, sebab ini adalah zaman di mana kejahatan merajalela. Terlebih lagi di zaman seperti inj, kita tak tahu apa yang orang lain pikirkan bukan? Entah itu baik atau buruk. Julia kembali melangkah dengan
"Hoi, Javier tidak belajar ya? Bukankah bulan depan dia ujian?" Javier yang baru saja datang dari minimarket dengan membawa empat botol soda di tangannya, langsung tertawa geli saat mendengar pertanyaan teman masa kecilnya—Mark. "Untuk apa belajar?" tukas Javier terdengar meremehkan. Mark seketika tergelak begitu mendengar ucapan sang sahabat, sedangkan Jacob hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya. "Belajar itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri saja," ucap Javier lagi seraya terkekeh geli, membuat Daniel yang duduk di sebelah Jacob memukul punggung lelaki itu sambil mengeluarkan gelak tawa yang keras. "Adikmu sudah gila rupanya. Hahahaha." Javier lantas memberikan minuman kepada masing-masing orang, lalu duduk sembari membuka minumannya. "Kudengar kau berhenti dari pekerjaanmu sekarang, kenapa?" tanya Javier tanpa menunjuk dan memandang siapa-siapa. Saat Javier sedang bersiap-siap meneguk sodanya, Mark melayangkan pertanyaan. "Kau bertanya kep
Julia yang sudah pulih dari ketakutannya yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan berlebih itu mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Gadis itu kembali masuk ke sekolah seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya, dan itu membuat Hana—sahabatnya—merasa sangat bahagia. Tentu saja, apa yang terjadi kepada Julia waktu itu memang sangat menakutkan, tetapi hidup harus terus berjalan. Tak sepantasnya rasa takut itu menjadikan segalanya bertambah semakin buruk dengan tak masuk ke sekolah selama berhari-hari."Julia, kau kemana saja beberapa hari ini?" tanya salah seorang gadis begitu Julia mendudukkan dirinya di atas sebuah kursi kelas. Disusul oleh pertanyaan serupa lainnya dari teman-teman sebaya."Julia, kau sakit?" tanya Melia. Yang disusul pertanyaan serupa dari kembarannya—Mesia. "Ya, kau terlihat pucat. Sakit apa kau, Julia?""Kenapa kau baru datang ke sekolah hari ini, Julia? Minggu depan kita kan sudah ujian," ucap Nancy."Iya! Tugas dan catatan kita ada banyak sekali! Untunglah, p
Julia memandangi kertas yang berada di dalam genggaman tangannya dengan saksama, gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas kusam bertinta emas. Julia lantas meniup debu yang mungkin saja menempel di kertas pudar tersebut, berharap tulisan di atasnya dapat terlihat dengan jelas. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi, tulisannya masih tetap tak terlihat dan itu membuat Julia sedikit merasa kesal. Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan kebersihannya hanya untuk mencari tahu asal usul dari benda yang membuatnya penasaran. Julia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa bertangan yang berwarna krim dan mendudukkan bokongnya di sana dengan nyaman. Sejenak, Julia meluruskan dulu kakinya yang dipaksa berdiri beberapa jam saat bersih-bersih tadi. Gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi d
Semenjak kejadian lucu di taman hiburan Gloove World dan kehangatan yang diberikan oleh Jacob berupa kecupan di kening dan bibirnya, Julia jadi sibuk mempersiapkan acara yang akan diselenggarakannya setelah pengumuman kelulusan. Acara itu rencananya akan berlangsung minggu depan, tetapi persiapannya sudah dimulai sejak sekarang. Gadis itu berniat mengundang seluruh teman-teman di sekolahnya dan juga teman-teman bermainnya sewaktu kecil. Pesta itu bertujuan agar tidak ada seorang pun temannya yang akan melupakan kebaikan gadis Peterson selama mengenal sang gadis. Perayaan ini jelas bukan keinginan Julia, mustahil gadis itu melakukannya. Semua ide pesta ini murni dari buah pikiran sang mama. Di sela-sela kegiatannya dalam mempersiapkan pesta, Julia terbayang wajah tampan kekasihnya—Jacob. Baru tiga hari berselang sejak keduanya berpisah dari taman hiburan, Julia sudah sangat merindukan pria berbibir penuh itu. Sepintas ide pun lewat di kepalanya, membuat sang gadi
Julia benar-benar telah melupakan kekecewaan yang ia rasakan kepada sang mama. Buktinya di pagi hari ini saja, gadis itu menyapa semua anggota keluarganya dengan riang gembira. Bahkan, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi masing-masing anggota keluarganya. Meggan yang awalnya berpikir sang anak kesayangan masih marah terhadapnya dan akan kembali membahas masalah kemarin di meja makan, sedikit terkejut melihat keceriaan yang ditampakkan oleh Julia. Seolah tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka sebelumnya. Charlie yang tak tahu mengapa Julia begitu bersemangat hari itu hanya tertawa. Julia begitu menggemaskan, seolah tak punya beban pikiran. Putri kecilnya memang sangatlah manis. Charlie bangga kepadanya. Berbeda dengan reaksi kedua orang tuanya terhadap kehangatan yang diberikan oleh Julia berupa kecupan singkat di pipi, Louis tampak risih dengan bekas bibir sang adik yang ada di pipi sebelah kanannya. Menurut Louis gadis berusia 18 tahun itu tak pantas bers