Share

03. Pertemuan Pertama : Jacob dan Julia

    Julia kembali mematut penampilannya di depan cermin. Berkat saran dari Hana dan juga usulan dari Fani dan Viola yang bersikukuh ingin melihat Julia mempunyai seorang kekasih, maka seperti inilah penampilannya sekarang. Untuk pertama kalinya, bagi sang gadis Peterson, ia memakai riasan di wajah dan juga mengenakan gaun pendek selutut.

    Jujur saja, Julia belum pernah memakai gaun sependek itu. Dia hanya pernah memakai gaun panjang, dan itu pun hanya dipakainya sebanyak dua kalian saja. 

    Gaun yang dipakainya saat ini pun, adalah hasil pencarian di mall yang dilakukannya bersama sang sahabat. Pun dengan peralatan make up yang baru kali pertama ini, dia membelinya. Hana sampai keheranan, sebab Julia terus bertanya mengenai cara memakai berbagai alat hias wajah itu. 

    Pada akhirnya, setelah diajarkan cara menggunakan make up dasar, Julia pun telah siap untuk pergi berkencan bersama cinta pertamanya. Sebuah penantian yang sangat mendebarkan. 

    Julia berputar sekali di depan cermin, mengakibatkan gaun putih dengan hiasan mutiara di bagian bawahnya itu mengembang dengan indahnya. Rambut yang biasa ia gerai dengan bebas pun, kini disanggulnya tinggi-tinggi menggunakan tusuk rambut mahal, dengan batu giok di ujung atasnya.

    Satu kata untuk penampilannya saat ini, menawan. Perpaduan paras yang cantik dengan gaya berpakaian yang manis, menjadikan aura kecantikan yang ada pada Julia menguap dan menimbulkan citra yang menarik. 

    Namun, ada suatu hal yang membuat Julia sedikit tak nyaman. 

    Kesan pertama yang didapatkan Julia setelah selesai mengganti bajunya menjadi gaun adalah ... aneh. Julia tidak terbiasa dengan penampilan barunya. Ini jelas bukan gaya yang ia sukai dalam berpakaian sehari-hari. Julia yang terbiasa mengenakan celana panjang longgar ketika keluar dari rumah pun merasa sedikit risih saat memakai baju yang membuatnya tidak bisa bergerak dengan leluasa.

Belum lagi riasan di wajahnya saat ini. Meski masih tergolong natural dan tidak mencolok, tetapi jujur saja Julia tetap tak menyukainya. Gadis itu lebih senang memakai pelembap dan memakai bedak tabur di wajah. Untuk di bibir pun, dia hanya memakai pelembab bibir biasa. Akan tetapi, karena ini semua adalah permintaan dari orang-orang yang peduli dengan penampilannya saat kencan. Mau tak mau Julia pun mengiyakan permintaan mereka semua.

Kapan lagi Julia menghias diri dengan penampilan yang sering dipakai oleh gadis seusianya? 

    Biasanya, dia hanya mengenakan pakaian santai unisex yang terkesan biasa saja. Namun kali ini, dia harus memakai pakaian seperti gadis muda lainnya. 

    Julia kembali memperhatikan gayanya berpakaian dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. Apakah Jacob akan menyukai penampilannya yang seperti ini? Apa dia akan memuji Julia dengan baik? Membahas tentang lelaki yang memiliki mata tajam bak elang itu pun, mendadak membuat Julia merasa sangat gugup.

    Jelas ini adalah kali pertama bagi Julia bertemu dengan lawan jenis, bertemu dengan seorang laki-laki. Tidak ditemani oleh siapapun, hanya sendirian saja. Semenjak masuk ke sekolah pendidikan khusus perempuan, Julia tak pernah lagi berinteraksi dengan laki-laki. Papa dan sang kakak tak termasuk di dalamnya.

Ponsel berdering sesaat, tanda pesan masuk. Julia buru-buru mengeceknya. Sebuah pesan dari Jacob yang berbunyi, 'aku akan menunggumu di taman Testa' membuatnya kembali merasa gugup sekaligus berbunga-bunga.

Julia langsung meraih tas dan turun dari kamar, hendak berpamitan dengan kedua orang tuanya. "Papa, Mama! Aku izin keluar dulu bersama teman ya!"

Charlie yang sedang duduk menonton televisi menoleh ke anak perempuannya yang duduk di lantai sambil memasang sepatu. "Ke mana, Sayang?" tanyanya kepada sang anak.

"Ke taman Testa, Pa," jawab Julia di sela kegiatan memasang sepatu berhak tingginya. Ia memakai sepatu kulit buaya yang biasa ia pakai untuk ke acara tertentu itu dengan tergesa-gesa.

Meggan yang baru saja selesai mandi dan berpakaian, langsung mendatangi anak dan suaminya yang sedang berkumpul di ruang tengah. "Julia mau ke mana, Sayang? Kenapa terburu-buru sekali?" tanya Meggan ke sang suami. Charlie mengganti saluran yang ingin ia tonton, lalu menjawab, "Ke taman kota bersama temannya."

Julia yang telah selesai memasang sepatu lantas berdiri. Meggan lalu menghampiri anak perempuannya dan memperhatikan penampilan Julia dari anak ke bawah. "Cantik sekali anak Mama pagi ini," komentarnya sambil tersenyum manis.

Julia merapikan kerah bajunya dengan hati-hati, lalu menyunggingkan senyum lebar. "Benarkah?" tanyanya gembira. "Syukurlah! Berarti penampilanku sudah bagus. Aku khawatir penampilanku jelek, Ma," ucap Julia ragu-ragu.

"Tidak, kau sangat cantik kok, Sayang." Meggan menepuk pundak anak gadisnya lalu berpesan, "Hati-hati di jalan ya, pulang sebelum makan malam.

"Baik, Ma!" jawab Julia dengan ceria. Senyumnya merekah semakin lebar. "Aku jalan kaki saja, tak perlu diantar," ucapnya sambil menyampirkan tas tangan ke bahu. "Aku berangkat dulu ya, Ma, Pa!"

"Ya, hati-hati, Sayang," ucap Charlie dari tempat duduknya. Julia beranjak menuju pintu, Louis yang baru saja datang dari luar, berpapasan dengannya ketika hendak keluar. "Mau ke mana?" tanya Louis seraya menatap adiknya. "Aku mau jalan-jalan," jawab Julia dengan wajah riang.

"Sudah dulu ya, Kak. Aku pergi dulu. Bye!" ucap gadis itu sambil melambaikan tangan dengan antusias. 

Louis merapikan kerah jas, sama sekali tak berminat membalas lambaian tangan adiknya. Mata hitamnya mengarah pada kepergian Julia dari rumah mereka. Tatapan dingin dan menusuk ia layangkan.

"Pergi saja selamanya," gumam Louis sebelum memasuki kediamannya yang megah. Sama sekali tak ada kepedulian yang tersisa untuk gadis yang berstatus sebagai adik perempuannya itu. Hanya ada kedengkian, dan amarah atas setiap ketidakadilan yang ia terima selama ini. Semua karena kehadiran Julia.

+++

"Hmm, dekat pohon." Julia membaca pesan terakhir dari Jacob. Ia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Eh, benar taman ini, kan?" gumamnya panik, takut jika salah mendatangi tempat janjian mereka.

Julia menghentikan pencarian, ia lalu berdiri diam di pinggir sambil memeriksa ponsel. Ada di mana Jacob? Ia sudah letih mengelilingi taman depan untuk mencari pria itu.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring klakson yang dibunyikan dari arah belakang, Julia sampai terlonjak kaget. Buru-buru gadis berkalung perak membalikkan badan dan menatap sang pelaku. Tampak seseorang sedang duduk dengan tenang di atas motor berwarna hitam, kepalanya yang masih memakai helm dengan warna serupa membuat Julia tak bisa melihat wajah orang asing tersebut.

Siapa dia? Julia tak bisa menebaknya, selain dia adalah lelaki bertubuh tegap. Sosok di depannya kemudian membuka kaca depan helmnya, Julia pun mundur selangkah. Tiba-tiba orang itu mengangkat tangan kirinya. "Hai?" sapa sang lelaki, Julia hampir terpekik di tempat. Itu Jacob.

"Hai juga. Kenapa baru datang?" tanya Julia sambil tersenyum paksa. Ia bukannya tidak suka dengan kehadiran lelaki yang selalu datang di mimpinya itu, tetapi ia hanya gagal mengontrol ekspresi.

"Aku sudah datang sejak satu jam yang lalu," jawabnya sambil turun dari motor besar tipe Harley Davidson. Julia menelan saliva secara perlahan, Jacob benar-benar tinggi. Sekitar 180cm? Tidak, mungkin lebih tinggi dari itu. "Sebenarnya aku tadi menunggumu di taman belakang. Bahkan, aku bisa menyaksikanmu begitu kesulitan mencari keberadaanku dari sana."

Wajah Julia langsung bersemu merah saat menyadari ucapan Jacob. Alangkah malunya dia! 

"Kenapa tidak memberi tahu sebelumnya?" Pertanyaan Julia membuat Jacob tertawa, sampai membuat Julia terpana di tempatnya berpijak. "Haha, yah ... aku hanya suka melihatmu kebingungan seperti tadi. Jadi, kubiarkan saja."

Kemudian hening selama beberapa saat, hingga Jacob memulai percakapan baru di antara mereka. "Mau ke sana?" tanyanya seraya menunjuk kedai es krim. Julia dengan cepat mengangguk.

"Kau suka rasa apa?" tanya Julia kepada Jacob begitu mereka tiba di tujuan. Ia sedang memilah rasa es krim di daftar menu. "Cokelat saja," balas Jacob yang berdiri di samping sang gadis. Julia merasa pendek sekali ketika bersebelahan dengannya. Padahal tingginya sudah lebih dari ideal, 168cm. "Baiklah. Paman! Pesan rasa cokelat dan stroberi satu ya!"

+++

Jika orang-orang yang pertama kali bertemu akan jarang berbicara saat sedang bersama, beda halnya dengan Julia dan Jacob. Keduanya malah sedang asyik menceritakan pengalaman satu sama lain. Cerita selama di sekolah, ataupun kisah masa kecil yang dirasa lucu menurut mereka.

Julia tak henti-hentinya tertawa, ekspresinya terlihat cerah saat menatap paras rupawannya Jacob. Ketika es krim keduanya sudah habis, Jacob akan kembali membeli dan memberikan salah satunya kepada Julia yang menerimanya dengan senang hati. "Jadi, apa cita-citamu?" tanya Julia sambil menjilat es krim vanila, ia yang sibuk memakan es krim sampai tidak sadar telah makan dengan berantakan. Sekitar bibirnya dipenuhi dengan es krim.

Jacob yang tiba-tiba saja diam, membuat Julia menoleh kepadanya. Jantung gadis itu langsung berdebar kencang saat tangan besar Jacob terangkat dan mengusap bibirnya dengan lembut. Julia membeku di tempat. "Ada noda es krim di sini," ucap Jacob, ia dengan teliti membersihkan wajah Julia. Hening sesaat terjadi di momen mendebarkan itu, sampai tatapan keduanya bertemu.

Julia refleks menunduk, sedangkan Jacob tertawa melihatnya. Kebersamaan mereka harus terusik saat rintik-rintik air dari langit mulai berdatangan secara perlahan kepada mereka yang duduk di kursi taman. "Hujan?" gumam Julia seraya menengadahkan tangan dan mendongakkan wajah untuk menatap langit yang mulai berubah menjadi hitam kelabu.

Sebelum Julia sempat menundukkan kepalanya untuk melihat Jacob, mendadak jaket pria itu sudah menudungi kepalanya dari rintik hujan. "Pakai ini saja dulu, sampai kita menemukan tempat berteduh," ucap Jacob sambil tersenyum lebar.

Lalu secara tiba-tiba, Jacob menyeruak masuk ke bawah tudungan jaket dan berhasil mengejutkan Julia. Jacob pun dapat melihat dengan jelas rona merah di pipi gadis yang berada di bawah naungan jaket yang sama dengannya, ia tersenyum kepada gadis itu saat tatapan keduanya lagi-lagi bertemu.

Jacob lantas mengajak Julia berteduh di sebuah kedai burger yang sudah tutup. Sepanjang perjalanan, Julia hanya bisa diam sambil mengikuti langkahnya. Julia tak mampu berkata-kata, ia hanya menundukkan kepala dengan detak jantung yang terus bertalu-talu dalam dada. Menyisakan perasaan hangat di tengah dinginnya guyuran hujan, di siang hari itu.

+++

"Aku senang melihat perubahan Julia," ucap Charlie saat berkumpul dengan istri dan anak sulungnya. "Aku pikir anak itu akan terus bersikap dingin kepada kita, tetapi ternyata beberapa waktu ini Julia menunjukkan perkembangan yang bagus."

Louis terlihat tidak suka mendengarnya. Meggan hanya tertawa kecil, lalu mengiyakan perkataan sang suami, "Kau benar, Sayang. Julia kini begitu manis."

"Aku telah membuat surat keputusan pemindahan dua perusahaan atas nama Julia." Ucapan Charlie yang tiba-tiba itu terdengar seperti petir di siang bolong untuk Louis. Pria berkumis tipis itu terbelalak. "APA?!" serunya kaget.

"Papa sudah gila? Mengapa memberi perusahaan untuk anak itu!?" Louis jelas tak terima dengan keputusan sepihak yang diambil oleh sang papa. Papanya itu sudah sangat keterlaluan.

"Louis, jaga mulutmu! Kau mulai berani melawan Papa?! Kau ingin Papa mencabut hak bisnis restoranmu sekarang juga!?"

Gigi-gigi Louis saling bergemeletak menahan amarah. "Kenapa harus Julia yang Papa beri aset kekayaan?! Aku kan ada! Papa bisa memberiku semua perusahaan!"

"Diam! Kau tak perlu ikut campur! Keputusan Papa sudah mutlak!" Charlie langsung berdiri dan meninggalkan istri dan anaknya yang sedang mengepalkan tangan dengan kuat.

Louis bungkam, ia menatap sang papa dengan tatapan yang menusuk. Selalu, selalu saja Julia yang diutamakan. Selalu saja anak itu yang dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Padahal sudah 27 tahun berlalu, tetapi tak sekalipun orang tuanya benar-benar memperhatikannya. 

"Kenapa harus sampah itu yang kalian sayangi? Kenapa bukan aku saja?" Gumaman Louis terdengar oleh Meggan yang langsung mengomentari ucapannya. "Berhenti menghina adikmu, Louis," tegur Meggan dengan tegas. "Jangan terus melakukan sesuatu yang dapat merugikan keluarga kita. Ingat kelakuanmu saat remaja itu."

"Kami benar-benar kesulitan saat menghapuskan kotoran yang sudah kau buat waktu itu! Jangan lagi kau membuat malu keluarga ini! Dan hormatilah adikmu!"

"Aku tak pernah mempunyai adik sepertinya," balas Louis sengit, dengan raut wajah datar. Dia tak terima dengan kenyataan yang menyedihkan ini, di mana ibunya tak pernah sekalipun menyayanginya. Dari dulu, bahkan sekarang. 

Louis berdiri, memilih untuk tidak menggubris perkataan wanita yang telah melahirkannya. Hatinya sudah terlalu sakit mendapat perlakuan berbeda dari ayah sekaligus ibunya yang seharusnya mendukungnya sebagai anak pertama yang bisa dibanggakan oleh mereka.

Akan tetapi, kenyataan yang ia dapat adalah sebaliknya. Justru Julia sebagai anak kedualah yang didewakan oleh mereka. Louis lantas beranjak menghampiri tangga, menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Sorot matanya begitu kelam dan dingin, seolah dapat membekukan siapa saja yang kebetulan beradu tatap dengannya.

"Aku akan membalas setiap perbuatan Julia," bisik Louis kepada diri sendiri. "Dan mengenyahkan jalang itu untuk selamanya. Lihat saja."

Rongga dadanya sudah sangat sesak karena dipenuhi dengan kebencian yang teramat dalam kepada sang adik. Ini jelas bukan dosa, Louis hanya ingin menuntut haknya yang terampas selama hidup di dunia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status