"Halo semua, perkenalan dia adalah Javier. Mulai sekarang, dia akan membangun saluran Youtube ini bersamaku," ucap Jacob seraya melambaikan tangan ke arah kamera.
Pemuda yang duduk di sebelahnya ikut melambaikan tangan, dan berucap kepada warga internet, "Salam kenal, dan salam edukasi!"
Julia yang telah selesai mandi bergegas menonton siaran langsung dari sang kekasih, meskipun ia masih mengenakan gaun mandi. Gadis itu hanya terlalu senang saja ketika mendapat pemberitahuan yang masuk ke ponselnya sampai lupa jika ia belum memasang pakaian.
"Hmm, wajah mereka sedikit mirip," gumam Julia di sela-sela aktivitasnya menonton video, masih belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk. "Tapi kekasihku—Jacob jelas lebih tampan!" komentarnya lagi sambil terus menatap paras rupawan milik sang kekasih dengan tatapan memuja.
Rupa-rupanya, Julia sudah jatuh begitu dalam ke pesona yang dimiliki oleh seorang pria Leckner. Pria tampan beralis tebal dan rapi—terlihat seperti ulat bulu yang memiliki pesona yang tak bisa Julia elakkan begitu saja.
Gadis itu begitu fokus dengan percintaannya. Hingga tak mengetahui bahwa nyawanya kini sedang berada dalam bahaya, karena kedengkian yang dirasakan oleh sang kakak—Louis terhadapnya.
+++
Julia sedang menyiapkan dirinya untuk pergi ke acara kencannya yang kedua bersama Jacob. Meski sering bertatap muka di ponsel lewat panggilan video, tetap saja Julia merasa gugup saat harus memikirkan ia akan bertatap muka secara langsung dengan kekasihnya.
Untuk kencan keduanya itu, Julia memilih kaos berlengan pendek warna kuning dengan kerah berwarna merah tua. Tepat di tengah dada baju sang gadis, terdapat gambar bunga mawar yang sedang mekar. Ia padukan penampilannya itu dengan celana pendek jeans di atas lutut.
Sambil bersenandung riang, Julia membalas pesan kekasihnya dengan wajah berseri.
Rambut cokelatnya dibiarkan tergerai bebas begitu saja. Julia jera memakai tusuk rambut, mulai sekarang ia hanya akan membiarkan rambutnya tidak terikat seperti ini saja. Semua karena Jacob yang memujinya waktu itu, dan itu membuatnya senang sekali.
Gadis itu benar-benar telah berubah drastis semenjak mengenal ponsel yang membuatnya lupa waktu dan menemukan Jacob dengan siaran Youtubenya.
Tak ada lagi gadis Peterson yang gila belajar dan tak banyak bicara, kini yang tampil di muka publik hanyalah gadis manis yang sedang jatuh cinta. Julia kini begitu ceria dan energik.
Cinta dapat mengubah segalanya, termasuk dinding es yang telah dibangun tinggi-tinggi oleh seseorang. Dinding kebekuan hati, semua luluh dan berganti menjadi perasaan hangat yang menyenangkan.
+++
Jacob dan Julia memasang janji untuk bertemu di bioskop dekat stadion sepak bola di kota tempat tinggal mereka. Mereka berdua sepakat menonton salah satu film horor terbaru di sana yang akan tayang pukul 11 siang.
Baru kemudian, mereka akan singgah sebentar di taman Testa. Tempat di mana keduanya bertemu untuk pertama kalinya.
Julia benar-benar menunggu hari Minggu dengan perasaan yang berdebar-debar, dan rasa sukacita yang terus bergejolak di dada.
"Apa kau suka film tadi?" tanya Jacob seraya menyodorkan minuman kepada Julia yang dengan cepat mengambilnya. Gadis itu merasa haus sekali setelah berjam-jam duduk, dan hanya melihat layar lebar tanpa melakukan apa-apa selain menoleh beberapa kali ke arah sang kekasih.
"Hmm, jujur saja aku suka film tadi. Ceritanya menarik, dan menegangkan, tapi aku kurang suka dengan Blaire, dia terlalu jahat sebagai tokoh antagonis," jawab Julia. Ia lalu memiringkan sedikit tubuhnya agar bisa menghadap Jacob untuk bercerita. "Kau lihat sendiri kan tadi? Dia membunuh Gerald tanpa merasa bersalah."
Jacob bergumam pelan, lalu kemudian berkara, "Bukankah itu wajar? Gerald dulu pernah memperkosa dan membuat gadis itu menderita selama bertahun-tahun lamanya."
Julia tampak memikirkan ucapan Jacob selama sesaat, tetapi kemudian ia kembali bersuara, "Aku tahu itu, tapi tetap saja itu tidak adil untuk Gerald yang harus mati di tangan seorang gadis! Aku kesal melihatnyaa."
Jacob tertawa pelan, Julia begitu bersemangat saat bercerita. Apabila sang gadis sudah menceritakan sesuatu, dia akan menjadi gadis yang banyak bicara, sama seperti sekarang.
"Hmm ... apa kau tak kasihan pada Blaire?" tanya Jacob kepada Julia, mereka tengah membahas tentang tokoh utama di film yang sebelumnya mereka tonton.
Julia mengerucutkan bibirnya. "Tidak, dia jahat sekali," ucapnya dengan wajah kesal. "Kenapa menanyakan itu, Sayang?"
Jacob tersenyum samar, kemudian berkata, "Tidak apa-apa, hanya saja ... aku ingin mengatakan apa yang dilakukan oleh Blaire itu adalah tindakan wajar dalam balas dendam."
Jacob menatap ujung sepatunya, dan lanjut berkata, "Sebab, kehormatan dan kehidupan Blaire hancur karena ulah Gerald di masa lalu. Mungkin kau bisa mengerti penderitaan di mana ... wanita seperti Blaire, yaitu korban perkosaan akan selalu dianggap buruk dan dikucilkan oleh masyarakat."
Jacob lantas menengadahkan wajah, menatap langit sore dari bawah pohon yang rindang. Menerawang masa kecilnya sekitar sepuluh tahun yang lalu, waktu di mana saat itu adalah masa-masa terberat dan paling sulit dalam hidupnya sekeluarga.
"Padahal ... mereka semua adalah korban. Maksudku—wanita yang menjadi korban kekerasan dan perkosaan. Wanita-wanita itu diperlakukan dengan buruk, merekalah yang dirampas kebahagiaannya," ucap pria itu lagi sambil menatap kaleng minuman soda yang ada di tangan kanannya.
"Mereka sudah kehilangan harapan untuk mempertahankan hidupnya. Mereka tak lagi memiliki sesuatu yang berharga bagi seorang wanita, yaitu keperawanannya. Harta mereka dirampas lelaki tak bertanggung jawab, tetapi ... mengapa orang-orang malah mengecap mereka sebagai wanita rusak dan tak punya moral?"
"Aku sama sekali tak mengerti dengan stigma yang dimiliki oleh orang-orang itu."
Julia yang tak tahu harus bereaksi seperti apa hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Mendadak, ia merasakan sesak di dadanya saat membayangkan luka yang didapat oleh para wanita yang telah disetubuhi secara paksa.
Jelas, itu semua begitu memilukan. Sangat menyesakkan.
Walau pada mulanya, Julia hanya mengutarakan ketidaksukaannya terhadap salah satu pemeran utama dari film horor yang ia tonton tadi bersama sang kekasih, tetapi ternyata Jacob memikirkan hal lain sehingga kini ia terlihat begitu murung.
Jacob berbicara panjang lebar, bersikap terbuka dan mengerti hak-hak wanita. Itu jelas lebih tinggi dari Julia yang seenaknya mengomentari kisah hidup Blaire.
"Maafkan aku," sesal Julia dengan wajah sedih. "Aku tak tahu apa yang dirasakan oleh mereka yang menjadi korban."
"Dengan mudahnya aku menyebut Blaire itu jahat, sedangkan kita tahu jika dia ... adalah korban yang kejujurannya dianggap tabu oleh masyarakat luas."
"Benar, kejujuran mereka sebagai korban perkosaan adalah aib." Jacob lantas memalingkan wajah, menatap gadis yang telah menemaninya selama beberapa waktu ini dengan tatapan sendu.
Julia terlihat menahan tangis, pundak gadis itu bergetar pelan. "Maafkan aku, Julia. Aku hanya terbawa suasana," ucap Jacob seraya memeluk sang kekasih, merasa bersalah karena membuat hati sang gadis yang begitu rapuh menjadi teriris.
Julia mengangguk dalam pelukan hangat orang yang ia sayang, dengan perlahan ia membalas pelukan Jacob dan membenamkan wajahnya di dada bidang lelaki yang tubuhnya tertutupi kaos hitam.
"Juli," panggil Jacob lirih. Ia lalu mengangkat dagu kekasihnya dengan hati-hati. "Tatap aku."
Julia menengadahkan wajah, pipinya menghangat ketika telapak tangan sang kekasih mengusap wajahnya lembut. Saat netra keduanya bertemu, Jacob berbisik pelan, "Seandainya aku ... berada di kondisi di mana aku telah bersikap jauh di luar kebiasaanku yang kau ketahui."
"Entah apa pun itu, aku hanya memintamu untuk bersabar sedikit saja menyikapi kelakuanku itu, Julia."
"Jika aku memintamu pergi, maka jangan pernah sekalipun kau pergi dariku."
"Jika aku menyuruhmu menghilang, maka jangan pernah sedikit pun kau menjauh dan bersembunyi dariku."
"Cukup beri aku waktu, hingga aku dapat merenungi setiap perbuatanku itu dan meminta maaf langsung kepadamu. Mengerti?"
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Julia. Kata-kata Jacob begitu menyentuh hatinya. Tak mungkin Julia meninggalkan pria itu, ia sudah jatuh terlalu dalam. Ia sudah begitu mencintai Jacob.
"Aku mengerti," jawab Julia seraya meraih tangan Jacob, ia memandang tangan itu sejenak lalu mengecupnya pelan. "Jangan bersedih lagi, aku akan selalu bersamamu."
"Terima kasih." Jacob mengecup kening Julia, lalu kembali menatap sang kekasih. Kali ini lebih lama. Entah siapa yang memulai, ketika kedua mata mulai terpejam secara perlahan, dua buah bibir sudah bertemu satu sama lain.
Hanya menempel saja tanpa perlawanan, namun mengantarkan segala rasa yang dirasakan di hati pemiliknya masing-masing.
+++
"Ah, aku harus segera pulang." Julia memeriksa jam tangannya dengan perasaan gusar, Jacob lalu menyodorkan helm cadangan kepadanya—bermaksud mengantarkan gadis itu pulang, tetapi Julia langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Aku jalan kaki saja, bus terakhir sudah berangkat lima menit yang lalu," sahut Julia seolah sudah mengetahui pikiran sang kekasih, tetapi ia tidak ingin merepotkan Jacob. Ia akan pulang sendiri.
"Tapi—"
"Tak apa, Sayang. Lebih baik kau cepat pulang dan jaga rumah saja seperti pesan adikmu. Akhir-akhir ini dia sering keluar seperti katamu tadi kan?" Julia mengedipkan mata kanannya sambil tersenyum manis, berusaha meyakinkan Jacob bahwa ia baik-baik saja pulang sendirian ke rumah.
Jacob mengembuskan napas dari mulut secara perlahan, Julia memang keras kepala, tetapi ia tahu jika gadis itu hanya tidak ingin merepotkan seseorang—meskipun itu adalah kekasihnya sendiri.
"Baiklah, aku pulang dulu. Berhati-hatilah di jalan."
Julia tersenyum dan melambaikan tangannya kepada sang kekasih yang telah melesat pergi bersama motor besar miliknya. Gadis itu menahan napas sejenak sebelum tersenyum dengan lebar.
Ciuman pertamanya tadj dengan sang kekasih begitu mendebarkan. Ada rasa manis yang tak ia mengerti begitu bibir keduanya bertemu. Julia kemudian terkikik pelan sebelum melangkah lambat menuju jalan pulang ke rumahnya.
+++
Julia mengedarkan pandangannya ke sekitar, suasana di dekatnya seperti daerah yang ditinggalkan dan tak pernah terjemah oleh siapa pun. Begitu senyap dan sepi. Ada apakah gerangan? Tak biasanya daerah ramai berpenghuni padat seperti kota New York sepi.
Sama sekali tak terlihat ada pejalan kaki yang mau menemani langkahnya menuju jalan pulang, membuat Julia mengambil keputusan untuk melewati jalan pintas yang belum pernah ia lalui sebelumnya—guna mempersingkat waktu. Ia tak ingin orang tuanya khawatir.
Untuk menyingkirkan rasa sepi yang ia rasakan, Julia menyenandungkan sebuah lagu. Gadis itu menyanyikan lagu kebangsaan negaranya dengan perasaan yang riang gembira. Mengusir cemas yang sedikit melandanya.
Jujur, ini adalah pertama kalinya bagi Julia melewati gang sempit di daerah yang asing.
Gang itu adalah sebuah jalan kecil yang diapit oleh dua pabrik tembakau yang tak lagi digunakan. Bisa disebut sudah terbengkalai karena orang-orang zaman sekarang sudah banyak yang beralih ke rokok digital yang lebih mudah dan aman digunakan.
"Bibir Jacob tadi benar-benar ... manis." Julia kembali tersipu mengingatnya. Ciuman pertamanya diambil oleh pria yang ia cintai setulus hati. Tentu saja ia merasa sangat gembira. Ingin rasanya sang gadis mengulang ciuman manis itu.
Julia melangkah ringan, terkesan lambat. Sebelum masuk ke gang kecil itu, ia sama sekali tidak mengecek apakah ada orang lain di sekitarnya atau tidak. Ia hanya berjalan lurus saja.
Julia hanya melihat sekilas dan langsung mengambil jalan tersebut dan berharap tembusan jalannya akan sampai di lampu merah di ujung sana. Setahunya akan seperti itu.
Tap. Tap. Tap.
Terdengar bunyi langkah kaki yang menginjak genangan air menggunakan sepatu jenis bot. Julia pikir itu hanyalah orang biasa yang juga ingin pergi menuju jalan keluar bersamanya.
Gadis itu mengucap syukur sebab ada seseorang di dekatnya, ia jadi merasa aman.
Julia melirik sedikit, mencari sosok tersebut menggunakan ekor matanya. Jantungnya yang mulanya berdetak normal, mendadak berdegup kencang saat keisengannya mengambil potret secara diam-diam membuahkan sebuah fakta.
Sebuah foto terlampir di layar, dan itu diambilnya menggunakan kamera depan. Tak terlihat apa pun di sana, tetapi entah mengapa Julia tetap merasa takut. Seperti ada sesuatu atau seseorang yang mengikuti langkah kakinya dan itu membuat Julia merinding.
Julia spontan membalikkan badan dan menatap takut-takut. Ia lalu bertanya dengan lantang, setengah berteriak, "Siapa di sana?!"
Tak ada sahutan. Julia mengedarkan pandangannya lagi ke sekeliling gang, dan nihil. Hanya ada sepi di belakangnya, sama seperti yang terlihat di foto, tetapi anehnya Julia merasa yakin ada seseorang yang bersembunyi tak jauh di belakangnya. Gadis mengeratkan genggamannya pada tali tas, sambil meneguk saliva perlahan.
"Tenanglah, Julia. Kau hanya paranoid saja," bisiknya meyakinkan diri sendiri. Inilah akibat menonton film horor, ia jadi parno terhadap sesuatu yang tidak perlu. Mulai sekarang Julia akan menghindar dari menonton film yang hanya akan membuatnya seperti seorang penakut.
Ia lalu mengangguk pelan dan kembali melanjutkan perjalanan. Tanpa mengetahui ada sepasang bola mata yang mengintainya dalam gelap.
Julia kembali melirik ke belakang. Lagi-lagi ia merasa diikuti oleh seseorang.
Tidak, itu bukan sebuah perasaannya belaka.
Ia benar-benar diikuti seseorang.
Benar-benar ada yang mengikutinya sedari tadi, dan itu bukan sekadar paranoia.
Julia menggelengkan kepala, dan mencoba berpikir positif. Mungkin itu hanya orang yang sekadar lewat dengan tujuan yang sama dengannya. Ia berharap ini bukan ketakutan tak berdasar dari dalam hatinya saja.
Sosok yang mulanya berjalan sekitar 20 langkah dari Julia, mendadak semakin dekat saja dengannya. Julia tidak ingin berpikiran buruk dan menuduh yang tidak-tidak kepada orang yang mengenakan jaket bertudung di atas kepala. Akan tetapi sebenarnya, Julia merasa ada sedikit yang mengganjal pikirannya. Menurut Julia, penampilan orang itu memang terlihat sedikit aneh dan tidak cocok di pertengahan musim panas seperti sekarang. Mengapa ia harus memakai jaket tebal seperti itu? Julia tak mengetahui seperti apa wajah orang yang berjalan di belakangnya, sebab sosok misterius bertudung itu terus menundukkan kepala dan terlihat sangat menakutkan di mata gadis Peterson yang sedari tadi memperhatikan. Itu sikap yang wajar ditunjukkan olehnya. Ia hanya bersikap lebih berhati-hati saja, sebab ini adalah zaman di mana kejahatan merajalela. Terlebih lagi di zaman seperti inj, kita tak tahu apa yang orang lain pikirkan bukan? Entah itu baik atau buruk. Julia kembali melangkah dengan
"Hoi, Javier tidak belajar ya? Bukankah bulan depan dia ujian?" Javier yang baru saja datang dari minimarket dengan membawa empat botol soda di tangannya, langsung tertawa geli saat mendengar pertanyaan teman masa kecilnya—Mark. "Untuk apa belajar?" tukas Javier terdengar meremehkan. Mark seketika tergelak begitu mendengar ucapan sang sahabat, sedangkan Jacob hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya. "Belajar itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri saja," ucap Javier lagi seraya terkekeh geli, membuat Daniel yang duduk di sebelah Jacob memukul punggung lelaki itu sambil mengeluarkan gelak tawa yang keras. "Adikmu sudah gila rupanya. Hahahaha." Javier lantas memberikan minuman kepada masing-masing orang, lalu duduk sembari membuka minumannya. "Kudengar kau berhenti dari pekerjaanmu sekarang, kenapa?" tanya Javier tanpa menunjuk dan memandang siapa-siapa. Saat Javier sedang bersiap-siap meneguk sodanya, Mark melayangkan pertanyaan. "Kau bertanya kep
Julia yang sudah pulih dari ketakutannya yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan berlebih itu mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Gadis itu kembali masuk ke sekolah seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya, dan itu membuat Hana—sahabatnya—merasa sangat bahagia. Tentu saja, apa yang terjadi kepada Julia waktu itu memang sangat menakutkan, tetapi hidup harus terus berjalan. Tak sepantasnya rasa takut itu menjadikan segalanya bertambah semakin buruk dengan tak masuk ke sekolah selama berhari-hari."Julia, kau kemana saja beberapa hari ini?" tanya salah seorang gadis begitu Julia mendudukkan dirinya di atas sebuah kursi kelas. Disusul oleh pertanyaan serupa lainnya dari teman-teman sebaya."Julia, kau sakit?" tanya Melia. Yang disusul pertanyaan serupa dari kembarannya—Mesia. "Ya, kau terlihat pucat. Sakit apa kau, Julia?""Kenapa kau baru datang ke sekolah hari ini, Julia? Minggu depan kita kan sudah ujian," ucap Nancy."Iya! Tugas dan catatan kita ada banyak sekali! Untunglah, p
Julia memandangi kertas yang berada di dalam genggaman tangannya dengan saksama, gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas kusam bertinta emas. Julia lantas meniup debu yang mungkin saja menempel di kertas pudar tersebut, berharap tulisan di atasnya dapat terlihat dengan jelas. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi, tulisannya masih tetap tak terlihat dan itu membuat Julia sedikit merasa kesal. Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan kebersihannya hanya untuk mencari tahu asal usul dari benda yang membuatnya penasaran. Julia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa bertangan yang berwarna krim dan mendudukkan bokongnya di sana dengan nyaman. Sejenak, Julia meluruskan dulu kakinya yang dipaksa berdiri beberapa jam saat bersih-bersih tadi. Gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi d
Semenjak kejadian lucu di taman hiburan Gloove World dan kehangatan yang diberikan oleh Jacob berupa kecupan di kening dan bibirnya, Julia jadi sibuk mempersiapkan acara yang akan diselenggarakannya setelah pengumuman kelulusan. Acara itu rencananya akan berlangsung minggu depan, tetapi persiapannya sudah dimulai sejak sekarang. Gadis itu berniat mengundang seluruh teman-teman di sekolahnya dan juga teman-teman bermainnya sewaktu kecil. Pesta itu bertujuan agar tidak ada seorang pun temannya yang akan melupakan kebaikan gadis Peterson selama mengenal sang gadis. Perayaan ini jelas bukan keinginan Julia, mustahil gadis itu melakukannya. Semua ide pesta ini murni dari buah pikiran sang mama. Di sela-sela kegiatannya dalam mempersiapkan pesta, Julia terbayang wajah tampan kekasihnya—Jacob. Baru tiga hari berselang sejak keduanya berpisah dari taman hiburan, Julia sudah sangat merindukan pria berbibir penuh itu. Sepintas ide pun lewat di kepalanya, membuat sang gadi
Julia benar-benar telah melupakan kekecewaan yang ia rasakan kepada sang mama. Buktinya di pagi hari ini saja, gadis itu menyapa semua anggota keluarganya dengan riang gembira. Bahkan, gadis itu memberi kecupan singkat di pipi masing-masing anggota keluarganya. Meggan yang awalnya berpikir sang anak kesayangan masih marah terhadapnya dan akan kembali membahas masalah kemarin di meja makan, sedikit terkejut melihat keceriaan yang ditampakkan oleh Julia. Seolah tak pernah terjadi pertikaian di antara mereka sebelumnya. Charlie yang tak tahu mengapa Julia begitu bersemangat hari itu hanya tertawa. Julia begitu menggemaskan, seolah tak punya beban pikiran. Putri kecilnya memang sangatlah manis. Charlie bangga kepadanya. Berbeda dengan reaksi kedua orang tuanya terhadap kehangatan yang diberikan oleh Julia berupa kecupan singkat di pipi, Louis tampak risih dengan bekas bibir sang adik yang ada di pipi sebelah kanannya. Menurut Louis gadis berusia 18 tahun itu tak pantas bers
Jantung yang terus berdetak kencang mengantarkan perasaan aneh di dada Julia, napasnya menderu atas sebuah alasan yang tidak diketahui penyebabnya setelah mereka selesai menonton film. Ada rasa panas yang terus menggelayutinya, membuatnya bergejolak, penasaran. Bagian tubuh lainnya terasa panas, membuatnya duduk dengan gelisah. Gadis itu buru-buru menundukkan kepalanya dalam-dalam, menghindari tatapan mata sang kekasih yang akan semakin membuatnya berpikiran macam-macam. Mata cokelat gelap yang mampu membuat Julia tenggelam begitu dalam, dan sulit untuk kembali naik ke permukaan. Mata Jacob sungguh menghipnotis Julia! Kelopak matanya yang tidak sipit, dan tidak juga tebal terlihat pas dengan mata setajam elang. Alis ulat bulunya yang rapi, serta bulu mata yang panjang dan lebat. Semua membuat Julia luluh. Padahal dia sudah berguru kepada Hana! Agar tidak gugup di saat seperti ini. Ketika dia hanya berduaan saja dengan pria seksi yang tampan, tetapi apa mau dikata ... Ju
Kejadian yang menurut Julia begitu memalukan tersebut, agaknya membuat sang gadis menjadi sedikit pendiam ketika ditanya ada apa dengan sikapnya yang mendadak berubah siang hari itu. Jacob sendiri, sempat dibuat kebingungan saat ia menanyakan Julia ingin makan apa. Gadis itu hanya diam saja seraya mengetik sesuatu di ponselnya. Begitu selesai, sang gadis menunjukkannya kepada Jacob. Tulisan yang berbunyi, 'Aku tidak lapar' itu membuat Jacob batal membuatkan makanan istimewa untuk sang gadis. Ini semua terjadi setelah insiden di dalam kamar. Awalnya Jacob hanya berkeinginan untuk meminta sang kekasih untuk geser sedikit ke sebelah kiri, sebab gadis itu menghalangi pintu lemari pakaiannya dan Jacob jadi kesulitan mengambil baju dari lubang yang tercipta di depan lemari. Bahkan hingga kedatangan sang kekasih di rumahnya sekali pun, Jacob tak sempat memasang kaca untuk menutup lubang yang terletak di belakang Julia—pada saat kejadian di mana ia meminta sang gadis untuk ming