Share

07. Berkunjungnya Hana

    "Hoi, Javier tidak belajar ya? Bukankah bulan depan dia ujian?"

    Javier yang baru saja datang dari minimarket dengan membawa empat botol soda di tangannya, langsung tertawa geli saat mendengar pertanyaan teman masa kecilnya—Mark.

    "Untuk apa belajar?" tukas Javier terdengar meremehkan. Mark seketika tergelak begitu mendengar ucapan sang sahabat, sedangkan Jacob hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya.

    "Belajar itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri saja," ucap Javier lagi seraya terkekeh geli, membuat Daniel yang duduk di sebelah Jacob memukul punggung lelaki itu sambil mengeluarkan gelak tawa yang keras.

    "Adikmu sudah gila rupanya. Hahahaha."

    Javier lantas memberikan minuman kepada masing-masing orang, lalu duduk sembari membuka minumannya. "Kudengar kau berhenti dari pekerjaanmu sekarang, kenapa?" tanya Javier tanpa menunjuk dan memandang siapa-siapa.

    Saat Javier sedang bersiap-siap meneguk sodanya, Mark melayangkan pertanyaan. "Kau bertanya kepada siapa?" tanyanya sembari memainkan ponsel, membalas pesan dari gadis yang ia sukai selama belasan tahum lamanya.

    Adik kandungnya Jacob itu langsung menunjuk pemuda berambut pirang dengan bibirnya. "Hum, Daniel," jawabnya tak niat.

    "Oh, aku?" Daniel sontak menunjuk dirinya sendiri. Ia pikir Javier sedang bertanya kepada Mark. "Aku hanya merasa tidak cocok saja dengan lingkungannya. Juga tidak sesuai dengan hobiku yang ... yah, kalian bertiga tentu tahu apa yang kumaksud," jawabnya sambil tersenyum lebar.

    "Tapi, bukankah di sana penghasilanmu bagus?"

    Daniel langsung menggeleng saat mendengar pertanyaan Jacob, ia lalu berucap, "Tidak juga, hanya cukup membayar sewa apartemen selama tiga tahun, membeli sebuah motor dan membeli kebutuhan lainnya seperti perhiasan untuk kekasihku saja."

    Ucapan Daniel memang tersirat kesombongan di dalamnya. Ia kembali berkata, "Lagipula, buat apa bekerja di tempat yang membuatmu tak nyaman? Lebih baik aku mengundurkan diri daripada bekerja tidak dengan hati."

    Mark yang telah gagal delapan kali dalam mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan besar di kotanya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Daniel memang sombong, itu bukan rahasia umum lagi di perkumpulan mereka.

    "Jadi, kau mengundurkan diri? Bukan berhenti bekerja?" tanya Javier. Ia meremas kaleng sodanya yang telah habis sebelum melemparnya ke bak sampah.

    "NICE!" pekiknya begitu sampah yang ia lempar langsung masuk ke tempat tujuan. Jacob mendengkus geli melihat kelakuan adiknya.

    Daniel menggumam sesaat, lalu menggeleng. "Bukankah sama saja? Aku berhenti dari sana karena aku mengundurkan diri dari pekerjaan itu," jelasnya dengan ekspresi angkuh.

    "Jadi, sekarang kau tidak bekerja?" Jacob menaruh kaleng minumnya yang telah habis di atas meja, sembari menunggu Daniel menjawab pertanyaannya.

    "Tentu saja tidak! Lihat, aku bebas sekarang," ucap Daniel sebelum tertawa keras.

    Mark mendengkus, ia lalu membuang kaleng kosong ke sembarang tempat, tanpa memedulikan kebersihan lingkungan. "Kau seharusnya bertahan di sana. Kelak kau akan susah mendapatkan pekerjaan yang layak, apalagi di zaman seperti ini," ucapnya jujur.

    Daniel mencibir, "Bukankah itu kau?" Ucapannya yang sarkastis itu membuat Mark memberinya pelototan tajam.

    Jacob berdecak kesal ketika suasana di dekatnya mulai memanas. Padahal ia ke sini karena ingin mendinginkan kepalanya yang sibuk memikirkan keadaan sang kekasih.

    Masalah pekerjaan dan strata sosial memang masih menjadi momok menakutkan baginya, atau bahkan bagi siapa saja.

    "Sudahlah, lagipula kalian berdua itu sama-sama hebat di bidang masing-masing. Bagaimana jika kalian ikut bekerja denganku saja?" sergah Javier menengahi kedua sahabat karibnya.

    Javier memang mengenal Daniel dan Mark ketika masih anak-anak, jauh sebelum keluarganya hancur.

    "Pekerjaan seperti apa yang kau tawarkan?"

    "Iya, kerjanya seperti apa, Jav?"

    Javier terkekeh mendengar pertanyaan dari kedua temannya. "Pekerjaannya mudah saja, dan yang pasti ... pekerjaan yang kutawarkan kepada kalian ini cocok dengan hobi kalian yang sangat mendukung jalannya tugas penting kami."

    Wajah Mark langsung berseri-seri. "Hei, aku mau!" serunya gembira. Akhirnya dia akan mendapat pekerjaan.

    "Aku juga mau," jawab Daniel sambil mengangkat tangan. "Tapi aku tak mau dipasangkan dengan orang ini," ucapnya lagi seraya menunjuk Mark.

    "HEI!"

    Jacob melirik adik kesayangannya, Javier tengah tertawa lebar saat melihat adu mulut dari dua orang sahabatnya tentang kebersamaan mereka selama ini. Adiknya sudah dewasa, Javier telah memiliki pekerjaannya sendiri dan Jacob bangga padanya.

    "Aku senang kalian berdua bergabung bersamaku," ucap Javier setelah selesai tertawa. Perutnya sampai sakit. "Aku harap semuanya berjalan lancar sesuai instruksi. Kalian berdua tinggal menunggu dan membantu eksekusi saja. Mengerti?"

    Mark dan Daniel mengangguk serempak. "Mengerti!"

    "Bagus!" Javier terkekeh senang, anggota di organisasinya akan bertambah dua dan mereka adalah orang-orang hebat yang akan membantunya menyelesaikan pekerjaan.

    Javier lalu menolehkan kepalanya sedikit kepada Jacob yang tengah kedapatan memainkan ponsel. Ekspresi sang kakak terlihat tidak bersemangat.

    Javier sangat tahu alasan di balik murungnya sang kakak dan ia tidak suka dengan itu semua.

    Alangkah baiknya jika Jacob mengetahui kebenaran itu sekarang, daripada mengetahuinya di lain waktu, tetapi Javier enggan memberitahu.

    Pemuda dengan iris cokelat terang sudah memiliki rencananya sendiri.

+++

    "JULIAAA!"

    Hana langsung meloncat ke arah Julia begitu pintu kamar mandi terbuka, walaupun sang sahabat belum benar-benar keluar dari dalam sana.

    Ia memeluk sahabatnya dengan sangat erat, hingga membuat Julia yang berada dalam pelukannya melangkah keluar dengan langkah terseok-seok.

    Julia terbelalak begitu melihat sahabat pirangnya ada di rumah. Terlebih lagi di dalam kamarnya, dan mengapa harus di saat yang salah ketika ia baru saja selesai mandi?

    "Julia! Kau kemana saja tiga hari ini? Aku sangat mencemaskanmu," ucap Hana seraya melepas pelukan mereka. Ia menyadari jika Julia belum mengenakan pakaian dan baru sadar bahwa dialah yang menyebabkan itu semua karena datang secara mendadak.

    "Ah! Aku sampai tidak menyadarinya. Maaf! Ganti baju saja dulu. Aku akan menunggumu di sana."

    Julia hanya mengangguk ketika Hana melangkah menuju balkon kamar. Bergegas sang gadis Peterson mencari baju di lemari pakaian dan mengenakan baju yang paling nyaman menurutnya.

    "Maaf telah membuatmu khawatir, Hana." Julia yang telah selesai dengan aktivitasnya yaitu berpakaian, mendudukkan diri di sebelah sahabatnya yang sedang memandang langit biru yang berawan.

    Hana menoleh lalu menjawab dengan tenang, "Tak apa. Sebenarnya aku ke sini karena aku sangat khawatir padamu. Kau sama sekali tak ada memberikanku kabar dan ponselmu mati."

    Julia lantas menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jujur, ia merasa menyesal karena telah menutup diri dari orang-orang.

    Padahal mereka semua telah meluangkan waktu untuk memikirkan dan bertanya keadaannya, tetapi ia malah menutup dirinya seperti ini.

    "Maaf, maafkan aku," sesal Julia kemudian, ia menatap tangannya yang berada di atas paha. "A-aku hanya tak siap menghadapi dunia luar atas apa yang sudah terjadi kepadaku lusa kemarin. Benar-benar menakutkan."

    Hana tersenyum lalu memeluk sang sahabat dengan lembut. Tangis Julia runtuh seketika. "Menangislah jika kau membutuhkannya, karena tak selamanya luka di hatimu bisa terobati."

    Hana melepas pelukan mereka dan menyeka air mata Julia dengan ibu jarinya. "Kau tahu? Aku pernah mengalami hari paling buruk. Entah di sekolah atau di rumah. Tapi aku bisa melewatinya, Julia. Aku mengatasi ketakutanku."

    Julia menyeka air matanya. Sambil tersenyum, ia berkata, "Benarkah?" Pertanyaannya membuat Hana mengangguk pelan.

    "Ketika kau sudah cukup tenang dan siap, maka ceritakanlah padaku apa yang telah menimpamu, Julia."

    Tak selamanya sebuah rahasia disembunyikan, dan Julia memilih melawan getir yang melandanya. "Baiklah," bisiknya pelan.

    Julia menarik napas panjang, bersiap untuk memulai ceritanya. Ia lalu mengembuskannya dulu sebelum berterus terang kepada sang sahabat. "Waktu itu ... setelah pulang dari kencan keduaku bersama Jacob, aku melewati jalan pintas di sebuah gang sempit dekat pabrik bekas pengolah tembakau yang sudah lama terbengkalai."

    "Aku sedang berjalan santai dengan tenang karena aku sendirian saja di sana—mulanya aku berpikir seperti itu."

    "Tapi ternyata dugaanku salah."

    Hana mendengarkan cerita Julia dengan saksama, ia meraih tangan sang sahabat, bermaksud untuk menguatkan gadis yang telah menjadi temannya sejak belasan tahun yang lalu.

    Julia menatap Hana sesaat, lalu kembali melanjutkan ceritanya, "Aku saat itu tak tahu bahwa aku sedang diikuti oleh seseorang." Pernyataannya membuat Hana terbelalak. Mulanya gadis berambut pirang itu hendak menyela, tetapi ia urungkan setelah melihat wajah sang sahabat memucat.

    Hana menepuk bahu Julia beberapa kali. "Lanjutkan," ucapnya.

    Julia mengangguk. "Awalnya aku biasa saja, dan menganggap itu hanya paranoid yang kurasakan setelah menonton film horor. Jadi, kuteruskan perjalananku dengan langkah lambat."

    "Tapi kemudian ... aku yakin bahwa ada seseorang yang sedang membuntuti aku. Aku sempat panik dan takut, tapi lagi-lagi aku meyakinkan diriku bahwa itu semua hanya kecemasan tak berdasarku saja."

    "Hingga aku melihatnya."

    "Melihat apa?" sela Hana. Jujur, ia gemas ingin bertanya sejak tadi.

    "Aku melihat seorang pria dengan penampilan aneh," jawab Julia. "Dia mengenakan jaket dengan menutup kepalanya menggunakan tudung, lalu dia juga memakai topeng Joker yang menyeramkan."

    "Aku berusaha tenang dan berpikir positif, tetapi tetap saja aku dilanda kepanikan dan rasa takut. Hingga sosok itu menyapaku."

    "Kami berbicara. Dia meminta bantuan kepadaku. Aku awalnya tak tahu apa maksud dari ucapan dan tindakan anehnya, hingga dia mengeluarkan sebuah pisau besar yang biasa dipakai di rumah jagal."

    "Dan mengayunkannya padaku."

    Hana terbelalak, seolah ada adegan di film thriller yang bisa ia bayangkan sendiri. "La-lalu apa selanjutnya?" tanyanya.

    "Aku menghindar dan lari secepat mungkin dari sana dan berpikir dia tidak akan mengejarku, tetapi aku salah. Ternyata dia mengejar sembari beberapa lagi mengarahkan pisaunya itu kepadaku."

    Julia menutup wajah, ketakutannya kembali dan memaksanya untuk kembali menangis. "Aku sangat takut, hari itu sangat menakutkan, Hana," tutur sang gadis dengan suara bergetar.

    Hana bergegas membawa sahabatnya ke dalam dekapan hangat, ia lalu mengelus kepala Julia beberapa kali dengan lembut dan hati-hati, seolah Julia adalah kaca yang mudah pecah dan sangat rapuh.

    Gadis bersurai pirang itu lalu berkata, "Aku tak tahu apa pun perihal kebenaran, pun tidak ingin membenarkan apa yang aku tidak tahu." Hana lalu melepas pelukannya dan menepuk pelan puncak kepala Julia—layaknya kakak yang sangat peduli kepada adiknya.

    "Tapi aku yakin, ada hikmah di setiap kejadian dan aku yakin kau sudah mendapatkannya, Julia."

    Putri keluarga Peterson tak tahu harus menjawab apa, tetapi hatinya telah dipenuhi dengan rasa syukur karena telah diberkahi seorang sahabat yang sangat peduli dan menyayanginya—melebihi apa pun.

    Kedua sahabat karib itu pun kembali berpelukan dan menguatkan satu sama lain dalam keheningan yang menenangkan. Bukan dengan kata-kata belaka, melainkan kehadiran yang nyata. Sebab, seseorang hanya membutuhkan sandaran di kala rapuhnya jiwa.

    Di luar kamar anak gadis yang beraroma bunga mawar tersebut, berdiri seorang pria dengan bentuk tubuh sempurna dalam balutan kaos putihnya yang mencetak tiap-tiap otot yang menonjol.

    Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menyandarkan punggung tegapnya di permukaan pintu berwarna cokelat, tangannya disedekapkan di depan dada dan kakinya yang panjang sedikit tertekuk.

    Ekspresi yang ia perlihatkan begitu dingin, seolah tidak ingin terjangkau oleh siapa pun yang berada di dekatnya. Bersamaan dengan tajamnya mata bak pahatan seniman itu yang menatap lurus ke depan, ia menyunggingkan seulas senyum yang sangat tipis.

    Cerita penuh kesedihan sang adik begitu menggetarkan hati Louis yang mendengarkan dari balik pintu kamar, ia bahkan sudah menyiapkan beberapa lembar tisu jikalau air matanya tumpah secara tiba-tiba saat sedang sibuk mendengarkan.

    Sayangnya, itu hanya lakon semata yang ia buat. Louis tak mungkin menangis karena dialah yang membuat adiknya mengalami semua penderitaan itu.

    Louis puas, sebab rencananya berhasil. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status