Share

01. Awal Kisah

"HUWAAA! Papa! Tolong bangunlah, Papa!"

Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sedang menangis di sebelah peti mati papa-nya yang telah tiada. Air matanya mengalir dengan deras, raungan pilu dan isak tangisnya memenuhi suasana rumah duka yang mulai sepi dari para kerabat dan handai tolan yang datang melayat.

Jacob, kakak laki-lakinya Javier yang berdiri di samping anak yang sedang menangis histeris, turut menitikkan air matanya dalam diam. Air matanya jatuh, tanpa suara ia menitikkan air mata. Ia berusaha terlihat tegar di tengah lautan luka yang kini terpaksa mereka selami karena sebuah sebab yang tak mereka sangka sebelumnya.

Jacob pun menoleh dan memandangi adiknya dengan perasaan sesak. Adiknya Javier terus saja menangis meratapi kepergian orang yang sangat mereka sayangi dan mereka idolakan. Sosok yang dijadikan panutan oleh seluruh anak laki-laki di penjuru dunia, yaitu sosok seorang ayah.

Di usia yang tergolong masih belia, keduanya harus rela ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh sang ayah.

Kini, yang tersisa hanya ada dirinya, Javier dan juga ibu mereka. Anak berusia sepuluh tahun itu lalu memeluk Javier, sambil mencoba memberikan ketenangan kepada adiknya melalui kata-kata penyemangat yang juga ia tujukan kepada dirinya sendiri.

"Sudahlah ... berhentilah menangis, Javi," ucapnya menenangkan. "Kau tahu 'kan Papa tidak suka melihat anak laki-lakinya menangis? Jadi, tenanglah, kakak ada di sini bersamamu."

Isak tangis Javier bukannya berhenti, malah semakin menjadi. Dengan susah payah, ia menyahuti perkataan sang kakak, "Ta-tapi, Kak ... Papa kita sudah meningg—HUWAAA! PAPA! Huhuuu, jangan tinggalkan Javi, Pa!"

Jacob menghela napas pelan seraya menepuk-nepuk punggung adiknya dengan lembut. Ia juga tak menyangka jika papanya akan pergi secepat ini.

Selepas mengetahui kabar pilu yang menimpa Maria, istrinya, ibu dari Javier dan Jacob, papa mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung tiba-tiba saja kambuh penyakitnya. Mereka semua terlambat memanggil pertolongan, hingga pria malang itu mengembuskan napas terakhirnya tanpa sempat mengucapkan sesuatu kepada mereka semua.

Beberapa kerabat jauh yang baru saja datang, memperhatikan dua orang anak yang sedang menangis di sebelah peti mati ayah mereka dengan pandangan sinis. "Lihat dua anak itu, malang sekali nasibnya," komentar salah seorang di antara mereka, jelas sekali nadanya merendahkan. 

"Kau benar, saudariku. Aku dengar Hubert mati karena terkejut mendengar istrinya diperkosa dan anak orang kaya yang memperkosanya itu dibebaskan begitu saja oleh pihak kepolisian karena memiliki penjamin yang jelas punya banyak uang. Siapa yang tidak akan syok saat mendengarnya?"

"Ya. Aku juga sempat kaget saat mendengar bahwa anak-anak ini menyaksikan pemerkosaan itu secara langsung. Ck, ck, betapa bodohnya. Maria pasti tidak melawan karena dia menikmati sentuhan pria yang lebih muda darinya itu."

"Menyedihkan sekali, ya. Kudengar dia sekarang jadi gila dan tidak lagi mau menemui anak-anaknya. Mungkin itu hukuman tuhan atas tindakannya yang merayu seorang pria muda."

Jacob yang mendengar semua komentar miring penuh hinaan itu hanya bisa bungkam. Namun, ia mengepalkan kedua tangan sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Emosinya bergejolak di dada. Ia merasa marah, teramat marah.

Mengapa orang-orang tidak berempati sedikit pun kepada mereka? Mengapa orang-orang itu malah menyalahkan ibu mereka yang menjadi korban dari kegilaan inj? Mengapa malah menghina mereka yang baru saja menjadi anak yatim? Kenapa harus mereka yang mendapat perkataan rendah seperti itu?

"Ka-kakak ...." Javier mengerti cemoohan tersebut ditujukan kepada mereka, ia lalu mengeratkan pelukannya kepada sang kakak. "Kak ... apa kita menyedihkan?"

"Psst, tenanglah," bisik Jacob dengan lembut. Elusan lembut di punggung adiknya masih ia lakukan. "Cukup tutup telingamu, dan jadilah kuat sampai semua kepahitan hidup ini selesai. Kita berdua pasti bisa melewatinya, Adikku. Percayalah."

+++

"Terima kasih sudah menonton video ini sampai habis. Sampai jumpa di video kami selanjutnya!"

Begitu rekaman berakhir, Jacob pun melepas kostum karakter Line yang ia gunakan. Pemuda itu merapikan rambut hitamnya sejenak sebelum bertanya kepada sang adik, "Bagaimana hasilnya?"

Javier yang sedang mengecek handycam yang ia gunakan untuk merekam sang kakak, pun menjawab, "Bagus! Aku akan mengeditnya setelah ini. Kakak istirahat saja dulu!" jawabnya riang. 

Jacob merapikan peralatannya lalu menyimpannya kembali ke dalam laci. "Nanti saja, setelah ini aku akan membuat makan malam. Kau mau makan apa malam ini?" tanyanya kepada sang adik.

Javier yang sedang mengotak-atik kamera pun menoleh dan tersenyum lebar ke arah Jacob. "Terserah Kakak saja. Aku akan tetap memakannya selama itu adalah masakan yang Kakak buat," jawab Javier dengan lembut.

Jacob tertawa. 

Inilah kehidupan keluarga mereka sekarang. Hanya ada dirinya dan Javier. 

Sekarang, Jacob harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya itu dengan cara bekerja membuat video dan mengunggahnya ke Youtube. Penghasilan yang didapat olehnya kini, justru jauh lebih baik daripada pendapatan ketika ia bekerja paruh waktu di luar. Seperti yang pernah ia lakukan dulu.

"Jangan lupa belajar dan tetap ingatlah dengan tujuan kita, Javi."

Javier mengangguk singkat, begitu melihat kakaknya sudah mulai memberikan nasihat. "Tentu saja aku tidak akan pernah lupa, Kak. Tidak ada seorang pun yang akan dengan mudah melupakan luka masa lalu mereka. Benar begitu, bukan?"

Jacob tersenyum tipis. Adiknya sudah tumbuh semakin besar dan dewasa saja. Dan itu membuatnya bangga. Ia lalu kembali berkata, "Ya, Adikku. Apa pun itu, jadilah kuat dan balaslah perbuatan orang-orang yang telah merendahkan kita. Mengerti?"

"Kita buktikan, kita pasti bisa menjadi orang yang hebat."

Javier lantas memberi hormat kepada sang kakak. "Siap, Jenderal!" ucapnya patuh. "Kita akan membuktikan sampai membuat mereka tercengang dan heran!"

Keduanya lalu tertawa bersama dengan penuh suka cita. Sebab, mereka yakin bahwa hidup adalah tentang perjuangan, dan mereka kini sedang berjuang untuk terus melanjutkan hidup.

+++

Di sebuah rumah megah bercat abu-abu, tepatnya di kediaman keluarga Peterson. Mari kita menuju ruang makan keluarga mereka yang sedang dihuni oleh tiga orang anggota keluarga tersebut. 

"Louis, tolong bangunkan adikmu di dalam kamarnya. Hari ini Julia ada tes matematika di sekolah, dan dia tidak boleh terlambat," ucap seorang wanita yang telah memasuki usia paruh baya, tetapi masih memiliki paras yang cantik. Ia menoleh, menghadap kepada anak sulungnya.

Meggan yang sedang sibuk menata tempat-tempat bumbu, tidak bisa membangunkan putri kesayangannya sekarang. Oleh sebab itu, ia pun meminta Louis untuk membangunkan anak gadisnya.

Louis yang sedang menyeruput secangkir tehnya pun mengerutkan kening. "Aku tak mau, Ma. Dia bisa bangun sendiri," jawabnya sambil menaruh cangkir minuman di atas meja.

Charlie yang baru saja keluar dari dalam kamar, lantas menghampiri sang istri yang berdiri di dekat wastafel. "Tidak sarapan dulu?" tanya Meggan seraya memperbaiki dasi berwarna biru muda milik sang suami. Charlie melirik jam tangan di pergelangan lengan kirinya. "Sepertinya tidak bisa, Sayang. Tiga puluh menit lagi rapat perusahaan akan dimulai."

"Aku takut tidak sempat ke sana."

Merasa dasi panjang suaminya sudah rapi, Meggan lantas memundurkan tubuhnya sedikit. Lalu memandang wajah tampan suaminya dengan penuh kasih. "Benarkah? Baiklah, tapi tunggu sebentar. Aku akan menyiapkanmu bekal, sehingga kau bisa memakannya di kantor."

Charlie hanya mengangguk, sambil kembali memeriksa jam di tangan. Ia pun bergerak menghampiri anak sulungnya, lalu bertanya sembari meraih segelas kopi yang sudah tersedia di meja, "Bagaimana kabar bisnis restoranmu, Nak?"

Louis melirik papanya sekilas, lalu menjawab dengan nada yang sedikit enggan, "Cukup baik, Pa. Semua berjalan lancar di bawah kendaliku. Hanya saja ...."

"Hanya saja apa?" tanya Charlie. "Kau tak mendapat kesulitan apa pun, bukan?"

Tak beberapa lama kemudian, Meggan datang dan memberikan sebuah kotak bekal berukuran sedang berwarna cokelat terang kepada sang suami. "Ini, Sayang," ucapnya kepada Charlie.

Louis menghela napas panjang. "Hanya saja aku ingin memimpin perusahaan dan menjadi CEO sama seperti Papa," ungkap Louis penuh harap. "Aku tak ingin menjadi pemilik rumah makan. Aku ingin jadi seorang pebisnis seperti Papa...."

Louis sibuk mengungkap isi hatinya, sedangkan sang papa sibuk memandangi wajah Meggan. "Terima kasih, Sayang," ucap Charlie. Ia lantas menarik pinggang Meggan, dan membawanya ke dalam pelukan yang begitu mesra. Mereka berciuman dengan panas, hingga terdengar suara decapan yang sedikit mengganggu.

Mereka sibuk memadu kasih hingga mengabaikan anak sulungnya yang menyaksikan perbuatan mereka.

Louis seketika merotasikan mata, geli melihat kelakuan kedua orang tuanya yang terlihat seperti sepasang anak remaja yang tengah dimabuk cinta. "Aku akan membangunkan Julia," ucapnya datar sambil berlalu, meninggalkan Charlie yang baru saja melepas ciumannya dengan Meggan.

"Nanti antarkan Julia ke sekolah!" teriak Meggan sebelum anaknya menaiki tangga. 

Louis dengan cepat menjawab, "Tidak!" Lelaki itu lalu bergegas menaiki anak tangga.

"Ck, anak itu benar-benar!" geram Charlie bersungut-sungut. 

"Sudahlah, Sayang. Bukankah Louis memang seperti itu sejak dulu?" Meggan berusaha menenangkan. 

Charlie lalu merapikan dasinya sekali lagi. Ekspresinya terlihat tidak suka. Ada kekesalan yang dirasakan olehnya. "Ya, kau benar, Istriku," sahutnya dingin. "Setidaknya keputusanku saat itu sudah tepat."

+++

Louis menaiki anak tangga menuju lantai dua dengan ekspresi wajah terlampau dingin. Bahkan seperti orang yang tak punya hati sama sekali. Orang tuanya memang tidak pernah menyayanginya. Orang tuanya memang tidak pernah suka dengan kehadirannya di rumah itu. Padahal, dua minggu itu adalah waktu liburnya dari pekerjaan yang memuakkan.

Bisnis makanan sangat tidak cocok dengan kepribadian Louis yang pada dasarnya menginginkan sesuatu yang lebih. 

Dia ingin mempunyai perusahaan atas namanya sendiri. Menjadi pendiri dari perusahaan besar. Kekesalan pria itu pun memuncak saat dirinya lagi-lagi diabaikan oleh sang papa setiap kali membahas tentang masalah perusahaan.

Langkah kaki panjang milik pria yang telah memasuki usia matang tersebut pun berhenti di depan pintu kayu bercat cokelat tua. Di depan pintu itu, tergantung hiasan kayu berbentuk pohon kelapa berukir nama seseorang.

Louis ingat betul gantungan itu adalah buah tangan dari ayahnya untuk Julia yang ia beli dari sebuah pulau tropis di Asia Tenggara. Kalau ia tidak salah ingat, Charlie membelinya di Borneo.

Berbeda dengannya, orang tuanya begitu menganakemaskan gadis yang ada di kamar ini. Semua keputusan di keluarga mereka, harus diambil berdasarkan rundingan dengan sang anak perempuan. Louis merasa, anak itu telah merampas semua haknya.

"Ck, apa bagusnya benda ini," gerutu Louis ketika meraba gantungan pintu di depannya. Ia lalu masuk ke dalam kamar dan melangkah menuju jendela yang masih tertutup gorden.

"Julia, bangunlah!" Louis yang telah selesai membuka jendela, lantas mendekati ranjang adiknya lalu mengguncang tubuh Julia dengan kencang. Tak ada cara yang paling efektif membangunkan seseorang selain menyiram dengan air, atau mengguncang tubuh sang pemimpi. 

"Hei, kau hari ini ada tes di sekolah, bukan? Cepatlah bangun ...."

"Hmm." Julia yang sudah bangun dari tidurnya, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya masih setengah terpejam, dan rambutnya terlihat berantakan. Khas orang yang baru bangun tidur. "Hmm, ya, baiklah, aku mandi dulu," ucapnya dengan suara serak kepada sang kakak.

"Cepatlah turun, lalu sarapan." Louis kemudian beranjak keluar dari kamar adiknya untuk memberikan privasi. Menutup pintu rapat-rapat, lalu meninggalkan ruangan tanpa suara. Ia sangat memaklumi sifat dingin Julia yang tidak banyak bicara itu. 

    Sifat yang sama dengannya, dan Louis pun tertawa lucu. 

+++

"Kak Louis," panggil Julia kepada kakak laki-lakinya. Saat itu, mereka sedang dalam perjalanan pergi ke sekolah. Louis yang sedang fokus menyetir tak melirik sedikit pun ke arahnya, tetapi lelaki itu tetap menyahuti panggilan dari sang adik, "Hmm, ada apa?" tanyanya datar. 

Louis memelankan laju kendaraannya ketika sudah hampir sampai di tujuan mereka, sekolah Julia. Mobil hitam keluaran terbaru miliknya pun berhenti tepat di depan gerbang besarnya gedung sekolah Julia.

Sang gadis memandang kerumunan siswi yang kebetulan lewat dari jendela mobil yang setengah terbuka, ekspresi wajahnya datar ketika melihat anak-anak itu. "Kakak tak perlu repot-repot menjemputku nanti," ucap Julia dingin seraya melepas sabuk pengaman. Terlalu dingin untuk seorang adik yang baru saja diantar oleh kakaknya. "Aku pulang bersama Hana."

Louis berdeham pelan, tenggorokannya sedikit gatal dan bibirnya pun terasa kering. Cuaca di kotanya memang sedang kurang bagus akhir-akhir ini, membuat siapa saja akan terserang flu dan pilek. Setelah ini, Louis akan pergi ke apotek langganannya untuk membeli obat. 

Ia lalu melirik Julia yang memasang ekspresi datar. Sifat masa bodoh gadis itu kembali terlihat.

"Kau yakin? Kakak akan tetap menjemputmu setelah pulang sekolah, dan menunggumu di tempat ini," ucapnya sekadar basa-basi. Memangnya, dia mau? 

Sejujurnya, Louis pun tak berniat menjemput sang adik. Mengantar adiknya pergi ke sekolah seperti yang ia lakukan saat ini pun, semata-mata hanya karena perintah ibunya saja. Tak berarti ia melakukan ini semua karena merasa khawatir terhadap keselamatan adiknya.

Julia yang mendengar ucapan Louis langsung menoleh dengan cepat ke pria berkumis tipis yang duduk di kursi pengemudi. Ekspresinya terlihat tak ingin dibantah. "Aku bilang tidak mau, artinya tidak, Kak!" Selepas menaikkan sedikit intonasi suaranya, Julia lalu keluar dari dalam mobil tanpa perasaan bersalah.

Pintu dibantingnya dengan keras, membuat siswi-siswi yang kebetulan melewati mobil BMW hitam anak keluarga Peterson memandang sang gadis dengan tatapan heran. Namun, Julia mengabaikan semua tatapan penuh pertanyaan itu. Ia sama sekali tidak peduli jika menjadi topik pembicaraan di kalangan para siswi di sekolahnya.

"Sikap gadis itu keterlaluan sekali!" komentar Louis seraya menatap punggung sang adik yang mulai menjauh dari jangkauan mata. "Pantas saja dia itu—ah, sudahlah."

Louis lalu menginjak pedal gas mobilnya secara perlahan, lantas pergi meninggalkan kawasan sekolah khusus perempuan di mana adik kecilnya bersekolah dengan perasaan kesal yang menyesaki dada. Sungguh, Julia adalah gadis yang menyebalkan. 

Louis pun bersumpah dalam hati, tidak akan mau mengantar Julia ke sekolah lagi. Meski disuruh sekalipun, dia tidak akan mengiyakannya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Psychopath Tender
Sabar dapat menyembuhkan segala luka yang ada~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status