"Hai, Julia! Selamat pagi!"
Gadis riang bermata biru dengan cepat menarik kursi kosong di sebelah gadis yang sedang fokus membaca sebuah buku tebal. Gadis yang bernama Hana itu lalu memajukan bibirnya sedikit, dia merasa kesal karena diabaikan keberadaannya oleh sang sahabat.
Ia lalu mendekati Julia dan berbicara tepat di depan telinga gadis itu. Atau lebih tepatnya, gadis itu berteriak kencang. "SELAMAT PAGI, JULIAAA!"
Suara nyaring di dekat telinga kanannya itu, benar-benar menganggu konsentrasi gadis bersurai cokelat panjang yang sedang sibuk membaca. Ia lalu menggebrak meja sedikit menggunakan salah satu tangannya yang tidak memegang buku. "Berisik, Hana!" bentaknya kepada gadis pirang yang hanya terkekeh saja saat melihatnya marah.
"Hei, tenanglah." Hana tertawa pelan, lalu berkata, "Tidak perlu pusing memikirkan tes Matematika nanti. Tesnya 'kan ditunda sampai minggu depan!"
Julia mendengkus pelan, dan membenarkan kembali gaya duduknya—mencari posisi yang nyaman. Gadis itu lalu kembali berkutat dengan buku pelajaran yang sempat ia abaikan karena terusik dengan perbuatan sahabatnya. Meskipun telah diberitahu oleh Hana bahwa tes yang ia tunggu-tunggu sejak pekan lalu, ditunda. Akan tetapi, ia harus tetap belajar.
Siapa tahu nanti akan ada tes mendadak?
Hana balas menggebrak meja. Cukup pelan, tapi menarik perhatian. "Kau ini selalu saja belajar, ya, Julia! Sesekali main handphone lah, seperti aku, agar kau tidak ketinggalan informasi di masa kini!"
Ucapan Hana yang terkesan menyombongkan diri itu tak membuat Julia melirik sedikit pun ke arahnya. Masa remaja anak itu sepertinya baru saja datang. "Tidak boleh memainkan benda seperti itu di sekolah," jawabnya datar. "Simpan kembali ponselmu."
Gadis bermarga keluarga Peterson itu hanya memfokuskan pandangannya ke buku tebal yang sedang ia pelajari untuk tes yang mungkin saja akan dilaksanakan gurunya secara mendadak. Dan dia bukan tipe seorang pelajar yang suka melanggar peraturan sekolah.
"Tak ada larangan seperti itu di sini, Julia!" teriak Hana. Julia kembali tak merespons ucapannya, gadis itu sama sekali tak memperhatikan. Melirik saja tidak.
Hana terlihat kesal, tetapi sesaat kemudian ia tersenyum lebar. "Hei, Julia," panggil Hana, ia lalu diam sebentar ketika Julia lagi-lagi mengabaikannya. Dan secara tiba-tiba, sepintas ide hebat pun lewat di kepalanya. "Oh, tunggu! Aku punya sesuatu yang menarik, Julia. Coba kamu lihat kemari!"
Hana tersenyum lebar saat melihat Julia memandang ke arahnya. Dia sangat tahu bahwa Julia adalah tipe orang yang mudah terpengaruh dan sekali masuk ke dunia yang disukai, maka dia tak akan mudah melepaskannya.
Julia menghela napas, lalu kembali fokus ke buku. Dia merasa tak tertarik sama sekali, ia justru membalik lembar buku yang ia baca. "Tidak," jawabnya singkat dan padat.
"Oh! Ayolah, Julia! Ayo kita berfoto berdua!" Hana menarik lengan Julia beberapa kali. "Ayolah!" rengek Hana sekali lagi seraya memasang ekspresi yang memelas. "Foto bersamaku!"
Hana berusaha keras menarik Julia masuk ke peradaban. Selama ini, gadis itu bersikap kuno sekali. Kenapa baca buku? Sekarang ada novel yang bisa dibaca daring! Hana kembali merengek. "Kumohon, Julia ... sekali ini saja."
"Hhh." Julia menghela napas panjang. Hatinya luluh juga saat sang sahabat terlihat meminta belas kasihan darinya. "Baiklah," ucap Julia pada akhirnya. Gadis itu memang tidak suka melihat kemurungan orang lain. "Tapi setelah ini, jangan ganggu aku belajar ya," pesannya kepada sang sahabat.
Hana bersorak gembira ketika Julia mendekatkan meja mereka. Lalu gadis itu menyimpan semua buku pelajarannya ke dalam laci, dan kemudian melirik Hana sekilas. Ia pun langsung bergidik seram saat menyadari ekspresi sahabatnya.
Hana sedang melihatnya tanpa berkedip sama sekali.
"Hei, berhenti menatapku seperti itu!" tegas Julia dengan ekspresi kesal.
Hana hanya tertawa saja melihatnya. Jujur, ia ingin sekali melihat Julia menjadi gadis yang ceria sama sepertinya. Akan tetapi, Hana tak tahu bagaimana cara untuk meruntuhkan dinding es yang selama ini melekat pada sang gadis.
"Eh, ayo, kita nonton Youtube!" ajak Hana sambil membuka aplikasi berwarna merah di ponselnya.
Julia mengernyit kebingungan. "Hm? Apa itu?" tanyanya lugu. Hana tampak syok melihat reaksi Julia, sedangkan yang ditatap dengan pandangan terkejut hanya mengedipkan matanya beberapa kali. "Kenapa?" tanya sang gadis Peterson, bingung.
"Julia, kau itu punya ponsel, kan?" tanya Hana, masih dengan keterkejutannya. Julia mengangguk singkat dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Ini, kan?"
Hana tak mampu berkata-kata selama beberapa saat. "Bukan main," gumamnya takjub setelah sadar dari lamunan. "Di zaman sekarang, kau masih pakai ponsel tekan seperti ini?!"
Julia semakin mengerutkan keningnya, merasa jengkel dengan ucapan sang sahabat yang terkesan meremehkan. "Memangnya kenapa? Ponsel jenis ini tahan lama, awet baterai serta mudah digunakan kapan saja."
"Ya, itu benar. Tapi ini sudah sangat ketinggalan zaman, Julia!" Hana tak habis pikir, mengapa anak orang kaya seperti Julia memiliki ponsel keluaran lama yang tidak banyak lagi orang-orang mau memakainya? Julia sepertinya tak punya selera yang bagus. Hana turut prihatin untuknya.
"Coba nanti kau minta sama Papa dan Mamamu untuk membelikanmu ponsel seperti ini!" Hana menunjukkan kecanggihan ponsel yang ia miliki. "Lihat! Dia bisa mengenali wajah kita sekali kita arahkan ke depan! Hebat sekali, bukan?"
Julia hanya tersenyum menyaksikan antusiasme Hana terhadap media komunikasi zaman sekarang. Memang, semakin berkembangnya zaman, maka akan semakin maju pulalah teknologi yang mengikutinya. Hanya saja, Julia pikir semua itu harus diiringi dengan kebijaksanaan dari masing-masing pengguna.
Melihat tingkah Hana, Julia pun beranggapan bahwa itu adalah dampak kecanduan dari benda berbentuk persegi ini.
"Julia, coba lihat video yang ini." Hana menunjukkan sebuah video yang menayangkan langkah-langkah membuka tutup botol. Tayangan tak berfaedah, tetapi memiliki banyak sekali yang melihatnya?
"Aku tak mau," jawab Julia cepat. Video macam apa itu? Membuatnya tak suka saja saat membaca judulnya.
"Eh, coba lihat yang ini, lucu sekali dia."
Julia lagi-lagi menggeleng, dan berucap, "Aku tidak suka melihatnya, Hana. Jauhkan ponselmu sejauh mungkin dariku. Semuanya hanya video-video aneh...."
Sahabat pirangnya tak mengindahkan, dan terus saja menyodorkan konten-konten video yang kurang bermanfaat untuk Julia. Sebenarnya, Julia merasa risih saat tahu Hana sibuk menonton video tentang orang-orang yang melakukan hal aneh, dan juga yang suka merugikan orang lain.
"Apa tujuan mereka berbuat seperti itu?" tanyanya penasaran. Hana yang tertawa terbahak-bahak pun menoleh ke arahnya. "Apa? Kau tak merasa lucu dengan ini? Hei, Juli! Mereka ini sedang melakukan prank! Konyol sekali, bukan? Hihihi."
"Berhentilah menonton itu." Julia langsung merebut ponsel Hana dan mengganti video yang sahabatnya tonton dengan sebuah video tutorial. Cara membuat nasi goreng dan telur gulung. "Sebaiknya kau menonton yang seperti ini saja."
Julia lalu menatap tajam sahabatnya. "Lain kali, carilah video yang lebih bermanfaat di sini. Pasti ada, kan?"
Jujur, dia tidak ingin Hana berubah semakin jauh. Akhir-akhir ini, gadis itu memang sudah merasa ada yang berbeda dengan Hana. Lalu, setelah memiliki ponsel baru yang canggih, gadis itu semakin menjadi-jadi saja.
"Ya, ya, baiklah. Aku akan berhenti menontonnya dulu." Hana terlihat kesal, tetapi setidaknya gadis itu masih mendengarkan ucapan Julia. Setelah pulang sekolah, dia akan mengunduh semua video yang ada di channel itu. Lihat saja!
Julia terlihat menimbang-nimbang sebentar. "Sepertinya ... aku juga akan membeli ponsel baru." Ucapan Julia mendapat respons positif dari sang sahabat. "Sungguh? Benarkah?! Yes, baguslah! Jangan lupa, kau harus punya aplikasi Youtube di ponselmu, ya!" ucap Hana kegirangan.
Julia tersenyum tipis, sahabatnya ini benar-benar gadis yang sangat menyenangkan. Ingin rasanya Julia seperti itu, tapi, apakah dia bisa seceria Hana nanti?
Mengingat selama ini, ada dinding es yang memenjarakannya?
+++
Julia berhasil membujuk sang mama untuk membelikannya ponsel pintar terbaru. Ini semua karena ulah Hana yang terus merecokinya dengan kecanggihan benda pipih dan menyala yang kini berada di genggaman tangannya.
Dengan perasaan senang—walau tak terlalu diperlihatkan, Julia pun disibukkan dengan kegiatannya dalam memilih konten-konten video di Youtube yang dirasanya menarik untuk ia tonton. Gadis itu sudah belajar cara memakai ponsel dari Hana yang sudah kecanduan dengan benda itu.
Julia terus menjelajahi aplikasi berwarna merah tersebut sambil menyenandungkan sebuah lagu dengan lirik yang kurang tepat. Hingga dia menemukan sebuah saluran di sana—Badbuddy. Tak ada yang istimewa dari Youtuber yang mengenakan kostum Brown—salah satu karakter dari media sosial Line yang membacakan komentar di videonya pekan lalu.
Penasaran, akhirnya Julia menonton salah satu video yang ada di sana. Videonya sederhana, konten yang tidak menganggu dan tentu saja tak aneh bagi Julia yang memang tidak suka sesuatu yang mencolok. Hanya sebuah saluran kecil yang memberikan edukasi melalui tayangan video yang disampaikan langsung oleh Badbuddy layaknya guru di sekolah.
Menurut Julia, setiap videonya lucu dan beda dari saluran lain yang pernah ia temukan. Suara penyampai materinya pun terdengar merdu di telinga Julia yang baru kali ini menghabiskan waktunya untuk menonton video di internet daripada belajar seharian. Sampai kemudian, Julia mengomentari salah satu video yang paling ia suka sejauh ini.
"Ah, ternyata dia membalas komentarku cepat juga...." Julia tak bisa melakukan apa-apa selain terperangah saat komentarnya dibalas dengan cepat oleh pemilik saluran Youtube tersebut. Akan tetapi, dia merasa sangat senang saat mendapatkannya.
Tak terasa, perubahan pun mulai terjadi kepada Julia. Alih-alih membuka buku, ia malah menonton video, siang dan malam. Gadis itu menonton semua video yang ada di aplikasi penyedia video terbanyak di dunia tanpa kenal waktu. Julia juga mulai terbiasa memberikan komentar di setiap video dan Badbuddy selalu membalas komentarnya dengan ramah.
Julia senang. Ini pertama kali baginya berinteraksi dengan seseorang di dunia maya.
Di salah satu video terbarunya, Badbuddy melepas kostum. Julia begitu terkejut saat melihat Youtuber tersebut memperlihatkan wajah aslinya. Tak disangka, ternyata Youtuber yang ia gemari selama sebulan terakhir adalah lelaki tampan yang memiliki mata berwarna cokelat gelap yang menawan. Julia sampai terpana ketika menyaksikannya.
Hana yang senang dengan perubahan Julia, mengajarinya memakai media sosial seperti Instagram dan juga Facebook. Gadis bermarga Smith itu turut berbahagia dengan sifat Julia yang tak lagi dingin padanya.
Julia kini sering membicarakan banyak hal—terutama tentang ketertarikannya kepada Badbuddy. Hana setuju dengannya. Selera mereka berdua tak pernah salah.
"Aku jadi ingin tahu dengan kehidupan pribadinya, Hana," komentar Julia di suatu pagi. Hana tertawa geli melihat sahabatnya terlihat begitu murung. Julia benar-benar kecanduan teknologi berkat dirinya.
"Kau tergila-gila dengan Badbuddy rupanya. Mengapa tidak mencari tahu saja, media sosial pribadinya? Kau punya instagram, bukan?" Pertanyaan Hana mendapat gelengan dari Julia. "Aku tetap tak bisa menemukannya, Hana," sahut Julia tak bertenaga.
"Hmm, tanya saja padanya di Youtube! Jangan membuat beban pikiran untuk hal sepele seperti itu, Julia."
Akhirnya, Julia memberanikan diri untuk bertanya kepada Badbuddy agar pria itu mau memberi tahukannya akun media sosial apa saja yang ia punya.
"Tentu saja bisa. Ini akun Instagram milikku, j.lcker_"
Bukan main girangnya Julia. Hana sampai tertawa melihat reaksi putri kesayangan dari pengusaha Peterson itu. "Semoga berhasil, Julia Sayang," ucap Hana kepada sang sahabat. Kebahagiaan Julia adalah yang terpenting baginya.
Julia dan Badbuddy lalu saling mengobrol di Instagram, siang dan malam. Gadis itu pun akhirnya mengetahui nama asli dari Youtuber kesukaannya. Namanya Jacob Leckner. Nama yang indah, pikirnya.
Sampai suatu hari, Julia yang benar-benar ingin dekat dengan idolanya meminta nomor ponsel Jacob. Gadis itu bahkan mengabaikan dinding kebekuan yang selama ini ia bangun tinggi-tinggi, hanya untuk sekadar berbicara banyak hal dengan pria itu.
Semakin lama, hubungan mereka berdua semakin dekat. Julia merasa nyaman dengan pria yang lebih tua dua tahun darinya itu. Perasaannya selalu berbunga-bunga setiap Jacob membalas pesannya dengan kata-kata yang manis. Julia tak mengerti dengan apa yang sedang ia rasakan, seperti ada bermacam perasaan yang bercampur jadi satu.
Seolah-olah, semua perasaan itu sedang memenuhi rongga dadanya. Itu sensasi yang aneh.
Perubahan Julia membuat teman-temannya mendukung usahanya dalam mendekati Jacob. Julia memang mengakui bahwa dia mulai menyukai pria Leckner yang terlihat begitu memikat dengan pesonanya itu. Mereka sangat mendukung gadis Peterson yang belum pernah jatuh cinta. Tak ada yang salah dengan perempuan yang menyatakan perasaan lebih dulu, bukan?
"Ajak saja dia bertemu, Julia," usul Fani, gadis berkucir dua kepada Julia yang sedang fokus memandang ponsel di tangannya. Julia menoleh. "Aku tak berani mengatakannya ...."
Teman-teman sang gadis bersurai cokelat sepinggang merasa gemas. Julia yang sedang jatuh cinta memang agak lucu. Mungkin karena mereka belum terbiasa saja. "Coba sini, pinjam ponselmu," ucap Viola seraya mengambil ponsel Julia secara tiba-tiba.
"Ah, apa yang kalian lakukan!" seru Julia panik. Hana dengan sigap menahan Julia sambil tertawa pelan.
"Mengajak kekasihmu bertemu. Apa lagi?" Ucapan Fani langsung membuat wajah Julia merah padam. Dalam hati, ia mengaminkan ucapan temannya itu.
"Nah, selesai!" Vio mengembalikan ponsel berwarna merah kepada sang pemilik. "Semoga beruntung, Julia!"
Julia tersenyum lebar, sambil mendekap ponselnya, ia berkata, "Terima kasih banyak, teman-teman." Sungguh, ia tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Jacob.
Julia kembali mematut penampilannya di depan cermin. Berkat saran dari Hana dan juga usulan dari Fani dan Viola yang bersikukuh ingin melihat Julia mempunyai seorang kekasih, maka seperti inilah penampilannya sekarang. Untuk pertama kalinya, bagi sang gadis Peterson, ia memakai riasan di wajah dan juga mengenakan gaun pendek selutut. Jujur saja, Julia belum pernah memakai gaun sependek itu. Dia hanya pernah memakai gaun panjang, dan itu pun hanya dipakainya sebanyak dua kalian saja. Gaun yang dipakainya saat ini pun, adalah hasil pencarian di mall yang dilakukannya bersama sang sahabat. Pun dengan peralatan make up yang baru kali pertama ini, dia membelinya. Hana sampai keheranan, sebab Julia terus bertanya mengenai cara memakai berbagai alat hias wajah itu. Pada akhirnya, setelah diajarkan cara menggunakan make up dasar, Julia pun telah siap untuk pergi berkencan bersama cinta pertamanya. Sebuah penantian yang sangat mendebarkan. Julia berputar sekali di depan cermi
Julia turun dari motor besar milik Jacob dengan hati-hati. Pertama kali baginya naik ke boncengan motor seseorang. "Terima kasih banyak untuk hari ini," ucap sang gadis sambil tersenyum begitu kakinya sudah berpijak di tanah. Jacob melepas helmnya, hanya untuk menatap wajah bersemu Julia yang terlihat begitu menggemaskan, ia tertawa. "Sama-sama," ucapnya seraya menatap sang gadis. Ia menaruh helmnya dengan posisi yang kurang tepat. Julia tersenyum, tetapi begitu melihat helm sang pria berguling karena tak ditaruh dengan baik, ia refleks berseru, "Ah, AWAS! Helmmu hampir!" Julia buru-buru menangkap pelindung kepala Jacob tersebut sebelum menyentuh tanah beraspal yang keras. Ia lalu menaruhnya di tangki bensin yang berada di depan sang lelaki dengan hati-hati. "Oh! Terima kasi—" Ucapan Jacob terputus saat Julia yang menundukkan kepalanya terpekik pelan, saat ujung dari tusuk rambutnya tersangkut di jaket hitam sang pria. Entah karena apa benda berujung sebuah permata hija
"Halo semua, perkenalan dia adalah Javier. Mulai sekarang, dia akan membangun saluran Youtube ini bersamaku," ucap Jacob seraya melambaikan tangan ke arah kamera. Pemuda yang duduk di sebelahnya ikut melambaikan tangan, dan berucap kepada warga internet, "Salam kenal, dan salam edukasi!" Julia yang telah selesai mandi bergegas menonton siaran langsung dari sang kekasih, meskipun ia masih mengenakan gaun mandi. Gadis itu hanya terlalu senang saja ketika mendapat pemberitahuan yang masuk ke ponselnya sampai lupa jika ia belum memasang pakaian. "Hmm, wajah mereka sedikit mirip," gumam Julia di sela-sela aktivitasnya menonton video, masih belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk. "Tapi kekasihku—Jacob jelas lebih tampan!" komentarnya lagi sambil terus menatap paras rupawan milik sang kekasih dengan tatapan memuja. Rupa-rupanya, Julia sudah jatuh begitu dalam ke pesona yang dimiliki oleh seorang pria Leckner. Pria tampan beralis tebal dan rapi—terlihat seperti ulat bul
Sosok yang mulanya berjalan sekitar 20 langkah dari Julia, mendadak semakin dekat saja dengannya. Julia tidak ingin berpikiran buruk dan menuduh yang tidak-tidak kepada orang yang mengenakan jaket bertudung di atas kepala. Akan tetapi sebenarnya, Julia merasa ada sedikit yang mengganjal pikirannya. Menurut Julia, penampilan orang itu memang terlihat sedikit aneh dan tidak cocok di pertengahan musim panas seperti sekarang. Mengapa ia harus memakai jaket tebal seperti itu? Julia tak mengetahui seperti apa wajah orang yang berjalan di belakangnya, sebab sosok misterius bertudung itu terus menundukkan kepala dan terlihat sangat menakutkan di mata gadis Peterson yang sedari tadi memperhatikan. Itu sikap yang wajar ditunjukkan olehnya. Ia hanya bersikap lebih berhati-hati saja, sebab ini adalah zaman di mana kejahatan merajalela. Terlebih lagi di zaman seperti inj, kita tak tahu apa yang orang lain pikirkan bukan? Entah itu baik atau buruk. Julia kembali melangkah dengan
"Hoi, Javier tidak belajar ya? Bukankah bulan depan dia ujian?" Javier yang baru saja datang dari minimarket dengan membawa empat botol soda di tangannya, langsung tertawa geli saat mendengar pertanyaan teman masa kecilnya—Mark. "Untuk apa belajar?" tukas Javier terdengar meremehkan. Mark seketika tergelak begitu mendengar ucapan sang sahabat, sedangkan Jacob hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya. "Belajar itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri saja," ucap Javier lagi seraya terkekeh geli, membuat Daniel yang duduk di sebelah Jacob memukul punggung lelaki itu sambil mengeluarkan gelak tawa yang keras. "Adikmu sudah gila rupanya. Hahahaha." Javier lantas memberikan minuman kepada masing-masing orang, lalu duduk sembari membuka minumannya. "Kudengar kau berhenti dari pekerjaanmu sekarang, kenapa?" tanya Javier tanpa menunjuk dan memandang siapa-siapa. Saat Javier sedang bersiap-siap meneguk sodanya, Mark melayangkan pertanyaan. "Kau bertanya kep
Julia yang sudah pulih dari ketakutannya yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan berlebih itu mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Gadis itu kembali masuk ke sekolah seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya, dan itu membuat Hana—sahabatnya—merasa sangat bahagia. Tentu saja, apa yang terjadi kepada Julia waktu itu memang sangat menakutkan, tetapi hidup harus terus berjalan. Tak sepantasnya rasa takut itu menjadikan segalanya bertambah semakin buruk dengan tak masuk ke sekolah selama berhari-hari."Julia, kau kemana saja beberapa hari ini?" tanya salah seorang gadis begitu Julia mendudukkan dirinya di atas sebuah kursi kelas. Disusul oleh pertanyaan serupa lainnya dari teman-teman sebaya."Julia, kau sakit?" tanya Melia. Yang disusul pertanyaan serupa dari kembarannya—Mesia. "Ya, kau terlihat pucat. Sakit apa kau, Julia?""Kenapa kau baru datang ke sekolah hari ini, Julia? Minggu depan kita kan sudah ujian," ucap Nancy."Iya! Tugas dan catatan kita ada banyak sekali! Untunglah, p
Julia memandangi kertas yang berada di dalam genggaman tangannya dengan saksama, gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas kusam bertinta emas. Julia lantas meniup debu yang mungkin saja menempel di kertas pudar tersebut, berharap tulisan di atasnya dapat terlihat dengan jelas. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi, tulisannya masih tetap tak terlihat dan itu membuat Julia sedikit merasa kesal. Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan kebersihannya hanya untuk mencari tahu asal usul dari benda yang membuatnya penasaran. Julia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa bertangan yang berwarna krim dan mendudukkan bokongnya di sana dengan nyaman. Sejenak, Julia meluruskan dulu kakinya yang dipaksa berdiri beberapa jam saat bersih-bersih tadi. Gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi d
Semenjak kejadian lucu di taman hiburan Gloove World dan kehangatan yang diberikan oleh Jacob berupa kecupan di kening dan bibirnya, Julia jadi sibuk mempersiapkan acara yang akan diselenggarakannya setelah pengumuman kelulusan. Acara itu rencananya akan berlangsung minggu depan, tetapi persiapannya sudah dimulai sejak sekarang. Gadis itu berniat mengundang seluruh teman-teman di sekolahnya dan juga teman-teman bermainnya sewaktu kecil. Pesta itu bertujuan agar tidak ada seorang pun temannya yang akan melupakan kebaikan gadis Peterson selama mengenal sang gadis. Perayaan ini jelas bukan keinginan Julia, mustahil gadis itu melakukannya. Semua ide pesta ini murni dari buah pikiran sang mama. Di sela-sela kegiatannya dalam mempersiapkan pesta, Julia terbayang wajah tampan kekasihnya—Jacob. Baru tiga hari berselang sejak keduanya berpisah dari taman hiburan, Julia sudah sangat merindukan pria berbibir penuh itu. Sepintas ide pun lewat di kepalanya, membuat sang gadi