"Ibu, kak Yuuto mana?" Rin kecil yang telah kembali dari rumah sakit setelah dirawat selama satu minggu di sana, terlihat sedang mencari-cari keberadaan sang kakak di rumahnya yang besar. Seluruh penjuru rumah sudah gadis itu jelajahi, tetapi tak kunjung ia temukan keberadaan sang kakak di tempat itu. Ada di manakah kakaknya Yuuto berada?
"Bu, Kakak ada di mana? Rin rindu sekali dengannya, Kakak sama sekali tidak pernah menjenguk Rin selama Rin dirawat di rumah sakit. Padahal Kakak sudah janji .... Tapi, mengapa kakak sekarang tidak mau menemui Rin?" tanya gadis kecil itu lagi kepada kedua orang tuanya.
"Padahal Rin 'kan sudah sangat merindukannya! Apa Kak Yuuto sedang pergi ke rumah temannya, ya?" Gadis itu menggumam pelan di akhir. Wajahnya tampak kebingungan.
Hideki dan Kaede, orang tua dari gadis kecil itu, tampaknya sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Di mana anak perempuan mereka akan menanyakan keberadaan Yuuto, sang kakak, tetapi bagaimana cara mereka menyampaikannya dengan benar?
Mereka harus mengungkapkan kebenarannya bahwa Yuuto sudah menghilang sejak gadis itu dirawat di rumah sakit, dan hingga kini keberadaannya masih belum ditemukan. Tidak mungkin mereka menyembunyikan sesuatu apalagi yang sangat penting seperti ini dari putri kecil kesayangan mereka. Gadis pewaris Akibara itu harus tahu kenyataan yang sebenarnya.
Bibir Hideki terbuka sedikit, lelaki itu hendak menjawab pertanyaan anak perempuannya, tetapi lidahnya mendadak kelu. Sedangkan Rin harus mengetahui semuanya tanpa terkecuali. Di lain pihak, Kaede tampak ingin menjelaskannya kepada sang anak, tetapi rasanya begitu berat.
Sepasang suami istri itu dilema, antara ingin memberitahukan atau menyembunyikan kebenarannya dari gadis mungil yang sekarang sedang menatap mereka dengan ekspresinya yang begitu lugu.
Rin kecil merasa ada yang aneh dengan sikap kedua orang tuanya, tak biasanya mereka diam membisu. Gadis berambut hitam sebatas pundak lantas menatap sepasang suami istri Akibara lekat-lekat. Meski begitu, ada rasa sakit yang tiba-tiba saja ia rasakan. Dadanya mendadak terasa sesak, seolah ada sebuah batu yang teramat besar sedang menindihinya, menyebabkan gadis itu kesulitan bernapas.
Menurut sang nenek, dada terasa sedikit sakit dsn sesak secara tiba-tiba itu merupakan sebuah pertanda. Itu semua adalah tanda awal dari awal luka yang akan terus membekas di dalam hatinya. Firasatnya langsung memburuk.
Kaede berusaha memantapkan hati, ia harus memberitahukan Rin hal yang terjadi sebenarnya. "Yuuto—"
"Kakak kenapa, Bu?" potong Rin cepat, perasaan anak itu berkecamuk, ada rasa yang seolah mendorong Rin untuk menangis kencang, tetapi Rin tidak tahu apa itu. Perasaannya masih sesak seperti sebelumnya. "Bu, Kakak di mana?" desak Rin lagi.
"Yuuto ... hilang, Rin," ucap Kaede dengan lirih. Gurat kesedihan terlukis di wajah ayunya. "Kakakmu Yuuto sudah menghilang sejak ... kau dirawat di rumah sakit, seminggu yang lalu."
Air mata Rin seketika jatuh menetes. "A-apa?" gumamnya terdengar begitu pelan. Kakaknya ... hilang, benarkah? Bagaimana bisa hal itu terjadi kepadanya? Apa ibunya sedang bercanda saat ini? Rin tampak kebingungan dengan berbagai pertanyaan yang mendadak muncul di pikirannya.
Kaede menoleh ke arah sang suami, keduanya bertatapan cukup lama. Sungguh, ia merasa tak sanggup jika harus melihat ekspresi pilu hadir di wajah putrinya, tetapi kebenaran haruslah mereka ungkap. "Kakakmu hilang, Nak," ucapnya tak kalah sedih dan merasa kehilangan. "Kami kehilangan kakakmu sejak satu minggu yang lalu."
Rin merasa ada yang salah dengan ibunya. Ia menatap sang ibu tak percaya, gadis itu lalu berlari menerjang sang ayah, lantas mengguncang lengan Hideki dengan kuat ketika menyadari ekspresi yang ibunya tunjukkan. Ekspresi serius, tetapi sendu. "Katakan pada Rin! Ibu sedang bercanda kan, Yah?" desaknya pada Hideki. "Tidak mungkin kan kakak hilang begitu saja!?"
Rin menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tidak percaya. Ia berharap orang tuanya sedang berbohong kepadanya saat ini. "Benar begitu, kan?" tanyanya lirih. "Ka-kalian sedang mengerjai Rin, kan?"
"Ka-kalian pasti saat ini sedang menyiapkan kejutan untuk Rin dan kakak akan datang secara tiba-tiba untuk mengejutkan Rin. Benar begitu kan, Ayah, Ibu?"
Air mata Rin kembali mengalir dengan deras. Ia terus bertanya kepada kedua orang tuanya, mendesak mereka untuk mengatakan hal yang sebenarnya sedang terjadi di rumah mereka, memastikan semua yang ia dengar hanyalah sebuah kebohongan semata. Tak mungkin kakaknya pergi begitu saja, tanpa memberitahukannya. Itu mustahil.
"Kak Yuuto tidak mungkin meninggalkan Rin, kan ... Kak Yuuto sudah janji," bisik gadis kecil itu sambil terisak pelan. Mustahil Yuuto pergi dan meninggalkannya begitu saja. Gadis kecil itu lalu mengusap wajahnya yang basah, kemudian berujar dengan sendu, "Kakak pasti pulang, 'kan? Ayah? Ibu? Kak Yuuto nanti pulang, 'kan?"
Air mata Rin menetes sekali lagi, ia terisak pelan setiap mengingat kejadian itu, hatinya hancur, baik dulu maupun sekarang. Kakaknya pergi meninggalkannya, dan tak ada seorang pun yang berniat mencari anak laki-laki itu ke seluruh penjuru dunia. Orang tuanya tak terlalu peduli dengan hal itu, mereka tak mengerahkan banyak orang untuk mencari Yuuto.
Di balik kisah menghilangnya sang kakak, Rin sempat mendengar sebuah kisah yang diceritakan oleh salah seorang keluarga mereka yang mempunyai kekuatan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa. Bibi dari pihak sang ayah mengatakan, bahwa Yuuto hilang dan masuk ke dalam hutan terlarang.
Rin yang sudah dewasa saat itu pun tahu jika sang kakak telah diculik oleh siluman yang berasal dari hutan terlarang yang terhubung dengan dunia lain, karena seperti itulah desas-desus yang ada di hutan angker tersebut.
Pantas saja ... kakaknya tidak bisa ditemukan. Walau mereka sudah mencari sebisa mungkin dengan orang-orang yang dikerahkan sekadarnya saja oleh kedua orang tua gadis itu, tetapi tetap saja tak membuahkan hasil. Ternyata sang kakak menghilang ke dunia yang tak bisa Rin gapai begitu saja. Sungguh menyedihkan, selamanya ia tidak akan pernah bertemu dengan kakaknya lagi.
~•~•~
Sehari setelah ulang tahun Rin, gadis yang telah menghabiskan seharian waktunya untuk sekadar beribadat itu ternyata sudah ditunggu oleh sang ibu di depan pintu keluar kuil utama.
Wanita anggun ibu dari dua anak tersebut terlihat begitu tegang, jantungnya berdetak sangat cepat. Tangannya tak henti-hentinya meremas benda peninggalan yang seolah mempunyai kehendak atas dirinya sendiri.
Ya, benar. Bandul yang terpasang di rantai kalung yang saat ini sedang Kaede genggam memiliki kekuatan magis yang tak bisa dijelaskan dengan akal seorang manusia biasa. Tak ada seorang pun yang bisa menghancurkan pemberat rantai dengan bentuk yang aneh itu. Apalagi bandul tersebut bisa kembali dengan sendirinya kepada keturunan selanjutnya dari keluarga Akibara.
Seolah-olah, benda tersebut tahu bahwa ia begitu penting untuk kelangsungan hidup keluarga Akibara ke depannya. Maka dari itu, setiap keturunan dari generasi modern akan menjaganya sebaik mungkin. Tak menampik benda misterius yang amat diagungkan oleh para anggota keluarga zaman dulu.
Kaede memantapkan hati. Daripada putrinya menghilang secara tiba-tiba dari pandangan dan menimbulkan kesedihan di hatinya, maka dari itu ialah yang harus melakukan semua ini sendirian.
Jika ingin semua yang dilakukan lancar dan baik-baik saja, maka harus membuat sedikit pengorbanan. Untuk itu, Kaede kembali menarik napas panjang sebelum memasuki kuil utama keluarganya.
Gadis berpakaian pendeta wanita dengan celana lipit merah itu tampak kebingungan begitu melihat sang ibu melangkah masuk ke dalam kuil dengan langkah mantap. Lalu wanita anggun tersebut duduk bersila di tengah-tengah ruangan kuil bercat warna emas. Seolah mencari tempat yang sangat luas.
Rin memiringkan kepalanya begitu melihat sang ibu duduk sendirian dengan posisi tubuh yang tegang. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan sang ibu? Tampaknya ada yang ingin ibunya lakukan di tempat itu, tetapi Rin tidak tahu apa itu.
Kaede lalu menatap datar putrinya yang masih berdiri mematung di dekat pintu seraya memandanginya dengan tatapan bingung. Kaede tahu, cepat atau lambat Rin akan mengalami semua ini. Wanita yang masih tampak muda itu lantas berucap kepadanya, "Rin, kemarilah."
Gadis berparas lugu tanpa polesan di wajah kecilnya, berjalan menghampiri Kaede, sang ibu yang memanggilnya dengan suara lembut. Rambut hitam sepinggangnya dikucir menggunakan pita putih panjang yang menyimbolkan kesucian yang telah dipercaya oleh orang-orang sejak dulu kala.
Rin duduk dengan sopan di depan sang ibu. Gadis bermata bulat menatap wajah Kaede yang terlihat sedang memejamkan kedua matanya.
"Kemarin ... kau berulang tahun yang keberapa, Rin?" tanya Kaede dengan suara yang berat, tidak seperti suara yang biasa ia tunjukkan kepada anak gadisnya.
Ekspresi serius yang jarang tampak di wajah wanita yang telah melahirkannya, membuat Rin berdebar takut. Ia menjawab dengan suara pelan, "18 tahun, Bu ...." Rin meneguk saliva dengan hati-hati, suasana di sekitarnya terasa aneh.
Secara tiba-tiba, Kaede mencengkeram pundaknya dengan sangat kuat, hingga membuat gadis bersifat periang itu meringis pelan karena ulahnya. Sorot tajam dari mata sang ibu, mendatangkan perasaan gelisah bagi Rin yang kesehariannya ia habiskan untuk menjaga kuil keluarga mereka, karena itulah salah satu tugasnya sebagai miko.
Apa yang terjadi kepada ibunya? Rin benar-benar merasa kalut. Tidak biasanya sang ibu bersikap seperti ini.
"Waktunya sudah tiba," ucap Kaede lagi, secara tiba-tiba.
Rin mengernyitkan kening. Tak mengerti apa yang dimaksud oleh sang ibu. "Apa?" tanyanya dengan suara pelan. Gadis itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali dengan ekspresi lugu.
Hening terjadi selama beberapa saat di antara ibu dan anak yang sedang memikirkan hal lain. Rin mencengkeram lututnya dan meremasnya perlahan. Mengapa ibunya lama sekali?
Kaede yang diam sedari tadi, tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah kalung dengan bandul berupa bulan sabit yang dikelilingi oleh dua buah titik hitam. Wanita itu lalu memasangkannya dengan cepat kepada Rin yang sedang dilanda kebingungan.
"Ibu, untuk apa kalung ini?" tanya sang gadis beriris mata berwarna hitam. Rin pandangi kalung dengan bentuk aneh tersebut, ia tidak terlalu suka dengan modelnya. "Ibu, apa ini hadiah untuk Rin?"
"Tidak, Rin, tapi dengarkan ini baik-baik," ucap Kaede seraya memejamkan mata. Ini jelas adalah keputusan yang sangat sulit. Ia lalu kembali berucap setelah ada jeda di antara mereka, "Maafkan kami semua. Sekarang, kau bukan bagian dari keluarga ini lagi."
Rin terbelalak di tempat duduknya. Apakah sang ibu ... saat ini sedang mengerjainya? Bukankah ini hari ulang tahunnya dan bisa saja ini merupakan sebuah kejutan dari keluarganya, benar, 'kan?
"Kau, kami korbankan untuk memenuhi permintaan iblis yang telah mengutuk keluarga Akibara antar generasi secara turun temurun sejak ratusan tahun silam."
"Kau tidak akan pernah bisa kembali. Kau tidak akan pernah bisa melepaskan diri."
"Mulai sekarang, kau bagian dari kegelapan."
Kaede yang masih memejamkan mata, lantas membuat gerakan memutar kedua tangannya searah jarum jam, dua jari di tangan kanannya terlihat seperti sedang membentuk sebuah segel. Mulutnya terus melafalkan mantra kuno keluarga Akibara yang akan mengirimkan Rin ke dunia lain, untuk menjadi budak Sang Iblis Monyet.
Selama beberapa saat ia pertahankan posisi itu, hingga kemudian kedua matanya terbuka seiring dengan timbulnya sebuah segel lingkaran di lantai rumah.
Tepat di mana Rin duduk dengan perasaan takut.
Secara tiba-tiba, tubuh Rin diselimuti oleh cahaya terang benderang yang begitu menyilaukan mata. Perlahan, tubuhnya terlihat memudar, keberadaannya menghilang secara perlahan.
"Ti-tidak! JANGAN, BU!" raung gadis itu dengan suara kencang. Air mata Rin tumpah begitu saja.
"AKU INGIN BERSAMA KALIAN!"
Rin terus berteriak, memohon belas kasihan dari sang ibu. "Bu! Jangan korbankan Rin, Bu!" teriaknya sambil berderai air mata.
Kaede mengabaikan teriakan sang anak. Ini semua demi kelangsungan hidup keluarga mereka juga.
Meski tubuh Rin memudar dan hampir lenyap, sayup-sayup masih terdengar suara sang gadis yang meminta pertolongan. "SIAPA PUN! TOLONG AKU!"
Kyeo mempercepat larinya. Tak peduli apa pun yang bisa ia lakukan, ia harus berlari untuk menyelamatkan hidupnya yang teramat berharga.Orang-orang yang kini mengejarnya ingin menangkap dan menghukumnya atas kejahatan yang telah dilakukannya selama ini. Mereka hendak mengirimnya kembali ke tempat asalnya, ke Dunia Kematian, tempat para pendosa harus kembali dan berdiam diri.Kyeo tak mau itu terjadi, ia lebih suka di sini. Dunia yang ia tempati kini adalah surga yang nyata baginya.Kyeo cukup beruntung berada di dunia manusia. Tempat di mana ia bebas melakukan pembantaian dan memberi orang-orang menyedihkan itu pelajaran. Beruntung bagi iblis sepertinya, ada banyak sekali manusia bodoh yang memanggilnya ke dunia mereka, tetapi pada akhirnya, iblis itu akan membunuh mereka semua.Tak ada yang bisa menampik kelicikan yang dimiliki sesosok iblis, meski mereka telah berjanji akan tunduk kepada perintah sang pemanggil, tetapi nyatanya adalah sebaliknya. Kematianlah yang akan mereka dapatkan
Kaisar Tachibana merasa apa yang disampaikan oleh komandan pasukan pengawal miliknya itu terdengar aneh. Kyeo berkata seperti itu? Untuk apa iblis kejam mengutarakan apa yang ia rasakan? Bukankah iblis tak punya perasaan? Tanggapan seperti apa yang ingin Kyeo utarakan kepadanya selaku penguasa negeri? Sungguh, sang kaisar negeri Awan itu tak mengerti maksudnya.Tidak ada satu pun makhluk yang mampu membuat sang iblis kelelawar menghargai nyawa manusia. Ia akan leluasa membunuh, menghancurkan atau melenyapkan makhluk hidup bernama manusia, karena baginya nyawa mereka itu sangatlah rapuh dan iblis tidak menyukai kerapuhan. Mereka juga sangat tidak menyukai kelemahan yang identik dengan umat manusia.Tak beberapa lama kemudian, rombongan para pengawal yang datang membawa kurungan tempat Kyeo dikurung pun tiba di hadapan Kaisar Tachibana. Sang iblis diletakkan di depan umum, karena ada banyak warga yang meminta untuk melihat wujud Kyeo secara langsung.Tanpa disangka-sangka, suara teriaka
"Hyaahh! Huf, huf!!"Seorang pemuda berambut ikal tampak sedang berlatih dengan sebuah batang pohon yang berdiri tegak di depannya. Setiap kali dia bergerak menyerang pohon tersebut, rambut panjangnya akan bergoyang mengikuti gerak tubuhnya. Surai hitamnya tampak lembut dan lebat. Di batang pohon tersebut terdapat beberapa tongkat yang difungsikannya sebagai alat untuk berlatih pukulan. Seolah tongkat-tongkat itu adalah tangan dari musuh yang harus dihadapi. Sang pemuda terus memukul tongkat-tongkat tersebut secara berkala menggunakan kedua tangannya, seolah-olah sedang berlatih tanding dengan seseorang. Dia adalah Yuuto, pemuda yang sebelas tahun silam menghilang dari muka bumi dan masuk ke dunia lain karena dibawa oleh sesosok siluman berwajah buruk rupa. Dia adalah anak laki-laki keturunan keluarga kuil Akibara yang terkenal sangat baik hati dan juga penyayang terhadap sesama. Sudah lama sekali semenjak pemuda itu meninggalkan rumah, lebih tepatnya diculik dari dunianya yang seben
Yuuto tersenyum samar, ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan sang guru tiba-tiba muncul ke permukaan. Ia yang dulu adalah seorang anak kecil yang suka bersembunyi dari kejaran siluman, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki kekuatan.Yuuto kini telah dewasa, ia sudah berhasil menguasai berbagai kemampuan dasar dan bela diri dari sang guru.Tak sia-sia pelatihan yang diberikan oleh Hiroshi—sang kakek tua yang ia temui belasan tahun silam. Selama bertahun-tahun lamanya, lelaki tua itu mengajari pemuda dengan gaya rambut panjangnya yang tidak rapi, si Yuuto, berbagai jurus bela diri dan lain sebagainya.Yuuto selalu ingat dengan pesan yang disampaikan oleh sang guru, bahwa untuk hidup di dunia yang keras haruslah memiliki tekad yang besar. Ia merasa hal itu ada benarnya. Yuuto membutuhkan kekuatan.Selain mempelajari ilmu kehidupan dengan sang guru, Yuuto juga belajar dari para biksu yang ia temui di setiap perjalanan spiritualnya. Kadang-kadang, pemuda itu akan ikut
Di sebuah dimensi yang bersebelahan dengan Dunia Bawah, tepatnya di dunia di mana para manusia bumi tinggal, bermukim dan melahirkan keturunan. Ada sebuah daerah di mana di sana terdapat sebuah kuil kecil yang merupakan milik keluarga Akibara. Ada sesosok makhluk tampan yang sedang berusaha keras mengalirkan kekuatan penyembuhan ke bagian perut dan tangannya yang sedang terluka parah, dan ia hanya seorang diri saat berada dalam kurungan tersebut.Tak ada seorang pun yang pernah menjenguknya. Sama sekali tak pernah ada yang berusaha menyelamatkan sang iblis kelelawar dari tempat terkutuk itu!Sialan, Kyeo dilanda amarah sekarang. Tempat tinggalnya berada jauh dari sentuhan tangan manusia. Kuil tempatnya tersegel pun tak pernah sekalipun didekati, apalagi dibuka oleh orang-orang yang penasaran dengan isinya.Tak pernah ada seorang pun manusia yang berani melakukannya. Mereka semua terlalu takut mendekati kandang milik sang iblis kelelawar bermata kuning keemasan. Mereka takut iblis itu
"Ck, menyedihkan," komentar Kyeo sesaat setelah mangsa keduanya mati. Ia lalu mengendus bau amis dari darah segar yang memenuhi tangan kanannya dengan perasaan senang. Puas lebih tepatnya, karena sudah berhasil membunuh.Bau amis darah selalu dapat memikatnya, tak peduli sejauh apa sumber darah tersebut, Kyeo akan tetap mendatanginya selagi tak ada halangan. Sang iblis kelelawar akan tetap datang dengan senang hati ketika menghampiri setiap mangsa yang kurang beruntung bertemu dengannya hari itu, dan mereka akan berakhir sebagai mainan dari sang iblis yang kejam.Lihat? Betapa baiknya sang iblis hingga menjemput kematian para korbannya dengan tangannya sendiri. Jadi, mereka tak perlu bersusah-susah menanyakan perihal kematian mereka yang tidak pasti itu.Kyeo merasa bangga karena sudah mengantarkan manusia-manusia itu ke alam kematian. Sang iblis kelelawar merasa, ia bagaikan seorang dewa kematian, tetapi dengan caranya sendiri dan itu benar-benar menyenangkan.Iblis dengan wujud manus
Yuuto yang baru saja selesai latihan bersama sang guru, berjalan pelan menuju sebuah pohon yang tampak rindang. Cuaca yang cukup terik membuatnya sedikit merasakan gerah. Walaupun ia sudah memakai yukata tipis berwarna gelap, tetapi tetap saja panas mengenai kulit sawo matang sang pemuda.Pemuda itu ingin berteduh sebentar sebelum kembali berlatih lagi bersama Hiroshi.Langkah laki-laki dewasa itu terlihat melambat ketika ia mendengar suara derap langkah kaki seseorang yang mengarah padanya dengan sangat cepat. Sebelum sempat berbalik badan sepenuhnya, Yuuto telah diterjang oleh seseorang dari belakang."Kakak!" teriak orang itu penuh semangat. Suaranya terdengar seperti seorang perempuan muda yang begitu ceria. Manis dan menyenangkan. Yuuto tertegun di tempat saat seorang remaja perempuan melompat ke arahnya secara tiba-tiba dan memeluknya dengan sangat erat. Helaian rambut hitam panjangnya mengingatkan Yuuto terhadap sang adik. Belum lagi dengan sang gadis yang memanggilnya kakak ta
Di sebuah rumah yang luarnya cukup megah, meski telah berusia tua, terlihat beberapa orang sedang berkumpul di ruang tamu keluarga. Mereka adalah sepasang suami istri dari keluarga Akibara. Keduanya tengah membicarakan sesuatu dengan serius, ketegangan tampak di wajah wanita yang memiliki tanda lahir di pipi kanannya yang hanya dimiliki oleh anggota keluarga Akibara saja. Meski setiap keturunan memiliki tanda lahir di tempat yang berbeda-beda. Simbol itu begitu unik, tetapi sangat cocok untuk para anggota keluarga Akibara yang terpandang sebagai keluarga kuil di kotanya. "Bagaimana nasib keluarga kita di masa depan? Kita sudah tidak punya keturunan lagi untuk melanjutkan persembahan itu!" Sang wanita mulai mengeluarkan argumennya. Wajahnya memerah, terlihat jelas sedang memendam perasaan yang terus berkecamuk di dalam dada. Kaede marah, sangat marah. Dia juga merasa sedih, kecewa dan perasaan mencolok lainnya tengah bercampur aduk di hatinya saat ini. "Kaede, tenanglah. Pasti a