Share

Part 2: Ksatria Berkuda Putih

Di dalam kamar miliknya, Zia menangis. Menumpahkan rasa sakit akibat perkataan kedua sahabatnya.

Sebenarnya ... tidak ada yang salah dari perkataan Naya dan Gwen. Zia hanya tidak bisa terima bahwa semua yang dikatakan mereka adalah kebenaran.

Zia masih ingin terus percaya kepada pemikiran idealisnya bahwa Eza pasti bisa berubah. Dia masih ingin percaya bahwa Eza pasti akan berubah suatu hari nanti.

Tidak mudah memang, tapi pasti bisa.

Mata Zia terbuka, menatap langit-langit kamar yang menyilaukan akibat cahaya lampu. Ia menyapu pelan jejak-jejak air mata yang masih tersisa di pipinya dengan jemarinya.

Perlahan, memori awal pertemuannya dengan Eza kembali memoar. Awal hubungan mereka, masih membekas kuat dalam ingatan ...

... -toxic- ...

“Bunga bangkai! Hei, fokus!” teriakan itu menyadarkan Zia dari lamunannya. Mata elang milik para senior kini beralih ke Zia, membuat Zia mendadak ketakutan. Zia buru-buru menurunkan pandangannya saat beberapa senior berjalan mendekat ke arahnya.

“Hei, bunga bangkai. Cukup nama aja yang jelek, tapi kelakuan jangan sampai jelek. Bisa-bisanya ga memperhatikan saat seniornya lagi menjelaskan. Mau jadi apa kalian, udah dewasa tapi susah banget buat diatur?!” teriak senior perempuan berbibir merah tersebut.

“Udahlah, May. Cuma ngabisin waktu kamu aja negur anak kayak gitu. Hukum push up aja seratus kali!”

Pu-push up?” Zia mencicit.

“Kenapa? Ga bisa push up?” Senior bernama Maya itu menaikkan wajah Zia dengan jarinya agar perempuan itu membalas tatapannya. “Masa push up seratus kali aja ga bisa?! Cemen banget!” ejeknya merendahkan Zia.

Zia tak berkutik. Sebenarnya dia baru saja mengalami kecelakaan dan tangannya bahkan masih diperban karena keseleo, tapi senior-seniornya seolah menutup mata dengan kenyataan itu.

“Ayo dong push up! Jangan diam aja!” Senior yang lain berteriak dari belakang.

 "Tau tuh! Zaman kalian enak, push up cuma seratus doang! Zaman kami sampe dua ratus satu angkatan yang push up mana ada protes! Manja banget!" Yang lainnya lantas menimpali.

Zia tidak ada pilihan. Baru saja Zia mau menurunkan tubuhnya, tangan hangat milik salah seorang anak laki-laki itu segera menahannya. “Biar saya aja yang gantiin.”

“Wow! Ada pertunjukan pangeran berkuda putih ya sekarang?” Laki-laki yang tadi mengusulkan hukuman push up mengejek.

“Tangan dia keseleo. Kalau sampai dia melakukan push up dan cidera, apa kalian berani mempertanggungjawabkannya?” Laki-laki bername tag Tapai Busuk itu membela membuat para senior terkejut mendengarnya.

“Apa-apaan ini, maba* sekarang pada ga punya akhlak! Beraninya protes aja! Ga sopan banget sama senior!” Maya, perempuan berbibir merah itu masih terus membela diri.

“Senior?” Si Tapai Busuk tertawa. “Ya, benar. Kalian mungkin senior saya, tapi ... siapa yang tahu kalau mungkin usia kamu lebih muda dari saya? Memberi hukuman tanpa logika, apakah ini menggambarkan seorang mahasiswa?”

Mendengar kata ‘usia’, para senior buru-buru mengecek buku wajib milik Tapai Busuk, terperangah dengan tahun kelahiran yang tercantum di sana.

“Dia dua tahun lebih tua dari anak-anak di angkatannya,” bisik senior berkacamata yang bertugas mengambil buku wajib milik para maba.

“Ah, dia tetap maba di bawah kita, kok!” bisik yang lainnya.

Tidak ada senior yang berani kembali mengangkat suara tinggi kepada si Tapai Busuk. Di balik tubuh tinggi lelaki itu, Zia masih terpaku. “Perhatikan verba kalian. Ga semua maba itu lebih muda dari kalian. Kalau kalian merasa masih ingin dihormati, hormati juga kamu. “

“Dan, sekali saja kalian berani memberi hukuman ga masuk akal ke kami semua yang ada di sini, jangan panggil saya Tapai Busuk kalau saya ga berani melaporkan perbuatan busuk kalian ke pihak berwajib.”

Lelaki itu segera berlalu pergi, melemparkan name tagnya ke sembarang arah sementara Zia menatap kepergiannya dengan wajah bersemu merah.

Seorang laki-laki baru saja datang dan menghampirinya, membelanya bahkan dengan berani melawan para senior. Apakah ini sosok pahlawan di film-film romansa?

Sepertinya Zia mulai jatuh hati.

“Kamu ngeces lho, Zi.” Senggol Naya yang membuatnya segera memeriksa sudut bibirnya.

“Ih, Nay!” gerutu Zia setelah tahu dia dibohongi oleh Naya.

Bukannya meminta maaf, Naya malah tertawa. “Kayaknya ada yang jatuh cinta pada pandangan pertama, nih!”

... -toxic- ...

“Gweeen! Gweeen! Di mana dirimu?!” teriak Naya saat dia dan Zia sampai di rumah.

Ya, mereka bertiga—Zia, Naya, dan Gwen—memang tinggal serumah di rumah kontrakan yang tak jauh dari kampusnya. Mereka memang berteman sejak kecil, jadi tidak heran sampai dewasa pun masih sama-sama.

“Ada apa sih ribut-ribut?” tegur Gwen dengan celemak biru langit kebanggaannya dan tangan kanan yang masih memegang spatula. “Aku lagi goreng ayam, nih!”

“Ayam goreeeng? Ada bagian pahanya kan, Gwen?!” Mata Zia mendadak berbinar sembari memastikan bahwa bagian favorit miliknya digoreng oleh Gwen.

“Eh, eh, jangan OOT dong Zi! Kan aku belum selesai cerita ke Gwen!” protes Naya. “Tau gak Gwen, kayaknya si Zia lagi jat—hmmph!”

Belum selesai Naya berbicara, Zia buru-buru menutup mulut Naya dengan telapak tangannya.

“Kalian ngapain sih, gaje banget.” Gwen mengernyitkan wajahnya.

“Mpph ... mpph!” Naya masih berusaha untuk bicara, namun Zia segera memotongnya.

“Udah, Gwen! Kamu balik aja ke dapur goreng ayam, jangan sampai gosong yaa! Ga usah denger omongan si Naya, ngalor-ngidul semua!” usir Zia yang masih terus menahan Naya agar tidak berbicara sekenanya.

Gwen menatap kedua sahabatnya bingung. “Oke.” Ia lantas membalikkan tubuhnya dan kembali ke dapur.

Setelah Gwen pergi, Zia akhirnya melepaskan Naya. “Naaay! Ga usah ngomong yang aneh-aneh, dong!” peringat Naya.

“Apaan, sih? Tersipu malu yaaa? Gweeen, Zia lagi jatuh cinta!” teriak Naya tanpa mempedulikan Zia.

Zia melotot seketika ke arah Naya. “Bohong, bohooong! Jangan percaya sama Naya, Gwen!” teriaknya refleks.

“Kalian berdua gila!” Terdengar sahutan dari dapur, Gwen enggan mendengarkan ucapan kedua sahabatnya itu. “Baru ospek aja udah gila, parah emang kalian berdua! Buruan mandi aja deh kalian, abis itu makan!”

“Ah, Mami Gwenku sayaaaang!” Naya segera berlari dan memeluk Gwen di dapur.

“Paha ayam untuk Zizi yang cantik, kaan!” Zia ikut menyusul Naya memeluk Gwen.

Pelukan mereka membuat Gwen sesak.  Ditambah dengan aroma tidak sedap dari keduanya, Gwen sekuat tenaga mengeluarkan tubuhnya dari pelukan Naya dan Zia. “Eww, lepasin ga! Kalian bau bangeeet ya ampun! Aku ga kuat!”

“Kan kamu ga kena ospek, Gwen! Jadi kami bagiin kamu aroma ospek aja, siapa tau kamu flashback!” celetuk Naya, enggan melepaskan pelukannya.

“Hooh! Sayaaang Mami Gwen!” Zia menyetujui celetukan Naya.

“Ya Tuhaaan! Kenapa teman-teman aku ga ada yang waras, sih?!”

(note: maba* itu singkatan dari mahasiswa baru)

-To be Continue-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status