Share

Part 3: Namamu ...

“Jadi ... Zia diselametin sama itu cowok, gitu?” tanya Gwen usai Naya bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi hari ini di ospek.

Naya mengangguk-anggukkan kepalanya keras. “Bener! Bener banget! Gwen, pernah ga sih kamu nemuin cowok pemberani yang membelamu di hadapan para senior? Aaaaa! Pokoknya gila deh, heroik paraah!” puji Naya tak habis-habis.

“Jadi ... ini yang jatuh cinta itu si Zia apa kamu, Nay?” tanya Gwen.

“Ya Zia, lhaa. Masa iya aku rebut pangeran berkuda putih-nya Zia?” elak Naya.

“Dari tadi yang semangat cerita itu, kamu. Aku pikir yang lagi jatuh cinta itu ya kamu.” Gwen kini mengejek Naya tanpa henti.

“Issh ... ya ngga lha. Kan aku gantiin Zia buat cerita, Gwen! Kamu gimana, sih?!” Naya masih terus mengelak, membuat Gwen dan Zia tertawa melihatnya.

“Makanya ga usah ngejek orang terus. Emang enak diejekin sama Gwen?” sindir Zia tanpa merasa terganggu dan terus menikmati paha ayam goreng kesukaanya.

Naya mengerucutkan bibirnya karena sebal. “Iya, iya Kak Ros. Ampun deh, Naya ga mau godain Zia lagi hari ini. Biar Zia-nya khusyuk makan paham ayam Upin dan Ipin.” Naya meminta maaf.

Gwen mendengus geli mendengar permintaan maaf Naya. “Sangaaat ikhlas, disertai ejekan pula,” Gwen tertawa.

... -toxic- ...

Zia dan Naya kembali ke kampus sembari menenteng name tag masing-masing di lehernya. Zia dengan nama Bunga Bangkai, dan Naya dengan nama Thapasya.

Maklum, tema nama masing-masing kelompok berbeda-beda. Kelompok Zia mendapat tema nama bunga langka, sementara Naya dan kelompoknya mendapat tema nama karakter drama India.

“Zi, Zi. Si Tapai Busuk lewat,” bisik Naya kepada Zia.

“Apaan sih.” Zia memutar kedua bola matanya jengah dengan kelakuan Naya.

Melihat gelagat Zia, Naya memandang heran. “Katanya mau ngucapin terima kasih ke dia, ini aku bantu cariin keberadaannya, lho ....” Naya kembali melayangkan protesnya seperti biasanya.

“Ssst ....” Zia melempar tatapan galak. “Ga usah keras-keras juga kali ngomongnya.”

Menyadari intonasi Naya yang memang tidak bisa pelan, ia nyengir seketika. “Hehe ... maaf, Zi.”

“Telat,” ucap Zia yang udah kepalang malu karena menyadari pria itu berdiri tak jauh di belakangnya. Ternyata, barisan lelaki itu berada di sebelahnya.

Karena penasaran, Naya menoleh. “Naaay!” pekik Zia pelan agar perempuan itu tidak semakin mempermalukannya.

“Ehmm! Yang di sana, Thapasya, bisa berhenti menoleh ke sana-sini ga?” suara tegas namun tidak membentak itu merasuk di telinga Naya, membuatnya segera menoleh dan mendapati wajah setampan El Jalaludin Rumi dan semanis Oh Sehun sedang memandang ke arahnya.

“Iya, Kakak ganteng!” sahut Naya tanpa malu dengan senyum semringan di bibirnya.

“Jaga sikaaap!” teriak senior perempuan berwajah jutek.

“Saya cuma jujur kok, Kak!” bela Naya tanpa mau kalah, membuat senior itu mendadak melotot keras ke arahnya.

Senior yang dipuji ganteng oleh Naya itu nampak menutup mulutnya dengan telapak tangannya, berusaha menyembunyikan senyum geli akibat kelakuan juniornya itu. “U-udah Ray, ga usah dimasukin ke dalam hati,” ucapnya menenangkan senior bernama Raya itu.

Mendengar kata-kata lelaki itu, Naya segera memutar kedua bola matanya jengah. “Bisa-bisanya dia nenangin nenek lampir itu, Zi,” bisiknya pelan.

... -toxic- ...

Jam istirahat akhirnya tiba. Dengan semangat, Zia menoleh ke belakang, tempat di mana si Tapai Busuk itu duduk namun ia tidak menemukan sosok tersebut. “Eh, ke mana dia?” tanya Zia pada dirinya sendiri.

Mata Zia masih menelusuri ruangan tersebut, berharap netranya dapat menangkap sosok itu namun hasilnya nihil. “El, aku titip tas aku ya, aku mau keluar bentar!” pinta Zia kepada teman satu kelompoknya, Elia.

Bahkan sebelum Elia merespon kembali permintaan Zia, perempuan itu sudah hilang dari pandangan matanya.

“Ya ... udah ilang aja. Apes deh, ga bisa ke kantin,” keluh Elia akhirnya.

Zia menelusuri satu per satu koridor, namun ia masih tidak menemukan sosok Tapai Busuk di antara para mahasiswa baru yang sibuk berbincang. “Ah ... ke mana sih dia sembunyi?” tanya Zia lagi.

“Eh, Zi! Mau ke mana?” tanya Naya yang baru kembali dari kantin.

Zia menunjukkan tas bekal yang sejak tadi ditenteng olehnya, membuat Naya ber-oh ria. “Tapi orangnya ga ada,” lirihnya.

“Tadi aku liat kayaknya itu orang pergi ke taman belakang deh,” ucap Naya yang langsung membuat mata Zia berbinar.

“Serius?!”

“Ngapain juga aku boong. Ya kalo dia ga kemana-mana, dia pasti masih di sana.”

“Naya, I love you sooooo much!” Zia segera berbalik dan meninggalkan Naya.

Naya menggelengkan kepalanya. “Dasar, jinjja-jinjja picasso*!”

“Eh, nonton drakor juga Nay?” tanya Dita yang sedari tadi berdiri di sebelah Naya.

“Pasti dong, Lee Min Ho ahjussi, saranghaeyo jeongmal!”

... -toxic- ...

“Hah ... hah ....” Zia berusaha untuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Dia mencoba untuk memandang ke sekeliling, dan akhirnya Zia bisa bernapas lega ketika matanya melihat sosok si Tapai Busuk sedang diam di kursi taman.

Zia berjalan perlahan dan berhenti tepat di hadapan pemilik name tag Tapai Busuk. Matanya memandang intens wajah pria yang kemarin membelanya, benar-benar damai saat ia menutup matanya.

Orang-orang mungkin tidak akan percaya kalau laki-laki berwajah kalem ini bisa melawan para senior.

“Ehemmm.” Zia berdehem, namun sama sekali tidak dihiraukan oleh si Tapai Busuk. Zia memajukan tangannya, menyodorkan tas bekal miliknya hingga tas tersebut menyentuh kulit lelaki itu.

Merasa ada sesuatu di kulitnya, lelaki itu membuka matanya perlahan, mendapati Zia kini berdiri di hadapannya. “Ada apa?” Alis matanya terangkat sebelah.

“Ini ... ucapan terima kasihku karena bantuanmu kemarin,” ucap Zia malu-malu. Zia buru-buru menundukkan wajahnya saat wajahnya terasa panas.

“Apa?”

“Ucapan terima kasih buat kamu.” Zia kembali melontarkan jawabannya.

“Kalau ngomong itu lihat mata orangnya, bukan sepatunya.”

Zia langsung menaikkan pandangannya, bertemu dua bola mata hitam pekat yang kemarin membelanya tanpa ragu. “Untuk kamu ... terima kasih.”

Laki-laki itu tertawa. Ia mengambil tas bekal tersebut dari tangan Zia, tanpa sengaja jemarinya menyentuh kulit punggung tangan Zia dan menghantar sengatan ke tubuh Zia.

Zia segera menurunkan kembali pandangannya dan melepaskan tangannya.

“Makasih,” ucap lelaki itu tulus, membuat senyum Zia merekah. Zia membalikkan tubuhnya, agar tak terlihat oleh Tapai Busuk dan mulai berjalan.

Namun, belum sampai sepuluh langkah, Zia berhenti. “Kamu ... namanya siapa?” tanya Zia tanpa membalikkan tubuhnya.

“Udah dibilang kalo ngomong itu mata orangnya ditatap dong.” Lagi-lagi Zia ditegur.

Zia berbalik, “Kamu ... namanya siapa?” ulangnya.

“Reza Mangkubumi. Panggil aja Eza,” jawab lelaki tersebut sembari tersenyum, menampilkan lesung pipi dalam di sisi kiri.

“Nama yang bagus,” puji Zia. Ia kembali berbalik.

“Kalau kamu?”

Zia berhenti, tapi enggan menoleh. “Apa?”

“Namamu siapa?”

“Zia. Zia Anastasya!” teriak Zia yang langsung berlalu pergi karena tidak tahan dengan wajahnya yang terus memerah.

“Nama yang cantik,” puji Tapai Busuk—bukan, Eza, yang masih tertawa dengan kelakuan Zia.

(Note: jinjja-jinjja picasso artinya benar-benar gila)

-To be Continue-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status