Share

Part 4: Sekelas!

“Zia masih waras, kan?” tanya Gwen kepada Naya.

Naya mengendikkan kedua bahunya bersamaan. “Entahlah. Kurasa tidak,” jawabnya sekenanya.

“Sejak kapan dia jadi seperti itu?”

“Sejak dia kembali dari mengantar bekal ke Tapai Busuk, ehh! Apa dia benar-benar jatuh cinta, Gwen?”

Naya dan Gwen saling bertatapan sejenak, kemudian pandangannya mengarah ke depan, ke arah Zia tepatnya.

Tidak sadar sedang menjadi objek pandangan, Zia terus tersenyum saat memorinya kembali mengingatkannya pada apa yang baru saja ia lalui di taman belakang. Zia menyentuh punggung tangannya yang tanpa sengaja disentuh oleh Eza, lalu wajahnya kembali bersemu merah.

“Fiks. Dia udah gila.” Gwen meninggalkan sofa dan kembali ke kamarnya.

Di belakangnya Gwen, Naya ikut berbalik dan masuk ke dalam kamarnya.

Saat Zia menoleh, sofa yang tadi diduduki oleh Gwen dan Naya kini kosong melompong. “Eh? Ke mana mereka?” tanyanya pada dirinya sendiri.

... -toxic- ...

Tiga hari pertama ospek sudah berakhir. Jumat kemarin adalah hari terakhir kampus Zia dan Naya ospek. Kini Zia berjalan dengan wajah cemburut.

“Napa sih Zi, pagi-pagi mukamu udah kayak keset abis diinjak alias kusut?” Naya berjalan di sebelah Zia.

“Ngga papa.” Zia malas menjawab pertanyaan itu. Semalaman Zia merasa bete karena memikirkan si Tapai Busuk. Apakah mungkin dia dan Tapai Busuk itu berada di satu prodi, atau ... tidak?

Kalau tidak, mungkin Zia tidak akan punya banyak kesempatan untuk melihat laki-laki itu lagi. Terlalu lebay memang pemikiran Zia, padahal kenal dekat saja tidak tapi masih berani menaruh harap pada Eza.

“Zi, Zi. Itu si Tapai Busuk barusan lewat, ngeliatin kamu lho!” Naya menyenggol lengan Zia.

Zia berdehem, berusaha untuk menetralkan perasaan bahagia yang tiba-tiba membuncah dalam dirinya. “Paling ga sengaja aja,” jawab Zia.

“Arah jam dua!” Naya memberi clue, namun Zia tidak sama sekali menoleh, membuat Naya menghela napas malas. “Dia masih ngeliatin kamu, Zi. Napain kamu liat-liat yang lain?”

“Ssst, ini namanya jual mahal!” Zia menginterupsi Naya, membuat Naya segera menutup mulutnya.

“Emang perlu, ya?” tanya Naya, matanya terlihat antusias ketika melihat Zia akan membuka mulutnya kembali untuk berbicara.

“Emangnya kamu mau dikira gampangan?”

Naya terdiam. Pikirannya kembali mengingat aksi kelakuannya kemarin. Wajahnya mendadak memerah saat melihat segerombolan senior melewatinya.

Wajah laki-laki kemarin ... ah, apakah dia juga menganggap Naya gampangan?

Naya 'kan hanya ingin jujur saja. Apa itu termasuk tindakan yang salah dan fatal untuk dilakukan?

“Au ah, aku ke toilet duluan Ziii!” Naya buru-buru pergi sebelum gerombolan senior itu berpapasan dengannya, membalikkan tubuhnya dan menghilang seketika. Ia tidak menyadari kalau senior yang itu sudah melihat Naya terlebih dahulu. Bahkan, ia mengulas senyum melihat kelakukan Naya.

Kini Zia berjalan sendiri sementara Eza masih terus melempar senyum padanya. “Zi, lewat aja, Zi.” Zia berjalan sambil menunduk.

“Awas!

Tubuh Zia limbung seketika ketika sepasang tangan menarik tubuhnya agar tidak menabrak para senior, membuatnya lantas bertabrakan pada dada bidang lelaki yang tak asing itu.

“Drama banget anjiiir,” sinis Maya, senior yang menghampiri Zia waktu ospek kemarin. “Ga bakal mati kok kalo ketabrak.”

“Ga usah ditanggapin, Zi. Lidah menentukan kualitas diri.” Tanpa ragu, Eza membalas omongan perempuan itu.

Mendengar ucapan Eza, pupil mata Maya membesar. “Udah May, emang kamu yang salah, kok.” Senior yang dipuja-puja Naya menghentikan perempuan itu untuk berbicara lebih jauh.

Eza menarik tangan Zia pergi, tanpa peduli akan tatapan senior perempuannya yang memandang mereka seolah musuh bebuyutan.

“Za, tangan kamu,” cicit Zia.

Sadar masih menggenggam jemari Zia, Eza buru-buru melepasnya. “E-eh, maaf Zi. Tadi aku refleks.” Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Zia tersenyum. “Makasih ya, lagi-lagi ditolongin sama kamu.”

“Ga perlu makasih lagi. Aku emang ga suka sama sikap mereka. Terlalu arogan.”

Zia tidak bisa menahan senyumnya mendengar jawaban Eza. “Eh, kayaknya ruangan aku kelewat deh.” Sadar sudah berjalan terlalu jauh, Zia segera menghentikan langkahnya.

“Oh?” Eza ikut berhenti. “Memangnya kamu ruang apa?”

“H 1.4,” jawab Zia.

“Lha, sekelas dong?”

“Kamu matematika juga, Za?”

“Iya, aku matematika.” Eza menjawab tanpa ragu. Keduanya lantas tertawa.

“Ya udah, kalo gitu aku harus pandu kamu balik kelas, dong,” tawar Eza. “Kasian banget senior galak itu, ospek tiga hari ga bisa bikin seorang Zia menghapal letak ruang kelasnya.”

Zia tertawa mendengar ejekan Eza. “Harusnya seniornya baik-baik jelasinnya biar gampang dipahami sama juniornya, hahahah ....”

“Zi, ada ga cowok yang bilang ke kamu ini?”

“Apa?” tanya Zia balik.

“Kamu cantik kalau lagi senyum.”

Splaaash!

Serasa terbakar, pipi Zia langsung bersemu merah. “Apaan sih, jayus banget!” elak Zia.

“Hahahah, eh ... pipi kamu kok merah sih, Zi? Kamu sakit ya?”

“Ezaaaa!”

Zia rasanya ingin mengubur tubuhnya sendiri sekarang juga. Ia langsung menoleh ke samping, menghindari Eza yang masih menertawainya. Zia sendiri heran, kenapa wajahnya bisa memanas secepat itu saat diejek Eza?

... -toxic- ...

“Abis dari mana, Zi? Kok lama banget?” Naya langsung menyeletuk bertanya saat Zia menghampiri kekantin. “Eh ada Tapai Busuk, ups!” Naya langsung menutup mulutnya saat ia tidak sengaja menyeletuk.

Mendengar dirinya masih dipanggil Tapai Busuk, Eza tertawa. “Hahahah ... Eza, panggil aja Eza.” Eza membenarkan nama panggilannya.

“Oke, Eza. Maaf banget lho ya, bukan maksud aku pengen ngejekin kamu, itu kemarin nama julukan kamu kemarin, kan? Kamu ga tersinggung, kan?” Naya memastikan laki-laki di hadapannya tidak merasa tersinggung sehingga dia tidak harus menanggung beban dendam dari orang lain.

“Ngga kok, sans,” jawab Eza santai sembari mengikuti gerak Zia, mendaratkan bokongnya ke kursi. Saat ini Zia dan Eza duduk bersebelahan sementara Naya tepat berada di hadapan Zia.

“Makanya, Nay. Jangan kebiasaan nyeletuk sembarangan,” sindir Zia.

“Iya, iya. Maaf, Bu Zia.”

“Hahahah ... kalian ini lucu ya. Mau pesan apa, nih? Biar aku pesenin?” tawar Eza.

“Aku bawa bekal, Za. Pesen es jeruk besar aja satu.” Naya menunjukkan kotak bekal yang baru saja ditariknya keluar dari dalam tasnya.

“Oh, oke. Kamu, Zi?”

Zia juga mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya. “Es kopyor aja, Za. Aku juga bawa bekal soalnya.”

“Kalian berdua bawa bekal? Janjian?” tanya Eza.

“Kami tinggal serumah.” Naya dan Zia kompak menjawab.

“Oke, keren.” Eza segera berjalan pergi menuju salah satu konter makanan.

-To be Continue-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status