Cinta sejati akan tetap bersatu, walaupun awalnya akan menyakitkan."
Sanee duduk di taman sendirian. Dia Memaksa Shae untuk mengantarkan dirinya menikmati angin disana.
Gusti mendekat dan bersimpuh di depan Sanee. Dia hanya diam dan tak bergerak.
Ini orang gak ada bosennya apa. Batin Sanee.
Ini sudah ke 10 kalinya Gusti menemui dirinya. Selalu mengaku sebagai mantan suaminya.
Menikah dengannya pun Sanee tidak ingat. Bagaimana dia bisa punya mantan suami seperti Gusti.
"Aku mohon, please ingat aku San". Lirihnya. Bahkan Gusti sudah memasang wajah nelangsanya.
Sanee mencoba mengingat memori antara dirinya dan Gusti, tapi nihil. Dia merasakan sakit kepala yang luar biasa saat ini.
"San?"
Sanee memegangi kepalanya dan meringis kesakitan. Tidak ada memori tentang Gusti, walaupun dia berusaha mengingat. Hanya
Aku kuat jikalau hanya sebentar....Aura duduk di atas sofa berwarna coklat, dan memandang jendela di depannya, ini sudah pukul delapan malam dan orang yang dia tunggu, belum datang juga. Aura menghela napas berat, kenapa harus seperti ini? Kenapa harus setiap hari? Dia menggeleng pelan. Lalu mengecek handphone miliknya yang tergeletak di meja. Sepi dan sunyi, tidak ada panggilan atau pesan dari orang yang dia tunggu. Pesan? Bahkan sepatah katapun tidak pernah diucapkan di depan Aura. Dia diam dan berharap lelaki itu segera pulang dengan selamat.Deru mobil dan ban yang berdecit memasuki garasi, Aura bisa tersenyum lega. Dia menata rambutnya agar rapi, membenarkan pakaiannya yang lecek, agar terlihat rapi. Langkah kaki berderap di depan pintu, rasanya jantung Aura berdetak berkali-kali lipat. Suara pintu terbuka membuat Aura menoleh ke arah pintu dan disana ada seseorang yang dia tunggu sedari tadi. Lelaki berbadan te
Gusti Irwanda Laksmana, lelaki matang dengan segala pesona dan arogansinya yang membumbung tinggi di atas langit. Berjalan dengan angkuh menuruni tangga. Langkahnya yang panjang, membuat dirinya cepat sampai ke ruang makan. Dia duduk dengan angkuhnya, melihat beberapa hidangan yang telah tersedia di meja makan. Dia mengamati kursi di sampingnya, dan wajah arogannya berubah menjadi sendu. Sungguh dia sangat merindukan masa itu.Diah berjalan dari arah dapur dan meletakkan secangkir kopi di samping Gusti. Dia menunduk untuk undur diri, dan berjalan menuju halaman belakang. Setiap pagi memang Diah akan berada disana, bersama perempuan itu. Ah, perempuan itu. Kata apa yang pantas untuk disebutkan, memang benar mereka telah menikah, tapi bagi Gusti, ini adalah pernikahan yang sangat terpaksa dia jalani. Dia ba