Share

05. Ya, Aku Altezza

Ini adalah hari kedua Ester masuk kerja ditempat ini, lebih tepatnya tempat dimana dia harus melindungi seseorang itu. Walaupun dia tak tahu apa dan bagaiman dia melakukannya, tapi perasaan harus yang tiba-tiba muncul itu membuatnya benar-benar merasakan kalau itu bukan hanya sekedar ucapan omong kosong dari Bu Maryam saja.

Pagi ini, dia masih belum bertemu dengan Manajer Pemasarannya, yang mereka bilang si Mister X itu, pun dia belum berhasil bertemu dengan CEO dari RCT ini, si Ravindra Altezza orang yang dimaksud oleh Bu Maryam.

Ester sedari kemarin masih mempelajari produk-produk yang harus dia kuasai dan juga dia harus mengerti apa saja aturan main yang harus dipatuhi ditempat ini tak terasa jam di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul dua belas lebih lima belas menit, perut Ester memberikan instruksi agar dia segera mencari sesuatu untuk menenangkan bunyinya. Tapi sepertinya ini tidak digubrisnya, karena ada hal yang lebih penting yang menggelitik rasa ingin tahunya.

“Bu Nazifah ya?” Suara laki-laki diluar mengejutkan Ester.

“Oh iya, Saya Nazifah pak biasanya panggilannya Ester saja Pak.” Ester langsung berdiri dan memperhatikan laki-laki yang berdiri dihadapannya, laki-laki paruh baya dengan badan yang memiliki lemak cukup tebal, wajah bulat dihiasi jambang dan jenggot rapi, kulit sawo matang menggunakan kacamata full frame bewarna coklat dan memakai setelan jas coklat tua.

“Perkenalkan, saya Haryono, cukup panggil Hary saja.” dia memperkenalkan diri, dan artinya dia adalah atasannya yang disini, julukan Mister X dari anak-anak itu.

“Ah, ini Pak Hary ya, maaf kurang mengenali Bapak barusan.” Ucapnya dengan merasa bersalah dan suara yang sangat lembut dan santun.

“Yang lain sedang keluar semua ya, pasti Bu Ester bingung apa yang harus dikerjakan.” ucapnya dengan suara yang ramah.

“Benar pak, yang lain sedang ada janji temu keluar. Saya sih baru baca-baca saja dulu tentang kebijakan perusahaan pak,  mohon dibantu untuk arahan dan juga bimbingannya ya pak.” Ester berkata dengan lembut.

“Bu Ester,  kemarin salah satu rekan kita ada yang mengajukan pengunduran diri, tapi masalahnya kita harus mengorbankan satu orang lagi untuk diputuskan kontrak dengan perusahaan.” laki-laki itu menghela nafas dalam dengan pandangan yang jauh dan masih berdiri didepan meja Ester.

Saat ini Ester bingung apa yang harus dijawabnya, karena dia masih belum menemukan makna dari apa yang diucapkan lawan bicaranya ini.

Kemudian Pak Hary masuk kedalam ruangannya lalu keluar kembali membawa sebuah map dengan kertas yang isinya lebih dari sepuluh lembar.

“Ini, berkas pencapaian yang dilakukan anak-anak, coba pelajari dan berikan jawaban pada saya besok pagi, siapa yang harus dikeluarkan dari tim kita menurut penilaian Ibu.”

Ester melongo mendengar ucapan dari Pak Hary, “Maaf pak,  maksudnya kita harus mengeluarkan salah satu dari mereka dari perusahaan kita begitu?”

Pak Hary hanya tersenyum penuh arti, “yah begitulah seharusnya disini.”

“Tapi disini apakah ada aturan tertulisnya pak?”

“Jika kamu ingin bekerja lama disini, lakukan saja seperti apa yang saya katakan.” kemudian Pak Hary meninggalkan Ester sendiri dengan kepalanya penuh berbagai macam pertanyaan.

“Tapi Pak Harry, apa bapak bisa jelaskan hal ini pada Saya dulu?” Tanyanya makin penasaran.

“Jangan banyak pertanyaan jika kamu tak mau diberhentikan sebelum satu bulan kau bekerja. Apa kau mau seperti itu?” Pak Harry berkata dengan penekanan seakan tak boleh dibantah.

“Tapi Pak …” Ester masih berkeras bertanya.

“Tak ada tapi. Saya msih ada urusan, kau berikan jawabannya besok pagi sebelum bos besar kita memanggil, karena kalau kau tak mau melakukannya maka Aku akan memilihmu untuk diberhentikan dari tempat ini.” Ancamnya.

Saat laki-laki itu mengancamnya dengan hal barusan, yang menjadi beban pikiran Ester adalah, dia tak akan bisa bertemu dengan laki-laki yang bernama Ravindra Altezza ini, seseoang yang membuatnya merasa memiliki banyak beban.

Dia akhirnya bungkam, memilih untuk tak bertanya lagi, laki-laki itu kembali pergi entah mungkin dia ingin bertemu dengan customer atau apapun itu, yang jelas saat ini Ester benar-benar bingung dengan semua hal ini.

Ini merupakan pergulatan batin  sangat luar biasa,  karena baru kali ini mungkin pendapatnya akan memengaruhi kehidupan seseorang kedepannya, ini tentang memutus rezeki orang lain, mana mungkin harus asal. Sedangkan disisi lain, bukankah ini terlihat hebat, nasib orang lain bisa terpengaruh karena kata-kata yang keluar dari mulutnya?

“Apa yang harus aku lakukan dengan data-data menarik ini?” gumamnya pelan, dia membolak-balikkan laporan hasil penjualan yang mereka lakukan, semuanya menunjukkan angka yang positif dan semua juga memberikan sesuatu yang berbeda. Mereka semua memiliki kelebihannya masing-masing. Ada yang pintar bekerja sama dengan korporasi, ada yang pintar mendekati orang secara personal, entah kenapa dia harus pusing menentukan siapa yang harus dikeluarkan?!

”Pencapaian ini hasilnya sangat memuaskan seluruhnya. Ini hari kedua yang membuatku gila, ah … ternyata benar rumput tetangga lebih hijau daripada punya sendiri. Kalau begitu harusnya aku tidak perlu untuk repot-repot menjadi bagian dari RCT ini.” Dia mulai mengumpat. Kesal sekali rasanya saat ini, rasa lapar yang barusan hinggap diperutnya perlahan hilang karena tugas untuk mengeliminasi orang lain.

'Mario, Agus, Ferina kenapa harus nilainya terbawah dengan angka yang sama. Dunia memang sudah gila. Apa yang harus aku lakukan?'

Ester membolak-balikkan kertas itu, lalu mengecek ke dalam sistem laporan mereka, jelas saja tak mungkin untuk memutuskan hubungan Kerja dengan alasan angka pencapaian, satu-satu cara ya dengan cara memastikan kalau salah satu dari orang-orang ini memiliki sifat yang tak baik.

Namun demikian tak mungkin dia bisa tetap memutuskan salah satu dari mereka, sebab dia juga baru kenal kemarin, sifat asli seseorang jelas belum akan terlihat saat ini, dan dia tak bisa menilainya. Lama dia berkutat memikirkan hal ini hingga akhirnya alarm berbunyi kriuk-kriuk dari dalam perut Ester. Saat dia melihat penunjuk waktu ditangannya, dia juga terkejut sudah pukul Lima kurang Lima belas menit yang artinya lima belas menit lagi waktunya pulang.

Dia harus menemui HRD dan meminta penjelasan tentang hal gila ini! Harus!

Ester kembali memikirkan anak buahnya itu, sepertinya Walaupun sulit, tapi mereka mengeluarkan senyum dengan lepas dan tanpa beban, apa yang sebenarnya terjadi diperusahaan ini? Apa yang terpikir oleh manajemen tentang hal ini, apakah ini masuk akal? Gumam Ester sendiri sambil memandangi kertas-kertas dihadapannya, 'Arrggghh .… ' Ester mengacak rambutnya tanda kekesalan,  tapi untungnya saat ini semua orang sedang ada diluar sehingga tidak ada orang melihat apa yang sedang dilakukannya.

Dengan cepat dia melangkah keluar dari tempat ini, bertanya dimana ruangan HRD untuk menanyakan tentang formasi pegawai, dan alasan yang tidak masuk akal baginya.

***

Dia menemukan ruang HRD, kepala Divisinya bernama Bu Zeti Arianti, tapi saat sampai disana ruangan itu sudah kosong, hanya ada satu orang saja yang tersisa disana.

“Maaf, bisa saya bertemu  dengan Ibu Zeti?” Ester kemudian bertanya dengan orang yang tersisa disana.

“Oh, Ibu Zeti baru saja pulang,  ada perlu apa ya?” tanya laki-laki yang berpakaian kemeja hitam corak kotak yang sedang bersiap-siap untuk pulang, karena semua barang-barang diatas mejanya sudah bersih dan rapi sekali saat ini.

“Ah,  kalau begitu besok saja. Terima kasih ya.” Ester langsung membalikkan badan keluar dari ruangan itu.

“Kamu Nazifah bukan ya?” laki-laki itu mengejar Ester yang sudah berjalan meninggalkan ruangan HRD sambil membawa sesuatu ditangannya.

“Iya saya, kenapa Pak?” Tanya Ester padanya.

“Sekalian,  mumpung kamu disini, saya tadi siang rencananya mau memberikan kartu pengenal ini, tapi saya tidak sempat.” dia memberikan kartu pengenal identitas dirinya selama di gedung ini beserta holder dan gantungannya kepada Ester, sebuah tag name resmi, beda seperti yang sebelumnya yang hanya berupa pengenal biasa saja dan kartu yang terlihat nampak tipis.

“Nanti kartu sementara itu kembalikan saja kemari, atau bisa kau titip di resepsionis kalau tidak sempat. Jangan sampai kehilangan kartu itu.” Ucapnya memperingatkan.

“Oh Iya pak, Saya akan kembalikan ke Resepsionis saat saya pulang nanti.” Ester berkata dengan tersenyum.

“Okay, Saya pulang dulu.” Dia kemudian berjalan mendahuli Ester menju Lift.

“Baik Pak, hati-hati dijalan.” Ucapnya berbasa-basi.

“Andi, nama saya Andi” ucapnya kemudian berbalik lalu menjabat tangan Ester, “langsung digunakan saja tanda pengenalnya biar mudah untuk akses masuk keluar gedung dan ruang kerja, jadi gak repot harus ikut sama orang.” tambahnya kemudian, seakan dia sangat memahami bahwa baru saja Ester bersama salah satu karyawan yang lain untuk masuk ke ruangan HRD tadi.

“Ok Pak Andi,  terima kasih. Saya kembali ke ruangan dulu ya.” Ester membalikkan badan dan menuju ruangannya sambil mengalungkan tanda pengenalnya. Namun, dalam hatinya dia masih sangat penasaran dengan apa misteri dibalik RC Techonology ini.

“Pak Andi, apa Saya boleh bertanya beberapa hal dengan Bapak sebentar saja?” Ester berharap laki-laki ini bisa memberikan penjelasan yang masuk akal di kepalanya.

“Ah …” laki-laki itu, lalu melihat jam dipergelangan tangannya, memberikan kode kalau dia tak bersedia menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh Ester.

“Tapi kalau itu tak mengganggu sih, uhm …. kalau Pak Andi ada acara lain gak masalah biar besok saja Saya tanya sama Bu Zeti langsung.” Ucapnya pada Laki-laki bernama Andi itu.

“Lima menit mungkin cukup ya.” Dia lalu tersenyum pada Ester, karena merasa tak enak hati dengan karyawan baru.

“Sebelumnya, Bapak bisa panggil Saya dengan nama Ester saja.” Ester membuka kalimat basa-basinya.

“Ah iya baiklah Bu Ester.” Andi lalu tersenyum ramah dan mempersilahkanEster untuk bicara dengan cepat.

“Saya hanya ingin tanya, kenapa kami harus memberhentikan satu orang lagi dibagian marketing padahal pencapaian mereka sudah sangat bagus sekali.” Ester bertanya dengan tatapan tajam.

Seketika itu juga wajah laki-laki bernama Andi ini berubah dengan sangat drastis yang awalnya nampak ramah berubah sedikit masam, seolah pertanyaan itu tak harus diajukan padanya.

“Pak Andi …” Panggil Ester.

“Ah Iya Bu Ester, kalau masalah itu sepertinya Saya kurang mengerti, bisa ibu tanyakan sama Bu Zeti langsung karena Saya tak berkompeten untuk menjawab hal itu.” Tolaknya halus.

“Tapi Pak Andi …”

“Ah Sepertinya Saya harus pergi sekarang Bu Ester, Saya permisi dulu.” Dia langsung berlalu dari Ester tanpa menoleh lagi kebelakang, hal ini membuat Ester nampak sangat kebingungan, jelas saja ini sangat ganjil sekali. Apakah ada hal yang harus dipenuhi ditempat ini, misalnya sebuah peraturan tak tertulis seperti itu.

Entahlah yang jelas banyak hal aneh yang ada di perusahaan ini sekarang. Ester lalu Menunggu lift untuk turun ke ruangannya di tingkat lima tapi sayangnya terasa sangat lama sekali karena saat lift terbuka selalu saja penuh, bertepatan dengan jam pulang kantor,  akhirnya dia memutuskan untuk menuju kamar kecil terlebih dahulu.

Sesampai dikamar kecil, Ester langsung melihat kanan dan kiri tempatnya kosong dan kamar kecil ini sangat bersih dengan warna dominan putih. Kemudian dia memandang cermin yang besar di wastafel dan bercermin.

“Hai Aliester, apa yang harus aku lakukan?” Ester bertanya pada bayangannya sendiri yang memantul lewat cermin. Pikirannya kembali pada pekerja yang harus berhenti karena salah satu dari mereka mengajukan pengunduran diri.

“Apakah aku harus benar-benar memutuskan siapa yang seharusnya tidak layak disini?”, tanyanya lagi.

“Tapi mereka semua itu bagus, pencapaiannya luar biasa, masa aku harus menyingkirkan salah satu dari mereka… ” Ester terus bicara sendiri di depan cermin.

Setelah puas melemparkan keluh kesahnya Ester keluar dan menuju ke arah lift. Pintu Lift terbuka, hanya terisi satu orang saja, dengan satelan jas yang sangat sepadan membungkus tubuh idealnya. Ester langsung masuk saja dan menekan angka lima, berdiri membelakangi laki-laki itu.

“Nazifah Aliester.” laki-laki itu membaca tanda pengenalnya sebelum Ester memasuki lift.

Ester kaget mendengar namanya disebut.  “Ah iya itu saya,  kenapa?” tanyanya dengan tanpa beban.

“Pikirkan saja berapa lama kau bisa bertahan disini.” ucap laki-laki yang satu lift dengannya.

“Maksud kamu apa?” Lift berbunyi pertanda mereka sudah sampai di lantai lima dan terbuka.

“Pikirkan saja sendiri. Saya rasa kamu sudah sampai. Silakan keluar.” laki-laki itu mempersilakan Ester keluar.

Ester melangkah keluar dan ada suara didalam kepalanya untuk berkata, ‘Altezza, Apa kau Altezza?  Ester membalikkan badannya dan berkata, “Altezza!” Suara Ester terdengar berbeda, agak lantang dan jelas tertuju pada laki-laki itu. Hal ini terjadi secara alamiah, dia bahkan bingung dengan reaksi yang diberikan oleh tubuhnya.

Laki-laki itu terkejut dan pintu lift ditahan oleh Ester agar tidak tertutup, kemudian penglihatannya terasa kabur suara itu kian membesar membuatnya terasa sangat pusing sekarang ini, suara yang berkata bahwa laki-laki itu adalah Altezza, mungkin yang diceritakan oleh Ibu Maryam benar adanya, pikiran aneh itu kian bermain secara acak didalam kepalanya.

“Ikut Aku sekarang!” Ucap laki-laki itu pada Ester.

Dia kemudian menarik tangan Ester masuk kembali kedalam Lift.

Dalam kepalanya Ester masih terdengar jelas, bisikan yang entah darimana hal itu berbunyi, sampai akhirnya tibalah dilantai ruangan Ravindra Altezza.

Laki-laki itu tak memedulikan Ester yang sebenarnya susah untuk menahan badanya agar tetap bisa memiliki kekuatan untuk berjalan, karena saat ini dia merasakan lemas yang luar biasa.

Jika ini laki-laki yang dimaksud dia harus mencari cara bagaimana agar dia bisa duduk bersama dan mengatakan kalau laki-laki ini dalam bahaya sekaran, tapi sayangnya apa yang ada dalam pikirannya saat ini tak bisa dia hilangkan, dengungan suara-suara itu terus bermain seakan menghancurkan gendang telinganya, dia juga tak menyadari kalau saat ini dia berada di sebuah ruangan yang cukup besar. Ruangan Ravindra Altezza.

Ando yang melihat bosnya membawa seorang wanita yang kini terlihat seperti badannya limbung dengan heran, pasalnya bosnya tak pernah mau berurusan dengan wanita, apalagi wanita itu adalah karyawan perusahaan.

“Ando masuk kedalam.” perintahnya, sebelum Ando memikirkan hal yang lebih jauh tentang wanita itu.

Ester hanya diam dia masih terasa sangat pusing, dia tak mengubris apa yang ditanyakan oleh Ravindra padanya, jangan tanya banyak hal karena dia tak bisa mendengar ucapan Ravindra sedikitpun saat ini, yang ada dia menahan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya saat suara-suara itu bermain dengan hebat memenuhi semua rongga telinganya.

“Hei! Kau jangan pura-pura bodoh dan jangan mencari perhatian! Katakan padaku apa hubunganmu dengan Ibuku!” Ucapnya pada Ester, tapi jelas sekali Ester tak mendengarnya, dia sibuk sendiri dengan suara-suara itu, Ester terlihat seperti orang linglung dengan memegang kepalanya karena terasa sangat sakit.

Makin lama suara itu makin keras terdengar dan juga makin membuatnya susah untuk menahan sakit kepala. Tak lama kemudian pandangannya itu kian kabur, Ravindra yang berada dihadapannya saat ini benar-benar kebingungan, kalau tadi dia ingin marah tapi kalau sekarang dia tak tahu apa yang harus dia buat pada wanita ini, wanita ini masih memegang kepalanya sedari tadi.

“Kau … katakan kalau kau Altezza!” teriak Ester dan suara teriakan itu memenuhi ruangannya, membuat Ando dan Ravindra terkejut mendengarnya.

“Ya Aku Ravindra Altezza.” Jawabnya dengan sangat mantap.

Setelah mendengar ucapan itu Mata Ester kian kabur lalu sekitarnya menjadi sangat gelap, kemudian dia terjatuh tak mampu menahan beban tubuhnya lagi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status