Share

3. Obrolan Berat

Tips yang kedua, cobalah mencari tahu kesukaan atau hobinya agar komunikasi kalian berjalan lancar.

Aku menatap layar ponselku, melanjutkan membaca artikel kemarin. Tips yang pertama bisa dibilang cukup berhasil. Buktinya, Evan secara sukarela duduk di sebelahku ketika makan malam. Artinya, dari segi penampilanku tidak masalah bukan?

Yang menjadi masalah tadi malam adalah ayah yang lebih banyak bertanya kepada Evan soal kehidupan lelaki itu. Namun karena hal itu, aku mengetahui bahwa Evan hanya memiliki kakak laki-laki bernama Damian yang sekarang bekerja di luar negeri.

"Kiran, sarapannya dimakan dulu," ujar ibuku membuatku sadar bahwa sekarang aku sedang berada di meja makan.

"Kan selalu juga gitu si Kiran." Suara Kanaya membuatku menatap tajam kakak perempuanku yang sedang asyik mengunyah sosis dalam mulutnya.

"Oh ya, Kak Evan yang tinggal di rumah depan kenapa bisa pindah ke sana?" tanya Kanaya membuatku ikut penasaran. Maklum saja, dia pulang terlambat tadi malam dan hanya menemukan ayahnya sedang menonton siaran langsung sepak bola. Sedangkan aku harus menyelesaikan catatan buku Deril yang sempat tertunda.

Ayahku berhenti mengunyah sejenak. "Hm, Evan kan bekerja di salah satu perusahaan konstruksi dari pamannya bernama Damian, terus dia dipercayakan untuk mengelolah cabang di kota ini."

Aku hanya menganggukkan kepala telah mendengar hal itu pada tadi malam ketika makan malam bersama Evan.

"Tapi, katanya cuma setahun ini. Soalnya Evan berniat melanjutkan pendidikan magisternya di Prancis, tempat Andre kakaknya sekarang tinggal," lanjut ayahku yang membuatku membulatkan mata. Pasalnya hal tersebut baru pertama kali kudengar.

"Jadi Kak Evan cuma bakal tinggal selama setahun di sini?" tanyaku dengan terburu-buru.

Ayahku tersenyum singkat. "Belum tahu, kan baru rencana nanti mau lanjut kuliah."

"Bagus itu, selagi masih bisa belajar, kenapa harus menundanya?" Ucapan Kanaya jelas secara tidak langsung menyindirku. Kulihat dia mulai bangkit berdiri dan mungkin akan segera berangkat kuliah.

Bicara tentang Kanaya hanyalah seputar ambisi perempuan itu untuk terpilih menjadi Presiden BEM semester ini. Aku bahkan belum pernah mendengarnya memiliki pacar lagi setelah kuliah. Padahal seingatku Kanaya cukup bersenang-senang sewaktu SMA, tidak terlalu aktif di eskul dan kebanyakan waktu luangnya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan bersama teman-temannya. Namun semua berubah, sejak dia sudah menjadi mahasiswi.

Akhirnya pagi itu aku tidak bisa berhenti memikirkan betapa singkatnya mungkin waktu kebersamaanku dengan Evan. Berarti aku harus segera mengambil langkah maju lebih cepat. Kenapa ini harus terjadi ketika aku harus kelas dua belas SMA?

"Kiran, ayo berangkat nanti telat," ujar ayahku membuatku tersadar bahwa harus berangkat ke sekolah.

Pelajaran olahraga untuk mata pelajaran pertama membuat raut wajah murid laki-laki dalam kelasku menjadi suram. Bagaimana tidak, langit cerah pada apel pagi, kini berubah menjadi mendung sendu disertai dengan tiupan angin yang cukup kencang.

Untung saja aku belum mengganti seragam batikku dengan pakaian olahraga. Ini semua berkat sibuk memikirkan taktik untuk menerapkan tips yang kedua. 

"Gila kenapa cuaca malah gini sih."

"Mana tim buat main sudah dibagi dengan baik lagi."

Aku melirik sekumpulan murid laki-laki dalam kelasku yang menggerutu akibat rencana mereka yang gagal. Sedangkan murid perempuan lainnya malah mengeluhkan pencahayaan yang minim untuk berfoto atau membuat video TikTok.

Kuyakin guru olahragaku juga hanya akan tinggal di ruang guru, melihat rencana bermain basket yang pekan lalu dia rencanakan menjadi batal, karena cuaca yang kurang bersahabat.

"Kiran, ada yang cari!"

Seruan seseorang membuatku mendongak dan menoleh ke arah pintu. Aku telah mengira bahwa mungkin itu adalah Deril yang akan meminta bukunya kembalinya. Nyatanya adalah mantan yang kini menjadi pusat perhatian.

Aku menghela napas panjang kemudian bangkit berdiri. Bisa kulihat wajah Ruri menatapku dengan penuh rasa penasaran.

"Ada apa?" tanyaku tanpa berbasa-basi kepada Fahmi. Aku berdiri tepat di depan pintu kelasku, membelakangi murid dalam kelas yang menatap kami seolah sudah tidak sabar melihat drama klise tentang sepasang mantan kekasih yang kembali bertemu.

"Aku mendengar kau dekat dengan Deril," uhar Fahmi membuatku terkekeh.

"Ini masih jam pertama. Dan kau datang hanya untuk menanyakan hal itu?" tanyaku berkacak pinggang menatapnya.

"Hei!"

Belum sempat Fahmi akan membalas ucapanku, sebelum seruan lain datang dan itu adalah Deril. Tidak imgin membuat situasi semakin dramatis dan menjadi tontonan satu kelasku, segera aku menuju kembali ke bangkuku dan mengeluarkan buku Deril dari tasku.

"Ini, pegal tanganku menulisnya," ujarku sambil menyerahkan buku catatan tersebut kepada Deril. 

Kulihat wajah Fahmi yang tampak terkejut. Namun dia segera mendengus pelan. "Apa ini? Kau sekarang menjadi tukang catatnya?" ujarnya mencibir.

Aku memutar bola mata dengan malas. "Lagipula itu bukan urusanmu."

"Oke, makasih. Aku akan menunggumu di parkiran sepulang sekolah," kata Deril sambil tersenyum singkat, kemudian berjalan pergi.

"Gini ya Fahmi. Aku tidak tahu apa maksudmu kemari dan menanyakan soal hubunganku dengan Deril, tapi satu hal yang harus kau ingat bahwa … kita sudah putus dan kau telah bersama Soraya," ujarku tidak ingin ada drama lanjutan.

"Jika aku memutuskan Soraya, apa kau akan kembali denganku?" tanya Fahmi menatapku dalam.

Bagai drama televisi, tepat setelah Fahmi mengucapkan kalimat mengundang pertengkaran itu, tiba-tiba terlihat kilat dari langit yang selanjutnya diiringi suara petir.

"Tidak, apa kau sudah gila?" balasku. "Sebaiknya kau kembali ke kelasmu, sebelum melanjutkan omong kosong ini." 

Aku mulai membalik badanku untuk berjalan kembali masuk ke dalam kelas.

"Apa kau mendekati Deril, karena dia anak orang kaya? Kau bahkan rela menuliskan materi catatan untuknya?"

Suara Fahmi yang lumayan keras, menarik lebih perhatian murid dalam kelasku. Mereka satu per satu mulai memandangku dengan tatapan terkejut dan bertanya-tanya dalam hati, apakah yang lelaki itu ucapkan adalah sebuah kebenaran atau bukan.

Aku menyeringai sebelum kembali berbalik badan. "Kau pikir untuk apa aku menolak berpacaran dengan Adnan dan memilihmu waktu itu?" balasku dengan suara tak kalah lantang.

Raut wajah Fahmi terkejut, mungkin karena baru pertama kali mendengar fakta yang kubeberkan ini. Siapa yang tidak mengenal Adnan, mantan Ketua Osis yang merupakan anak politisi ternama di Indonesia.

"Karena kau penuh perhatian," lanjutku kemudian melihat Fahmi terperangah akan ucapanku. "Sebelum kau menjadi laki-laki berengsek penuh dusta."

Ucapanku membuat Fahmi menjadi kicep dan melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Namun begitu aku berbalik, betapa terkejutnya aku melihat murid perempuan yang berdiri.

Clap!

Clap!

Clap!

Satu per satu murid perempuan bertepuk tangan ke arahku. Membuat ekspresi para murid laki-laki menjadi bingung.

"Benar, inilah Kiran kita yang penuh keberanian menyuarakan kebenaran," ujar salah satu murid perempuan dalam kelasku.

"Wah tuduhan tadi sangatlah tidak sopan."

"Laki-laki memang terkadang berengsek."

"Woy, tidak semua ya?" tukas salah satu murid laki-laki lain.

"Perempuan juga kadang suka menyakiti."

Aku tertawa pelan melihat pertengkaran jika kini terjadi antara teman sekelasku satu sama lain. Maklum saja, beberapa diantara mereka juga pernah saling membahagiakan sebelum berpisah dengan pilu.

Aku berjalan kembali menuju bangkuku. Mendapati Ruri menatapku dalam. "Okay, aku minta maaf tidak cerita soal Adnan."

Ruri menggelengkan kepalanya. "Bukan itu. Aku hanya tidak menyangka Fahmi mengucapkan hal seperti tadi."

"Tapi benar nih kau dan Deril tidak punya hubungan spesial?" Ruri seolah masih meragukan antara hubunganku dengan Deril yang sebenarnya harus saling berhubungan, karena sebuah insiden konyol yang kubuat sendiri.

Aku menggeleng dengan yakin. "Aku sudah memiliki calon masa depan."

Mata Ruri membulat. "Apa? Siapa?"

"Rahasia."

Akhirnya hari itu hujan turun hingga jam terakhir pelajaran. Membuat para murid kebanyakan merasakan rasa kantuk meski terus berusaha mencerna apa yang dikatakan dan ditulis oleh guru di atas papan tulis. 

Rintik air hujan yang terus turun menjadikanku setuju dengan ajakan Deril yang ternyata ingin mentraktirku. Lelaki itu seolah merasa sedikit bersalah menyuruhku menuliskan catatan ke dalam bukunya.

"Padahal gak masalah loh sebenarnya," ujarku ketika kami telah berada di parkiran salah satu pusat perbelanjaan.

"Aku yang tidak merasa enak, apalagi datang pas kau dan Fahmi bicara," balasnya membuatku tersenyum singkat.

"Baiklah, rejeki kan gak boleh ditolak," balasku akhirnya keluar dari mobil dan mengikuti Deril masuk ke salah satu resto & kafe dalam pusat perbelanjaan tersebut.

Namun begitu baru di pintu masuk, mataku menangkap sosok Evan telah duduk di dalam terlebih dahulu. Hatiku bersorak gembira dan bibirku tidak bisa menahan senyuman. Bisa kulihat lelaki itu berbicara dengan dua pria lainnya, tetapi dua pria tersebut sepertinya orang asing dari luar negeri. Dari gerak bibir Evan pun bisa kulihat bahwa lelaki itu memakai bahasa asing yang terlihat begitu fasih. Apalagi bisa kuperhatikan lengan kemeja yang digulung oleh Evan menperlihatkan otot tangan lelaki tersebut. Gagah sekali dia!

Tidak lama kemudian aku melihat Evan mulai bangkit dan menyalami kedua pria tersebut. Namun tanpa kuduga pandangannya mengarah kepadaku dan dia melambaikan tangannya.

Aku dengan sigap membalas lambaian tangannya, tetapi ketika ekor mataku menangkap ke arah samping, ternyata Deril juga melambaikan tangannya. Kami berdua kemudian menoleh satu sama lain seolah dalam hati berkata, Kau mengenal Kak Evan?

"Deril … Kiran?" 

Suara Evan membuatku kembali menghadap ke depan dan melihat lelaki itu telah berdiri di hadapan kami. Tidak ingin mengganggu pengunjung yang baru datang juga, akhirnya Evan mengajakku dan Deril untuk duduk bersama.

"Ternyata nama Deril pada buku yang kemarin kau tulis adalah Deril yang kukenal," kata Evan sambil tersenyum. Ah, manis sekali.

"Kak Evan kenal Kiran?" tanya Deril terlihat sudah begitu penasaran.

"Oh itu, Ayah Kiran adalah sahabat ayahku dan aku kebetulan pindah menjadi tetangga Kiran," jawab Evan.

Aku mengangkat tanganku dengan cepat. "Lalu bagaimana dengan Kak Evan, kok bisa kenal dengan Deril?"

Evan tertawa pelan. "Kakak Deril bernama Mayang adalah pembimbingku kedua, ketika memgerjakan skripsi."

Suara kekehan Deril juga mulai terdengar. "Wah sudah lama ya, terakhir kita bertemu di Singapura tahun lalu."

"Benar, benar. Oh ya, masih aktif ikut lomba sains ya?" tanya Evan memandang serius Deril.

"Enggak, mulai sibuk persiapan ujian akhir sekolah," jawab Deril dengan santai.

Dan pertemuan yang seharusnya aku bisa mengenal lebih jauh tentang Evan malah beralih menjadi pembahasan lomba sains, pekerjaan Evan yang berhubungan dengan teori fisika, hingga permainan video game yang sama sekali tidak kumengerti. Hal itupun berlangsung selama hampir satu jam, aku seolah hanya biji kuaci diantara mereka berdua.

Mendengar Evan yang sangat suka membahas berbagai teori sains membuatku berpikir bahwa tips yang kedua akan tidak cocok untukku dan malah akan membuatku terlihat bodoh apabila membicarakannya.

"Oh ya, aku lupa. Kalian kenapa bisa datang bersama? Hanya berdua lagi," ujar Evan kini mulai kembali memandangku bergantian dengan Deril.

Akupun hanya tertawa sumbang. "Rencananya Deril mau traktir aku."

"Tapi malah Kak Evan yang bayar makan sama minumnya," timpal Deril sambil tertawa santai.

"Oh, kalian pacaran?" tebak Evan membuat mataku seketika membulat.

"Tidak."

"Belum."

Balasan ucapanku dengan Deril hampir bersamaan. Namun ketika aku mendengar kata 'belum' otomatis membuat kepalaku menoleh menatap Deril.

"Kalian serasi kok, Deril bisa bantu Kiran supaya tidak remedial fisika lagi."

Perkataan Evan membuatmu meringis pelan. Kuyakin ayah yang bercerita tentang ujian fisikaku akhir semester lalu yang harus remedial. Lalu, kenapa Deril juga harus mendengarnya sekarang? Hilang sudah citra dalam diriku ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status