Share

5. Romantis Tak Melulu Soal Cinta

Sudah hampir dua minggu sejak Evan pindah rumah. Namun kedekatanku dengannya masih sebatas melempar senyum dan salam jika tidak sengaja berpapasan di luar pagar. 

Aku mengakui bagaimana sibuknya lelaki itu bekerja. Setidaknya itulah yang kutangkap setelah memperhatikan Evan selama beberapa hari belakangan ini. Dia akan berangkat bekerja kurang lebih sama seperti diriku yang berangkat ke sekolah, hanya saja lelaki itu pulang sebelum petang. 

Melihat rutinitasnya berangkat dan pulang kerja secara teratur mengingatkanku akan ucapan Evan tempo hari yang berkata bahwa lelaki itu perfeksionis.

"Haafhh."

"Kenapa Ki?" tanya Ruri memandangku bingung.

Kami sedang berada di kafe pada salah satu pusat perbelanjaan. Rasa haus yang mendera setelah mengunjungi beberapa tempat les untuk masuk ke perguruan tinggi membuatku berakhir dengan segelas milk brown sugar.

"Enggak, bingung aja nanti mau ambil jurusan apa," ujarku mengatakan hal yang sejujurnya. 

Selain pusing memikirkan cara pendekatan dengan Evan, aku sebagai anak kelas dua belas juga punya kerisauan sendiri mengenai masa depan setelah lulus nanti. Setidaknya pusing memikirkan jurusan bangku kuliah dulu.

"Kalau aku tetap bakal ambil sastra Indonesia," ujar Ruri mengutarakan keinginannya. Impian yang telah diucapkannya dari semester tahun lalu. Menjadi seorang penulis atau editor.

Aku tersenyum, lalu mencubit pelan pipi sahabatku itu. Merasa gemas dengan keseriusan Ruri yang jarang ditampakkannya. "Nanti kalau nulis, jangan lupa masukin namaku bagian awal sebelum prolog ceritamu."

Ruri mendengus kesal. "Tapi ya gak sabar deh mau jadi mahasiswi. Kak Reno setiap libur semester selalu dua bulanan gitu," ujarnya mengungkit kakak laki-lakinya bernama Reno. Aku pernah bertemu sekali dan lelaki itu sangat berbeda dengan Ruri. 

Reno adalah tipikal laki-laki pendiam, namun jika sudah nyaman dengan seseorang akan berubah menjadi cerewet. Sedangkan Ruri selalu cerewet entah di hadapan orang yang dikenalnya ataupun orang asing.

"Jadi mahasiswi berarti kita sudah dewasa dong," balasku memikirkan status remaja yang mungkin sebentar lagi akan hilang.

Ruri tertawa keras. "Kiran, ukuran kedewasaan seseorang itu tidak bergantung kepada fisik atau usianya, tetapi pola pikirnya." Terkadang aku mengakui bagaimana jalan pikiran Ruri yang benar dan bijak.

"Gimana ya kalau punya pacar orang dewasa?" tanyaku kembali mengingat Evan.

"Tergantung sih, aku lihat Kak Reno pacaran sama Kak Siska kadang saling ngambekan, tapi salah satunya pasti ada yang ngalah."

"Terus Kak Reno itu romantis gak sih?" 

Kulihat Ruri tampak berpikir sejenak. "Banget, luarnya aja kayak cuek. Tapi hampir tiap malam kirimin Kak Siska camilan malam, baik antar langsung oleh dia atau via ojek daring."

Tanpa sadar bibirku terangkat ke atas. Membayangkan kalau Evan akan datang malam-malam ke rumahku membawakan martabak.

"Eh, tapi kok kau malah bahas seolah punya gebetan orang dewasa?" ujar Ruri menatapku curiga.

"Enggak, cuma penasaran aja gitu."

Aku tidak mungkin memberitahukan tentang Evan sekarang kepada Ruri. Setidaknya progress kedekatanku dengan lelaki itu harus berjalan sekitar tiga puluh persen, baru Ruri boleh tahu.

Setelah bersantai di kafe kurang lebih satu jam, Ruri mengajakku ke toko buku untuk melihat-lihat buku paket cetakan untuk persiapan ujian sekolah dan masuk perguruan tinggi. 

Namun langkah kakiku malah menuju ke arah buku yang banyak memberikan tips dan trik tentang masalah percintaan, terlihat lebih efektif daripada artikel yang kubaca sebelumnya. Mataku seketika membulat dan melirik sekitar, memastikan Ruri tidak melihat apa yang sedang kubaca ini. Yang membuatku bertambah tertarik membeli buku tersebut adalah bagian belakangnya terdapat diari, di mana kita bisa menuliskan perjalanan kisah untuk menggapai orang yang dicintai.

"Ayolah Kiran, tanpa usaha Evan tidak menatapmu," gumamku kemudian buru-buru menuju kasir untuk membayar buku tersebut dan setelah berhasil, segera kumasukkan ke dalam tas.

Matahari yang sudah mulai terbenam membuatku dan Ruri pulang secara terpisah. Rasa lelah yang kurasakan setelah seharian berada di luar membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku pulang dengan taksi daring dengan baterai ponsel yang sudah sekarat dan pas sudah sampai, ponselku langsung mati secara otomatis.

"Baru pulang?" ujar Kanaya saat kami berpapasan di ruang tamu. Ia tidak sendiri, melainkan bersama dua orang teman kuliahnya.

"Eh Kiran, wah pakai seragam darimana aja nih." Salah satu teman Kanaya bernama Ayu menatapku sedikit heran.

"Habis dari toko buku, sekalian jalan-jalan di mall," balasku singkat, lalu tersenyum dan berlalu pergi.

Suara kekehan Kanaya dan teman-temannya terus terdengar pada telingaku, hingga aku menutup pintu kamar. Tanpa membuang waktu lagi, segera aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari segala debu dan keringat yang menempel.

Setelah merasa segar, aku mengeluarkan buku yang kubeli sambil menunggu makan malam yang disiapkan ibuku jadi. Senyum langsung merekah pada bibirku, ketika membuka bagian pertama dari buku tersebut.

"Selalu tersenyum padanya ketika bertemu."

Suara yang begitu familier kemudian memaksa diriku menoleh. Mendapati Kanaya berdiri di belakangku sambil menyeringai. 

Hap.

Buku yang tadi kubeli seketika telah berada dalam genggaman kakak perempuanku yang kini tertawa pelan.

"Ibu, Kiran lagi jatuh cinta," seru Kanaya berlari keluar sambil menenteng buku tersebut.

Aku mendengus kesal, lalu berjalan mengikutinya. Menemukan Kanaya memperlihatkan buku tersebut kepada ibu.

"Kiran, kau sekarang sudah kelas dua belas loh," ujar ibuku kini beralih menatapku.

Ibuku sebenarnya tidak pernah berkata secara langsung untuk melarangku pacaran, meski begitu beliau sering memberikanku petuah agar tidak sampai terjadi hal-hal yang buruk. Lagipula Fahmi adalah pacar pertamaku dan sudah pernah bertemu ibuku ketika mengantarku pulang dulu.

"Ih sini," ujarku berusaha merebut buku tersebut, namun gagal, karena tubuh Kanaya yang jelas lebih tinggi dariku.

Tidak puas hanya menunjukkannya pada ibu, Kanaya juga mulai menunjukkan buku tersebut pada teman-temannya dan mereka tertawa sambil memandangku.

Mataku terasa panas sekarang. Entah karena merasa terlalu menyedihkan harus membeli buku seperti itu untuk bisa dekat dengan Evan atau merasa terlalu malu di hadapan teman-teman Kanaya. Tanpa sadar, kakiku mulai berbalik berjalan cepat masuk ke dalam kamar dan menguncinya.

Sudah, luruh air mataku ketika telah tengkurap di atas tempat tidur. Beberapa menit kemudian aku mendengar suara pintu terketuk.

"Yakin nih gak mau makan malam?" tanya Kanaya dengan suara keras. 

Aku melirik pintu dengan tatapan kesal. "Enggak!"

Satu balasan yang lantang membuat Kanaya tidak lagi bersuara. Sepertinya dia sudah pergi. Namun bersikap sok keren seperti ini, nyatanya menyiksa diri sendiri. Terbukti, perutku meringis menahan rasa lapar. Akhirnya aku mencoba bermain ponsel untuk mengalihkan rasa laparku.

Tok!

Tok!

Suara ketukan kembali terdengar, namun aku berusaha mengabaikannya. Anehnya lagi, tidak ada sahutan lain, hingga setelah sepuluh menit aku diam-diam berjalan menuju pintu dan membukanya. Tampaklah sebuah nampan berisi semangkuk mie ayam dan segelas es teh yang membuat perutku berbunyi tanpa sadar. Di samping mangkuk terdapat buku yang tadi kubeli.

Aku berdecak lidah, mengetahui bahwa mie ayam tersebut adalah sogokan permintaan maaf dari Kanaya. Harga diriku nyatanya tidak sekuat rasa laparku. Tanpa berpikir lagi aku segera memasukkan nampan tersebut ke dalam kamar dan menikmati makan malam itu di atas meja belajarku.

Hubunganku dan Kanaya bukanlah tipikal yang manis dan saling curhat satu sama lain. Bahkan kuyakin orang tua kami sudah lelah dengan segala drama pertengkaran yang kami lakukan, namun anehnya kami juga bisa saling mengerti tanpa harus berkata apapun.

Seperti sekarang, meskipun Kanaya sadar bahwa aku tidak ikut makan malam, karena merasa kesal kepadanya dan tidak ingin bertemu. Namun kakak perempuanku itu malah membelikanku mie ayam untuk makan malam.

Satu jam berlalu setelah aku menghabiskan mie ayam itu. Merasa es teh tidak cukup, membuatku terpaksa keluar dari kamar sambil.membawa nampan dengan mangkuk dan gelas yang telah kosong. Namun begitu melirik sekitar, keadaan rumah terlihat sepi.

Kuyakin Kanaya sedang keluar bersama teman-temannya tadi. Aku pun segera mengambil sebotol air dingin di dalam kulkas, namun ketika akan kembali ke kamar, terdengar suara bel depan berbunyi.

Aku yang tanpa rasa curiga segera berjalan ke pintu depan dan membukanya, tanpa mengintip terlebih dahulu. 

"Kak Evan?" seruku pelan melihat Evan berdiri di hadapanku. Masih lengkap memakai setelan kerjanya.

Evan tersenyum tipis kemudian menyodorkanku sebuah kotak. "Tadi ada yang kasih. Kebetulan aku tidak terlalu suka makanan yang manis."

Aku menerima kotak tersebut dengan perasaan berkecamuk, antara terkejut sekaligus bahagia. "Makasih Kak."

Evan mengangguk singkat. Terlihat akan berbalik, namun berhenti sejenak. "Habis nangis ya?"

Pipiku seketika bersemu. Reflek mengusap bagian pipi dan mataku. Lampu teras rumahku tidak begitu terang, tetapi Evan bisa melihatnya?

"Bertengkar sama Kanaya," ujarku berkata jujur.

Tap.

Tap.

Aku menegak salivaku begitu merasakan tangan Evan menepuk kepalaku dengan pelan. "Namanya juga saudara. Romantisnya, ya bertengkar satu sama lain."

Aku mendongak menatapnya. "Tapi ini lebih terasa romantis," balasku memegang tangan Evan yang menepuk kepalaku itu.

Evan menjadi terdiam menatapku dalam tanpa menarik tangannya dan aku tenggelam dalam tatapannya itu.

Kiran! Apa yang baru saja kau katakan tadi?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status