Share

BAB 4

B a y i   B u n g k u s   ( 4  )

P I N D A H   P A N  G G O N
-------- ------- -------- -------------


Dear Deary,

Hari ini tanggal 5 April 2020, pergantian hari yang lumayan berat bagiku. Seharian aku didera sakit kepala hebat. Walau begitu, tetap kurangkai kisah ini, karena dia ...ya, dia yang bersamaku. Dia yang menginginkan kisahnya tertulis dalam buku ini. Sosok yang selalu datang saat hal-hal tak beres terjadi di sekitarku. Ketika kutanya,

Siapa namamu?

Ibu ....

Dia memintaku memanggilnya ibu.

***

1993.

Mbah dukun merapikan pakaian. Sri menemani dengan duduk di tepi ranjang sembari menggendong Tiara. Putrinya itu benar-benar sudah sehat. Batok kepalanya tak lagi lunak.

"Nduk, pesene Mbah. Mengko genep setahun, godamu gede," (Nak, pesan Mbah. Nanti genap satu tahun, godaan akan besar) terang Mbah Dukun. Sorot matanya tajam menatap Sri. Seakan ia telah membaca apa yang akan terjadi.

Sri mengerutkan dahi. Benar-benar tak paham akan maksud Mbah Dukun.

"Kenapa, ya, Mbah?"

"Cah ayu iki, bakal ndelok opo sing ra isa kowe lan bojomu delok." (Anak cantik ini, akan melihat apa yang kamu dan suamimu tidak bisa lihat)

Mendengar itu, refleks Sri mendekap Tiara erat. Bulu kuduknya meremang. Ia tak menampik adanya makhluk-makhluk tak kasat mata. Namun Sri tak begitu takut, karena sekali pun ia tak pernah melihat sosok mereka.

"Mbah, saya tidak mau terpengaruh pada hal-hal seperti itu. Apalagi sampai membawa anak saya, yang tidak tahu apa-apa." Raut wajah Sri menegang.

Selayaknya orang yang sudah menelan asam garam dan lebih tahu, Mbah dukun mengangguk maklum. Ekspresi tak suka Sri ia balas dengan senyum. Tak mudah memang memahamkan orang lain pada hal-hal yang tak bisa di nalar akar sehat. 

Ba'da Ashar Mbah dukun pamit. Kepulangannya di antar Ibu Sri dan Sri sampai teras. Sedang Sapardi, dengan motor pinjaman milik tetangga, ia bertugas mengantar Mbah dukun sampai rumah.

Buntalan kain jarik yang berisi baju-baju, Mbah duku serahkan pada Sapardi untuk dijepitkan di depan.

"Aku pamit, ya, Nduk," ucapnya.

"Hati-hati, Mbah." Sri menanggapi.

"Matur nuwon, ya, Mbah?" Itu ibu Sri sembari menarik tangan Mbah dukun dan mengenggamkan uang yang jumlahnya tak seberapa.

"Podo-podo." (Sama-sama)

Mbah dukun mengusap ubun-ubun Tiara tiga kali. Lalu menjilat ibu jarinya dan menempelkannya lagi.

"Tolak balak. Putuku rak bakal diganggu opo-opo. Ono neng idekku, ora masalah." (Tolak Bala. Cucuku tidak akan diganggu jika ada di sekitarku)

Setelahnya, Mbah dukun benar-benar pergi. Motor bebek berderu halus. Perlahan motor itu bergerak. Mbah dukun yang duduk menyamping perpegangan pada pundak Sapardi.

"Awas jatuh, Mbak," teriak Sri khawatir."

"Aku bali, ya, Nduk." ( Aku pulang, ya, Nduk)

***

1994

Genap setahun usia Tiara. Kondisinya cukup kuat untuk diajak berpergian jauh. Sri ikut pulang ke Surabaya bersama Sapardi. Tak mungkin terus di sini. Tak mungkin juga membiarkan suaminya lelah pulang pergi Surabaya-Nganjuk.

Sapardi pun sudah menyewa kontrakan petak. Harganya tak begitu mahal, karena Sapardi masih mengenal si pemilih kontrakan. Paman dari sahabat baiknya.

Perjalanan dari Nganjuk ke Surabaya cukup melelahkan. Sri sengaja tak membawa banyak barang bawaan, hanya satu tas ukuran tanggung. Isinya baju Tiara dan bajunya yang tak seberapa. Ruang di dalam tas itu pun masih banyak yang kosong.

Setelah sampai di Terminal Purabaya, mereka langsung menaiki angkutan umum yang kebetulan mangkal di area terminal. Tiga puluh menit lebih. Angkutan itu tak kunjung berangkat. Sri mengipasi Tiara dengan ujung kain jarik yang ia gunakan untuk menggendong. Berulang kali menyeka kening putrinya yang mulai berkeringat.

"Pak, belum berangkat juga?" tanya Sapardi. Ia mulai khawatir saat membaca raut khawatir sang istri.

"Sebentar lagi, Mas ... kurang dua penumpang."

Sapardi menyelisik sekitar. Hampir seluruh tempat duduk kayu berbantal busa berlapis perlak hitam itu sudah terisi. Tersisah sedikit ruang di samping Sri. Sapardi mendumal. Ruang sesempit itu mana mungkin bisa diduduki. Jika dipaksa, putrinya akan menangis karena kegerahan.

"Berangkat saja, Pak. Biar saya bayar dua jatah kursinya."

Mendengar itu, Sri yang duduk di sebelahnya langsung menepok paha Sapardi ringan. Kelopak matanya melebar----bentuk dari ketidak setujuannya.

"Kasihan, Tiara, Buk," lirih Sapardi.

"Sayang uangnya, Pak."

"Sudah, tidak apa."

"Bagaimana, Mas?" serbu pak supir. Ia melihat pasangan suami istri itu dari balik kaca spion depan.

"Berangkat, Pak."

Angkutan itu berderu. Bergerak mundur perlahan. Mencari celah di antara angkot lain. Sebelum akhirnya melaju meninggalkan terminal.

Di depan gang besar angkot itu berhenti. Sapardi dan Sri harus naik becak agar bisa sampai ke rumah kontrakannya.

Beberapa tukang becak berjajar. Namun, hanya satu orang yang menawarkan becaknya untuk dinaiki. Seorang pemuda kisaran umur dua puluh lima tahun.

Sembari menikmati suasana sekitar yang masih baru dan asing, Sapardi bertukar cerita dengan pengemudi becak.

"Tahu kontrakan itu dari siapa, Mas?"

"Dari teman, Mas. Kebetulan pemilik kontrakan teman saya."

"Wah, penghuni di sana datang pergi, Mas. Saya kurang tahu jelasnya ... tapi ada kabar yang tersiar kontrakan itu angker."

Sri menyahuti, "Jangan menakut-nakuti, Mas!" Nada suaranya sedikit meninggi.

"Bu, jangan gitu!"

"Kenapa, orang-orang ini suka sekali percaya pada hal-hal seperti itu."

"Loh, saya bukan mengada-ada, loh, Mbak. Kabar itu sudah jadi rahasia umum."

Tak berniat menanggapi, Sri dan Sapardi memilih diam. Sibuk bergulat dengan pikirang mereka masing-masing.

"Nah, sudah sampai, Mas," ujar pengemudi becak.

Di depan mata Sri terhamparlah lahan yang begitu luas, di mana berdiri rumah bergaya belanda lengkap dengan toko kelontong dan gerbang besar hitam di tengah- tengahnya. Perempuan yang sore itu mengenakan terusan selutut bunga-bunga, berhias secukupnya dan membiarkan rambut bergelombang sebahunya terurai, berjalan memasuki perkarangan rumah yang hanya terbatasi pagar tembok setinggi dada. Meninggalkan Sapardi yang sibuk mengubek kantong celananya, mencari uang receh untuk membayar ongkos becak.

Kesan tak terawat tampak jelas. Sisa daun yang gugur dibiarkan begitu saja. Sudah berhari-hari pemilik rumah tampaknya tak menyapu halaman. Secercah sinar jingga menembus panel-panel kaca yang kotor dan menggelayut dengan merana di sepanjang selasar. Sri membawa langkah kakinya mundur. Menjauh. Rasa ngeri mendadak menjangkiti perasaannya.

"Aduh! Kenapa, Bu?"

Sri menabrak tubuh Sapardi.

"Rumahnya kosong, ya, Pak?"

"Oh, Pak Tomo sedang ke luar kota. Beliau hanya tinggal sendiri di sini. Pantas kalau selama beliau pergi rumahnya kotor. Ayo ...," ajak Sapardi.

Sri membiarkan Sapardi jalan lebih dulu. Melewati sisi samping rumah dan toko. Membuka gerbang hitam setinggi kepala Sri. Bertemu deretan rumah yang jumlanya genap dua puluh---jika digabungkan sudut kanan dan kiri. Ada kebun pisang di ujung jalan selebar satu mobil, berlantai tanah itu.

"Ke mana penghuni yang lain, Pak?" tanya Sri. Keadaan kontrakan ini menurutnya lumayan sepi.

"Baru terisi lima kamar, Bu. Lainnya, masih kosong."

Sri tak menanggapi. Keberaniannya digembosi. Nyalinya perlahan menciut. Jika sang suami dapat shif malam, ia akan tidur sendiri, dengan kondisi yang sepi begini.

"Kenapa tidak mencari yang ramai saja, Pak?"

"Mahal, Bu."

Sapardi berbelok pada kamar nomor enam di deret kanan. Menyelipkan anak kunci pada lubang kunci, lalu memutarnya dua kali. Pintu terbuka. Sri mendapati kasur yang diletakkan di tanah dan lemari kayu tak terlalu besar.

"Hanya perabot ini yang baru bisa kubeli."

" Tidak apa-apa, Mas."

Sri meletakkan Tiara yang tertidur pulas. Sapardi mulai memindahkan pakaian  ke dalam lemari. Beberapa menit setelahnya, kumandang azan maghrib terdengar nyaring. Sri melantunkan hamdalah. Beranjak dari duduk dan mengambil mukenah dari dalam tas---belum Sapardi pindahkan.

"Di mana kamar mandinya, Pak?"

"Paling unjung. Dekat kebun pisang."

Sri memberanikan diri pergi sendiri. Berjalan cepat melewati kamar-kamar yang hampir kesemuanya gelap. Hanya dua kamar yang Sri lihat lampunya menyala dan itu kamat paling depan dan kamar yang berada di tengah-tengah.

Sebuah sumur dan tiga buah bilik. Penerangan hanya ada di dalam bilik masing-masing. Lampu kuning lima watt. Perlahan, karena takut terpleset. Sri menapaki lantai plester yang berlumut. Melewati sumur. Sumur? Entah apa yang membuat Sri tertarik untuk melongok ke dalam sumur itu. Ia mendekat. Menumpukan kedua tangannya ke tepian. Menyondongkan tubuhnya maju, dan saat bola matanya bertemu lorong gelap nan dalam itu ...,

Tangis bayi terdengar kencang. Sangking kencangnya Sri sampai terplanting mundur. Itu Tiara. Sri mengenali suara itu. Tangis sang putri. Ada apa?

Secepat kilat Sri berlari kembali ke kamarnya. Tiara menangis kencang dalam gendongan Sapardi.

"Ada apa, Pak?"

"Tidak tahu, Bu. Tiba-tiba setelah suara azan berhenti. Tiara langsung menangis kencang."

Sri mengambil alih sang putri. Menggoyangnya pelan. Menepuk-nepuk badanya. Bahkan menyodorkan ASI. Sayangnya, Tiara tetap menangis kencang. Wajahnya sampai memerah. Tubuhnya kaku. Anehnya, tak ada setetes pun air mata yang keluar.

"Pak, putri kita kenapa?"

***

Beberapa tahun lalu, saya mencoba melihat apa yang terjadi di kontrakan Bapak Ibu, dulu. Teryata, ketika saya mencoba datang ke sana. Saya melihat wanita yang tewas tercebur ke dalam sumur dalam kondisi mengandung. Saat saya kroscek ke bapak ibu, memang  pernah tersiar kabar seperti itu. 

----- ----- ----- ------

T E R T U T U P   S E M E N T A R A

--- ---- --- ---- ---- --- ---- ----- ---- ---- ----

Dear Diary.

Hari ini tanggal 11 April 2020. Kutulis kisah terakhir masa kecilku. Setelah ini, lembar demi lembar tubuhmu akan kupenuhi kisah pertemuanku dengan Ibu. Ya, Ibu ... kau akan mengenalnya nanti. Dia yang berparas ayu. Berpakaian ningrat jawa. Bertutur halus  dan berperangai lemah lembut.

Kehadirannya seumpama embusan semerbak harum dari melati. Wujudnya tampak ayu terbalut memori lalu. Berpejar indah selayaknya emerald. Dia yang selalu berdiri di samping kananku ...

Dia yang memanggilku dengan panggilan, Nduk.

Dan, dia pulalah yang berdiri di hadapanku, malam ini ....

***

1994.

"Pak, Ibu setuju kalau mau pergi ke orang pintar," putus Sri.

Sapardi yang duduk di tepi ranjang, langsung berdiri. Usulannya membawa Tiara ke orang pintar untuk kesekian kalinya disetujui Sri.

Tiga ... lima ... atau delapan? Entahlah, sudah berapa kali ia dan sang istri mengetuk kediaman yang dikata orang pintar. Berbagai jenis jompa-jampi, doa-doa atau pusaka-pusaka telah menemani sang buah hati selama satu tahun terakhir. Tiga di antaranya begitu melekat di ingatan lelaki berperawakan gempal itu. Pusaka keris yang ditempelkan di dahi sang putri. Kalung yang berisi rapalan doa. Dan, kertas bertuliskan ajian yang dimasukkan ke dalam air. Sayang, dari ketiga orang pintar yang kata sebagian orang ampuh, hanya bertahan satu bulan pada Tiara.

"Yakin, Bu?" Keyakinan Sri-lah yang dibutuhkan. Ada teman satu pabriknya yang mengatakan, sebanyak apa pun orang  pintar yang kamu datangi, jika salah satu dari kalian, kamu atau istrimu tak yakin maka akan aber (hambar/tak berfungsi)

"Terakhir, ya, Pak ... untuk terakhir kalinya."

"Iya, Bu ... semoga yang ini berhasil, ya?"

Sri mengangguk, lantas kembali menimang Tiara yang masih meringik. Sekarang pukul setengah tiga pagi. Sebentar lagi ... sebentar lagi  azan Shubuh berkumandang. Sampai saat itu datang, ia mesti bertahan pada tingkat kesadarannya yang semakin menipis. Tubuhnya mulai doyong. Netranya pedas. Tak terhitung  berapa kali ia menguap. Demi buah hatinya, Sri mesti terjaga.

Pernah suatu malam, Sri maupun Sapardi tertidur selagi menjaga Tiara yang sudah bisa ditenangkan. Suara bising perkakas dapur, bercampur gemericik air---seperti sedang dicuci---membangunkan Sri. Aroma wangi masakan terdeteksi sel reseptornya. Gurih. Menggugah selera. Sempat terpekur beberapa saat, mencerna tetangga mana yang memasak tengah malam begini. Sampai akhirnya Sri menyadari Tiara tak ada di sampingnya.

Ia panik. Secepatnya turun dari ranjang. Menyisir area rumah petaknya. Berlari ke luar ketika tak didapatinya Tiara di dalam rumah. Sri tersentak saat menemukan sang putri duduk di tengah jalan. Seorang diri. Tertelan malam yang sepi dan pekat. Membelakanginya. Menggoyang-goyangkan tangannya, seolah tengah bermain dengan seseorang. Tiara mengomel khas bayi. Nadanya ceria. Sri pun mendengar suara lain. Tawa yang samar. Tawa mungil milik balita. Bukan Tiara, suara itu tinggi.

Mengendap Sri mendekat. Berjongkok di belakang sang putri. Lalu, ketika biji matanya tertuju pada ruang hampa di depan Tiara, Sri melihat bayangan itu. Balita laki-laki duduk memegang mainan karet. Matanya hitam pekat dengan darah mengucur deras dari dahinya.

Sri terpental mundur. Napasnya disesap rasa takut. Deru jantungnya naik turun tak teratur. Pertama kalinya ... pertama kali dalam hidupnya, makhluk astral itu menampakkan diri.

Ayat kursi terapal. Sri mengatupkan matanya rapat-rapat. Berharap detik selanjutnya saat ia kembali melihat ke arah yang sama, makhluk itu tak lagi ada.

Satu ... dua ... hitungan dalam hati Sri berhenti di angka tiga, kemudian membuka matanya cepat. Kini Tiara duduk menghadapnya. Tak ada suara lain selain ocehan putrinya yang meminta gendong. Tak ada sosok lain yang berada di tengah mereka. Makhluk itu lenyap. Dan, ini kesempatan bagus untuk membawa Tiara pergi.

------- ----- -----

Mulutnya berkecumik melantunkan doa. Tangannya yang keriput memeluk gelas air. Sri dan Sapardi duduk di sofa depan seorang kakek yang tengah menggendong Tiara. Namanya Mbah Dulah. Orang pintar yang rumahnya hanya terpisah jarak satu desa dengan kontrakan Sapardi. Mbah Dulah terkenal mahir "nimbul bayi". Dibandingkan orang pintar yang didatangi mereka sebelumnya, Mbah Dulah termasuk yang tak neko-neko. Tak ada anjuran membeli bunga, menabur garam krosok ke area sekitar rumah atau lain sebagainya. Hanya meminta setiap menjelang maghrib pintu rumah ditutup rapat. Lantunan ayat suci Alquran jangan sampai terputus satu hari pun. Medianya pun tak ada yang ganjil. Hanya air putih yang dibacakan doa, lalu dibasuhkan ke wajah Tiara.

Saat prosesi itu, Tiara menangis sejadinya. Wajahnya sampai merah. Dan, masih seperti sebelum-sebelumnya, tak ada air mata. Pada bilasan terakhir, Mbah Dulah hanya membasuhkannya pada area dahi, lalu mengusapnya satu arah dari kanan ke kiri.

"Tak tutup sementara. Mengkok lak wes baliq, bakal kebuka maneh. Aku ora isa nutup terus mergo iki gowoan bayi," ujarnya. (Aku tutup sementara. Nanti kalau sudah baliq, akan kebuka lagi. Aku tidak bisa menutupnya terus karena ini bawaan bayi)

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status