Share

BAB 7

B a y i   b u n g k u s    ( 10 )

Dear Diary,

Cerita yang akan kutulis ini, kudengar langsung dari orang tuaku. Bagaimana aku yang masih  kecil dan tak kuasa menanggung rasa takut, harus mendapat penjagaan berupa pagar gaib. Sebagai pelindung. Sebagai benteng yang menghidarkan diriku dari kehadiran mereka.

Benar saja, setelah pagar itu terpasang. Aku jauh lebih tenang. Tak lagi bertemu sosok yang terkadang menampakkan diri dengan wujud menyeramkan.

Sayangnya, pagar itu tak bertahan lama padaku. Sosok tak kasat mata itu dengan leluasanya datang kembali, menunjukkan eksistensi. Tak jarang pula ada yang berniat sengaja menakuti.

***

P a g a r     G a i b  
True Story

Sosok wanita mengitari rumah, agaknya menjadi makhluk terakhir yang menampakkan dirinya pada Tiara. Meski begitu, Sapardi kadung curiga pada gelagat sang putri yang tak biasa. Cenderung lebih diam dibandingkan anak seusianya. Suka mengurung diri. Menolak jika disuruh bermain dengan teman sebayanya. Bahkan lebih nyaman berteman dengan buku-buku yang selalu ia minta jika ada kesempatan pergi ke toko buku atau pasar malam. Satu hal yang menambah kekhawatiran pria berusia tiga puluh delapan tahun, berperawakan tanggung dan berambut ikal itu, Tiara menolak tidur jika jarum jam belum menginjak angka dua dini hari.

Melihat sifat sang buah hati, Sapardi sontak dilambungkan pada ingatan masa kecilnya. Ditarik ke setiap fase, yang berakhir pada saat paling menyedihkan dalam hidup. Ingatan terakhir bersama sang bapak. Dua hari sebelum beliau wafat.

Sore yang dingin dan mendung kala itu. Kesyahduannya membawa ketenangan bagi penghuni rumah yang satu minggu terakhir dirundung kesedihan. Segala aktivitas kembali berjalan normal, seperti saat bapak belum terbaring sakit. Ibu yang setia menjadi penunggu tungku dengan isak tangis di sepanjang hari, sejak siang tadi tak di rumah. Bertandang ke rumah tetangga yang masih saudara. Ikut bercengkerama dengan ibu-ibu seusai memasak hidangan santap siang.

Anehnya lagi, Sapardi, Wahyu dan Wiji yang sering tak di rumah dari siang sampai langit menguning, sepakat di rumah saja. Bergantian menjaga Bapak. Menyediakan keperluan dan apa pun itu permintaan yang diucapkan bibir pucat tulang punggung keluarganya.

Azan maghrib berkumandan. Ibu kembali berkutat dengan panci, penggorengan beserta tetek bengeknya. Sapardi, Wahyu dan Wiji, setelah menunaikan kewajiban, tergopoh-gopoh pergi ke kamar bapak. Mengambil posisi paten untuk memijat tubuh yang kian kering dimakan rasa sakit.

Sunyi senyap. Tak ada suara berarti selain hewan malam yang berdendang nyaring. Lampu kekuningan di atas kepala bocah-bocah kecil itu, sesekali kehilangan daya karena usia. Sang bapak berdeham. Sapardi yang lebih dekat ke nakas kayu jati di samping tempat tidur buru-buru mengambil gelas berisi air.

"Ora usah, Le." (Tidak usah, Nak)

Sapardi meletakkan kembali gelas di genggaman.

"Yu, Di, lan Wiji. Bapak arep cerito. Rungokno yo, Le," (Yu, Di dan Wiji. Bapak ingin cerita. Dengarkan ya, Nak)sambung Bapak dengan terbatah.

Tiga bocah dengan tinggi badan hampir sama itu mengangguk harmonis.

Bibir bapak tertarik pendek. Di sela-sela napasnya yang kembang kepis, dia menceritakan tentang wadah hidup. Terkait amanah dari leluhur. Terkait hal-hal yang susah dinalar otak manusia modern.

Sebuah pesan turun temurun. Pesan itu meminta Sapardi dan dua saudaranya menjaga baik-baik putri mereka kelak. Salah satu dari anak mereka nantinya, akan dapat bersentuhan dengan sosok yang tak mampu dijamah mata manusia biasa.

"Buyutmu iku abdi dalem keraton ***. Kowe weruh makom sing ono neng mburi omah, Le?" (Buyutmu itu abdi dalem keraton (Maaf saya rahasiakan) tahu makan yang ada di belakang rumah, Nak?"

Sapardi dan dua saudaranya mengangguk cepat. Sang Bapak membalas dengan senyum. Tepat di belakang tembok rumah ini, terhampar pemakaman umum desa. 

"Makom paling ngarep. Dibangun koyo toh pesarehan agung. Dikramik lan diresiki sa'ben dino, iku ngono makome, Le. Jaler lan estri di makomake sandingan." (Makam paling depan. Dibangun seperti peristirahatan agung. Diberi keramik dan dibersihkan tiap hari, itu makamnya. Suami istri dimakamkan berdampingan).

Sapardi yang duduk di samping Bapak---mengambil porsi memijat tangannya---lantas bertanya, "Opo hubungane buyut karo anak-anaku. Mas Wiji, lan Dek Wahyu?" ( Apa hubungannya anak-anaku, Mas Wiji, dan Dek Wahyu dengan buyut).

Sang bapak kembali mengudarakan senyum. Sapardi anak yang kritis, di usianya yang baru menginjak delapan tahun, ia sudah mampu diajak berdiskusi. Mencari solusi. Memecahkan masalah yang lumayan rumit.

"Buyut estrimu ngendiko sak durunge sedo, mengko bakal melu salah sijine anak turune." (Buyut perempuanmu cerita, nanti akan ikut salah satu anak keturunannya).

"Sopo, Pak?" sambar Wahyu. (Siapa, Pak?)

"Iso anakmu utawi anak-anake Mas-mu. Amergi anak-anake Bapak, ora ono sing iso nampung buyut estrimu iki. Ora iso di dadeake wadah," terang Bapak. Sorot matanya menyisir wajah-wajah penasaran tiga putranya bergantian. (Bisa anakmu atau anak Mas-mu. Karena anak-anakku tidak ada yang bisa menampung buyut perempuanmu. Tidak bisa dijadikan tempat).

"Lah, pastine wadahe yo kudu cah wedok toh, Pak?" Wiji ikut ambil bagian dalam obrolan santai saat ini. (Lah, pastinya wadahnya pun harus anak perempuan, 'kan, Pak?"

"Iyo, mengko sopo wae anak wedoke sing di jogo Mbah buyut, kudu, yo melu dijogo. Diarahake. Ojo oleh adoh soko gusti Allah. Kudu dijogo lelakune lan kelakoane." ( Iya, nanti siapa saja anak perempuan kalian yang dijaga buyut, harus ya ikut dijaga. Diarahkan. Jangan sampai jauh dari Allah. Harus dijaga pula segala langkahnya dan tingkah lakunya).

Tak ada tanggapan lain selain anggukan kepala. Usia tiga bocah itu belum mampu mencerna ucapan Bapak. Mereka menganggap pesan lelaki yang terbaring di hadapannya ini, tak ubahnya Mitos menarik yang biasa diceritakan dari mulut ke mulut.

"Bapak!" sentak Tiara.

Sapardi sedari tadi mematung di depan pintu kamarnya.

"Astagfirullah ... ya, Nduk?" Sapardi mengerjapkan mata.

"Katanya Bapak mau ajak Tia pergi?"

"Ah, iya. Tiara sudah mandi?" tanya Sapardi. Tiara berkacak pinggang di hadapannya dengan wajah kesal yang menggemaskan.

"Belum, Pak. Ini Tia mau berangkat mandi, Bapak malah di depan pintu. Tia nggak bisa lewat."

Sapardi terkekeh. Menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu memiringkan tubuhnya. Memberi jalan pada Tiara untuk lewat.

"Ayo, Tiara mandi." Sri yang baru saja kembali dari dapur membuat makanan untuk putranya, ikut menambahi.

"Iya, Bu. Ini mau mandi."

Tiara bergegas melarikan kaki mungilnya ke kamar mandi. 

"Mau diajak ke mana, Pak?" tanya Sri. Biji matanya terus mengikuti punggung sang putri sampai berbelok ke area sumur.

"Ke rumah, Pak Pri, Bu. Kayaknya Tiara perlu dipagari dulu. Kasihan kalau tumbuh kembangnya terhambat hal-hal seperti itu." Rona wajah Sapardi beralih gusar.

"Aman, Pak? Yakin Tiara nggak bisa lihat makhluk-makhluk tak kasat mata lagi?"

"Setidaknya, sampai Tiara dewasa dan siap lahir batin, Bu. Ada satu hal yang belum Bapak ceritakan. Putri kita sepertinya menjadi wadah buyutnya."

Seketika Sri mengerutkan dahinya, "Maksudnya, Pak?"

"Tiara-lah, yang kemungkinan dipilih buyutnya. Tapi, Bapak belum sepenuhnya yakin. Bapak juga harus menghubungi Mas Wahyu dan wiji dulu."

"Berbahaya, Nggak, Pak. Jika berbahaya kenapa nggak dilepas saja."

"Nggak semudah itu, Bu."

***

Tiara dengan eratnya mengalungkan tangannya di pinggang Sapardi. Motor Supra keluaran lama melenggang menyusuri jalanan desa Si****** yang tak seramai biasanya. Bisa jadi karena ini hari minggu.

Tak ada obrolan berarti antara bapak dan anak itu. Mereka terserap pemikiran masing-masing. Sapardi dengan sebab musabab sang buah hati mampu melihat makhluk halus, Tiara dengan tebak-tebakan perihal alasan bapak mengajaknya ke rumah teman satu jamaah, yang notabe mahir meruqyah.

Rumah tak terlalu besar dengan taman bunga mini sebagai pemanis, menyambut Tiara sesaat setelah turun dari motor. Tanpa repot mengetuk pintu, pemilik rumah sudah menunggu kedatangan mereka.

Sapardi melantunkan salam. Lelaki dengam folikel putih. Keriput seolah peta garis hidup dengan setelah baju koko dan sarung, membalas diimbangi senyum. Setelah menjabat tangan Sapardi, benik matanya beralih pada Tiara. Mengamatinya sesaat, kemudian tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

"Wadahnya besar sekali, ya, Di," komentarnya

"Bisa dipagar, bukan, Pak?"

Pak Pri mengangguk cepat.

"Bisa, Di. Ayo masuk, dulu."

Sapardi dan Tiara masuk. Duduk beredampingan. Berhadapan dengan Pak Pri yang tak hentinya mengamati Tiara.

"Anakmu ini punya watak gatot kaca, Di. Kamu tahu bukan, gatot kaca seperti apa?"

"Iya, Pak Pri. Saya tahu."

"Kalau anakmu yang kecil. Wataknya seumpama tali. Kamu mesti pintar-pintar mengambil hatinya."

"Ya, memang wetonnya **** kliwon, Pak. Saya yakin setelah dewasa anak saya yang laki-laki itu sifatnya pasti kaku."

Hening sejenak. Pak Pri bangkit dari duduk dan pergi ke dalam. Sapardi dan Tiara menunggu dengan tenang. Beberapa menit kemudian Pak Pri kembali dengan setoples kacang goreng, lantas meletakkanya di atas meja.

"Tehnya masih dibuat. Seadanya ya, Di. Ayo dimakan," ujarnya.

"Nggak perlu repot-repot, Pak."

"Walah, nggak repot, kok."

Sapardi menyunggingkan senyum.

"Ayo, Di. Bantu membuat pagar pelindungnya, ya?"

"Iya, Pak."

Lantunan doa dikumandangkan. Prosesi pemberian pagar itu berlangsung hampir empat jam.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status