Share

BAB 8


B a y i   B u n g k u s  (11)
True Story

Dear Diary,

Hari ini 10 Juni 2020.

Hai, apa kabar?

Kau tetap saja menggairahkan untuk kujamah.  Aku terus membawamu kemana-mana, meski tak juga kugoreskan setitik tintah pun pada tubuhmu.

Lelah yang mengakumulasi. Ya, kondisi tubuhku sedang tak baik. Sepertinya perubahan cuaca di sini, membuat fisikku yang selama ini ditempa dengan pencemaran udara dan panas yang begitu terik, tak bisa beradaptasi dengan cepat.  Namun aku memaksakan diri menceritakan ini padamu. Baru saja sebuah panah melayang tinggi, tertangkap jangkauan mataku. Saat kutanyakan hal itu pada suami. Kau tahu? Aku tercengang ... itu teluh. Itu santet.

Mengetahui kebenaran itu, aku pun jadi teringat pada kejadian bertahu-tahun lalu. Mata ketigaku masih tertutup. Benda itu tak hanya aku yang melihatnya, tetapi ibuku juga.

***

B O L A   A P I

"Tiara sudah selesai memasukkan toples es-nya?" tanya Sri, sembari menggulung tikar tempat duduk.

"Sudah, Bu. Bapak mana, ya? Kok nggak datang-datang?" Toples terakhir sudah berjajar dengan rekan lainnya di ruang penyimpanan di dalam gerobak.

"Sebentar lagi, Bapak masih Lembur kerja, Nak," jelas Sri.

Sembari membawa putra yang kini berusia delapan bulan dalam gendongannya, Sri meletakkan tikar ke atas gerobak. Pukul dua belas malam, setidaknya itu yang Tiara mau pun Sri yakini. Mereka tak memiliki penanda waktu. Kereta bahan bakar milik pertaminalah yang menjadi patokan. Kereta itu rutin melintasi rel---tak jauh dari lokasi Sri memarkir gerobaknya---setiap jam dua belas malam.

Menunggu sembari mengamati jalan yang semakin lengang---bahkan Tiara sudah membayangkan jalan beraspal halus itu bisa dijadikan tempat bermain bola---Sri mendekap putranya posesif, meski jaket tebal telah membungkus tubuh putranya itu. Udara malam tak baik untuk kesehatan, apalagi untuk anak-anak. Namun bagaimana lagi, setiap hari perut keluarganya butuh diisi. Tak ada kata gratis di kota besar begini. Melangkah ke mana-mana harus dengan uang.

"Ngantuk, Nak?" tanya Sri yang tak sengaja melihat Tiara menguap dengan lebarnya.

Putrinya itu buru-buru menggeleng dengan mulut masih terbuka lebar. Setetes air mata meluncur dari sudut matanya. Diusapnya dengan punggung tangan dan dilengkungkan senyum simpulnya kemudian---pertanda watt netranya masih lumayan.

"Sebentar lagi Bapak datang, sabar, ya?"

Tiara mengangguk. Kembali memandang sekeliling. Tetangga depan, kanan, dan kiri juga mulai berkemas. Penjual nasi pecel, martabak dan roti bakar. Biasanya dua ibu rumah tangga dan mas-mas remaja itu bakal pulang kalau Sapardi sudah datang.

"Bu?"

Sri menoleh.

"Bau orang memanggang roti, ya? Hmm---" Tiara menyesap aroma itu dalam-dalam, "Enak, Bu. Siapa ya, yang bikin roti tengah malam begini?"

"Hust!" Sri meminta Tiara diam. Aroma seperti ini sering tercium. Padahal tempat jualan Sri di bawah play over atau jembatan layang. Rumah terdekat pun jaraknya berpuluh meter.

Tiara diam, ia lebih memilih bermain-main dengan kucing remaja yang mampir untuk mengais sisa makanan. Mengeong dan mengusap-usapkan kepalanya ke tulang kering gadis itu.

Lalu,

"Bu ... Bu?" panggilnya lagi.

Ah, anak ini penuh rasa ingin tahu. Kalau Sri menjawab  yang sebenarnya, takut-takut makhluk penunggu area ini curi dengar dan saat mereka pulang melintasi jalan di bawah jembatan yang sepi, akan ada penampakkan tak diinginkan.

"Apalagi, Tiara. Ibu, kan, sudah bilang. Tiara diam saja." Sri melirik kucing belang di kaki Tiara. "Main saja sama kucingnya sambil nunggu Bapak."

Tiara mencebik. Tak peduli larangan Sri, ia mengutarakan apa yang menjadi pertanyaan di pikirannya.

"Memang Ibu nggak mencium bau ini juga. Sekarang bau orang masak sayur, loh, Bu. Itu---" Tiara mengingat-ingat, "Itu baunya kayak sayur yang ibu masak tadi pagi," lanjutnya.

Lodeh. Sri mencium aroma itu. Tajam, bahkan mampu membangkitkan napsu makan. Namun ia tahu, aroma ini pastilah dari dimensi lain yang terbawa ke dimensinya. Lagi-lagi Sri meminta putrinya itu untuk tutup mulut.

Beberapa saat kemudian, Sapardi datang bersama motor bebeknya. Seragam hijau pupus berlogo perusahaan kayu itu masih melekat di tubuh. Wajah lelahnya tersembunyi di balik senyum. Tiara beranjak dari duduknya. Menghampiri Sapardi antusias. Seperti biasa, Sapardi tak akan pulang dengan tangan kosong. Sekotak biskuit pemberian rekan ia hadiahkan pada Tiara.

"Sudah diberesin semua, Bu? Nggak ada yang ketinggalan?"

Sri beranjak dari duduknya. Sebelumnya ia dan Tiara duduk di tepi trotoar.

"Sudah, Pak."

Beralih kendaraan, Sri menaiki motor bebek dengan Tiara membonceng di belakangnya. Ia tak lagi memaksakan diri mendorong gerobak seperti saat mengandung si bungsu. Sapardi mengultimatum kalau Sri sampai nekat mendorong gerobak itu pulang, istrinya itu tak lagi diberi izin berjualan. Ya, meskipun roda pembantu sudah di pasang pada bagian depan gerobak. Sempat juga menitipkan gerobak ke ponten. Sri harus merogoh kocek lumayan besar untuk membayar jasa penitipannya setiap bulan. Bukan malah aman, banyak barang pecah belah yang hilang.

Sebelum menyalakan kembali mesin motor, Sri merapatkan gendongan. Menaikkan standart, kemudian meminta si sulung mememeluk pinggangnya erat-etar. Memutar balik arah dengan hati-hati. Memacu motor dengan kecepatan tak lebih dari dua puluh kilometer perjam.

Tak ada yang aneh sejauh ini. Angin dan mesin motor menjadi peneman selama perjalanan. Selain celotahan Tiara yang mengomentari segala hal yang menarik perhatian, tak ada suara lain.

"Loh, Bu ... lampu di bawah jembatannya mati lagi," pekik Tiara sembari menunjuk lorong pendek, gelap dengan dedunan rambat menjuntai seumpama tirai.

Sri mengangguk. Ia ingat baru dua hari lalu lampu jalan di bawah jembatan diperbaiki. Sekarang sudah padam lagi.

"Bu, lihat itu. Ada bola api!" seru Tiara. Kali ini jari telunjuk gadis itu terarah ke atas.

Sri juga melihatnya, bola api itu terbang rendah. Lurus. Dengan gerakan tak seimbang. Oleng ke kanan dan ke kiri. Besarnya seukuran bola plastik yang biasa anak-anak mainkan. Tubuh bola itu terselubung api dengan warna oranye pekat. Ujung api itu mengepulkan asap keabuan. Cukup jelas dan besar untuk tetangkap mata orang awam sepertinya.

"Bu, itu jalannya makin perlahan."

Tak menaggapi ujaran Tiara, Sri terus menatap bola api itu sembari melantunkan doa. Banaspati. Sri mengenalnya dengan sebutan banaspati. Roh jahat atau hantu dengan ilmu hitam tinggi yang berelemen api.

"Ya, hilang, Bu, bola apinya."

Sri mempercepat laju motornya.

"Lihat apa, Ibu nggak lihat apa-apa."

Setelah mendapat jawaban dari Sri, Tiara menangis sejadi-jadinya. Berulang kali menyeburkan nama bola api. Sri yang diliputi perasaan cemas, buru-buru meminta Tiara diam. Tak baik membagas bola api itu dan terus menangis.

Ada yang pernah mengatakan padanya, jika melihat bola api, atau orang jawa menggenalnya dengan santet banaspati, lebih baik diam. Tak menceritakannya pada siapa pun. Bisa terkena sial.
***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status