Enjoy Reading.
***
"Bibi." Aku langsung berlari dan meloncat ke tubuh bibiku Pauline saat tahu dia datang ke Cavendish.
"Hay ... Jack." Bibi tertawa dan berusaha menahan tubuhku yang menerjangnya.
Pletakkk!
Awwww!
Aku mengusap keningku saat satu jentikan mendarat di jidatku.
"Lihat tubuhmu, badan segede itu, main tubruk saja. Untung Pauline kuat, kalau tidak, sudah nyungsep berdua kalian," protes pamanku Paul sambil bersedekap memandangkun yang masih betah memeluk Bibi tersayangku, saudara kembar Uncle Paul a.k.a Kakak dari Daddy-ku.
Aku cemberut dan memandang bibiku manja. "Uncle jahat Bibi."
"Kakak, jangan seperti itu." Bibi Pauline memlototi Paman Paul, membuatku memeletkan lidah mengejeknya.
"Astagaaaa, jangan di manja lagi. Besok usianya sudah 8 Tahun, semakin ngelunjak nanti." Paman Paul memandangku protes.
"Dia boleh berusia 18 Tahun, dan aku akan tetap menganggapnya sebagai keponakan kecilku yang paling manis."
"Terima kasih Bibi, apa Bibi membawa hadiah untukku?" tanyaku antusias.
"Tentu saja, bibi sudah menyiapkan hadiah yang sangat spesial sehingga kamu tidak akan pernah melupakan hadiah Bibi seumur hidupmu," ucap Bibi dengan senyum dan tatapan mata yang misterius.
"Wah, pasti kerennnn. Aku sayang Bibi." Aku mengeratkan pelukanku padanya dan semakin memasang wajah mengejek ke arah pamanku Paul.
Paman paul berdecak lalu mendengkus malas. "Di mana Pete?"
"Paling sama Daniel, main pukul- pukulan lagi. Heran deh, di Prancis mereka sudah latihan, kenapa di sini musti latihan lagi? Aku kan jadi tidak ada teman main," protesku cemberut.
"Tenang saja, karena bibi sudah ada di sini, bibi akan menemanimu bermain."
"Bibi memang yang terbaik. Ayo, aku tunjukkan penemuan baruku, pasti bibi akan kagum padaku, sebentar lagi aku pasti bakalan jadi profesor." Aku menarik tangan bibiku dengan semangat, aku bahkan tidak memberi waktu Bibi Pauline untuk menolak dan membiarkan Paman Paul ditinggal sendirian. Aku terlalu senang karena Bibi yang selalu menyayangiku, selalu membelaku dan yang pasti selalu memanjakanku kini ada di sini. Aku tidak khawatir lagi, bahkan saking gembiranya aku bisa melupakan rasa resah di hati yang menggangguku beberapa hari ini.
***
"Ingat, katakan kalau kamu adalah Jhonathan jika ada yang melakukan kekerasan padamu, mengerti?"
"Iya, Kakak ganteng, parno banget sih? Aku pasti baik- baik saja di sana. Daddy pasti akan melindungiku."
Daniel mondar mandir lagi. "Aku tidak yakin dengan ini. Yakin kamu tidak mau berubah pikiran?" Daniel memandangku memohon.
"Tampangmu jelek, sudah aku katakan aku yakin seyakin- yakinnya. Jadi, rileks brotha, aku janji aku akan baik- baik saja."
"Kamu ini benar-benar keras kepala ya."
"Nah, itu tahu." Aku menengadahkan wajahku dengan senyum sombong.
"Terserahlah, sana balik ke kamarmu, aku mau tidur, kamu berisik."
"Iya deh, selamat malam Kakak."
"Hmm." Daniel sudah mulai merebahkan dirinya ke ranjang. Aku keluar dari kamarnya tapi tidak lewat pintu penghubung karena aku ingat air minum di kamarku habis, pasti maid lupa menyiapkan untukku.
Aku baru kembali dari dapur istana dan sedang menuju kamarku saat melihat Bibi Pauline terlihat sedang berbicara dengan Uncle Pete di depan kamarnya.
Tubuh Uncle Pete terlihat kaku, apa Bibi Pauline sedang memarahinya ya? Pikirku. Tapi aku belum pernah melihat Bibi marah! Pasti Paman melakukan kesalahan fatal sampai- sampai ditegur oleh Bibi.
Setelah Bibi pergi, aku menghampiri Paman Pete yang masih diam terpaku.
"Uncle baik-baik saja?"
Paman Pete melihatku dengan datar, aku menelan ludah susah payah. Kenapa aku merinding ya?
"U- Uncle "
"Kembali ke kamarmu," ucapnya dingin.
Aku hanya bisa mengangguk dan berbalik dengan cepat, jantungku berdetak lebih kencang. Dan rasa dingin menyelimuti tubuhku. Ada apa dengan uncle Pete? Kenapa dia menjadi menyeramkan begitu? Pikiranku berkecamuk dan perasaanku semakin tidak tenang.
"Kenapa kembali, sana ke kamarmu sendiri." Daniel duduk di ranjang melihatku dengan wajah heran.
Aku memandang sekelilingku, ternyata tanpa sadar aku bukan masuk ke kamarku malah masuk ke kamar Daniel lagi.
"Jack? ada apa?" Daniel terlihat mulai khawatir.
Aku menggeleng menghilangkan wajah dingin Paman Pete dan berusaha tersenyum. "Aku boleh tidur di sini ya?"
Daniel terlihat ragu, tapi dia menyibakkan selimut di sebelahnya. Aku tersenyum lebar, menaruh minumanku di meja dan langsung berbaring di sebelahnya.
"Ada apa sebenarnya? Kamu terlihat aneh?"
"Bukan apa- apa, hanya sedang berpikir, besok kita ulang tahun, kamu ingin hadiah apa dariku?" tanyaku berusaha mengalihkan fokus Daniel dan memasang wajah penasaran.
"Tidak ada."
Aku memandang wajahnya memprotes. "Kenapa tidak ada? Padahal aku susah payah mencari hadiah untukmu tahu."
"Memang mau apa lagi? Apa yang aku inginkan sudah di penuhi semua, kamu lupa kita Pangeran yang bisa minta apa saja?"
Aku mendesah kecewa.
"Tapi, hadiah apa pun darimu pasti istimewa."
Aku mendongak dan langsung berbinar mendengar ucapan kakakku. Dia itu tahu saja cara menyenangkanku.
"Memang kamu mau hadiah apa dariku?" tanya Daniel terpancing juga.
Aku berpikir sejenak. "Aku juga tidak ingin apa - apa, aku hanya berharap bisa seperti ini denganmu selamanya." Aku memeluk Daniel erat.
"Dasar manja."
"Biarin." Daniel terkekeh pelan.
"Peluknya jangan erat- erat Jack, aku sesak." Aku meringis mendengarnya yang menggeliat protes.
"Malam ini doang Kakak."
Daniel mendesah pasrah karena aku tidak membiarkan pelukanku lepas.
"Baiklah, hanya malam ini, besok- besok jangan begini lagi. Kita sudah besar, masa tidur sekamar, pelukan lagi, kan malu kalau ada yang tahu. Nanti di kira kamu penakut."
Aku tersenyum dan menelungsupkan wajahku di dadanya. "Tenang saja, hanya malam ini kok. Besok- besok aku tidak akan minta peluk lagi," gumamku setengah mengantuk.
Aku merasakan Daniel mendesah pasrah dan mulai mengelus kepalaku dengan sayang, hingga tidak berapa lama kemudian aku sudah tertidur lelap.
***
Dadaku berdetak keras. Kami hari ini ulang tahun dan sepakat bertukar tempat, kami memakai pakaian yang sama plus kaca mata hitam agar Mommy dan Daddy tidak mengenali kami lewat warna mata Daniel yang lebih biru dariku.
Kami turun bersama, sengaja tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku bisa melihat wajah bingung semua orang tapi aku menahan agar tidak tertawa.
Daddy bersedekap di hadapan kami. "Baiklah, berhenti bermain dan masuk ke mobil masing-masing. terutama Jhonathan, para tamu sudah menunggu."
Aku diam saja, akhirnya Daniel mendesah pasrah dan menuju mobil yang seharusnya untukku.
Aku berjalan melewati Daddy dengan wajah se-cool mungkin, agar dia tidak curiga dan masuk ke dalam mobil yang akan mengantar Daniel ke acara ulang tahun ala keluarga Cohza.
Baru aku duduk di kursi penumpang perasaan resah itu hadir lagi, kali ini di sertai rasa takut dan merinding? Aku jadi meragukan instingku sendiri, apakah kali ini aku sudah melakukan hal yang benar?
Aku menoleh dan mendapati Uncle Pete di sebelahku, dan entah kenapa aku merasa suhu mobil ini seperti turun drastis. Membekukan.
"Ehemmm aku tidak tahu Uncle akan satu mobil denganku."
"Hmm."
Aku tersenyum gugup, tatapan itu lagi? Tatapan dingin tidak bersahabat. Aku yakin telah terjadi sesuatu dengan Paman Pete. Atau memang seperti ini sikapnya saat menuju sarang keluarga Cohza? Ah, pasti begitu, Daniel pasti tidak heran dengan sikapnya dan sekarang. Aku sedang menjadi Daniel, tentu saja aku harus membiasakan diri menghadapi sikap pamanku yang berbeda 180° ini.
Aku belum pernah ke Save Security, dan tidak menyangka perjalanannya sangat lama, aku sudah sangat mengantuk saat tiba- tiba terdengar suara tembakan.
Aku hampir terhempas saat mobil berhenti mendadak dan melotot shokk melihat supir di depanku sudah tidak bernyawa dengan kepala bolong berlumuran darah.
Baru aku akan menengok ke arah Paman Pete saat sesuatu yang keras memukul kepalaku, aku tidak sempat bereaksi ataupun menjerit karena tiba- tiba semuanya menjadi gelap.
***
TBC
Mengandung adegan kekerasan.Enjoy Reading.***Bukhhh!Aku tersentak kaget saat merasakan perih dan asin di bibirku. Aku mengerang pelan, menyadari seseorang baru saja memukul wajahku, tanganku terasa kebas karena terikat di atas kepala dan tubuhku berada pada posisi menggantung. Aku berusaha membuka mataku tapi semua terasa gelap. Mataku ditutup entah dengan kain apa, karena baunya sangat anyir dan membuatku mual."Bagus. Akhirnya kamu bangun juga Pangeran."Aku mengernyit berusaha mengenali suara itu. Tapi belum sempat aku bicara.Bukhhh, uhukkk!Satu pukulan keras mendarat di perut, membuatku memuntahkan semua sarapanku, rasanya sangat sesak dan secara otomatis air mataku membasahi kain penutup itu. Aku menangis, tentu saja, jangankan di pukul, di tampar saja aku tidak pernah."Katanya keluarga Cohza itu kuat, tapi ternyata satu pukulan saja bisa membuatmu muntah-muntah, dasar menjijikkan."Belum cukup keterke
Enjoy Reading.***GELAP.Tempat ini sangat gelap. Aku sudah membuka mataku selebar mungkin, tetapi tetap tidak mampu menemukan setitik cahaya pun di tempat ini. Apa aku buta? Aku berusaha menggerakkan jari tanganku yang terasa kaku. Aku meraba wajah dan menyentuh kedua mataku. Aku tidak buta, aku yakin itu. Aku bernapas dengan pelan dan mempertajam pendengaranku. Tidak salah lagi, itu suara hujan.Aku ada di mana? Apa aku masih di tempat penculikan? Jantungku langsung berdetak lima kali lebih cepat saat berusaha mengingat apa yang baru saja aku alami. Aku takut bukan karena kegelapan ini, aku takut dengan rasa sakit, aku tidak mau di siksa lagi.Tapi siapa? Kenapa aku tidak ingat siapa yang menyiksaku? Aku juga tidak ingat di siksa seperti apa, yang pasti aku masih ingat aku menjerit kesakitan dan para penjahat itu malah tertawa senang. Seolah penderitaanku adalah hiburan bagi mereka.Iya mereka. Walau samar tapi aku yakin mereka lebih dari
Enjoy Reading.***2 BULAN SEBELUMNYA."Aku membunuh Jojo, aku membunuh Jojo, aku membunuhnya." Pete terus meracau memandang tangannya yang berlumuran darah dan memandang Jhonathan yang tergeletak di hadapannya.Pauline memandang Pete dengan wajah malas."Dia sudah meninggal Nona," ucap anak buahnya setelah memeriksa Jhonathan."Bagus, Pete ayo pergi."Pete menggeleng panik. "Tidak, jangan tinggalkan Jojo sendiri, kita harus membawanya ke rumah sakit."Plakkk.Pauline menampar lalu menjambak rambut Pete hingga wajahnya tepat di hadapannya."Adikku sayang, tenangkan dirimu, kamu tidak membunuh Jhonathan, kamu membunuh orang yang menyakiti Jhonathan." Pauline mengelus wajah Pete sayang dan menanamkan sugestinya."Sekarang tidurlah, kamu pasti lelah."Pete mengangguk patuh dan langsung berada di bawah pengaruh hipnotis hingga sepersekian detik setelahnya dia sudah tertidur.Pauline memandang anak
Enjoy Reading.***Aku terbangun saat mendengar suara Pak Ridwan yang akan mulai menerjang ombak bersama kapal demi mencari ikan. Saat ini masih dini hari, dan seperti bisa Emak sudah membantu menyiapkan beberapa keperluan Pak Ridwan.Saat ini aku berada di Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lebih tepatnya di Pantai Ngrenehan dengan penduduk yang 75% berprofesi sebagai nelayan.Mereka akan berangkat melaut sebelum fajar, dan akan kembali saat tengah hari. Lalu hasil tangkapan biasanya akan langsung dibawa ke TPI (Tempat pelelangan ikan). Ada yang langsung dijual ke penadah untuk dibawa ke luar kota,a juga yang dijual eceran atau pengunjung yang berdatangan. Selain itu ada yang dijual matang. seperti Emak Rina.Emak memiliki warung makan di bibir Pantai Ngrengehan, biasanya hasil tangkapan Pak Ridwan, terutama ikan bawal akan dijual di warung Emak. Sedang sisanya dibawa ke TPI. Karena menu andalan di s
Enjoy Reading.***"Marco kamu bantu Emak cari Adek- adekmu ya, ini udah lewat makan siang, tapi adekmu masih main dan belum pulang."Aku mengangguk sambil mengikuti Emak ke arah pantai, tempat 4 M izin bermain tadi.Emak masih sibuk nanya nelayan di sekitar tentang keberadaan Marcell, Micell, Miko dan Millo saat aku merasa melihat mereka sejenak.Aku berjalan, dan memang benar itu 4 M. Tapi mereka tidak sendirian, ada 3 orang lain yang lebih besar. Sepertinya mereka seumuran denganku, dan aku mengenali salah satunya adalah anak dari Bos Kapal. Sedang dua lainnya teman sekelasnya.Kapal di sini memang sebagian besar adalah kapal sewaan, tapi ada juga nelayan yang memiliki kapal sendiri, dan syukurlah Bapak dan Emak salah satu yang memiliki kapal sendiri.Aku sering mendengar para nelayan mengeluh karena berpenghasilan rendah, kadang bahkan merugi karena hasil tangkapan tidak sesuai prediksi. Padahal mereka harus membayar sewa kapal da
Enjoy Reading.***"Marco."Aku mengernyit bingung, ini ngapain cecurut Eko dateng ke rumahku."Apaan?"Aku melihatnya berdiri gelisah dan meremas tangannya gugup. "Em ... bisa bicara berdua?"Aku melihat Marcel yang memandangku was- was.Aku tersenyum menenangkan."Mas keluar bentar ya Dek, jaga yang lain." Aku menepuk pundak Marcell dan keluar dari halaman menuju pohon dekat rumah."Ada apaan?""Em ... aku mau minta maaf."Alisku terangkat sebelah, habis keselek apa ini kodok, tiba- tiba datang minta maaf."Kata orang pinter, aku ada salah sama orang, makanya sudah seminggu ini aku sial terus. Katanya aku dikutuk dan harus minta maaf sama orang yang aku jahatin biar tidak sial lagi."Wowww dukun? Kutukan? Hahhaaa, aku pengen ketawa ngakak. Aku yang ngerjain dia kali. Malah di kira kutukan. Biarlah, aku diam saja, aku memandangnya dengan wajah datar yang s
Enjoy Reading.***Takdir kehidupan. Siapa yang tahu. Semua boleh berharap. Semua boleh bermimpi. Tapi....Jika sang takdir sudah datang. Doa sekhusuk apa pun.Usaha sekeras apa pun.Tidak akan bisa menghalanginya.Takdir sudah berkata, dan aku harus bisa menerimaya.Walau itu pahit.mWalau itu sakit.Tiada pilihan yang diberikan, kami harus rela mengikhlaskannya.***Aku memandang rumah yang biasa ramai kini terlihat legang.10 hari yang lalu aku masih bercengkerama denganBapak, bercanda, belajar dan berebut remote saat menonton tv.Sekarang rumah ini hanya berisi duka. Emak mengurung diri di kamar, Marcell dan Miscell hanya terdiam sedih, sedang Miko dan Millo masih terlalu kecil untuk paham dengan apa yang terjadi.10 har
Enjoy Reading.***3 BULAN KEMUDIAN."Marcel, Misel, Miko, Millo, Bangunnnnnn."Aku melihat Adik- adikku masih menggeliat malas. "Bentar lagi Mas," rengek Marcel."5 menit saja." Misel menguap lebar. Sedang Miko dan Millo tidak berkutik sama sekali.Baiklah. Cara A tidak berhasil, sekarang gunakan cara B. Aku mengambil sandal jepitku yang ber- merk swallow dan memukulnya di atas meja berkali- kali dengan keras.Plakk! Plaakkk!"Bangunnnn woyy bangun, bangunnn. Gempa, gempaaa."Misell, Miko dan Millo langsung gelagapan dan meloncat dari ranjang, sedang Marcell malah mengambil bantal dan menutup telinganya, dasar bocah bandel."Marcel, aku hitung sampai 3, kalau tidak bangun, aku siram nih."Marcel mengintip sebentar lalu bergumam tentang aku yang tidak membawa ember, dan lagi- lagi menyungsupkan wajahnya ke balik bantal."Marcel 1, 2, 3. Oke, itu pilihanmu." Aku menarik bantal yang