Share

Empat M

Enjoy Reading.

***

2 BULAN SEBELUMNYA.

"Aku membunuh Jojo, aku membunuh Jojo, aku membunuhnya." Pete terus meracau memandang tangannya yang berlumuran darah dan memandang Jhonathan yang tergeletak di hadapannya.

Pauline memandang Pete dengan wajah malas.

"Dia sudah meninggal Nona," ucap anak buahnya setelah memeriksa Jhonathan.

"Bagus, Pete ayo pergi."

Pete menggeleng panik. "Tidak, jangan tinggalkan Jojo sendiri, kita harus membawanya ke rumah sakit."

Plakkk.

Pauline menampar lalu menjambak rambut Pete hingga wajahnya tepat di hadapannya.

"Adikku sayang, tenangkan dirimu, kamu tidak membunuh Jhonathan, kamu membunuh orang yang menyakiti Jhonathan." Pauline mengelus wajah Pete sayang dan menanamkan sugestinya.

"Sekarang tidurlah, kamu pasti lelah."

Pete mengangguk patuh dan langsung berada di bawah pengaruh hipnotis hingga sepersekian detik setelahnya dia sudah tertidur.

Pauline memandang anak buahnya dan memberi kode agar mereka membawa Pete bersamanya.

"Hapus semua sidik jari, dan pastikan Pete tidak kembali pada keluarga Cavendish. Jadikan dia Mafia, gelandangan, terserah. yang penting aku ingin Pete jadi boneka yang berguna untukku kelak."

"Baik nona"

Pauline tersenyum puas dan meninggalkan TKP begitu saja.

"Ini baru pembalasan pertama, aku pastikan keluarga Cavendish akan berada di telapak kakiku," batin Pauline sambil tertawa senang.

BEBERAPA JAM KEMUDIAN.

"Yang mulia, Pangeran Jhonathan berhasil ditemukan."

Petter langsung menghampiri anak buahnya. "Di mana dia?"

Anak buah Petter menyingkir dan mempersilakan rekannya yang membawa jasad Jhonathan untuk mendekat.

Petter, Paul memandang ngeri tubuh Jhonathan yang berlumuran darah segar. Stevanie langsung jatuh pingsan.

Daniel yang mendengar suara ribut langsung keluar dari ruang belajarnya, saat menuruni tangga di istana Cavendish, dia melihat orang- orang dengan pandangan aneh.

"Ada apa? kenapa kalian memandangku seperti itu?" tanya Daniel bingung. Lalu matanya melihat tubuh kecil yang tergeletak di lantai dengan penuh darah.

Saat itulah Daniel merasa dunianya runtuh.

***

Stevanie tidak memperdulikan perkataan Petter yang sudah menyerah dengan kematian Jhonathan. dengan tekad bulat dan air mata yang tidak berhenti berlinang, dia membawa tubuh Jhonathan kepada ayahnya.

"Ayah, aku mohon selamatkan Jhonathan." Stevanie bersimpuh di kaki sang Ayah, tidak mau beranjak sedikit pun sebelum Raja Cavendish itu mengabulkan permohonannya.

"Ayah juga ingin Jojo kembali, tapi itu mustahil sayang, ayah bukan Dewa yang bisa menghidupkan manusia."

"Setidaknya cobalah Ayah, aku mohon."

Raja sudah cukup hancur dengan kehilangan Jhonathan, cucu kesayangannya. Dan dia lebih hancur lagi saat melihat putri semata wayangnya meratap sedih.

"Baiklah, ayah akan mencoba, tapi ... jangan berharap."

Stevanie mengangguk dan langsung memeluk ayahnya erat.

Tapi sayang seribu sayang, berapa obat pun, berapa injeksi pun dan berapa pun usaha yang dilakukan Raja Cavendish dan Stevanie, tidak ada yang berhasil menghidupkan Jhonathan.

Semua percuma dan hanya menambah kesedihan belaka.

Hingga satu minggu setelah kematian Jhonathan,

akhirnya keluarga kerajaan menyerah dan mengikhlaskannya.

***

"Jangan menguburkan Jhonathan di Cavendish." Petter dan Stevanie memandang sang Raja bingung.

"Baru seminggu yang lalu kita mengadakan perayaan ulang tahun untuknya, jangan buat rakyat ikut berduka, kalau perlu jangan sampai ada yang tahu bahwa Pangeran Cavendish meninggal dunia. Itu bisa menimbulkan kepanikan massal dan keresahan."

"Tapi Ayah."

"Kita belum menemukan tersangka utamanya, dan Pete juga menghilang. Kita tidak membutuhkan huru hara yang menyita perhatian, sebaiknya fokus mencari Pete saja."

Akhirnya semua sepakat tidak mengumumkan kematian sang Pangeran dan menguburkan jenazah Jhonathan di luar Cavendish, yaitu di Negara Indonesia. Kenapa di sana? Selain karena mereka memiliki cabang Save security di sana. Di Negara itu juga masih memiliki wilayah yang belum terjamah, sehingga mereka yakin tidak ada yang mengusik makam sang Pangeran.

Di lain pihak, mereka juga mengirim Daniel ke negara yang sama. Selain agar Daniel merasa dekat dengan adiknya, mereka juga mengkhawatirkan kejiwaan Daniel yang selalu menyalahkan diri sendiri jika terus mengingat Jhonathan. Dan kerajaan Cavendish bukanlah tempat yang tepat untuk Daniel saat ini, karena di sana terlalu memiliki banyak kenangan yang akan menyiksanya.

Sejak saat itu. Hari ulang tahun Jhonathan dan Daniel tidak pernah dirayakan lagi, dan menjadi hari berkabung untuk keluarga Cavendish dan Cohza. Rakyat hanya tahu kedua Pangeran Cavendish sedang belajar ke luar Negeri untuk waktu yang tidak di tentukan.

Bahkan karena Stevanie yang suka bersedih saat mengingat Jhonathan. Akhirnya foto Pangeran Daniel dan Jhonathan dilepas dari seluruh dinding Istana. Dan tidak ada satu pun anggota Kerajaan yang di perbolehkan menyebut nama sang Pangeran.

Hingga akhirnya nama Jhonathan Cohza Cavendish seperti terhapus dari peradapan.

***

Di sebuah wilayah di Indonesia.

Aku mendengar suara berisik yang mengganggu tidur lelapku. Saat mataku terbuka, aku melihat seorang wanita muda yang mungkin berusia sekitar 25 tahun sedang memandangku khawatir, di belakangnya ada pria yang mungkin memiliki usia lebih tua 2- 3 tahun saja.

"Al khamdulillah Pak, bocahe wes sadar."

Aku mengernyit bingung? Mereka ngomong apaan sih?

"Jenengmu sopo le? (Namamu siapa nak?)."

Hening.

"Pak anak ini bisu apa ya? Dari tadi aku ngomong kok diem saja?"

"Raine wae londo Buk, ora mudeng mesti. (Wajahnya saja bule, pasti tidak paham)."

Aku merasa ada yang menarik kausku. Tunggu dulu? Kaos? Aku memandang tubuhku yang sudah bersih dan sudah berganti pakaian, aku juga menyadari aku berada di sebuah kamar.

Aku melihat 4 orang anak kecil memandangiku penasaran.

"Kakak ganteng."

"Kakak bule."

"Namanya siapa?"

Oke, mereka juga berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Apa aku sekarang ini sedang di buang di Negara antah berantah dan tidak akan ditemukan? Jika benar, berarti ini buruk, sangat buruk.

Kaosku ditarik- tarik lagi oleh anak kecil yang paling besar, sedang wanita dan laki- laki yang aku yakin adalah suami istri itu sedang berdebat entah apa.

Aku memandangi bocah-bocah yang masih melihatku penasaran. Baiklah, aku bukan tontonan. Maka dengan meniru Daniel, aku memandang mereka tajam tanpa berkedip. Sontak ke- 4 bocah itu langsung menunduk tidak berani melihat wajahku lagi. Bagus, walau sedikit setidaknya aku juga mewarisi bakat intimidasi Daddy-ku.

"Toleee." Aku memandang wanita yang sepertinya ingin berbicara denganku.

"Aku Mak Rina, ini Pak Ridwan, ini Marcell, ini Micell, ini Miko, dan ini Milo."

Wanita itu menunjuk satu persatu orang yang ada di hadapanku, sepertinya dia sedang memperkenalkan diri.

"Bocah iki bisu tenan Pak, wes kono ndang nang kantor polisi, sopo ngerti wong tuane nggoleki (Anak ini bisu beneran Pak, sana pergi ke kantor polisi, siapa tahu orangtuanya mencari)."

Lalu tidak berapa lama banyak orang masuk. Fix, aku menjadi tontonan sekarang, dan aku tidak suka itu. Bahkan ada yang terang- terangan memfotoku, seolah aku ini makhluk langka.

Aku melirik ke samping dan mendapati ada kamar mandi di sebelah sana, dengan santai aku turun dari ranjang dan melewati orang-orang yang penasaran, tanpa memperdulikan sopan santun aku menutup pintu kamar mandi dengan sangat keras. Lalu tidak berapa lama kemudian kamar yang aku tiduri tadi terdengar hening. Bagus, mereka mengerti kode dariku.

Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati wanita yang mengaku bernama mak Rina sedang tersenyum ke arahku, aku melihat ke sekeliling dan memang sudah tidak ada siapa pun.

"Maem dulu le. (Makan dulu, Nak)."

Mak Rina menaruh sepiring nasi dan beberapa sayuran yang aku tidak tahu namanya. Aku tidak merasa lapar tapi aku menghargai usaha Tuan rumah yang ingin melayani aku, walau aku tidak tahu jenis makanan apa ini.

Aku duduk dan mulai menyuap, seketika wajahku memerah. Ini sangat pedassssssss.

Aku menyambar minuman di samping piring dan menenggaknya habis. Aku lihat Mak Rina malah tertawa melihat tingkahku.

"Maeme dicampur le, ojo sambel tok. (Makannya dicampur nak, jangan sambel doang)." Lalu, aku melihat dia menuang sayur ke dalam nasi dan memperagakan cara makannya. Aku mengikuti caranya. Rasa makanan itu asing, tapi harus aku akui, aku lumayan menyukainya.

Mak Rina terus bicara sambil menungguiku makan, dan entah kenapa aku merasa langsung tenang.

***

SETAHUN.

Setahun adalah waktu yang bisa dikatakan sangat cepat bagi sebagian orang, tapi setahun juga bisa menjadi waktu yang sangat lambat bagi sebagian yang lain.

Dan setahun bagiku seperti sangat lambat saat aku mengingat Daniel dan mengharapkan keluarga Cohza dan Cavendish menemukan diriku. Tapi, setahun ini juga terasa sangat cepat saat aku menghabiskan waktuku dengan keluarga Pak Ridwan dan Mak Rina.

Aku masih membisu, belum membuka suaraku sama sekali. Itu terjadi karena awalnya aku tidak mengerti bahasa mereka, tapi otakku ini cerdas, tidak butuh waktu lama sampai aku tahu apa saja yang mereka bicarakan. Tapi, aku terlanjur nyaman dengan kediamanku, aku terlanjur senang mengamati orang tanpa harus capek- capek menyapa mereka satu persatu.

Aku tahu sekarang aku tinggal di Jogja, salah satu Kota Wisata di bagian Negara Indonesia. Mommy dulu pernah menceritakan tentang Bali yang indah tapi semua bagian negara ini memang terasa indah buatku. di sini adalah tempatnya kampung para nelayan, setiap hari para pria yang sudah dewasa menerjang ombak untuk menangkap ikan. sedang para wanita membersihkan dan menjualnya, ada yang mengeringkannya juga.

Aku sempat bingung karena di hari kebangkitanku saat aku mencapai kampung ini tidak ada seorang pun yang terjaga, padahal sekarang aku bisa melihat dini hari pun kampung ini sangat ramai, apalagi di bagian pantai. Tapi aku teringat di hari aku sampai di sini, saat itu hujan deras dan ombak sedang tinggi serta rawan badai, sehingga nelayan di sini memilih tidak melaut.

Aku masih menunggu, menunggu dan berharap ada yang menemukanku, tapi walau Pak Ridwan sudah melaporkan keberadaanku ke kantor polisi, tapi anehnya tidak ada satu pun yang menemuiku sampai sekarang. Akhirnya saat dirasa tidak ada keluarga yang mengambilku, dengan senang hati Mak Rina mengangkatku jadi anaknya dan diberi nama Marco.

Ini baru pukul 3 pagi saat aku mendengar suara berisik dari meja makan. Aku menghampiri Mak Rina yang sibuk mengatur makanan sendirian, sedang 4 M—Marcell, Miscell, Miko dan Millo)—terlihat duduk dengan wajah mengantuk.

'"Eh, kamu kebangun ya le?"

Aku memandang Mak Rina bingung, karena sepagian ini seluruh keluarga sudah akan sarapan.

"Kamu mau ikutan sahur?"

Aku mengernyit bingung. Sahur?

"Sahur itu makan pagi sebelum seharian nanti kita semua puasa."

Puasa?

"Kami umat Islam setiap Ramadhan selalu menjalankan ibadah yang namanya puasa, tidak boleh makan dan minum seharian selama sebulan penuh."

Aku melihat 4 M ragu.

"Mereka juga akan ikut puasa, tapi masih setengah hari."

Aku mengangguk dan ikut sarapan atau sahur kata si emak.

Awalnya hanya iseng karena tidak ada yang aku kerjakan, makanya aku ikut puasa, toh aku tidak lapar ini. Lagi pula aku tidak tega melihat Emak Rina tetap menyediakan makan untukku, sedang dia sendiri tidak makan.

Lama kelamaan aku suka mengikuti Marcell ke surau atau langgar atau istilah umumnya adalah Masjid saat ada anak- anak lain yang bermain dan berkumpul sambil antri takjil. Mak Rina semula melarang karena tahu aku bukan seorang muslim, tapi melihat keingintahuanku, akhirnya dia pasrah dan membiarkan aku mengikuti semua kegiatan Marcell dan adik- adikku. Terasa aneh awalnya menyebut itu, karena memiliki adik adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan seumur hidupku.

Aku sekarang juga sudah mulai berbaur dengan penduduk sekitar, ikut berbelanja ke pasar, ikut ke TPA dan ikut ke sekolah. Tapi, aku masih betah diam dan tidak ada niat membuka mulut dalam waktu dekat. Bagi masyarakat sekitar aku adalah anak blasteran nyasar yang tunawicara.

Cukup itu saja yang harus mereka tahu.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status