Share

Ups ....

Enjoy Reading.

***

"Marco kamu bantu Emak cari Adek- adekmu ya, ini udah lewat makan siang, tapi adekmu masih main dan belum pulang."

Aku mengangguk sambil mengikuti Emak ke arah pantai, tempat 4 M izin bermain tadi.

Emak masih sibuk nanya nelayan di sekitar tentang keberadaan Marcell, Micell, Miko dan Millo saat aku merasa melihat mereka sejenak.

Aku berjalan, dan memang benar itu 4 M. Tapi mereka tidak sendirian, ada 3 orang lain yang lebih besar. Sepertinya mereka seumuran denganku, dan aku mengenali salah satunya adalah anak dari Bos Kapal. Sedang dua lainnya teman sekelasnya.

Kapal di sini memang sebagian besar adalah kapal sewaan, tapi ada juga nelayan yang memiliki kapal sendiri, dan syukurlah Bapak dan Emak salah satu yang memiliki kapal sendiri.

Aku sering mendengar para nelayan mengeluh karena berpenghasilan rendah, kadang bahkan merugi karena hasil tangkapan tidak sesuai prediksi. Padahal mereka harus membayar sewa kapal dan membeli bbm yang harganya tinggi, efek tidak ada pom dan harus membeli lewat pengecer.

Aku mendekati anak dari bos kapal yang bernama Eko itu. Aku sengaja mendekati dengan pelan karena aku merasa ada yang tidak beres di sini.

Benar saja, si kucrut Eko ternyata sedang membully Adik- adikku. Mentang- mentang anak bos, songong banget gayanya.

Aku memperhatikan dengan tenang tapi saat aku melihat Eko mendorong Marcell hingga terjatuh, reflekss aku berlari mendekatinya.

"Marcell, noh masmu seng bisu teko. (Itu kakakmu yg bisu datang)." Eko menunjuk wajahku dengan senyum mengejek, aku diam saja dan membantu Marcell berdiri, aku lihat ke- tiga adikku mulai ketakutan.

Aku memandang Eko tajam, bukan karena tidak suka dengan kata hinaannya padaku, tapi karena dia sudah kasar terhadap adikku.

"Ngapain melotot? Emang bener kamu bisu kan, dasar bule bisu." Lalu, dia tertawa bersama kedua temannya.

Aku masih diam memandangi mereka dengan kesal, aku melihat Marcel yang berdiri di sebelahku menyentuh lenganku, mungkin berniat menahanku agar tidak berurusan dengan anak si bos yang rese itu. Aku melirik sebentar dan adikku yang lain sudah ada di belakang Marcell.

Karena melihat adik- adikku yang takut akan ada keributan, akhirnya aku memilih berbalik bermaksud pulang. Apalagi emak juga terlihat melambaikan tangan agar aku dan 4 M segera menghampirinya.

"Cemen woyyy. Banci."

Aku mengabaikan hinaan itu dan mengajak 4 M berjalan ke arah Emak.

"Dasar anaknya lonte. (Wanita jalang)."

Aku menegang dan menghentikan langkahku. Oke cukup, mereka boleh mengataiku apa saja, tapi jangan mengatai ibuku.

Dengan cepat aku berbalik dan berjalan dengan tangan terkepal.

"Woeee, si bisu balik men," ucap Eko tertawa senang melihat wajah merahku karena emosi.

Bugkhhh!

Begitu di dekatnya tanpa basa basi aku langsung memukul wajahnya hingga terjengkang.

"Dasar asu, Mommy-ku bukan lonte!"

Aku melihat Eko mengerang kesakitan, lalu ke dua temannya menganga terkejut, aku berbalik dan melihat Emak serta 4 M memandangku shok.

Lalu tiba- tiba hening.

Aku meringis.

Kenapa aku bisa lupa kalau orang masih menganggapku bisu.

Aku memandang orang di sekitarku yang sepertinya kaget. Entah kaget karena aku memukul anak bos kapal atau kaget mendengarku bicara.

"Ups."

***

Aku masih menunduk seperti tersangka yang tercyduk polisi, sedangkan Emak Rina mondar- mandir di depanku dengan menghela napas pasrah sesekali. 4 M ditinggalkan di warung dengan salah satu tetangga biar mereka makan siang dulu. Sedang aku disidang.

"Ada apa Buk, kok Bapak disuruh pulang? Lagi benerin jala belum selesai."

"Marco Pak."

"Marco kenapa? Dia sakit?"

"Marco tibake iso omongan Pak. (Marco ternyata bisa bicara Pak)."

Tidak aku dengar suara atau jawaban dari Bapak, mungkin karena memang Bapaklah satu-satunya orang yang tahu aku bisa bicara. aku melihat kaki Bapak kini ada di depanku.

"Al khamdulillah, kamu udah mau ngomong sama emak." Bapak memelukku senang.

"Kok malah seneng to Pak?"

"Loh, Ibu gak seneng Marco sudah mau ngomong?" Emak Rina menatap Bapak curiga. "Bapak sudah tahu Marco nggak bisu?"

Aku melihat Bapak berdiri salah tingkah.

"Ow gitu ya? Marco udah bisa ngomong dan Bapak nggak kasih tahu aku?"

"Bapak juga taunya baru seminggu yang lalu Buk."

Aku melihat Emak menghela napas lelah. "Tentu saja aku seneng Marco akhirnya mau ngomong. Masalahnya Pak, pas aku denger Marco ngomong bukan nyebut nama Emak atau Bapak, malah memaki si Eko dengan sebutan ASU (anjing)."

"Jadi, yang katanya ada yang mukul anaknya bos kapal itu kamu?"

Aku mengangguk.

"Bagus, sesekali memang harus ada yang kasih pelajaran bocah nakal itu." Aku mendongak. Senang, ternyata ada yang membelaku juga.

"Bapakkk anaknya berantem kok malah senang tooo." Mak memprotes sambil berkacak pinggang.

"Lah si Eko memang nakal loh Bu, sudah banyak anak nelayan lain yang jadi korban bullyan- nya, semua nggak ada yang berani menegur karena khawatir tidak diperbolehkan menyewa kapal punya Bapaknya lagi nantinya."

"Jadi Marco bener kan Pak?"

"Enggak, kamu juga tetap salah karena sudah memukulnya. Lain kali jangan seperti itu, nanti kamu nggak punya teman di sini."

"Besok jangan lupa minta maaf sama Eko," tambah Mak Rina.

"Tapi Mak, kan Eko yang salah, siapa suruh dia ngatain Mommy-ku lonte." Aku berusaha membela diri, nggak sudi minta maaf duluan sama si Eko asu itu.

"Marco, dengerin Mak, orang yang minta maaf terlebih dahulu belum tentu dia yang salah. Lagi pula menambah teman itu lebih baik daripada menambah musuh, ngerti."

"Iya Mak."

"Coba ucapin lagi."

"Iya Mak."

"Ya Allah leee, emak seneng banget, akhirnya awakmu nyelok emak nang awakku. (Akhirnya dirimu memanggil mak kepadaku)."

"Rasane iseh ora percoyo kue iso omomgan le, (Rasanya masih sulit dipercaya kamu bisa bicara anak)," sambung emak sambil memelukku erat.

"Ya sudah, Bapak tak balik nang kapal meneh, belum selesai memperbaiki jalanya."

"Iya Pak."

Aku yang menjawab perkataan Bapak, karena sepertinya Emak sudah terbebas dari rasa shok setelah mendengarku bisa bicara dan rasa marah karena aku memukul Eko dan mengatainya Anjing. Sepertinya Emak sedang dalam mode haru, makanya dia semakin memelukku erat, seolah aku bakalan ilang jika dilepas.

"Emak sayang kamu le."

"Marco juga sayang Mak kok," balasku membuat Mak menangis seketika.

Lahhhhh mewek.

***

Aku memandang Eko dengan senyum lebar, dia terlihat cengo dan malu karena baru saja terjatuh ke dalam got.

Teman- temannya menertawainya yang basah dan pasti bau.

Siapa suruh macam- macam denganku. Tahu rasa sekarang.

Masih aku ingat tiga hari yang lalu, Emak menyuruhku meminta maaf pada Eko karena aku memukulnya. Dan apa yang aku dapat? Bapaknya si Eko dengan congkak mengataiku nakal dan tukang bohong, lalu bicara tidak jelas tetang sopan santun, tata krama dan akhlak mulia. Seolah Emak Rina adalah orangtua yang gagal mendidik anaknya. Saat itu aku diam tapi karena sudah dua Tahun kejahilanku tertidur lelap, berkat kejadian ini dia bangkit dan Ekolah korban pertamanya.

Setelah ceramah panjang lebar kali tinggi kali berat badannya yang berlebihan itu, Bapaknya Eko akhirnya memaafkanku, yang tentu saja dilakukan dengan tidak ikhlas, dan karena aku meminta maaf juga tidak ikhlas jadi yang ada di otakku bukan rasa bersalah, melainkan rasa ingin melakban mulutnya agar diam seminggu penuh.

Lalu malam saat waktu sholat magrib tiba, aku sengaja mencegat Eko. Dia terlihat terkejut dan langsung berbicara sombong karena mengira aku datang untuk minta maaf lagi.

Salah, aku justru memberitahunya agar menghapus tuduhannya padaku, karena aku tahu dia sudah memfitnahku di depan Bapaknya. Sehingga Bapaknya mengira aku melakukan banyak hal yang sudah merugikan dan membuatnya menderita.

Dia tidak mau, tentu saja.

Dan sekarang lihatlah akibatnya.

Dia bilang aku nakal kan? Maka lihatlah seberapa nakalnya aku.

Berangkat sekolah aku menggemboskan ban sepedanya. Dia sibuk membenarkan ban sepeda, aku embat tas sekolahnya, pr- nya aku sobek tanpa sepegetahuannya.

Pulang sekolah, ganti rantai sepedanya yang aku putuskan, jadilah dia mendorongnya sampai rumah.

Sedang asik main di laut, aku umpetin bajunya, aku buang sendalnya ke laut.

Petangnya waktu solat magrib jamaah di mushola, aku colong sendal Pak Ustaz dan aku taruh di depan rumahnya, besoknya dialah yang dikira khilap bawa sendal Pak Ustaz, hahahah.

Sudah cukup? Belum.

Kemarin aku masukin semut rang- rang di sepatunya.

Hasilnya kakinya membengkak dan merah seperti terkena biri- biri.

Dan hari ini, aku menaruh oli bekas di jalan yang sering dia lewati, aku tutupi dengan rumput kering dan sesuai prediksiku, dia tergelincir masuk ke selokan dengan tanpa hambatan.

Aku senang, hati riang. Berpikir apa lagi yang akan aku lakukan padanya besok.

***

TBC

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ibu Heni
hahahhahahaha Marco... oh jojo jack kau jail sekali
goodnovel comment avatar
Mandasari Raesha
mode jailx marco/jack on nechhhhh wkwkwkwkwkkkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status