Share

Poison Princess
Poison Princess
Penulis: Angelia Putri

Prologue

Suara tawa itu membuat langkah seorang gadis kecil berambut pirang berhenti. Dia menoleh kearah taman bunga di mana banyak anak-anak seusianya sedang bermain bersama. Gadis kecil itu hendak melangkah ke sana namun tangannya ditahan oleh nanny-nya.

“Jangan, Tuan Putri. Saat ini Anda harus pergi ke ruang perpustakaan. Tutor privat Anda sudah menunggu.” ujar wanita berusia paruh baya itu.

“Tapi aku ingin bermain …,” gadis kecil itu mendongak pada sang nanny. “Boleh, ya?”

Wanita yang disebut nanny itu menggeleng lemah sambil tersenyum sendu. Dia tahu seberapa besar keinginan majikannya itu untuk mengecap masa kecil yang sayangnya direnggut oleh status dan kondisinya sebagai seorang putri. Dia lalu berjongkok dan mensejajarkan pandangannya dengan gadis kecil itu, “Kalau Anda ingin bermain, Anda bisa melakukannya setelah belajar. Saya akan menemani Anda bermain.”

“Benar?” tanya gadis itu, yang disambut anggukan oleh nanny.

Senyum gadis itu merekah. Dengan bersemangat dia berjalan menuju perpustakaan menemui tutornya sambil diikuti oleh nanny.

***

“Lihat itu, Lucius.”

Lucius yang sedang bermain pedang-pedangan menghentikan kegiatannya, “Apa?”

Salah seorang temannya menunjuk gadis kecil yang tadi menatap mereka, “Itu adikmu, kan? Si Putri Racun?”

Lucius menatap punggung gadis kecil dengan rambut pirang yang berjalan melewati koridor istana dan mendengus, “Dia bukan adikku. Dan seperti julukannya, dia adalah racun bagi kerajaan ini.”

“Benarkah? Kudengar sejak kecil dia memiliki racun dalam darahnya. Bahkan pisau yang dilumuri darahnya pun mampu membunuh seekor kuda paling ganas sekalipun.” Sahut temannya yang lain.

“Dia senjata paling ampuh untuk kerajaan ini, kan?” kata yang lain, “Sebuah pedang bermata dua.”

Lucius mengedikkan bahu dan tidak peduli dengan ucapan teman-temannya. Namun sekilas dia melihat si gadis kecil sudah tak terlihat lagi bersama nanny-nya. Lucius menatap tempat terakhir gadis kecil itu terlihat dengan tatapan penuh permusuhan.

***

Sementara itu di ruang rapat, Raja Cardia sedang mengadakan rapat bersama menteri dan pejabat lainnya. Wajah semua orang diliputi kekhawatiran sekaligus kecemasan, sementara sang ratu kerajaan, Ratu Iris, duduk di samping suaminya dengan wajah datar.

“Aku ingin melenyapkan Lacia.” Ujar sang raja, “Adakah yang keberatan dengan keputusanku?”

Semua pejabat dan menteri saling berdiskusi dengan orang yang duduk di sebelah mereka. Mempertimbangkan ucapan sang raja yang ingin melenyapkan putri mahkota, Lacia la Midford. Raja memperhatikan wajah para menteri dan pejabat bawahannaya dengan seksama. Menunggu respon dari mereka atas keinginannya.

Salah seorang menteri mengangkat tangannya, “Maaf, Yang Mulia, tetapi saya ingin tahu mengapa Anda ingin melenyapkan Putri Lacia. Bukankah ia darah daging Anda sendiri?” tanya sang menteri.

Sang raja menyerap pertanyaan itu baik-baik dan kemudian menjawabnya, “Walau ia adalah darah dagingku sendiri, tetapi kekuatan dan apa yang ia bawa dalam tubuhnya bukanlah suatu hal yang baik bagi kerajaan ini. Dia akan menjadi penghalang bagi Kerajaan Silvista dalam menggapai cita-cita yang kita inginkan, memperluas wilayah dan menaklukkan kerajaan lain.” kata Raja, “Bila keberadaan Putri Lacia diketahui oleh pihak luar, akan terjadi peperangan yang lebih mengerikan hanya demi mendapatkannya. Karenanya aku ingin ia lenyap, menghilang dari bumi ini.”

Jawaban sang Raja makin membuat semua orang ribut. Sang ratu yang sedari tadi duduk dengan wajah datarnya berdeham, menarik perhatian mereka.

“Alasan mengapa Yang Mulia ingin melenyapkan Putri Lacia adalah kekuatannya yang mengerikan akan menjadi batu sandungan yang terlampau besar untuk dikendalikan kerajaan ini. Kutukan dari penasihat Nemesia membuat tubuh Putri Lacia memiliki racun mematikan dalam darahnya. Menurut kalian, apa hal tersebut bisa ditanggung kerajaan bila suatu hari nanti sang putri membelot dari kerajaan ini?”

“Tetapi, Yang Mulia Ratu, Putri Lacia adalah putri kandung Anda.” Sahut salah seorang pejabat.

“Dia memang putri kandungku, tetapi dengan berat hati aku menginginkan kematiannya.” Jawab sang Ratu dengan raut wajah sedih, “Lacia adalah putri kecilku yang manis, namun dengan racun di tubuhnya, hal itu tak berlaku lagi. Saat Putri Lacia dinyatakan mati, maka anakku satu-satunya adalah Pangeran Lucius. Jika ada yang keberatan dengan rencana ini, silakan angkat tangan dan beri satu alasan kuat mengapa Putri Lacia tak boleh dilenyapkan!”

Ucapan ratu kali ini membungkam mereka semua. Bila sang ratu sendiri juga menginginkan kematian putri kandungnya, maka tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam istana hingga sang putri mahkota harus dilenyapkan di usianya yang masih kanak-kanak? Ah, tak ada yang tahu. Bahkan menteri dan pejabat kepercayaan sang raja pun tak mau membuka mulut.

Raja memperhatikan setiap orang yang kembali diam, kemudian mengangguk.

“Kalau begitu, aku minta salah seorang dari kalian mengirimkan seorang prajurit terbaik untuk melenyapkan Putri Lacia.” Ujar raja, “Aku tunggu hasilnya dua hari lagi, tepat di saat ulang tahun sang putri.”

Keputusan mutlak sang raja sudah diputuskan dan semua orang harus mematuhinya. Ratu yang melihatnya diam-diam tersenyum dengan sebelah bibir.

***

Lacia la Midford. Putri mahkota dari Kerajaan Silvista, dikaruniai wajah jelita bahkan semenjak usia belia. Memiliki bola mata biru yang sanggup membuat semua orang betah menatapnya, wajah yang manis, rambut pirang yang halus dan bercahaya, bahkan kulit tubuhnya pun sewarna batu pualam, putih dan lembut. Dan dengan statusnya sebagai seorang putri mahkota, seharusnya Lacia mendapat perhatian dan juga kasih sayang yang sepatutnya dia dapatkan, namun sayangnya kenyataan lebih pahit dari angan.

Lacia tak pernah dicintai. Dia tak pernah merasakan kasih sayang dari orangtua kandungnya sendiri, bahkan kakaknya, Lucius la Midford, membencinya dan selalu menatapnya dengan tatapan permusuhan. Hanya nanny, wanita paruh baya yang merawatnya sejak masih bayi yang menyayanginya. Para pelayan hanya menatapnya sopan dan mengerjakan pekerjaan mereka sebaik mungkin di hadapannya, tetapi di belakang mereka membicarakan Lacia. Anak-anak sebayanya tak mau bermain dengannya karena dia dianggap musuh oleh semua orang.

Tak ada yang menginginkannya. Tak ada yang mencintainya. Bahkan di usianya yang beranjak dua belas tahun ini pun, Lacia bisa merasakan keberadaannya tak diharapkan di kerajaan ini. Namun entah mengapa ia masih harus belajar sebagai seorang putri, walau dengan porsi yang tidak bisa ditolerir oleh anak kecil seperti dirinya.

Lacia menarik nafas dan mengembuskannya perlahan. Sudah lima kali dia membaca buku di pangkuannya. Buku tebal berisi legenda-legenda dan juga mitos dari seluruh pelosok kerajaan. Ia meletakkan buku itu di atas meja dan memijat pelipisnya. Niatnya bermain sudah hilang karena ia diharuskan membaca semua buku di perpustakaan istana yang berjumlah ribuan sejak ia berusia tujuh tahun.

Kejam? Memang. Tapi, Lacia tidak bisa menolaknya jika itu titah dari raja.

“Putri, minumlah ini.”

Nanny menghidangkan secangkir teh beraroma lembut di hadapan Lacia. Gadis kecil itu tersenyum muramm dan meminum tehnya pelan-pelan.

Nanny, aku tidak jadi bermain hari ini.” kata gadis itu, “Aku akan langsung beristirahat saja setelah ini.”

Nanny mengangguk, menatap sedih sang putri yang menyesap habis minumannya kemudian kembali membaca buku. Sebagai seorang yang merawat Lacia sejak kecil, dia tahu sang putri pasti membenci kehidupannya yang seperti ini. Ia sebagai pelayan di istana pun sudah tahu sejak dulu mengapa Lacia dikucilkan, dan sebagai seorang yang merawatnya sedari kecil, nanny berusaha sebaik mungkin memberikan kasih sayang yang tak pernah dirasakan sang putri dari kedua orangtuanya sendiri.

“Anda ingin makan malam dengan apa, Putri?” tanya nanny, “Apa Anda ingin dibuatkan steik? Atau mungkin sup krim dan kentang tumbuk?”

“Aku akan memakan apapun yang nanny masakkan untukku.” Lacia tersenyum kecil. “Kau tahu sendiri aku tidak pilih-pilih makanan.”

Nanny membalas senyuman Lacia. Ah, sang putri tampak sangat manis jika tersenyum. Sayang, senyum sang putri tidak pernah sampai ke matanya. Hanya senyum sopan yang ditunjukkan sang putri setiap saat, bahkan ketika dia dihujat dan diejek.

Ah, mengapa kehidupan seorang Lacia la Midford sekejam ini?

Lacia tetap berada di perpustakaan sampai waktu makan malam hampir tiba. Ketika dia merasa sekelilingnya gelap, Lacia baru berhenti dari belajar dan kemudian langsung menuju kamarnya. Sekitar lima orang pelayan termasuk nanny sudah di sana menantinya. Mereka segera membantu Lacia membersihkan diri dan menyiapkan makanannya.

Saat Lacia selesai membersihkan diri dan mengenakan gaun tidur, ia memakan makanan yang dibuatkan untuknya dan memerintahkan para pelayan lain selain nanny untuk keluar.

Nanny, apa kau senang melayaniku?” tanya gadis itu tiba-tiba.

“Kenapa Anda bicara seperti itu, Putri? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?”

Lacia menggeleng dan menyendok sesendok penuh sup di hadapannya. Tatapannya sejenak tampak kosong dan membuat nanny khawatir.

“Jika suatu hari aku pergi, apa kau akan menangisiku?” tanya Lacia lagi, “Bila suatu hari aku tak lagi ada di kerajaan ini, apakah kau akan mencariku?”

Nanny terdiam mendengar ucapan Lacia. Lidahnya terasa kelu mendengar nada pilu dalam suara gadis kecil yang belum genap remaja itu. Lacia sendiri meletakkan sendok supnya dan menarik nafas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan.

“Maaf kalau aku bertanya begini, tetapi aku merasa sesuatu akan terjadi padaku.” Lacia menatap nanny dengan senyum sendu, “Jika suatu hari nanti aku tidak ada lagi di sini, aku ingin kau tidak menangisi atau menyusulku, nanny. Seandainya aku benar-benar harus pergi, maka kau harus lepaskan aku, mengerti?”

“A-Anda bicara apa, Putri? Kenapa Anda mengatakan hal yang mengerikan seperti itu?”

“Aku tadi membaca sebuah buku cerita. Dalam buku itu, sang tokoh utama dibenci oleh semua orang, sama sepertiku. Dia berusaha tegar untuk menutupi kesedihannya, tetapi ketika ia mencapai batasnya, ia mulai menyerah. Satu-satunya orang yang menyayanginya, bibinya, sedih karena si tokoh utama kehilangan rasa percaya dirinya.

“Dan ketika sang tokoh utama pergi untuk selamanya, bibinya yang selalu mencintainya hanya bisa menangis dan melepaskan sang tokoh utama, pergi dari dunia fana.” Lacia tersenyum lagi, “Cerita yang indah dengan akhir bahagia yang tak seindah orang duga. Jika aku juga bernasib demikian, maka aku ingin kau melepaskanku juga.”

Nanny tidak bisa berkata-kata. Nada yang terdengar pilu namun tegar itu membuat airmatanya menetes. Ia memeluk gadis kecil itu dan mengusap rambut Lacia yang sedikit basah dengan lembut.

“Anda jangan khawatir, Putri. Seberat apapun masalah yang Anda hadapi, segelap apapun jalan yang menanti Anda nanti, saya akan terus mendampingi Anda,” ujarnya, “tidak hanya sebagai seorang nanny tetapi juga seorang ibu yang mengasihi putrinya.”

“Benarkah?” Lacia mengerjap, mencoba menahan airmata yang mulai menggenang, “Hanya kau satu-satunya yang mengatakan hal itu padaku. Aku senang.”

Nanny tersenyum kecil dan memeluk erat Lacia. Sampai mati pun dia akan terus menjaga gadis kecil yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri ini. Namun dia tak pernah tahu, malam itu semuanya berubah, baik bagi dirinya, maupun bagi Lacia sendiri.

***

Lacia mengembuskan nafas, dia menatap bulan yang terlihat di langit. Bulan purnama yang begitu indah, sayangnya Lacia merasa keindahan bulan purnama kali ini tidak bisa membuatnya tenang. Alih-alih merasa damai, ia justru merasa bahaya semakin dekat.

Ia memutuskan untuk pergi keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna coklat muda dan menggelung rambutnya ke belakang. Lacia sudah biasa mengenakan gaun dan menggelung rambutnya sendiri, hasil latihannya selama ini memperhatikan para pelayan yang membantunya memakai gaun atau menata rambutnya.

Lacia mengambil sebuah mantel berwarna sama dengan gaunnya dan hendak keluar ketika dia mendengar suara-suara aneh dari balik pintu kamarnya. Sesuatu dalam dirinya menjeritkan bahaya mendengar langkah yang sangat ia kenal, langkah para prajurit.

Apa yang dilakukan prajurit di depan kamarnya malam-malam begini.

“Kalian harus ingat, bunuh tuan putri dengan cepat dan buang mayatnya sejauh mungkin.” Suara itu membuat Lacia menahan nafas. Membunuhnya? Apa maksud ucapan itu?

Tidak butuh waktu lama bagi Lacia untuk mengetahuinya. Ketika dia merasa pintu akan didobrak, ia cepat bersembunyi di belakang pintu. Sekitar dua belas orang prajurit berzirah perak masuk ke dalam kamarnya. Seorang yang ia tahu adalah kepala pasukan keamanan menyuruh untuk membuka tirai tempat tidur Lacia.

Gadis itu melihat ketika semua prajurit itu menyibak tirai tempat tidur. Buru-buru Lacia berlari keluar dari sana dan mendengar seruan yang mengatakan untuk mencari dirinya sampai ketemu.

Lacia berlari menuruni tangga istana dan keluar lewat pintu belakang. Dia tidak tahu mau lari ke mana, tapi sepertinya sekarang dia harus bisa menentukan pilihannya sendiri. Mendengar kepala prajurit menyuruh bawahannya untuk membunuhnya membuat Lacia bertanya-tanya mengapa ia harus dibunuh, tetapi dia tidak sempat memikirkannya saat mendengar suara-suara di belakangnya.

Para prajurit itu berhasil menemukannya.

Lacia mempercepat larinya. Dia berusaha bersembunyi dari para prajurit yang mengejarnya dan sampai ke hutan yang mengarah langsung ke tebing curam. Lacia tidak sadar bahwa dia akan menjemput ajalnya sendiri, tetapi sekali lagi, dia tidak peduli. Dan ketika sampai di tepi tebing, barulah Lacia berhenti. Nafasnya terengah-engah dan kini para prajurit yang berniat membunuhnya sudah berada di belakangnya.

Ia menoleh dan menatap lekat kepala prajurit yang menatapnya balik dengan tatapan tajam.

“Putri, Anda tidak bisa lari lagi. Menyerahlah.” Kata kepala prajurit.

“Atas dasar apa aku harus menyerah pada kalian?” kata Lacia, “Apa salahku sampai kalian ingin membunuhku? Siapa yang memerintahkan kalian?”

“Raja dan Ratu sendiri yang meminta. Mereka ingin Anda lenyap.”

Jawaban itu membuat Lacia tercengang. Apa dia tidak salah dengar? Kedua orangtuanya sendiri menginginkan kematiannya? Namun seulas senyum tersungging di bibirnya. Ternyata buku yang tadi dia baca benar-benar memiliki situasi yang sama dengan yang dihadapinya sekarang.

Benar-benar permainan takdir yang menggelikan.

“Kalau begitu,” kata Lacia dingin, “kalian tidak perlu repot-repot. Aku bisa membunuh diriku sendiri. Tapi ingatlah ini, jika aku terlahir kembali, maka aku akan memusnahkan kerajaan yang tak pernah menganggapku ada dan membuangku layaknya sampah. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya.”

Lacia berbalik dan terjun dari tebing, disaksikan oleh kepala prajurit yang tercengang dengan tindakan yang diambil oleh sang putri. Ia menatap tubuh Lacia yang jatuh ke lautan yang memiliki ombak besar di bawah tebing. Secara teknis, ia sudah melakukan tugasnya untuk membunuh sang putri, tetapi ada yang mengganjal hatinya. Yaitu ucapan terakhir sang putri.

“… aku akan memusnahkan kerajaan yang tak pernah menganggapku ada dan membuangku layaknya sampah…

Entah kenapa kepala prajurit merasa ucapan itu akan menjadi kenyataan cepat atau lambat.

#2,188 words#

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status