Share

Chapter 01

Kedua mata itu membuka, menampilkan sepasang bola mata sedalam lautan. Sang pemilik mata itu lalu duduk tegak dan mengusap wajahnya dengan kasar. Lagi-lagi mimpi itu, batinnya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Mimpi yang ia dapat tadi membuatnya tak lagi berselera untuk tidur, karenanya dia memilih bangkit dari kantong tidurnya yang nyaman dan berjalan keluar dari tendanya.

Matanya menangkap dua sosok serigala berwarna hitam dan putih yang meringkuk di pintu tenda. Ia tersenyum tipis melihat dua hewan itu dan berjalan pelan menyusuri hutan tempatnya berkemah sekarang ini. Dilihatnya tenda-tenda yang lain dan melihat hanya satu tenda yang masih terlihat terang di malam selarut ini. Dia memutuskan mendatangi tenda itu dan melihat seorang pemuda tampak duduk diam di depan sebatang lilin.

“Mikail,”

Pemuda itu membuka matanya, menampilkan sepasang bola mata sewarna langit malam. Si pemuda menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

“Biar kutebak, mimpi yang sama?” tanya si pemuda, yang dijawab dengan anggukan olehnya.

“Boleh aku tidur bersamamu? Aku takut mimpi itu kembali mengusikku.” Katanya.

Si pemuda mengisyaratkan tempat di sebelahnya dan ia langsung mengambil tempat di samping kantong tidur si pemuda. Dirasakannya tangan pemuda itu mengelus kepalanya dengan sayang dan mencium keningnya.

“Apa mimpi itu selalu mengusikmu seperti ini, Leia?” tanya si pemuda.

“Hmm …, aku bahkan tak tahu kenapa aku masih memimpikan mimpi yang sama. Mimpi di mana aku melompat ke jurang dan tenggelam di laut.” Kata Leia, “Ingatan itu memang sudah lama sekali, tapi kenapa aku harus terus memimpikan hal yang sama?”

Mikail hanya diam. Dia mengelus rambut Leia yang berbaring di sampingnya dan terus diam.

“Besok kita akan pergi ke kota, membeli bahan makanan dan mungkin memperbaiki senjata kelompok kita,” kata Mikail, “tidurlah lagi. Aku akan menjagamu.”

Leia mengangguk. Dia membaringkan kepalanya di pangkuan Mikail dan mencoba tidur sementara Mikail kembali bermeditasi.

***

Pagi akhirnya tiba. Seluruh anggota perkemahan yang sebagian besar adalah pria itu bangun dan membereskan perkemahan. Beberapa ada yang pergi ke sungai terdekat untuk mencuci muka atau mandi sementara yang lain menyiapkan sarapan untuk kelompok.

Leia juga bangun bersamaan dengan Mikail yang sudah siap dengan pakaian serba hitam yang selalu dipakainya. Gadis itu menatap siluet Mikail yang tampak besar di hadapannya. Dia sering melihat Mikail sudah berpakaian rapi dan bersiap untuk pergi padahal mereka masih punya waktu beberapa jam lagi.

Mikail menoleh ketika merasa Leia menatapnya. Pemuda itu tersenyum tipis dan mengecup kening gadis yang baru bangun tidur itu. “Selamat pagi, Putri Tidur. Tidurmu nyenyak?”

“Tidak terlalu. Tapi aku senang tidur di dekatmu.” Balas Leia, “Kau mau pergi ke mana? Pakaianmu tampak berbeda dari biasanya.”

“Lucu sekali.” balas Mikail pendek.

Leia terkekeh dan balas mencium Mikail di pipi. “Aku akan bersiap-siap, tunggu aku.”

Mikail mengangguk. Leia bangkit dari kantung tidur dan berjalan keluar dari tenda. Dia melihat dua serigala yang kemarin berada di depan tendanya ternyata sudah berdiri di depan tenda Mikail, menghampiri Leia dan mengelus-eluskan kepala mereka ke kaki gadis itu.

“Hai Blanc, Noir.” Leia tersenyum kecil, “Aku akan ke sungai, kalian mau ikut?”

Kedua serigala itu menyalak sekali dan mengikuti Leia menuju sungai. Gadis itu mencari tempat yang cukup tertutup untuk membersihkan tubuh dan mencuci muka. Beruntung anggota kelompok yang lain sudah berada di perkemahan, jadi pinggir sungai tampak sepi saat ini.

Leia menanggalkan pakaian tidurnya dan masuk ke dalam air sungai yang dingin. Ia sempat menggigil, tapi kemudian tubuhnya beradaptasi. Dia bersandar pada batu di pinggir sungai dan menatap langit pagi yang sedikit tertutupi oleh daun-daun pepohonan. Leia memikirkan mimpi yang selalu ia dapatkan akhir-akhir ini. mimpi tentang ingatannya di masa lalu yang sudah ia coba hapus dari pikirannya, tetapi masih saja melekat kuat dalam ingatan.

Benar-benar menyebalkan. Leia mendengus, menatap luka parut pada bagian dalam lengan kanannya. Luka itu adalah luka yang ia dapatkan ketika terjun ke lautan di tepi tebing waktu itu. Leia tak mau mengingatnya, tetapi otaknya memaksa melakukannya. Usahanya untuk tidak mengingat masa lalunya ketika masih berstatus seorang putri di sebuah kerajaan yang bahkan tak menganggapnya demikian.

Leia menarik nafas dan mengembuskannya perlahan. Mengatur nafasnya agar kekuatan dan racun dalam tubuhnya tidak menyebar ke air sungai tempatnya mandi. Dia tidak mau mencemari sungai ini dengan racun yang bahkan mampu keluar dari tubuhnya tanpa diminta. Sampai saat ini, masih menjadi pertanyaan bagi dirinya dari mana asal racun yang mengalir dalam tubuhnya. Leia sudah sering mencoba mencari tahu tapi hasilnya selalu gagal, hingga akhirnya dia berhenti bertanya dan menerima saja bahwa dia adalah racun hidup yang kebetulan dibuang oleh suatu kerajaan dan ditemukan oleh kelompok yang dipimpin Mikail.

Kelompok yang dipimpin Mikail bukanlah kelompok sembarangan walau mereka bisa dibilang juga kelompok penjahat. Namun, adakah penjahat yang membagikan hasil jarahannya pada orang-orang yang lebih membutuhkan? Tujuan yang mulia itu terselip di balik sebutan ‘Death Dealer’ atau Pemburu Kematian yang disandang oleh kelompok Mikail. Ciri utama dari Death Dealer sendiri adalah para anggotanya yang memiliki kemampuan bertarung, bela diri, dan sihir di atas rata-rata, bahkan anggota terlemah mereka memiliki kemampuan sihir yang tidak bisa ditandingi oleh sepuluh ahli sihir sekalipun. Mikail sendiri sebagai seorang pemimpin adalah pengguna sihir dan memiliki kemampuan bela diri yang tidak bisa dianggap remeh. Sampai saat ini belum ada yang bisa menandingi Mikail.

Sampai Leia ditemukan oleh pemuda itu dan ternyata bisa mengimbangi kekuatan dan keganasan Mikail yang dikenal bagaikan raja iblis.

Lenguhan dari Blanc, serigala putihnya membuyarkan lamunan Leia. Dia menoleh kearah serigala putih itu dan tersenyum kecil. Sepertinya dia terlalu asyik melamun sampai tak sadar sudah cukup lama dia berada di sana. Gadis itu lalu beranjak dari air sungai dan mengeringkan tubuhnya. Setelahnya dia mengenakan pakaiannya yang berwarna serba putih mulai dari kemeja, rok, sampai sepatu bot yang dia kenakan. Leia menyampirkan dua buah pedang di pinggang kirinya dan menenteng sebuah busur di tangannya.

“Ayo kita kembali,” kata gadis itu pada kedua serigalanya.

Leia kembali ke perkemahan dan melihat semua tenda sudah dibereskan dan diletakkan di atas kuda-kuda yang awalnya merumput di padang rumput tak jauh dari perkemahan. Beberapa orang mengangguk hormat pada gadis itu yang dibalas dengan senyum tipis. Langkah Leia berhenti di samping Mikail yang duduk bersama seorang wanitadengan rambut perak. Melihat Leia datang, wanita perak itu tersenyum lembut.

“Bagaimana mandinya?” tanya wanita itu.

“Airnya sangat dingin dan membuat pikiranku jernih.” Leia tersenyum, “Apa aku ketinggalan sesuatu?”

“Tidak, kau hanya nyaris melewatkan sarapanmu.” Wanita itu tertawa lembut dan menyodorkan sebuah roti dan semangkuk sup hangat. “Ini bagianmu. Setelahnya kita akan pergi ke kota untuk membeli bahan makanan dan melengkapi persenjataan kita.”

Leia menerima kedua makanan itu dan memakannya dengan cepat. Mikail dan wanita itu kembali berdiskusi, dan Leia memutuskan untuk menutup telinga karena pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang belum boleh ia dengar karena usianya belum matang, belum mencapai usia dua puluh tahun.

“Leia,”

Leia mendongak dan menatap Mikail yang memanggilnya, “Ya?”

“Kana akan menemanimu berbelanja pakaian. Kita akan pergi menghadiri undangan seorang bangsawan di kota selanjutnya.” Kata Mikail.

“Jarang sekali kita diundang oleh bangsawan. Apa itu bukan jebakan bagi Death Dealer?” tanya Leia.

“Kalaupun itu jebakan, kita tentu bisa dengan mudah mengatasinya.” Balas Kana masih dengan senyum anggunnya, “Kita bisa dengan mudah membantai mereka jika kita mau.”

Leia tersenyum simpul mendengar jawaban Kana. Ia mempercepat makannya dan membantu yang lain membereskan sisa perkemahan.

Setelah semua siap, mereka semua lalu menaiki kuda tunggangan mereka masing-masing. Ketika sampai di kota, kelompok Death Dealer yang berjumlah lebih dari dua puluh orang itu akan berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil dengan anggota masing-masing lima orang. Kemudian setelah urusan mereka selesai, mereka akan bertemu di gerbang perbatasan kota dan bergerak kembali ke Wilayah Terlarang, tempat tinggal mereka. Leia, Mikail dan Kana biasa tergabung dalam satu kelompok, tapi kali ini Mikail memisahkan diri dari kedua wanita itu dan bergabung dengan kelompok lain.

Perjalanan mereka tidak membutuhkan waktu lama.  Hutan yang menjadi tempat mereka berkemah sebelumnya cukup dekat dengan perbatasan kota. Begitu melihat gerbang kota, Mikail segera mengintruksikan mereka untuk masuk ke dalam kota secara bergantian. Leia yang menunggang kuda di sisi Mikail memperhatikan bawahan mereka masuk ke dalam gerbang kota.

“Kau sedang memikirkan apa?” pertanyaan itu membuat Leia menoleh kearah Mikail yang menatap lurus ke depan.

“Aku tidak memikirkan apa-apa.” jawab gadis itu tenang, “Aku hanya heran kenapa kali ini kau tidak ikut bersamaku dan Kana dalam satu kelompok.”

“Aku harus membuatmu terbiasa kalau aku tidak akan selamanya ada di sisimu.” Balas Mikail, “Tapi bukan berarti aku akan meninggalkanmu. Bukan itu alasannya. Tentu saja aku tidak mungkin meninggalkan calon istriku sendirian.”

Leia memutar bola matanya mendengar ucapan Mikail. Sejak dia ditemukan pemuda ini beberapa tahun yang lalu dan mengetahui Leia punya kekuatan yang sangat besar, Mikail sudah mendeklarasikan bahwa ia akan menjadi calon istrinya, suka atau tidak suka. Leia sendiri tidak ambil pusing soal itu karena baginya, Mikail adalah penyelamatnya, begitu pula Kana dan anggota kelompok Death Dealer yang lain. Ia sudah menganggap mereka semua seperti keluarga sendiri.

Tapi, terkadang sikap protektif Mikail akan muncul tanpa diduga. Dan ketika itu terjadi, pemuda itu tidak akan segan-segan mengatakan dengan jelas untuk menjauh dari Leia. Itu satu hal yang kadang dikeluhkan Leia setiap harinya pada Kana.

“Kau tak perlu khawatir, Mikail. Leia tidak akan ke mana-mana.” celetuk Kana yang melihat interaksi keduanya, “Kau jangan terlalu protektif pada Leia, siapa tahu karena sifatmu itu dia malah kabur ke pelukan lain.”

“Kana ….” Leia mengeluh dan melihat Kana hanya tertawa, “Jangan dengarkan Kana, Mikail. Aku juga tidak akan ke mana-mana.”

“Bagus.” Mikail mengangguk, “Sekarang giliran kelompokku. Sampai jumpa di pesta bangsawan nanti malam.”

Leia mengangguk dan memperhatikan Mikail beserta kelompoknya pergi menjauh. Kana yang berada di sisi gadis itu menepuk punggung tangannya dengan lembut.

“Jangan khawatir,” kata wanita itu, “Mikail tahu apa yang dilakukannya. Dia akan bertemu dengan kita di pesta bangsawan malam nanti sebagai pasanganku. Kau tak keberatan dengan scenario ini, kan?”

“Tidak. Aku lebih baik berpura-pura menjadi adikmu ketimbang menjadi pasangannya di pesta nanti malam. Bisa gila aku jika dia terus memelukku dan tidak memperhatikan sekitar.” Balas Leia.

Kana kembali tertawa. Dan ketika kelompok terakhir sudah tak terlihat dari pandangan mereka, ia dan kelompoknya pun memasuki gerbang kota.

Leia memperhatikan jalanan kota yang dihiasi oleh para pedagang yang menjajakan dagangan barang mereka. Ada pula toko bunga dan toko gaun yang menjual bermacam-macam gaun yang indah dan cantik. Leia tidak memusatkan pandangannya lama-lama kearah toko gaun. Dia lebih tertarik dengan bunga dan pandai besi yang tengah menempa besi panas menjadi senjata di beberapa tempat.

“Kita akan pergi ke toko baju yang ada di sana.” tunjuk Kana kearah satu toko, “Kalian bertiga boleh berkeliling untuk mencari bahan makanan. Aku dan Leia akan mengurus gaun yang akan kami pakai saat pesta nanti.”

“Baik, Nona Kana.”

Ketiga bawahan mereka langsung memisahkan diri. Leia sendiri mengikuti Kana menuju toko gaun yang tadi ditunjuknya dan menambatkan kudanya pada salah satu pohon di dekat sana. Seorang pria tergopoh-gopoh membantunya menambatkan kuda dan tersenyum sebelum kembali duduk di salah satu kursi tak jauh dari tempat tambatan kuda.

“Ayo,”

Kana menggandeng tangan Leia dan mereka memasuki toko tersebut. Aroma wewangian ruangan menyerbu indera penciuman keduanya. Dan berbagai macam gaun dijejerkan secara berderet di setiap sudut toko. Leia melihat berbagai macam jenis gaun ada di sana, dengan berbagai warna berbeda.

Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Gaunnya yang berwarna biru tua tampak serasi dengan matanya yang berwarna sama. Gurat-gurat penuaan memang terlihat jelas di wajah beliau, tetapi fisiknya terlihat masih kuat untuk sekedar berjalan dan melayani pelanggan tokonya.

“Selamat datang, Nona Muda, apa Anda berdua sedang mencari gaun untuk pesta?” tanya beliau.

“Ya. Kami ingin gaun yang cukup nyaman dipakai dan tidak membuat kami tersandung karenanya.” Kata Kana ramah, “Ah, nama saya Kana Vertensia, dan ini adik saya, Leia.”

Leia membungkuk hormat dan membuat wanita paruh baya itu sedikit terkejut. Tindakan yang dilakukan Leia hampir mirip seperti yang dilakukan oleh bangsawan kelas atas. Begitu pula kecantikan keduanya. Tidak ada yang bisa menyamai kecantikan Kana dan Leia saat ia memandang mereka.

“Ah, maaf, nona-nona, saya malah menatap kalian berdua dengan tidak sopannya.” Ujar beliau.

“Tak apa, Ma’am,” Kana tersenyum, “apakah Anda punya beberapa gaun yang mungkin cocok untuk kami kenakan?”

“Tentu. Toko saya menjual gaun-gaun yang mungkin sesuai dengan selera Anda berdua. Mari, ikuti saya.”

Kana dan Leia mengikuti wanita itu dan melihat-lihat gaun-gaun yang ada di sana. Leia tidak terlalu peduli soal pakaian atau gaun apa yang harus dia kenakan. Yang penting baginya sekarang hanya pulang dan bermain bersama Blanc dan Noir yang sedang menunggu mereka di perbatasan kota.

“Leia,”

Leia mengalihkan perhatiannya pada Kana yang menyerahkan sepotong gaun berwarna biru muda padanya, “Bagaimana kalau kau memakai gaun ini? Kurasa warnanya cocok dengan warna matamu.” Kata wanita itu.

“Hm.” Leia mengangguk, “Kurasa tak masalah. Aku tak terlalu pandai memilih gaun.”

Kana tersenyum. Dia lalu memberikan gaun itu pada wanita paruh baya tadi bersama satu potong gaun lain berwarna merah tua. Setelah mendapatkan gaun yang diinginkan, kedua wanita itu keluar dari toko dan membeli bahan-bahan makanan dan juga beberapa keperluan lain yang akan menunjang perjalanan pulang mereka dua hari lagi.

“Oh ya, kita akan menginap di mana selama berada di kota ini?” tanya Leia sambil naik ke atas kudanya.

Kana naik ke atas kudanya dan memiringkan kepala, “Kurasa kita akan menginap di mansion bangsawan yang mengundang kita. Mikail memberitahuku kalau bangsawan itu ingin membicarakan sebuah kerja sama dengan kita.”

Leia manggut-manggut dan menjalankan kudanya di samping kuda Kana, “Semoga saja aku tidak tertanggu dengan pesta itu. Kau tahu sendiri kalau aku tidak terlalu suka pesta.” Katanya.

“Tenang saja. Mikail dan aku akan menjagamu, Leia.” Kana tersenyum tipis, “Kau tak perlu khawatir. Apalagi Mikail akan menjagamu dengan sepenuh hati, mengingat kalian akan menikah sebentar lagi.”

“Kana, tolong jangan ingatkan aku soal itu.” Leia memutar bola matanya, “Aku saja masih tidak percaya aku akan menikah dengan Mikail. Kupikir waktu ia melamarku saat itu dia hanya bercanda, ternyata dia benar-benar serius.”

Kana tertawa, “Tidak banyak gadis yang bisa mengimbangi keliaran  Mikail. Kekuatan dan juga kharismanya benar-benar tidak bisa diabaikan. Terutama karena dia pewaris dari Wilayah Terlarang.” Ujar wanita itu. “Karena itu, gadis yang menjadi calon istrinya adalah seorang yang beruntung.”

Leia tidak menjawab. Pipinya memerah mendengar ucapan Kana dan lebih memilih melihat-lihat jalanan di kota.

“Kau tak perlu khawatir, Leia.” Ujar Kana lagi, “Seberat apa pun rintangan yang akan kalian lewati di masa depan, Mikail tidak akan melepaskanmu. Dia pria berkomitmen, dan tidak akan melihat perempuan lain selain padamu.”

***

Pesta yang berlangsung malam itu diselenggarakan oleh bangsawan bernama Kayleigh Zevellia. Seorang pria muda yang sering menyelenggarakan pesta untuk menarik perhatian bangsawan lain dalam gerakan amal. Tujuannya sangat mulia. Di kerajaan ini hanya sedikit bangsawan yang menyelenggarakan pesta untuk mengumpulkan bantuan untuk orang-orang miskin di sekitar mereka.

Ketika Leia dan Kana sampai di mansion sang bangsawan, Mikail sudah berada di sana, mengobrol dengan Kayleigh Zevellia. Kedua wanita itu menyerahkan tali kekang kuda mereka pada seorang pelayan dan menghampiri kedua pria yang tengah berbicara serius di depan sebuah labirin bunga mawar di samping mansion.

“Oh, inikah tunangan yang kau bicarakan, Tuan Jester?” kata Kayleigh saat melihat Kana dan Leia mendekat.

“Jangan menyentuhnya, Kayleigh. Kalau kau menyentuh mereka terutama Leia, aku tidak akan segan-segan menghajarmu.” Balas Mikail.

Kayleigh terkekeh dan berdiri menyambut mereka berdua, “Selamat datang di mansionku, Nona Kana dan Nona Leia Vertensia. Suatu kehormatan kalian berdua bisa hadir dalam pestaku malam ini.”

“Kami juga berterima kasih atas undanganmu, Tuan Zevellia.” Kana menjawab dengan senyum sopan. “Kuharap kami tidak terlambat datang kemari.”

“Tidak, tentu tidak.” Kayleigh menggeleng, “Bila kalian lelah, silakan beristirahat dulu. Para pelayanku akan membawa kalian ke kamar yang sudah disiapkan.”

Kana mengangguk mendengarnya, “Kalau begitu kami permisi. Kami akan mempersiapkan diri untuk pesta nanti malam.” Katanya.

“Berdandanlah yang cantik.” celetuk Mikail, “Aku ingin melihat Leia dengan gaun pilihannya. Aku jarang melihatnya memakai gaun.”

“Kau akan melihatnya dan terpukau.” Kata Kana sebelum Leia menjawab, “Nah, kami permisi dulu.”

Kayleigh mengangguk dan kemudian melanjutkan obrolannya dengan Mikail. Kana melirik sekilas kearah Mikail dan tertawa geli, menarik perhatian Leia yang berjalan di sebelahnya, “Ada apa?”

“Ah, tidak …, jika kau sadar, Leia, Mikail tadi sedang menggodamu.” Ujar wanita itu.

Leia memiringkan kepalanya. Dia tahu Mikail mengucapkan hal itu dengan niat terselubung, tapi dia tidak berpikir kalau pemuda itu akan menggodanya terang-terangan di depan Kayleigh Zevellia.

“Kurasa dia tidak sabar melihatmu mengenakan gaun mungkin karena dia ingin membawamu ke kamarnya dan berduaan saja denganmu.” kata Kana lagi, “Kalian benar-benar pasangan yang bisa membuat orang lain iri kalau saja aku tidak ingat kali ini perannya adalah sebagai pasanganku.”

“Kana, tolong berhentilah menggodaku.” Kata Leia dengan pipi memerah.

Kana tertawa lagi.

***

Malam tiba, dan itu artinya pesta dimulai. Para bangsawan yang diundang mulai berdatangan satu-persatu dengan gaun dan pakaian terbaik mereka. Ada juga tamu dari kerajaan lain yang tertarik untuk datang atau memang diundang oleh Kaylegih. Semua orang berkumpul di ballroom mansion yang mampu menampung mereka semua. Music yang mengalun merdu dari para pemain music pun turut menyemarakkan pesta tersebut.

Di antara para tamu, seorang pemuda bersurai dan memiliki mata sehitam malam menarik perhatian para gadis. Pemuda itu berdiri menyandar pada salah satu pilar sambil bersedekap. Matanya yang tajam mengamati tamu-tamu pesta di aula tersebut dengan seksama sementara sang tuan rumah, Kayleigh, berdiri di sampingnya.

“Jangan khawatir, Tuan Jester. Pasangan Anda dan adiknya sebentar lagi pasti akan muncul.” Ujar pria itu tertawa geli, “Aku tidak pernah mengira pemimpin Wilayah Terlarang memiliki sikap protektif seperti ini.”

“Aku harus, kalau tidak aku akan kehilangan mereka berdua.” balas Mikail dengan senyum tipis. “Mereka berdua adalah satu-satunya wanita yang kuhormati setelah ibuku.”

Kayleigh manggut-manggut mendengarnya, “Baiklah, kalau begitu aku harus memberi salam pada para tamuku. Kau ingin ikut?”

“Tidak. Aku tidak terlalu suka keramaian.” Balas Mikail.

“Baik, kalau begitu silakan menikmati pestanya, Tuan Jester.”

Mikail mengangguk dan memperhatikan Kayleigh berjalan menuju salah satu kelompok tamunya dan memberi salam. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke depan, membuat para wanita melirik kearahnya secara terang-terangan.

Suara gumaman yang terdengar dari arah pintu masuk menarik perhatiannya. Mikail melihat dua orang wanita masuk ke ballroom dengan iringan tatapan kagum dari para tamu. Seulas senyum terukir di wajahnya. Itu Kana dan Leia.

Kana mengenakan gaun berwarna merah tua yang menonjolkan rambutnya yang berwarna keperakan. Gaun yang memiliki potongan dada yang tidak terlalu menggoda itu menegaskan kulitnya yang berwarna putih. Rambutnya digelung dan dihiasi jepit rambut berbentuk bunga dengan untaian mutiara putih yang menghiasi.

Sementara Leia mengenakan gaun berwarna biru muda seperti warna langit. Kecantikannya tak kalah dari Kana, malah gadis itulah yang paling menarik perhatian. Rambutnya yang berwarna coklat gelap dibiarkan tergerai dan dihiasi bunga mawar putih dengan untaian mutiara yang berayun seiring gerakan kepalanya. Mata Leia yang berwarna biru juga menghipnotis para tamu. Postur tubuhnya yang tinggi langsing juga menarik mata para pria, bahkan wajahnya pun membuat betah siapapun yang memandangnya.

Kedua wanita itu berjalan lurus kearah Mikail dan ketika sampai di hadapan pemuda itu, Kana tersenyum, “Bagaimana? Penampilan Leia sangat menawan, kan?” tanya Kana langsung.

Mikail menatap Leia yang berdiri di sebelah Kana dan tersenyum simpul. “Cantik.”

Leia membalas pujian itu dengan sebuah senyuman. Mereka bertiga membuat semua orang tak bisa mengalihkan pandangan mereka.  Ketiganya mempunyai charisma tersendiri yang membuat siapapun tak ingin melepaskan pandangan.

Music kemudian berganti menjadi music dansa. Mikail mengajak Kana ke lantai dansa sementara Leia memperhatikan mereka. Mereka saat ini sedang memainkan peran berbeda, karenanya Leia tidak masalah ditinggal sendirian dan menarik perhatian para pria untuk mengajaknya berdansa, yang sayangnya ditolaknya dengan halus.

Leia memperhatikan lantai dansa dengan kedua tangan bertumpu di depan tubuhnya. Pandangannya memancarkan wibawa yang begitu jelas menngingat dulu ia adalah seorang bangsawan juga.

Gadis itu baru mengalihkan pandangannya kearah lain ketika sebuah tangan menariknya dan membuatnya menoleh dengan wajah kaget.

Mata Leia menatap pemuda berambut pirang gelap yang berdiri di hadapannya. Mata tajam berwarna biru itu menatapnya lekat-lekat, membuat Leia merasa risih.

“Maaf, Tuan, bisakah Anda melepaskan tanganku?” pinta Leia dengan halus.

Namun pemuda itu seolah tak mendengarkan. Tangannya tetap digenggam dan pandangannya benar-benar membuat Leia merasa tidak nyaman karena ditatap seperti itu.

“Tuan—”

“Kau Lacia, kan?” kata pemuda itu, “Kau Lacia la Midford, kan?”

Mendengarnya, Leia tertegun. Bagaimana bisa pemuda asing ini mengetahui nama aslinya? Leia menatap wajah pemuda itu dan membelalak, menyadari siapa yang sedang berada di depannya.

Kakak kandungnya, Lucius la Midford.

#3,315 words#

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status