Share

Chapter 02

Lucius menatap para tamu pesta bangsawan Kayleigh Zevellia dengan tak berminat. Dia datang kemari sebagai perwakilan dari Kerajaan Silvista. Walau begitu, kedatangannya ternyata menarik perhatian banyak orang. Siapa yang mengira kalau banyak juga perwakilan dari kerajaan lain yang datang ke pesta ini? Kayleigh Zevellia adalah satu bangsawan yang bisa dibilang cukup unik, karena pesta yang diselenggarakannya selalu mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan, mungkin salah satu alasannya karena Kayleigh Zevellia adalah satu dari sedikit bangsawan yang dermawan dan kedermawanannya ini tak pernah tanggung-tanggung.

Lucius menyesap wine di gelasnya. Ia menatap semua orang dengan tatapan tak berminat, malah sebenarnya dia tidak suka datang ke pesta semacam ini, di mana bangsawan dan rakyat dari kalangan bawah membaur, menciptakan perbedaan yang begitu jelas di matanya. Entah apa yang dipikirkan oleh Kayleigh ketika membuat pesta seperti ini.

Ia menyesap kembali wine-nya ketika dilihatnya para tamu tertuju kearah pintu masuk ballroom. Penasaran, ia juga mengalihkan pandangannya ke sana, tepat ketika dua orang wanita bergaun merah dan biru masuk. Lucius mengerjap melihat kecantikan keduanya. Wanita berambut perak dan mengenakan gaun merah itu tampak anggun dan berwibawa di saat bersamaan. Postur tubuhnya yang tinggi dan liat itu malah membuatnya tampak menarik dalam baluan gaun sewarna darah merah, kontras dengan warna rambutnya, menjadikannya enak dipandang.

Sementara yang satu lagi ….

Keningnya berkerut samar. Lucius merasa mengenal gadis dalam balutan gaun biru itu. Ada suatu perasaan aneh yang menyeruak di dadanya ketika melihat gadis bergaun biru tersebut. Dia bukan orang yang senang bermain-main dengan rasa penasaran, karenanya dia memilih untuk mendekati kedua wanita itu diam-diam.

Lucius melihat mereka berdua menghampiri pemuda bersurai hitam yang sejak tadi berdiri menyandar pada pilar di belakang punggungnya. Ia melihat mereka berbicara dengan pemuda itu dan Lucius tertegun melihat senyum si gadis bergaun biru. Dia benar-benar yakin pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tapi di mana, Lucius tidak bisa mengingatnya.

Si gadis bergaun merah dan si pemuda bersurai hitam menuju lantai dansa ketika para pemain music mengalunkan music dansa, meninggalkan si gadis bergaun biru sendirian. Gadis itu sempat ditawari dansa oleh beberapa pria yang ditolak dengan halus. Ia berdiri sendirian sambil menatap ke lantai dansa. Perasaan itu kembali menyeruak dalam dada Lucius.

Ya. Dia benar-benar mengenal gadis itu, dan matanya …, sikap tubuhnya ….

Mendadak satu pemikiran melintas dalam otaknya. Ia menghampiri gadis itu dan menggenggam tangannya, membuat gadis itu menoleh dan mata birunya bertatapan dengan miliknya.

Tidak salah lagi! batinnya.

“Maaf, Tuan. Bisakah Anda melepaskan tanganku?” pinta gadis itu sopan.

Tapi Lucius tidak mengindahkannya. Dia terus menatap lekat-lekat gadis di hadapannya ini sementara tangannya tetap menggenggam tangan si gadis yang mulai merasa tak nyaman.

“Tuan—”

“Kau Lacia, kan?” kata Lucius, “Kau Lacia la Midford, kan?”

Dari tangan yang digenggamnya Lucius tahu tubuh gadis itu menegang dan mata yang semula menatapnya ramah itu berubah menjadi dingin.

“Maaf, sepertinya Anda salah mengenali orang.” gadis itu menyentakkan tangannya dengan kasar.

Lucius tersentak dengan nada bicara gadis itu yang terdengar dingin dan tak bersahabat. “Kau Lacia, aku yakin itu.” katanya lagi, “Tapi …, bukankah kau sudah mati? Kenapa kau ada di sini?”

Gadis itu memutar bola matanya mendengar pertanyaan Lucius, “Sudah saya katakan, Anda salah mengenali orang. Saya bukan gadis bernama Lacia la Midford seperti yang Anda sebutkan. Anda benar-benar tidak sopan dan Anda masih merasa bahwa Anda adalah seorang bangsawan dengan tata krama tinggi?”

Ucapan gadis itu membuat Lucius sedikit kesal. Dia yakin gadis di hadapannya ini adalah Lacia, adiknya yang dinyatakan terbunuh oleh pemberontak enam tahun yang lalu. Lucius sangat yakin karena dia mengenal baik adik yang sangat dibencinya itu walau rambut gadis di hadapannya ini berbeda dengan rambut Lacia yang berwarna pirang.

Gadis itu hendak melangkah pergi tapi Lucius buru-buru mencegahnya. “Tunggu!!”

“Maaf, Tuan yang tak memiliki sopan santun, saya tidak ingin berurusan dengan Anda. Jadi biarkan saya pergi atau saya akan mengadu pada tuan rumah pesta ini bahwa Anda mengacau di pestanya.” Kata gadis itu.

“Aku tak peduli, Lacia. Kau masih hidup, itu yang terpenting sekarang.” kata Lucius.

“Sudah saya bilang kalau saya bukan Lacia.” Balas gadis itu. “Anda rupanya tak hanya tida k sopan tapi juga tak punya telinga.”

“Kau—”

“Ada apa ini?”

Mereka berdua menoleh dan melihat si pemuda bersurai hitam dan gadis bergaun merah sudah keluar dari lantai dansa. Mata si pemuda menatap Lucius dengan tatapan tajam dan memposisikan dirinya di depan gadis itu sementara si gadis bergaun merah berdiri di sampingnya.

“Kau siapa? Berani sekali mengganggu adikku.” Kata si gadis bergaun merah. “Leia, apa dia mengganggumu?”

“Dia berkata kalau aku adalah adiknya yang bernama Lacia.” Jawab si gadis yang masih Lucius yakini adalah Lacia, “Dia meracau kalau aku adalah adiknya yang hilang.”

Mendengarnya, si pemuda dan si gadis bergaun merah saling pandang. Si pemuda lalu menatap Lucius, “Ada urusan apa kau mengatakan adik tunanganku adalah adikmu?” tanyanya.

“Dia adikku.” Kata Lucius, “Dia Lacia. Aku mengenalnya dengan baik walau sekarang penampilannya sangat berbeda. Dia adalah putri dari kerajaanku.”

“Ah, rupanya Anda pangeran mahkota dari Kerajaan Silvista,” kata si pemuda, “Tapi maaf, Pangeran, adik tunanganku bukanlah adikmu. Kau salah mengenali orang.”

“Aku tidak salah mengenali orang. Gadis ini benar-benar adikku, Lacia!” kata Lucius. “Lacia, kau harus ikut aku!”

“Aku bukan adikmu. Bukankah aku sudah berkali-kali mengatakannya?” balas Leia dingin.

Pemuda bersurai hitam itu mengangguk setuju dengan ucapan Leia, “Kau mendengar sendiri kata-katanya, Pangeran. Jangan coba-coba mengganggunya atau kau akan berurusan denganku.” tandasnya, sebelum kemudian membawa kedua wanita itu menjauh dari Lucius.

Lucius mengepalkan tangannya. Dia tidak bisa menerima kalau Lacia tidak mengenalnya. Apa gadis itu lupa kakaknya sendiri? Walaupun dia membenci Lacia, ada alasan tersendiri kenapa dia tidak bisa melupakan adik kandungnya tersebut. Terlebih karena ini menyangkut masalah kerajaannya ….

“Sepertinya Anda sudah bertemu dengan pemimpin Wilayah Terlarang beserta wanitanya.”

Suara itu membuat Lucius menoleh. Kayleigh Zevellia berdiri di sebelahnya dengan segelas wine putih di tangannya. Pemuda yang memiliki tingi yang sama sepertinya itu tersenyum lebar seolah-olah baru saja melihat tontonan menarik.

“Apa maksud Anda pemimpin Wilayah Terlarang?” tanya Lucius.

Mata Lucius membelalak. Wilayah Terlarng adalah sebuah tempat yang dikelilingi hutan sihir lebat. Konon di tempat itu terdapat sebuah kerajaan yang jauh lebih maju dibandingkan kerajaan-kerajaan yang lain. Orang-orang di wilayah itu mengisolasikan diri dari dunia luar dan sering terlibat dalam pekerjaan kotor, mengingat kemampuan orang-orangnya yang sangat tinggi bahkan melebihi ekspektasi para petinggi sihir di seluruh kerajaan di seluruh dunia. Dan Kayleigh Zevellia bilang pemuda yang sepantaran dengan mereka itu adalah pemimpin Wilayah Terlarang? Benar-benar gila.

“Pemuda bersurai hitam itu adalah pemimpin baru Wilayah Terlarang. Tentu Anda tahu Wilayah Terlarang itu apa.” kata Kayleigh, “Dan kedua wanita itu adalah kerabat dekatnya. Salah seorang diantara mereka adalah calon istrinya. Karena itu kusarankan Anda jangan membuat masalah dengan mereka.”

***

“Jadi itu kakakmu yang selama ini membencimu?” tanya Kana setelah mereka cukup jauh dari Lucius.

Leia hanya mengangguk. Suasana hatinya mendadak berubah buruk setelah bertemu dengan kakak kandungnya. Leia harus bertahan dan berbohong mati-matian agar pemuda itu tak lagi mengganggunya, tapi Lucius adalah orang yang keras kepala dan terus mengatakan dia adalah Lacia.

Padahal Leia sudah meninggalkan nama dan kehidupannya yang lama sebagai masa lalu. Dia tak pernah suka jika satu bagian dari masa lalunya muncul dan mengganggunya, seperti halnya Lucius.

Genggaman di tangannya membuat Leia menoleh kearah Mikail. Pemuda itu menggenggam tangannya dalam diam.

“Jangan dipikirkan. Dia tidak akan bisa mengganggumu lagi.” ujar pemuda itu.

“Hm,” Leia mengangguk, “Jika dia menggangguku pun aku yakin kau yang akan membereskannya untukku.”

Mikail tersenyum tipis dan mencium kening Leia, “Sudah tentu aku akan melakukannya.”

Leia membalas senyum Mikail dan kemudian pamit untuk langsung beristirahat di kamar. Kana menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Leia menolak. Saat ini dia sedang ingin sendiri, dan berada di kamar adalah pilihan terbaik. Ia berjalan meninggalkan ballroom itu dan menuju kamarnya di sayap kanan mansion.

Sesampainya di sana, Leia mengembuskan nafas, masih agak jengkel karena dia harus bertemu dengan Lucius. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan kakaknya itu di tempat ini. Leia pikir semua orang dari Kerajaan Silvista tidak akan pernah mencarinya lagi setelah ia melompat dari tebing waktu itu.

“Benar-benar menyusahkan,” gerutu Leia sambil melepas hiasan rambutnya dan meletakkannya sembarangan di atas meja.

Ia berjalan menuju jendela dan menatap bulan purnama yang tengah bersinar terang di langit. Matanya yang biasanya dingin kini terlihat lebih dingin dari biasanya. Suhu di sekitarnya juga ikut mendingin dan nyaris beku karena diselimuti uap es beracun dari tubuh Leia.

“Kuharap aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Kalau sampai aku bertemu dengannya lagi, akan kupastikan dia akan menderita atas apa yang pernah dia lakukan padaku dulu.” Ujar Leia.

Tapi sayangnya, Leia tidak pernah menyangka  hal itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.

***

Larut malam, Leia terbangun karena mimpi buruk kembali menghantuinya. Ia langsung terduduk tegak dan mengusap wajahnya dengan kasar. Hal seperti ini benar-benar sangat mengganggunya. Entah kenapa ia terus memimpikan saat-saat terakhir sebelum melompat ke laut di tepi tebing waktu itu. Leia tidak tahu apakah ini suatu pertanda, tapi gadis itu benar-benar muak mendapatkan mimpi yang sama selama beberapa hari terakhir ini.

Leia turun dari ranjangnya dan memakai mantel. Dia ingin pergi ke kamar Mikail dan tidur ditemani pemuda itu. Ia tahu di mana kamar Mikail, karena itu tidak akan susah menemukannya.

Dia baru membuka pintu kamarnya ketika dia melihat seseorang berdiri di depannya. Kepala Leia mendongak dan rautwajahnya berubah masam ketika mendapati Lucius berdiri di hadapannya.

“Kau mau apa lagi, Tuan?”

Lucius menatap penampilan Leia yang terbilang cukup menggoda. Walau mengenakan mantel, tetapi lekuk tubuh gadis itu terlihat jelas dan rambutnya yang tergerai itu bisa saja membuat para pria menariknya ke dalam kamar dan melakukan hal-hal yang bisa membuat telinga memerah.

“Aku kemari untuk mengajakmu pulang ke istana, Lacia.” Jawab Lucius.

“Sudah kubilang kalau aku bukanlah Lacia. Apakah kau tidak pernah tahu yang namanya batas?” ujar gadis itu, “Enyahlah dari hadapanku. Aku tidak suka jika ada yang berani menggangguku seperti pria keras kepala macam dirimu.”

Lucius tertegun mendengarnya. Leia mengatakan kalimat itu dengan wajah datar dan nada dingin bak es kutub. Ia memandangi wajah Leia lekat-lekat. Tidak ada kesan bahwa Leia adalah Lacia, adik kandungnya. Lacia yang ia kenal selalu tersenyum lembut dan sopan pada siapa saja bahkan pada orang yang mengejeknya sekalipun. Apa yang terjadi pada gadis itu saat dia dinyatakan tewas oleh kepala prajurit istana tujuh tahun lalu?

Leia melihat Lucius yang tetap diam dan memilih untuk beranjak pergi dari sana. Tujuannya semula adalah pergi ke kamar Mikail, tapi sekarang dia lebih memilih keluar dari mansion dan menuju labirin mawar yang tadi siang dilihatnya saat pertama datang.

Lucius terkejut melihat Leia sudah pergi dari hadapannya dan berusaha menyusul gadis itu. Satu hal yang kembali membuatnya terkejut, Leia mampu berjalan lebih cepat darinya.

“Tunggu, Lacia!”

Leia tidak mengindahkannya. Dia lebih memilih menganggap Lucius hanyalah angin lewat. Ia sampai di labirin mawar dan masuk ke dalamnya, berusaha agar tidak diikuti oleh pemuda pirang itu dan bersiul memanggil kedua serigalanya, Blanc dan Noir.

Namun sayangnya Lucius tetap bisa menemukannya, bersamaan dengan dua ekor serigala kesayangan Leia yang langsung menggeram kearah pemuda itu dengan gigi taring yang ditunjukkan. Gadis itu menatap bosan kearah Lucius yang diam tak bergerak dari tempatnya melihat dua ekor serigala miliknya.

“Mengapa kau tidak pergi saja, Tuan? Kau sangat menggangguku.” Ujar gadis itu.

“Lacia, kau benar-benar tidak mengenalku?” tanya Lucius.

“Anda adalah Pangeran Lucius la Midford, pangeran mahkota dari Kerajaan Silvista. Tentu saya mengenal Anda sebagai satu dari sekian banyak kerajaan yang menginginkan Wilayah Terlarang tunduk dalam kuasanya.” Gadis itu mencibir dengan tatapan merendahkan.

“Kau tidak ingat aku sebagai kakakmu? Aku kakakmu, Lacia.”

“Kakakku hanya Kana Vertensia, Tuan. Aku tidak tahu kenapa kau terus berkata kalau aku adikmu tetapi—”

“Kau punya tanda lahir di belakang telinga kananmu.” Ujar Lucius lagi, “Tanda lahir itu berbentuk bunga mawar berwarna kemerahan, itu adalah tanda lahir unik yang hanya dimiliki oleh anggota keluarga Kerajaan Silvista.”

Leia kembali terdiam, tanpa sadar dia menyentuh telinga kanannya dan gerakan itu terlihat oleh Lucius yang kini memandanginya dengan senyum mengejek, “Kau berpura-pura, Lacia.”

“Lalu, jika aku memang berpura-pura, lantas kau mau apa?” balas Leia datar, “Aku tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Kerajaan Silvista. Kerajaan itu sudah membuangku, untuk apa aku kembali ke tempat orang-orang yang sudah membuangku?”

“Kau tidak pernah dibuang.” Kata Lucius, “Apa kau tahu saat kau dinyatakan terbunuh tujuh tahun lalu, ayah dan ibu menangisimu berhari-hari?”

“Hah,” Leia mendengus, “Benarkah mereka menangisiku? Bukannya menertawaiku?”

“Lacia!”

“Biar kuberitahu satu hal, Pangeran Lucius, yang merencanakan kematianku bukanlah pemberontak ataupun bandit rendahan, tapi kedua orangtua itu sendiri.” ujar Leia, membuat Lucius terkejut, “Ya, Pangeran. Raja dan Ratu Silvista sendiri yang menginginkan kematian putri kandungnya, jadi yang berdiri di hadapanmu ini bukanlah Lacia la Midford, tapi orang lain.”

Lucius masih terlalu terkejut dengan pernyataan Leia. Kedua orangtuanya sendiri yang menginginkan kematian gadis itu? Tapi, kenapa? Apa karena racun yang ada di dalam tubuh Leia alias Lacia?

Leia sepertinya tahu apa yang dipikirkan Lucius. Gadis itu tidak memberikan pernyataan lebih lanjut dan lebih memilih masuk lebih dalam ke labirin mawar bersama dua serigalanya.

“Lacia—”

“Berani mengikutiku, maka Blanc dan Noir yang akan mengurusmu.” Ujar Leia tanpa menoleh, “Kedua serigalaku tidak akan tinggal diam melihatku terusik karena kehadiranmu, Pangeran Lucius. Mereka tidak akan segan merobek dagingmu menjadi serpihan kecil dan memakannya. Kita tidak mau ada berita seorang pangeran tewas terbunuh di mansion Kayleigh Zevellia besok pagi, kan?”

Leia mengucapkannya dengan nada dingin. Lucius tidak jadi mengejar Leia yang masuk ke dalam labirin mawar dan hanya bisa terdiam di sana. Otaknya masih memikirkan ucapan gadis itu. Orangtuanya sendiri yang merencanakan pembunuhannya? Itukah alasan yang membuat ibunya, Ratu Iris menyuruhnya mencari keberadaan adiknya itu bila ia masih hidup?

Itu berarti dia tidak boleh menyerah membawa Leia pulang ke istana. Dia harus bisa membawa gadis itu kembali keKerajaan Silvista!

***

Leia tidak merasakan Lucius mengikutinya dan itu adalah hal yang bagus. Dia muak jika harus berurusan dengan masa lalunya, terutama dengan Lucius. Dulu, mungkin dia bisa bilang kalau Lucius adalah kakak yang paling ia sayangi. Tetapi mengingat semua perlakuan pemuda itu padanya membuat Leia lebih memilih untuk memupuk rasa benci. Sekarang dia bukanlah Lacia la Midford. Dia adalah Leia Vertensia, adik dari Kana Vertensia dan calon istri Mikail Jester.

“Kau juga ke sini?”

Suara itu membuat Leia mendongak. Dia melihat Mikail tengah berdiri di salah satu jalan labirin. Pemuda itu menatapnya, “Mimpi lagi?”

Leia mengangguk dan menghampiri Mikail. Pemuda itu memeluknya dan memberikan rasa nyaman bagi Leia, membuat gadis itu tersenyum tipis. “Kau juga kenapa ada di sini, Mikail?”

“Aku merasa kau akan terbangun seperti biasa dan menunggu di sini,” jawab pemuda itu, “Aku pikir kau akan kemari, ternyata dugaanku benar. Kau bahkan memanggil Blanc dan Noir juga.”

Leia tertawa kecil dan menghirup aroma tubuh Mikail yang menenangkan. Pemuda ini selalu seperti ini. Diam, tetapi tahu apa yang dia inginkan. Mikail sangat peduli padanya hingga hal-hal terkecil yang dipikirkan Leia-pun bisa dengan mudah ditangani pemuda itu. Entah dengan cara apa tapi Mikail selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.

Mikail membawanya duduk. Blanc dan Noir memposisikan diri di belakang mereka berdua dan menjadi sandaran, mengingat tubuh kedua hewan itu cukup besar dan bila disandingkan bersama hampir mirip seperti sofa berbulu. Leia bersandar di dada Mikail. Dia berusaha melupakan kejengkelannya karena bertemu Lucius tadi.

“Kau bertemu dengan pangeran dari Kerajaan Silvista lagi?” tanya Mikail.

“Hm,” Leia mengangguk, “Dia benar-benar keras kepala. Entah apa yang membuatku dulu menyayanginya padahal dia membenciku.”

Mikail terkekeh dan memeluk bahu Leia erat-erat, “Jika dia terus mengganggumu, maka aku akan membereskannya untukmu.”

“Aku tahu, tapi tidak perlu, Mikail. Biarkan saja dia bosan sendiri.” jawab Leia, “Yang terpenting, kapan kita pulang ke Wilayah Terlarang? Aku ingin bertemu anak-anak kita. Mereka pasti sudah merindukan kita.”

“Kita akan pulang dua hari lagi, setelah beramah-tamah dengan tuan rumah, tentunya.” Ujar pemuda itu, “Setelahnya kita baru berangkat bersama kelompok yang lain.”

“Ngomong-ngomong, sejak kapan mereka menjadi anak-anak kita?”

“Kau tak suka aku memanggil mereka begitu?” Leia balas bertanya.

“Tidak, aku suka. Aku jadi merasa seperti sudah menikah denganmu.” Mikail tersenyum tipis.

Leia tertawa kecil dan membiarkan pemuda itu mengusap-usap punggungnya. Mereka berdua tidak menyadari Lucius berdiri agak jauh dan sedang memperhatikan mereka. Tatapan Lucius menggelap ketika melihat Leia dipeluk oleh Mikail. Entah kenapa sikap pemuda bersurai hitam itu tidak hanya menunjukkan bahwa ia berperan sebagai kakak, tapi juga seakan seperti kekasih Leia.

Apa Leia adalah calon istri dari si pemimpin Wilayah Terlarang itu?

Ini tidak boleh terjadi. Bagaimana pun caranya Lacia harus ikut pulang dengannya ke Kerajaan Silvista! Batin Lucius.

***

Pagi tiba dan sebagian tamu pesta kemarin malam sudah bersiap untuk pulang ke kediaman masing-masing. Kayleigh Zevellia mengantar kepulangan mereka dengan senyum dan mengharapkan kehadiran mereka di lain kesempatan, sebuah formalitas yang kadang membuat siapa pun yang melakukannya jenuh.

Leia sedang bersiap-siap di kamarnya. Gaun putih bersulam benang emas yang dikenakannya membuat gadis itu tampak seperti malaikat. Rambut coklatnya dibiarkan tergerai dan dihiasi pita berwarna sama dengan gaunnya. Dia lebih suka menggerai rambutnya ketika tidak bepergian dan mengenakan perhiasan seadanya.

Pintu kamarnya diketuk dan Kana masuk ke dalam. Wanita itu mengenakan gaun berwarna hijau daun dan membuatnya tampak seperti bunga mawar yang merekah indah. Rambut Kana digelung ke belakang dan ia melihat Leia yang tampak luar biasa walau hanya mengenakan memakai gaun dan riasan seadanya.

“Sebentar lagi pelayan akan mengantarkan makananmu,” kata Kana, “Kau tampak luar biasa, Leia. Seolah-olah kau akan menikah dengan Mikail hari ini juga.”

“Tolong jangan menggodaku, Kana. Kau tahu pernikahan kami baru dilaksanakan akhir tahun ini.” ujar Leia sambil memutar bola matanya.

Kana tertawa kecil dan berjalan kearah jendela, menatap para bangsawan dan tamu-tamu Kayleigh yang pergi satu-persatu. “Kita harus tertahan di sini selama dua hari, kau tidak keberatan, kan?”

“Kenapa harus? Ini kesempatan baik untuk melihat-lihat kota.” Leia tersenyum manis, “Dan juga, bukankah Kayleigh ingin mengadakan kerja sama dengan kita? Kerja sama apa yang ditawarkannya?”

“Pertambangan batu bara dan kebun anggur.” Kata Kana, “Daerah yang dipimpin Kayleigh meliputi dua komoditi itu dan dia ingin kita menjadi pemasok sekaligus pembeli dari hasil kebunnya.”

“Anggur? Sepertinya Mikail akan suka kerja sama ini.”

“Dia memang menyetujuinya, dan sekarang sedang berbicara dengan Kayleigh Zevellia mengenai kontrak kerja sama.” kata Kana sambil mengangguk, “Dan sementara itu, kita para lady akan berjalan-jalan di kota. Bagaimana?”

“Ide yang bagus.” Leia tertawa, “Apa kita akan melihat-lihat pandai besi dan memperbarui senjata?”

“Itu bisa kita lakukan setelahnya. Kita bisa pergi ke toko bunga atau membeli oleh-oleh untuk anak-anak kalian.” Kana tersenyum lebar, “Aku merasa sudah menjadi seorang bibi kalau aku menyebut anak-anak yang kalian rawat di mansion. Mereka pasti sudah merindukan kalian, terutama Joanne dan Jean.”

Leia tertawa lagi. Anak-anak yang dimaksud memang anak-anak yang tak lagi memiliki orangtua dan diasuh olehnya dan Mikail. Sejak dia datang ke WilayahTerlarang dulu, hampir setiap tahunnya mereka mengadopsi anak-anak yang tak lagi memiliki penopang hidup, tak memiliki kerabat, atau mereka temukan di pinggir jalan. Dia yang mengusulkan untuk merawat mereka agar mansion yang ditinggalinya bersama Mikail tidak terasa sepi walau ada banyak pelayan yang juga melayani mereka di sana.

“Setelah makan kita akan langsung berjalan-jalan di kota.” ujar Kana ketika melihat para pelayan masuk dengan sarapan untuk Leia.

Leia mengangguk dan memakan sarapannya dengan patuh.

***

Kedua wanita itu berjalan menuruni tangga sambil bercakap-cakap. Leia mengenakan mantel putih yang membuatnya dilirik oleh para pelayan dengan tatapan takjub. Kecantikan Leia benar-benar berbeda dari gadis-gadis kebanyakan, dan fakta bahwa ia berasal dari Wilayah Terlarang makin membuat orang-orang merasa hormat pada gadis itu.

Lucius melihat Leia dan Kana berjalan menuruni tangga. Leia merasa ada mata yang mengawasinya dan mengerutkan kening melihat ternyata Lucius-lah orang yang sedang mengawasi mereka. Tetapi dia tidak boleh bersikap tak sopan. Biar bagaimanapun Lucius adalah seorang pangeran. Karenanya Leia membungkuk penuh hormat pada Lucius ketika berdiri di hadapan pemuda itu.

“Selamat pagi, Pangeran Lucius.” Sapa Leia.

Lucius tidak menjawab. Matanya hanya menatap gadis itu lekat-lekat sebelum kemudian berbalik dan meninggalkan mereka.

“Aneh. Kemarin ia berkoar-koar mengatakan kau adiknya dan sekarang dia malah kabur begitu saja.” ujar Kana, “Pria yang aneh.”

“Memang. Sebaiknya kita segera berangkat, Kana. Aku mau membeli bunga-bunga khas kerajaan ini untuk dikeringkan.” Balas Leia.

Leia tidak mengira kalau sikap Lucius tadi hanya awal dari masalah yang sebentar lagi melanda hidup tenangnya.

#3,315 words#

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status