Share

Chapter 03

Hari di mana Leia dan yang lainnya kembali ke Wilayah Terlarang tiba juga. Selama berada di mansion Kayleigh, mereka sudah mencapai kesepakatan untuk pertambangan batu bara dan kebun anggur yang akan dilaksanakan kurang lebih sebulan dari sekarang. Kerja sama itu cukup menguntungkan bagi kedua belah pihak. Wilayah Terlarang akan mengirimkan beberapa ahli dan pekerja untuk bekerja di pertambangan dan kebun anggur, dan wilayah yang dipimpin Kayleigh akan membagi hasilnya secara rata. Ada beberapa hal yang masih perlu didiskusikan, tetapi karena Kayleigh dan Mikail sudah sepakat, hal-hal tersebut bisa ditunda nanti ketika mereka kembali bertemu.

Leia sedang mempersiapkan kudanya ketika dia merasa ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Menolehkan kepala, ia melihat Lucius berdiri di belakangnya.

“Mau apa lagi kau, Pangeran Lucius?” tanya Leia memalingkan wajahnya kembali, “Kupikir kau sudah kembali ke kerajaanmu, ternyata kau masih di sini.”

“Aku masih belum menyerah membawamu kembali ke istana.” Balas Lucius, “Kau benar-benar tidak ingin kembali? Apa kau tidak merindukan kedua orangtua kita?”

“Orangtua mana yang merencanakan pembunuhan anak kandungnya sendiri?” jawab Leia datar, “Aku tidak pernah merasa mereka adalah orangtuaku. Bukankah sekarang mereka senang aku menghilang dan tidak lagi menjadi ancaman kerajaan?”

“Ibunda mengkhawatirkanmu.” Kata Lucius, membuat Leia menghentikan kegiatannya mengurus kuda, “Kau tidak rindu pada beliau?”

Leia mengembuskan nafas kasar dan menatap Lucius, “Aku tidak merindukan beliau. Sudah kukatakan aku tidak pernah sedikit pun merindukan orangtua yang menginginkan kematian anaknya sendiri. Apa telingamu tuli?”

Lucius menggeleng mendengar ucapan Leia, “Ibunda mengkhawatirkanmu. Beliau bahkan menangisimu ketika kau dinyatakan tewas dan tidak ditemukan di dasar tebing waktu itu.” ujarnya.

Leia mendengus. Dia tidak percaya dengan ucapan Lucius. Baginya, keluarganya yang lama sudah mati. Keluarganya sekarang hanya Kana dan Mikail, juga orang-orang dari Wilayah Terlarang. Di sana dia lebih merasakan kekeluargaan dan kenyamanan yang lebih baik. Juga, banyak orang-orang yang memiliki keahlian tak biasa sepertinya di sana, contohnya seperti racun hidup, seperti dirinya.

Lucius melihat Leia diam saja. Dia meraih tangan gadis itu dan membuat mata mereka beradu pandang.

“Lepaskan tanganmu, pangeran. Aku tidak akan segan-segan memukulmu walau kau adalah pria.” Desis Leia.

“Ke mana adikku yang manis dan selalu tersenyum itu? Kau benar-benar berbeda, Lacia.”

“Dan aku sudah berualng kali mengatakan aku bukanlah Lacia. Yang ada di hadapanmu ini orang lain, pangeran.” Balas Leia lagi.

Gadis itu dengan kasar menyentak tangannya, membuat Lucius terperangah. Padahal dia tadi mencengkeram tangan Leia dengan erat, dan gadis itu bisa menyentaknya dengan mudah. Apa yang membuat adiknya itu mempunyai lidah tajam dan fisik yang sangat bagus? Lucius ingat dulu Lacia jarang mau ikut latihan pedang atau belajar strategi perang. Tetapi entah kenapa melihat Lacia yang ada di hadapannya kini membuatnya merasa tidak senang.

Leia tidak mengindahkan keberadaan Lucius lagi. Dia sibuk menyiapkan kudanya sendiri dan menunggu Mikail atau Kana datang. Harapan itu terkabul ketika Kana datang dengan pakaian ketat dan jubah biru malam yang menutupi sebagian tubuhnya. Mata wanita berambut perak itu menatap Lucius dan Leia bergantian.

“Apa yang membuat Anda menggangu adik saya lagi, pangeran?” tanya Kana dengan nada datar, “Apa Anda mencari mati dengan berurusan dengan kami?”

“Dia adikku. Sejak kapan dia menjadi adikmu?” balas Lucius dengan nada tak senang, “Kau bukan kakaknya, jadi sebaiknya jangan ikut campur.”

Kana tersenyum dengan sebelah bibir. Entah kenapa pemuda di hadapannya ini benar-benar memiliki kepala sekeras batu. Pantas saja Leia pernah mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mau menganggap Lucius sebagai kakaknya lagi sejak tujuh tahun lalu.

“Ini menjadi urusan saya karena Leia adalah adik saya,” balas Kana, “Anda-lah yang tidak sopan karena berani mengusik ketenangan calon pendamping pemimpin Wilayah Terlarang.”

“Aku tak peduli. Lacia adalah adikku, aku berhak mengatur hidupnya.”

“Sejak kapan kau punya hak untuk mengatur?” sela Leia kesal, “Dengar, pangeran. Kau tak berhak atas hidupku. Aku mengaku aku berpura-pura tak mengenalmu, tapi itu karena aku muak dengan kehidupanku sebelumnya.

“Katakan, selama aku di istana waktu itu, apa kau pernah menunjukkan kasih sayang sebagai seorang kakak? Apa kau pernah membujuk kedua orangtua itu untuk menengokku di saat aku sakit? Jawabannya tidak. Kau bahkan tidak segan-segan menggunakan cara kotor untuk mempermalukanku di hadapan banyak orang dan tega mengatakan kalau aku hanya beban di kerajaan. Kau pikir setelah aku mendapatkan kehidupan yang lebih tenang dan damai aku akan melepaskannya begitu saja hanya untuk kembali ke Kerajaan Silvista?”

Leia mendengus melihat Lucius tidak menyangkal kata-katanya. Dia sudah terlalu lama kesal dengan perlakuan Lucius di masa lalu, dan dia tidak keberatan jika pemuda yang lebih tua lima tahun darinya itu menganggapnya pemberontak atau pembangkang. Toh, sejak awal dia tidak berniat untuk kembali ke Kerajaan Silvista walau dipaksa.

“Apa kau tidak merindukan Nanny?” tanya Lucius, “Beliau yang paling dekatmu. Tentu kau merindukannya.”

Nama wanita tua yang selalu merawatnya sejak kecil itu terbayang ketika Lucius menyebutnya. Walau dia benci dengan segala hal di Silvista, tetapi dia tidak membenci wanita yang selalu merawat dan menjaganya sejak dia masih bayi itu. Bohong jika dia bilang tidak merindukan wanita itu, tetapi mengingat janji yang dulu pernah ia buat bersama beliau, Leia tidak terlalu khawatir lagi.

“Kau mencoba untuk mengalihkanku? Sayangnya hal itu tidak akan terjadi Pangeran Lucius.” Desis gadis itu, kemudian matanya menangkap sosok Kana dan Mikail datang mendekat, “Sebaiknya kau pergi. Aku sedang berbaik hati untuk tidak membunuhmu di sini sekarang. Walau kau terus berkoar-koar bahwa aku adalah Lacia, tapi gadis dengan nama itu sudah lama mati di dasar tebing, tenggelam dalam lautan. Yang ada di hadapanmu adalah Leia Vertensia. Ingat itu baik-baik!”

Setelah mengatakan itu, Leia menghampiri Kana dan Mikail yang semakin dekat dengan mereka. Lucius menatap Leia yang pergi begitu saja. Kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Bagaimana bisa Leia begitu akrab dengan Mikail dan Kana sementara dengannya, kakak kandungnya sendiri, tidak?

***

“Apa dia kembali mengganggumu?” Kana melihat kearah Lucius yang berdiri tidak jauh dari mereka, “Apa lelaki itu sangat tidak peka pada setiap ucapanmu, Leia?”

“Entahlah. Mungkin dia kepala batu.” Balas Leia sambil mengedikkan bahu. Jawaban yang membuat Kana terkekeh.

“Kita berangkat sekarang. Masih sempat untuk melihat matahari terbenam di pelabuhan jika kita tidak membuang waktu kita di sini.” ujar Mikail.

“Baiklah. Di mana Kayleigh Zevellia?” tanya Leia. “Kita harus berpamitan dulu dengannya, kan?”

“Kami berdua sudah melakukannya dan mewakilimu.” Sahut Kana, “Kita langsung berangkat saja. anggota kelompok yang lain pasti sudah menunggu kita di pelabuhan.”

Leia mengangguk dan melewati Lucius yang masih berdiri mematung di tempatnya. Gadis itu tidak mengindahkan pemuda itu. Yang ia pikirkan sekarang adalah pergi dari hadapan Lucius dan bergabung kembali dengan kelompok lainnya menuju pelabuhan. Dari sana mereka akan menaiki kapal yang sudah disediakan untuk mereka oleh Wilayah Terlarang. Berhubung Mikail adalah pemimpin daerah tersebut, dia memiliki banyak keistimewaan yang bisa ia pakai sewaktu-waktu.

Mereka bertiga menghampiri kuda-kuda mereka yang sudah siap. Leia semapt melirik sekilas kearah Lucius yang sedang menatapnya lekat-lekat, “Ada apa lagi, Pangeran? Kau punya sesuatu yang hendak kau katakan padaku?”

“Ya,” Lucius mengangguk, “Alasan kenapa aku terus mengatakan padamu untuk kembali ke Kerajaan Silvista karena kau seharusnya menikah denganku.”

Ucapan itu membuat tidak hanya Leia, tapi juga Kana dan Mikail, tertegun. Mereka bertiga menatap Lucius seolah-olah pemuda itu menumbuhkan satu kepala lagi di tubuhnya.

“Menikah denganku? Apa aku tidak salah dengar?” Leia mendengus geli, “Jangan membual, Pangeran. Kau tahu aku bukan lagi adik kecil yang selalu tersenyum ketika ditindas. Kana, Mikail, ayo pergi!”

Leia menuntun kudanya keluar dari halaman Kayleigh Zevellia diikuti Kana dan Mikail.

“Aku tidak bercanda, Lacia! Aku akan membawamu kembali ke Kerajaan Silvista dan kita harus menikah!”

Tapi suara Lucius seolah dibawa terbang oleh angin. Leia bahkan tidak mendengarnya lagi.

***

“Dia benar-benar tak menyerah.” Kata Mikail saat mereka sudah cukup jauh dari mansion Kayleigh.

“Dia itu kepala batu.” Balas Leia, “Jangan membicarakannya lagi, Mikail. Aku tidak mau mengingatnya.”

“Baiklah,” Mikail mengangguk, “Sebaiknya kita memikirkan rencana pernikahan kita, ‘kan?”

Leia malah memutar matanya mendengar ucapan pemuda itu sementara Kana yang berkuda di belakang mereka hanya terkekeh melihat perdebatan yang mereka lakukan.

Dalam perjalanan, anggota kelompok mereka yang kemarin berpisah mulai bergabung sambil berkuda. Hingga mencapai pelabuhan, seluruh anggota kelompok sudah terkumpul. Mereka menuju sebuah kapal besar berwarna putih yang terletak di dekat dermaga paling ujung. Kapal itu adalah kapal yang mereka gunakan untuk datang ke negeri ini. Leia dan Kana turun dari kuda mereka dan menyerahkan tali kekang mereka pada salah seorang anggota kelompok. Mikail sendiri sudah turun dari kudanya dan berjalan di belakang kedua wanita itu.

“Aku akan pergi ke kamar dulu untuk beristirahat. Apa kau mau ikut, Leia?” Tanya Kana.

“Tidak, aku mau ke buritan, melihat matahari terbenam.” Jawab Leia, kemudian menoleh kearah Mikail, “Mikail bagaimana?”

“Aku ikut denganmu.” Balas pemuda itu, “Kau istirahat saja, Kana. Aku akan meminta beberapa pelayan melayanimu segera.”

Kana mengangguk dan langsung berjalan menuju bagian dalam kapal sementara Leia dan Mikail menuju buritan. Mereka berdua melihat sudah ada dua buah kursi dan meja yang dilapisi taplak berwarna putih, lengkap dengan hidangan yang ada di atasnya.

“Sepertinya para pelayan terlalu bersemangat sehingga menyiapkan ini semua.” Kata Mikail tersenyum tipis, “Kemari, Leia.”

Gadis itu menghampiri Mikail dan duduk di atas kursi yang ditarik oleh pemuda itu. Setelahnya, ia sendiri duduk di hadapan Leia dan mereka sama-sama menikmati pemandangan matahari yang akan tenggelam sambil menikmati hidangan yang ada di atas meja. Beberapa menit kemudian mereka merasakan kapal mulai berlayar dan Leia memejamkan matanya menikmati angin yang berembus dan menerbangkan rambutnya yang diikat menyamping ke kanan.

“Perjalanan akan memakan waktu sekitar seminggu,” kata Mikail, membuat Leia membuka matanya, “selama itu, apa kau mau melakukan sesuatu selain duduk di buritan dan menikmati langit?”

“Kau punya saran?” Tanya Leia balik dengan senyum manisnya.

Mikail tersenyum simpul dan menggenggam tangan Leia yang berada di atas meja. Tanpa kata, pemuda itu sudah mengatakan padanya kalau dia ingin menghabiskan waktu bersama. Mikail memang pemuda seperti ini. Dia jarang berbicara, tapi sekali bertindak, tidak ada yang tidak mengerti apa yang diinginkannya.

“Aku mau duduk di pangkuanmu,” ujar Leia, kemudian berdiri dan memutari meja menghampiri Mikail.

Pemuda itu memeluk pinggang Leia dan membiarkan gadis itu menyandarkan punggungnya di dadanya. Dia menyukai sensasi tubuh Leia yang hangat dalam pelukannya dan itu membuatnya merasa nyaman. Dipejamkannya matanya dan menyandarkan kepalanya di lekukan leher gadis itu.

“Mikail,”

“Hm?”

“Tidak apa-apa. Kurasa aku hanya lelah saja.” Kata gadis itu.

“Kau masih kepikiran pangeran dari Kerajaan Silvista itu?” Tanya Mikail.

“Kurasa begitu.”

“Ada apa dengannya?” Mikail mengelus lengan Leia dengan lembut, “Apa ucapannya mengenai dia yang ingin menikahimu?”

“Kau mendengarnya, kan?” Leia menatap Mikail, “Apa menurutmu dia serius dengan ucapannya?”

“Kau takut?”

“Tidak. Aku punya dirimu. Untuk apa aku takut?” balas gadis itu, “Seharusnya aku yang bertanya begitu. Apa kau tidak takut aku akan direbut olehnya?”

“Kau tidak akan bisa direbut dariku. Siapapun yang berani melakukannya akan kupastikan tidak akan bisa melihat hari esok.”

Leia tertawa kecil mendengar ucapan penuh ancaman pemuda itu. Tahu benar jika Mikail tidak akan segan-segan membiarkan siapapun yang menyakitinya. Ada perasaan senang yang membuncah dalam benak Leia memikirkan Mikail sungguh-sungguh mencintainya.

Ia menggeser duduknya hingga mata mereka berdua bertatapan, “Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhku. Aku milikmu, Mikail. Kau bahkan sudah menandaiku sebelum kita menikah.”

“Kau terlalu cantik dan kuat, dan juga lembut serta baik hati. Jarang ada gadis seperti dirimu yang walau ternoda tapi di dalam sangat bersih bagai kertas. Karenanya aku harus melakukan itu.” Balas Mikail, “Kalau tidak, akan banyak pria yang mengincarmu dan mengambilmu dariku.”

“Kau terlalu protektif,” kata Leia, “Tapi aku suka sisimu yang ini.”

Leia melingkarkan kedua lengannya di leher Mikail dan memeluk pemuda itu. Mikail mengusap lembut punggung Leia dan membiarkan gadis itu memeluknya.

“Mikail tidak akan pernah meninggalkanku, kan?” bisik Leia, “Aku takut kalau aku harus sendirian lagi.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Setiap rakyat Wilayah Terlarang juga tidak akan meninggalkanmu. Kau ratu mereka, dan juga ratuku.” Balas Mikail.

Leia mengangguk dan memejamkan matanya. Dia membiarkan Mikail terus mengelus punggungnya dan membuainya. Tidak lama kemudian, gadis itu benar-benar tertidur. Nafasnya terdengar teratur di telinga Mikail dan pemuda iu melepas perlahan kedua lengan Leia yang melingkari lehernya. Dia mengatur tubuh Leia agar merasa lebih nyaman dan menyandarkan kepala gadis itu di dadanya.

“Tenang saja, Leia. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuh dan membuatmu menangis lagi.” Bisik Mikail, “Karena bila ada yang melakukan hal itu padamu, aku rela menjadi iblis sekali lagi demi dirimu.”

***

Lucius keluar dari kereta kudanya dan masuk melewati gerbang istana setelah melakukan perjalanan selama lima hari untuk kembali ke kerajaannya. Para penjaga dan prajurit keamanan istana menyambutnya dan membungkuk hormat, tetapi Lucius tidak membalas sambutan mereka seperti biasa. Langkahnya membawanya ke ruang singgasana, di mana seorang wanita duduk di kursi singgasana dan beberapa orang menteri berdiri tak jauh darinya.

Wanita itu menatap kearah Lucius, kemudian tersenyum tipis, “Kau sudah kembali, Pangeran?”

Lucius berjalan dan berhenti sekitar sepuluh meter dari wanita itu dan membungkuk dalam-dalam, “Saya sudah kembali, Ibunda.”

“Bagaimana pesta Tuan Kayleigh? Apakah menarik?” Tanya sang ratu Kerajaan Silvista, Ratu Iris la Midford.

“Seperti biasa membosankan,” Lucius menegakkan tubuhnya, “Tetapi, Ibunda, aku melihat seseorang.”

“Seseorang?”

“Lacia, dia masih hidup.” Jawab sang pangeran, membuat para menteri yang ada di sana saling berbisik satu sama lain.

Raut wajah sang ratu yang tadinya penuh senyum kini tergantikan oleh raut datar. Ada sinar lain di mata sang ratu saat mendengar jawaban Lucius.

“Lacia, katamu? Dia masih hidup?” Tanya sang ratu lagi.

“Ya, Ibunda. Dia masih hidup, bahkan lebih sehat dibandingkan dulu.”

“Pangeran, bukankah Putri Lacia sudah tewas—”

“Para menteri, bisa kalian meninggalkanku berdua dengan putraku?” sela sang ratu, “Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya.”

Para menteri menatap ratu mereka, kemudian tanpa kata meninggalkan ruangan itu satu-persatu. Hingga ketika terdengar pintu menutup di belakangnya, Lucius kembali menatap sang ratu sekaligus ibunya yang kini tampak gelisah.

“Ceritakan padaku apa yang terjadi, Lucius.” Kata sang ratu. “Ceritakan sedetail mungkin.”

Lucius menceritakan apa yang terjadi di pesta Kayleigh Zevellia, bagaimana ia bisa bertemu Lacia, kemudian penolakan gadis itu ketika ia berniat membawanya kembali ke istana. Lucius juga mengatakan bahwa sekarang Lacia adalah calon istri dari pemimpin Wilayah Terlarang.

“Dia menjadi calon istri pemimpin Wilayah Terlarang?” pekik sang ratu, “Apa itu benar? Kau tidak berbohong padaku, Lucius?”

“Aku tak berani berbohong padamu, Ibunda. Apa yang kukatakan ini benar.” Balas Lucius lagi.

Sang ratu jelas tampak makin gelisah. Dia berdiri dari kursi singgasananya dan menatap keluar jendela tinggi di dekatnya, tepat kearah langit yang memerah karena matahari hendak terbenam.

“Ibunda, apa aku benar-benar harus menikahi Lacia?” Tanya Lucius, “Bukankah …, bukankah kami saudara kandung?”

“Kau harus menikahinya, Lucius.” Balas sang ratu sambil berbalik menatapnya, “Hanya dia satu-satunya kesempatanmu untuk menguasai kerajaan ini.”

“Tapi, kenapa? Selama ini aku selalu menuruti perintahmu, tetapi untuk masalah pernikahan ini …, kurasa aku agak—”

“Racun di tubuhnya seharusnya menjadi milikmu.” Sela sang ratu, “Racun di tubuh Lacia seharusnya kau yang mewarisi, karena itu adalah harta warisan leluhur kerajaan ini.”

“Apa?”

Sang ratu berjalan mendekati Lucius dan berdiri di hadapan pemuda itu, “Racun di dalam tubuh Lacia adalah berkat dari para leluhur kerajaan ini, bahkan ada ramalan yang mengatakan bahwa seseorang yang memiliki racun di tubuhnya adalah pemimpin sejati dari dunia ini.

“Kau pernah mendengar sebutan Fabula Nova? Itu adalah sebutan bagi mereka yang menjadi pemimpin sejati dunia dan memiliki racun unik yang mengalir dalam darah mereka. Setetes darah saja dari si pemilik racun akan membuat satu battalion pasukan tewas seketika, namun dua tetes darah mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat peminumnya awet muda hingga akhir hayatnya.”

“B-benarkah itu, Ibunda?”

“Itu benar. Karenanya kau harus bisa membawa Lacia kemari dan menikahinya. Tidak masalah bila kalian adalah saudara kandung. Kau harus bisa membuat Lacia menikahimu dan mendapatkan racun di dalam tubuhnya.”

Itu sebuah perintah mutlak. Lucius mengangguk sebelum kemudian keluar dari ruang singgasana. Ratu Iris menatap kepergian putranya dan kembali menatap langit di luar sana.

“Apa racun itu sebesar itu pengaruhnya?”

Suara itu membuat sang ratu menoleh, tepat kearah seorang gadis berambut pirang yang mengenakan gaun berwarna merah muda. Wajah gadis itu sangat cantik, matanya berwarna biru jernih dan memiliki senyum yang memikat. Gadis itu berjalan mendekati Ratu Iris sambil tersenyum.

“Lady Irina,” Ratu Iris tersenyum, “Kau menguping pembicaraanku dan putraku?”

“Maafkan kelancanganku, Yang Mulia, tetapi aku sangat penasaran mengapa Anda ingin Pangeran Lucius menikah dengan adiknya sendiri ketimbang menikahkannya dengan saya.” Ujar sang gadis. “Saya jauh lebih baik dari putri buangan itu.”

Sang ratu tertawa kecil, “Aku tidak benar-benar ingin menikahkan Lucius dengannya. Aku memerlukan Lucius untuk mengambil inti sari racun di dalam tubuh Lacia,” ujarnya, “Racun di tubuh putri buangan itu adalah kunci agar Lucius bisa mengambil alih kerajaan ini, dan setelah ia berhasil, tentu aku akan menikahkannya denganmu, Lady Irina.”

“Benarkah itu? Mengapa Anda tidak langsung saja menyuruh saya menemui putri itu dan membunuhnya? Saya bisa langsung memberikan inti sari racun yang Anda inginkan.” Jawab Lady Irina.

“Tidak, itu terlalu beresiko. Kalau apa yang diucapkan Lucius benar bahwa Lacia kini menjadi calon istri pemimpin Wilayah Terlarang, mendekatinya sama saja mencari mati dengan sang raja iblis. Pemimpin tempat itu terkenal karena kekejaman dan keganasannya ketika berhadapan dengan musuh, tak peduli wanita maupun anak-anak.”

“Hm ….” Lady Irina membuka kipas di tangannya, “Itu hal mudah. Aku bisa menarik perhatian sang raja bila diinginkan dan membuatnya lengah seperti lebah di hadapan bunga.”

Kembali sang ratu tersenyum. Lady Irina De’Hanselli adalah putri dari adik raja terdahulu dan memiliki kekerabatan dengan keluarga kerajaan. Secara teknis, Lady Irina adalah tunangan Lucius, tetapi karena suatu alasan, Ratu Iris berniat menikahkan Lucius dengan adik kandungnya yang seharusnya sudah tewas enam tahun lalu, Lacia. Adalah suatu kesalahan saat itu ketika dia memerintahkan para menteri untuk membunuh sang putri saat itu, tetapi ia tidak bisa lagi memutar waktu, yang harus dia lakukan adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama.

“Kau akan mendapatkan Lucius, Lady Irina. Kau bisa pegang kata-kataku.” Ujar sang ratu, “Lucius hanya akan mengambil inti sari racun di tubuh Lacia dan setelahnya ia adalah milikmu seutuhnya.”

Lady Irina tersenyum keji. Ditutupnya kipas di tangannya, “Aku akan menantikannya. Kapan Anda akan melaksakan rencana itu?”

Ratu Iris menatap kembali ke luar jendela, “Secepatnya.”

#2,946 words#

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Theresia Debbie
ratu ini kok kejam sm anaknya sdri...jgn2 bukan putri kandungnya. rajanya kok ya bodoh toh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status