Share

Dua

Zuhra duduk dengan gelisah di sebelah bundanya, kedua jarinya terpaut di atas pangkuan. Sesekali gadis itu akan meremas jari tangan, mencoba mengurangi risau.

Di hadapannya duduk seseorang pria yang tengah berbincang hangat dengan ayahnya, lebih tepat Ayah Zuhra yang mencoba akrab dengan pria itu. Karena sedari tadi dia perhatikan, pria itu hanya sedikit berbicara, menjawab apa yang ayahnya tanyakan tanpa bertanya kembali. Tipikal pria yang sangat irit bicara.

Zuhra kembali meneliti penampilan pria itu, tidak ada yang spesial. Cara berpakaiannya sama dengan eksekutif muda lainnya, karena yang Zuhra tahu pria ini memang seorang pengusaha.

“Jadi, kapan keluarga Nak Dirgam bisa datang ke rumah?” tanya Pak Albar tanpa basa basi.

Mendengar nama pria itu saja sudah membuat Zuhra merinding, apalagi membayangkan dirinya harus hidup serumah dengan pemilik nama tersebut selamanya. 

Catat ... selamanya!

Zuhra pasti akan mati ketakutan.

Beberapa menit lalu bahkan Zuhra hampir pingsan saat pria itu menjabat tangannya sembari menyebutkan nama Dirgam.

Entahlah, Zuhra merasakan aura kelam yang menyelimuti pria itu. Wajahnya yang selalu menampilkan raut datar membuat Zuhra bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran pria itu.

“Zuhra, Nak Dirgam-nya mau pulang, anterin gih ke depan,” bisik bundanya membuyarkan lamunan Zuhra.

Ternyata sedari tadi dia melamun hingga tak sadar bahwa ayahnya dan Dirgam sudah selesai berbicara.

Zuhra mengangguk lalu berdiri mengantar calon suaminya itu hingga serambi rumah.

“Hati-hati di jalan, Nak, jangan ngebut,” ujar Ayah Zuhra mengingatkan.

Jangan berharap banyak pria itu akan menjawab panjang lebar, karena nyatanya pria itu hanya mengangguk sebagai balasan.

Melihat sikap pria itu membuat Zuhra mencibir tanpa sadar. Tetapi saat tak sengaja matanya menangkap tatapan menghujam pria itu ke arahnya, Zuhra refleks mengatupkan bibir rapat-rapat. Pandangan pria itu benar-benar menakutkan.

✏✏✏

“Jadi, lo udah ketemu sama cowok itu?” tanya Nadia antusias.

“Cowok mana?”

“Calon suami lo,” sahut Nadia gemas.

“Dia pria bukan cowok.”

“Ish, apa bedanya sih?”

“Ya beda, lah.”

“Okelah, terserah. Jadi, lo udah ketemu sama p-r-i-a itu belum?” tanya Nadia penuh penekanan pada kata pria.

“Udah tadi pagi, mungkin sebelum dia berangkat ke kantor,” jawab Zuhra acuh.

“Terus gimana?” Nadia terlihat semangat sekali bertanya.

Tadi saat Zuhra memberitahu bahwa orang tuanya berencana menikahkan gadis itu dengan seorang pria anak kenalan ayahnya, Nadia langsung cepat-cepat menyelesaikan urusannya dan bergegas menemui sahabatnya itu. Baginya itu kabar yang cukup menggembirakan, walaupun agak aneh karena seorang pria mau bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan kesalahannya.

“Gimana apanya?”

“Please deh, Ra, jangan ngeselin bisa?” sungut Nadia mulai kesal.

Zuhra terkekeh kecil. “Ya, gitu. Nggak ada yang spesial kok.”

“Ganteng nggak?”

“Lumayan sih, tapi serem.” Zuhra bergidik layaknya orang ketakutan.

“Serem--lo kira hantu.”

“Bukan hantu, tapi iblis,” sahut Zuhra mendramatisir.

“Lebay lo.”

“Ntar juga lo tahu sen--”

Kalimatnya terpotong oleh suara pintu yang di buka tiba-tiba. Randy berdiri di sana sambil ngos-ngosan.

“Abang kenapa?” tanya Zuhra.

“Kata Bunda lo dijodohin?” selidik Randy.

Selalu begitu, Randy hanya ber-aku kamu di waktu tertentu saja. Saat di hadapan orang tua mereka misalnya.

“Bunda bilang apa aja?” tanya Zuhra balik.

“Jawab dulu pertanyaan gue,” tuntut Randy.

Zuhra mencebik sebal. “Memangnya bisa disebut perjodohan kalau kondisi Zuhra begini?”

Randy menarik napasnya berat, “Gimana keadaan Baby?” tanya Randy sembari duduk di sebelah Zuhra.

Zuhra mengusap lembut tepat di perutnya. “Babby sehat, Om,” jawabnya lucu.

Randy menatap sendu adik kesayangannya. “Lo baik-baik aja, kan?”

Zuhra mengangguk kecil sambil tersenyum. “Zuhra nggak apa-apa, Bang. Jangan khawatir.”

Bohong! Namun Zuhra bisa apa? Dia hanya tidak ingin orang-orang yang disayanginya semakin khawatir.

Nyatanya gadis itu tidak baik-baik saja, menangis tengah malam pun kini menjadi rutinitasnya.

Setiap pagi dia harus cepat-cepat mengompres mata agar tidak terlihat membengkak.

“Lo nggak ada ngidam apa gitu?” tanya Nadia di tengah kebisuan mereka.

Zuhra menggeleng sambil mengingat-ingat. “Mungkin dia tahu keadaan bundanya,” jawab Zuhra sambil tersenyum getir.

Nadia meringis merutuki kebodohannya, ternyata pertanyaan itu membuat Zuhra kembali bersedih.

Mereka bilang seorang wanita itu dilihat dari masa lalunya, sedangkan pria dilihat dari masa depannya. Lantas bagaimana jika masa lalu kita terlanjur buruk? Perbaiki mulai hari ini, tapi bukankah hari ini juga akan jadi masa lalu?

✏✏✏

Zuhra duduk bersandar di atas kasur kesayangan, tapi pandangannya menerawang jauh seakan mampu menembus dinding kamar.

Berkali-kali dirinya menarik napas dan mengembuskannya kasar. Banyak pertanyaan yang terlintas di benaknya, akan tetapi tak ada satu pun yang mampu ia jawab walaupun sudah berjam-jam dipikirkan.

“Lagi mikirin apa, Anak Bunda?” Suara lembut Bu Ratna -Bunda Zuhra- menyadarkan gadis itu dari lamunan.

Zuhra mengulas senyum lembut, “Nggak ada kok, Bun.”

“Mau bantu Bunda?” tanya Bu Ratna sembari mengusap halus kepala putrinya.

“Bantu apa, Bun?”

Bu Ratna berpikir sejenak. “Ehm ... Bunda mau masak arsik sama rendang, dan beberapa cemilan untuk selingan.”

“Loh, memangnya ada acara apa, Bun? Bunda ada pengajian?” tanya Zuhra bingung.

“Bukan, rencananya calon suami kamu bersama keluarganya akan bertamu malam ini,” ucap Bu Ratna seraya mengulas senyum.

Senyum yang sedari tadi Zuhra sunggingkan perlahan menghilang. “Bun ....”

“Sayang, Dirgam itu pria baik. Dia itu anak temannya ayah, dan selama ini yang Bunda tahu dia nggak pernah neko-neko,” tutur bundanya halus.

“Tapi, Bun, Zuhra nggak kenal pria itu, sifatnya gimana, dia sukanya apa, malah jangan-jangan dia udah punya istri lagi.”

“Hus, nggak boleh ngomong gitu, toh nanti juga kamu akan kenal kok, apalagi setelah menikah kalian punya banyak waktu berdua untuk saling mengenal,” ucap sang bunda memberi pengertian.

“Tapi, Bun--”

“Pikirin bayi kamu? Kamu mau bayi yang nggak bersalah ini jadi korban keegoisan orang tuanya?” Zuhra bungkam, merasa ucapan bundanya barusan tepat mengenai hatinya.

“Kamu harus kuat, Bunda tahu sulit untuk membuat Dirgam menjadi sosok yang kamu mau, tapi percayalah, Nak, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jangan jadikan kekurangan Dirgam itu sebagai alasan kamu menolak. Bunda yakin, apa pun alasan Dirgam melakukan ini, pastilah sudah menjadi rencana indah yang sudah ditetapkan Allah untuk kamu.”

Zuhra memeluk bundanya erat. “Maafin Zuhra ya, Bun. Zuhra udah egois, Zuhra nggak tahu terima kasih, harusnya Zuhra bersyukur ada yang mau menikahi Zuhra dalam keadaan begini,” ucap Zuhra lirih.

Bu Ratna membelai lembut rambut Zuhra. “Jadi, bisa bantu Bunda?”

Zuhra melepaskan pelukannya. “Siap laksanakan, Bunda,” jawabnya dalam posisi hormat layaknya seorang prajurit sembari tersenyum manis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erniwaty Sebayang
sabar ya anak bunda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status