Share

Tiga

Langit cerah kota Jakarta mulai memudar dan digantikan pekatnya malam. Meski begitu, ada banyak bintang yang bertabur acak menghiasi gelapnya cakrawala, di sela-selanya terselip senyum lembut yang berasal dari bulan berbentuk sabit.

Zuhra Kalinka, menatap lurus bayangan dirinya yang sedang duduk di kursi panjang halaman belakang rumah. Tidak ada pemandangan menarik di depannya, hanya rumput hijau yang dengan rutin dipapras dan beberapa tanaman bunga milik bundanya yang terlihat di keremangan.

Melalui posisinya saat ini Zuhra masih bisa mendengar suara riuh canda tawa dari dalam rumah, mungkin yang paling keras adalah suara ayahnya. Meskipun Zuhra tahu masih ada terselip bahagia palsu dalam tawa itu.

“Bagaimana keadaannya?” 

Zuhra serta merta menoleh ke samping di mana suara itu berasal. Cukup lama mereka berdiam diri tanpa ada satu pun yang membuka suara. Zuhra seakan melupakan keberadaan lelaki yang sedari tadi duduk di sebelahnya.

Awalnya Zuhra bingung ke mana arah pertanyaan pria itu, namun melihat tatapan Dirgam yang mengarah pada perut datarnya membuat Zuhra mengerti.

“Baik,” jawab Zuhra lirih.

Hanya sebatas itu karena pria yang Zuhra ketahui bernama lengkap Digram Arhab itu kembali diam, pandangannya kembali lurus ke depan.

Zuhra meremas-remas jarinya resah. “K-kenapa Mas mau menikahiku?” cicitnya.

Sebenarnya Zuhra sangat takut menanyakan ini pada Dirgam, apalagi melihat pria ini yang pelit sekali berbicara. Namun Zuhra juga tidak bisa tinggal diam. Dirinya tidak mau rumah tangganya nanti berada dalam ketidakjelasan. Bisa saja nanti Dirgam berniat membunuh atau menjualnya. Terlihat berlebihan memang, namun hal itu kerap terjadi dalam novel yang sering dia baca.

Dirgam melirik Zuhra sekilas. “Karena saya ingin,” sahutnya singkat.

Zuhra yang terperangah dengan jawaban itu hanya mampu mengatupkan bibirnya kaku. Sepertinya pria ini memang berpotensi menguras kesabaran.

“Kenapa Mas ingin?” Gadis itu tidak ingin menyerah.

Zuhra menahan napas saat Dirgam tak kunjung menjawab pertanyaannya. 

Apa begitu sulit menjawab pertanyaan darinya?

Dirgam menghela napasnya seraya melirik Zuhra lagi. “Karena kamu butuh saya, saya butuh kamu.”

Zuhra merasa ini adalah kalimat terpanjang yang pernah didengarnya terucap dari bibir Dirgam, karena saat pertemuan pertama mereka pria itu hanya menjawab seadanya ucapan Ayah Zuhra.

Entah mengapa, meski suara yang terucap oleh pria itu begitu datar dan tanpa rasa, namun Zuhra dapat menangkap keseksian dari suara tersebut. Gadis itu memutarkan bola mata, menyalahkan rasa kantuk yang mulai menyerang dan mengakibatkan kerusakan fatal pada kinerja gendang telinga Zuhra. Entah apa yang dipikirkannya tadi.

“Kenapa Mas butuh Zuhra?” Pertanyaan ketiga Zuhra kali ini sukses membuat bola mata Dirgam menatap tajam ke arahnya.

“M-maksud Zuhra, di luar sana pasti banyak yang ingin jadi istri Mas, kenapa Mas milih Zuhra yang--”

“Karena kamu butuh saya,” tukas Dirgam.

Zuhra menundukkan kepalanya, merasa kesal sendiri dengan jawaban Dirgam yang berputar-putar.

Zuhra merasa aneh Mas mau bertanggungjawab dengan keadaan Zuhra ini.

“Saya ini seorang pria matang, saya butuh istri untuk mengurusi keperluan saya. Saya tidak meminta kamu untuk menjadi pembantu karena saya bisa menggaji sepuluh untuk itu, tapi saya butuh kamu untuk mendampingi saya. Saya sekarang nggak bisa janjikan cinta, tapi saya akan berusaha membimbing kamu sekuat yang saya bisa.”

Ungkapan sederhana Dirgam mampu membungkam keinginan Zuhra untuk menyela, tanpa alasan yang jelas ada rasa hangat menjalar di hatinya berkat ucapan Dirgam barusan.

“Uhm ... Bisakah Mas tidak terlalu formal? Kita ... bukan rekan bisnis, kan?” Zuhra berkata gugup.

“Akan saya coba,” jawabnya pendek.

Zuhra mengembuskan napasnya sedikit keras, dia pikir kalimat panjang Dirgam tadi menunjukkan bahwa pria itu mulai murah bicara, ternyata tidak sama sekali.

“Saya punya persyaratan.”

Sudah Zuhra duga, mana mungkin pria itu mau menikahinya tanpa syarat sama sekali.

“Syarat apa?” tanya Zuhra lemah. Dia mulai menduga-duga, syarat apa yang akan diajukan pria itu? Apakah syarat seperti ‘dia boleh menikah lagi’, atau ‘Zuhra tidak boleh mencampuri urusannya’, begitu?

“Kejujuran adalah yang pertama dalam pernikahan kita.”

Zuhra menatap aneh Dirgam, jelas-jelas pria itu yang tidak jujur di sini. Zuhra bahkan sampai menggeleng tidak percaya karena ucapan pria itu.

“Lalu?” tanya Zuhra mengesampingkan ketidakpercayaannnya.

Dirgam menggeleng kecil. “Selebihnya kita bicarakan nanti.”

Zuhra merasa ada banyak rahasia yang disimpan oleh Dirgam. Pria itu nampaknya adalah tipe orang yang tertutup. Zuhra jadi ragu, apakah nantinya dia mampu mengimbangi kepribadian Dirgam? Karena biar bagaimana pun, tak lama lagi dia akan menjadi istri Dirgam, seorang pria yang kikir bicara.

Apakah Zuhra sanggup?

✏✏✏

Setelah pertemuan dua keluarga itu berlangsung, maka tercapailah kesepakatan bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan tepat dua minggu dari hari ini. Ayah Zuhra tidak ingin menunda-nunda lagi karena menurutnya lebih cepat maka lebih baik.

Keluarga Dirgam juga tidak keberatan, kelihatan senang malah.

“Ra, udah tidur?” Suara Pak Albar terdengar dari luar.

“Belom kok, Yah.”

Pria paruh baya itu muncul dari balik pintu. “Kenapa belum tidur, Anak Ayah?”

Zuhra tersenyum tipis. “Sebentar lagi, Yah.”

Pak Albar memandang sendu putri bungsunya, “Maafin Ayah yang nggak bisa jagain kamu.”

“Ayah ngomong apa, sih?” Mata Zuhra mulai berkaca-kaca.

“Harusnya Ayah lebih ekstra membimbing dan melindungi kamu,” ujar Pak Albar seraya membelai lembut rambut hitam Zuhra.

“Enggak, Yah. Zuhra yang salah. Zuhra yang nakal, Yah.” Zuhra menggenggam tangan ayahnya, “Ayah adalah pria terhebat yang Zuhra punya. Ayah terbaik bagi Zuhra dan Bang Ran.” Zuhra menghambur ke pelukan sang ayah, “Maafin Zuhra ngecewain Ayah.”

Pak Albar membalas pelukan gadis kecilnya yang sebentar lagi akan menjadi tanggung jawab orang lain. “Ayah sayang putri Ayah.”

“Zuhra juga sayang Ayah.”

Setelah sang ayah keluar, Zuhra mengambil sebuah album poto di dalam laci belajar, tatapannya sendu ketika membuka lembar pertama album foto di hadapannya, di sana terlihat seorang gadis dengan seragam sekolah sedang fokus membaca buku di perpustakaan. Besar kemungkinan foto itu diambil secara diam-diam.

Zuhra membuka lembaran selanjutnya, lagi-lagi berisi gambar gadis itu, kali ini dia sedang tertawa lepas bersama sahabatnya di kantin sekolah. Zuhra yakin foto ini juga diambil sembunyi-sembunyi.

Jari kurusnya terus bergerak lemah membuka lembar demi lembar album tersebut, sampai tiba akhirnya potret yang baru saja dibukanya membuat bibirnya bergetar menahan tangis.

“Kamu sehat kan, Ren?” bisiknya sendu.

“Bentar lagi aku menikah, maaf, aku nggak bisa nunggu kamu. Aku nggak mau jadi orang tua yang egois.” Ujung jemarinya mengusap lembut foto seorang anak lelaki yang sedang tersenyum manis ke arah gadis berkuncir kuda, dan gadis itu adalah dirinya.

Foto itu diambil sehari setelah mereka jadian, itu artinya tiga tahun yang lalu. Zuhra masih ingat betul masa-masa itu adalah masa-masa terbahagia bagi mereka berdua.

Zuhra menggigit bibir bawahnya untuk meredam isakan kecil yang mulai terdengar. Rasanya begitu menyesakkan dada saat orang yang kamu percayakan untuk menggenggam hatimu malah dengan tenang meremasnya sampai hancur tak bersisa.

“Selamat tinggal, Reno, Aku akan jaga anakku baik-baik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status