Share

Bab 4

Sore, Irish sudah mulai berkerja. Posisi kasir. Setelah diberi training selama seminggu, Irish sudah bisa memegang sendiri. Dari awal juga, Irish sudah mengerti cara mengoperasikan komputer khusus tersebut. Kita, hanya perlu memasukan menu makanan apa yang dipesan pelangan, dan menghafal kode agar cepat dimasukan.

Irish, sudah mulai masuk kerja dari jam 4 sore. Dan pulang jam 11, lelah sudah pasti. Tapi, bayangan wajah Galen yang tersenyum manis, langsung terbayar. Sesederhana itu. Irish akan mengusahakan segalanya, agar ia bisa melihat wajah Galen. Apalagi, sekarang mereka sudah jarang bertukar kabar. Irish sibuk kerja, Galen sibuk dengan dunianya di luar negri.

Irish betah bekerja di Top Cafe. Semua karyawan ramah dan saling menerima. Bahkan, sang pemilik restoran begitu baik, dan menganggap Irish anak sendiri.

Seperti sekarang, Irish memperhatikan pelanggan yang mulai ramai. Ada yang datang bekerluarga, sepasang kekasih, ada teman tongkorangan. Irish sudah hafal, jika yang datang muda-mudi dan ramai, biasanya mereka hanya memesan minuman.

Jari-jari Irish mulai menari diatas keyboard, menulis menu apa saja yang dipesan, dan memeriksa kembali, agar tak salah isi. Gaji Irish hanya 2 juta. Tapi baginya, itu sudah lebih dari cukup. Irish akan menabung 1 juta, dan 1 juta untuk membantu ibunya. Berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Gadis itu terus saja tersenyum, sepanjang ia bekerja. Irish begitu bersemangat. Kadang tanpa sadar, sudah waktunya ia pulang. Benar-benar cinta memang bisa mengalahkan semuanya.

"Hayo, senyum terus." Tegur, Brata. Ia juga karyawan baru. Cowok itu baru lulus sekolah, dan memilih bekerja disana, sebagai waitress.

"Nggak ada." Irish tersenyum, sambil menggeleng. Gadis itu malu ketahuan, senyum terus, karena kebanyakan melamunkan kekasihnya.

"Kak Irish udah punya pacar?" Wajah Irish makin memanas. Tak pernah ada yang tahu statusnya. Apa ia harus bilang? Tapi pasti tak ada yang percaya, Irish seorang yang pemalu memiliki kekasih yang sedang menimba ilmu di negri ujung.

"Ada. Tapi, jangan bilang yang lain." Bisik Irish pelan. Takut yang lain kedengaran.

Brata mengangguk. "Keren kak. Mungkin kapan-kapan, kakak bisa cerita pacar kakak." Irish hanya tersenyum malu-malu. Para pelanggan sudah longgar sekarang. Sehingga mereka bisa bisik-bisik.

"Oh iya. Nanti pulang sama aku aja kak. Kasian kakak cewek pulang sendiri." Tawar Brata.

"Nggak papa ya?" Tanya Irish segan.

"Nggak papa kak serius. Aku kan bawa motor." Irish tersenyum malu lagi. Masih banyak orang baik di dunia ini. Ia bersyukur bisa bekerja disini.  Semua karyawan memiliki rasa toleransi yang tinggi.

"Rumah kakak dimana?"

"Jalan, Sirih-Pinang."

"Rumah aku di kampung sebelahnya." Irish hanya tersenyum. Sungguh, berteman bersama Irish hanya senyumam yang terus ia berikan.

"Makasih ya."

"Belum juga diantar kak." Brata lumayan dekat ke Irish. Mungkin merasa sama-sama karyawan baru. Yang lain sudah senior, walau usia mereka tak jauh beda.

"Yaudah, beres-beres sana. Bentar lagi selesai. Aku juga mau hitung dulu duitnya." Brata mengangguk dan berjalan ke belakang, dan mulai mengambil kain lap dan membersihkan seluruh meja, memasukan tisu ke tempatnya.

Irish juga baru menyadari jika ia dan Brata memakai pakaian yang sama. Mereka memakai pakaian berwarna merah terang. Tapi, Irish tak mikir apa-apa. Janji setianya pada Galen takkan pudar. Galen cinta pertama Irish, walau mereka harus berpisah berjauh-jauh mil, dibatasi oleh benua dan lautan yang luas.

Irish sudah merancang mengurus pasport terlebih dahulu, saat gajian pertama, dan mengurus visa. Ya, pengorbananya bukan main, tapi Irish yakin semua pengorbanan ini akan membuahkan hasil.

Cinta pertama membawa Irish pada titik sejauh ini. Cinta pertama membuat Irish mengorbankan semuanya. Semoga ia tak merasakan kecewaan. Selama ini, Galen tak pernah mengecawakan Irish, kecuali membuat pikiran wanita itu tidak tenang, karena terus memikirkan Galen.

Setelah pulang, mungkin Irish bisa menelpon Galen. Mendengar suara lelaki itu, bagai obat mujarab yang tak bisa Irish beli dimana pun.

Irish masih berkutat pekerjaannya menghitung uang, jangan sampai kurang dan jangan sampai lebih. Lebih, biasanya akan ada duit penyimpanan khusus, untuk mengganti ketika menghitung uangnya kurang. Sebenarnya Irish was-was ketika menghitung uang. Ia takut, kalau uangnya kurang, Irish belum gajian untuk mengganti uangnya. Dengan perasaan was-was dan keringat dingin, hari berjalan lancar, belum lagi besok. Tapi, Irish lakukan semuanya demi Galen. Demi bertemu Galen.

Irish tak sadar, ketika Brata berdiri depannya. Cowok itu sudah memakai helm lengkap sekalian dengan jaket parasut.

"Udah selesai?" Irish tak sadar. Ia keasyikan menghitung uang, dan melihat jumlah pemasukan malam ini.

"Bentar, aku kasih uangnya ke Pak Manaf." Irish membawa tas berisi uang hasil malam ini ke manager. Orang tua itu sedang berada di dapur, meninjau apa yang orang dapur lakukan. Semuanya harus bersih sebelum meninggalkan cafe. Jangan ada kotoran sedikit pun, walau hanya sehelai rambut.

"Ini uangnya pak. Udah saya hitung, duit modal sudah saya pisahkan. Uang untuk belanja juga sudah saya pisahkan."

"Oh, terima kasih."

"Pak, saya pamit dulu."

"Pulang sama siapa?"

"Tadi ditawarin Brata." Irish berkata dengan wajah malu.

Dan terdengar kata cieee yang koor berjamaah dari orang dapur. Mereka kerap memasangkan Irish sama Brata. Padahal, Brata masih bocah. Dan Irish sudah punya kekasih. Lagian, dari semuanya Irish tahu, Brata yang paling tulus berteman dengannya.

Ada yang bersiul-siul. Irish hanya menutup wajahnya malu. Konon, ada sepasang suami-istri yang dulunya karyawan disini, berasal dari ejekan seperti ini, dan keduanya saling suka dan mejadi suami-istri hingga sekarang. Irish tak punya ekspektasi apa-apa. Fokusnya mengumpulkan uang sebanyak mungkin, dan menabung dan menyusul Galen kesana. Irish ingin memberi Galen suprise. Jadi, Galen juga tak boleh tahu Irish bekerja sekarang.

Karena disiul-siul dan diejek-ejek, Irish akhirnya berlari ke depan di meja kasir dan mengambil tasnya. Wajahnya masih memanas sekarang. Ia yang introvert, harus bersosialisasi dengan banyak orang. Irish berusaha keras, agar ia bisa menguasai panggungnya. Agar Irish bisa bersikap ramah pada pelanggan ketika mereka membayar, atau ketika ada komplain dari pelanggan.

Walau Brata sudah menunggu di atas motornya. Irish harus berjalan ke arah gelap. Ia masih malu, ditambah banyak yang mengintip dari arah dapur.

Irish menunggu Brata sekitar 50 meter dan menunggu di tempat gelap. Ia yakin, besok ia akan jadi bulan-bulanan ejekan oleh senior disana.

Hal-hal seperti ini, yang membuat pekerjaan Irish tak terasa. Apalagi mengingat Galen, semua capek dan tulang remuk, hilang dalam detik itu juga.

Brata datang. Irish naik ke atas motor dan melihat semua teman kerjanya keluar dan melihat mereka. Ya ampun, memalukan. Irish tak tahu lagi seperti apa wajahnya sekarang.

"Besok pasti diejek." Ucap Irish ketika motor melaju meninggakkan orang-orang yang memandang mereka. Dasar teman kerja resek!

"Anggap aja nggak ada apa-apa kak. Lagian mereka ejek biar nggak stress aja. Kerja kan capek."

"I-iya."

"Nanti kakak bilang ya, kalau udah masuk gang." Irish berencana turun di depan gang. Ia malu, jika diantar sampai depan rumah. Apalagi ibunya yang akan membukakan pintu, pasti akan direcoki banyak pertanyaan. Padahal, hanya teman kerja yang kebetulan menawarkan untuk mengantar pulang.

"Makasih ya." Benar. Irish hanya turun di depan gang. Gadis itu harus terus berjalan melewati 5 rumah, agar ia sampai di rumahnya.

Penat. Pasti terasa. Tapi Irish sudah berjanji untuk menelpon Galen. Irish berencana melakukan video call. Semoga, Galen mengangkat demi rasa penatnya terbayar.

Dan benar saja. Galen mengangkat panggilan video itu.

-

-

-

Semenjak insiden ciuman itu, Galen tak risau lagi dengan sikap agresif Emery. Bahkan, cowok itu merasa, suara renggekan Emery bagaikan sebuah suplemen penyemangat, demi bertahan di negara orang.

Sekarang semua orang bisa tahu, bahwa dimana ada Galen disitu ada suara cempreng Emery. Yang ada saja tingkahnya menganggu hari-hari Galen. Awal-awal Galen merasa risih, makin kesini Galen tahu, ia butuh Emery.

Sekarang Galen sedang berdiri melihat buku-buku di locker, tentu saja diracau Emery. Gadis itu terus saja bergelayut di lengan Galen. Galen heran, entah beneran kuliah atau tidak Emery. Gadis itu tak pernah masuk kelas, kecuali menganggu dirinya.

"Kau tahu, aku lapar babe. Bisakah kita mampir ke cafetaria. Untuk mendapatkan segelas cafein dan mufin."

"Baiklah kita kesana." Galen pasrah. Ia tahu, Emery takkan menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia mau.

Sekarang jam 09.17. Dan keduanya memang belum sarapan. Dan Emery sangat cerewet ketika gadis itu kelaparan.

Galen akhirnya membawa buku yang akan ia baca nanti dan berjalan menuju cafetaria didampingi Emery yang terus bergelayut manja.

Ting!

Keduanya memasuki cafetaria yang berada bersebarangan dengan kampus. Keduanya masuk ke dalam, dan keadaan cukup sepi. Emery memesan minuman dan kue yang ia mau.

Emery duduk di depan Galen yang sedang memilih membaca buku, daripada terus direcoki oleh Emery, karena mengeluh dengan teman-temannya. Biasanya Galen hanya diam, karena tiap hari Emery mengoceh pasal yang sama.

Emery merobek-robek mufin rasa coklat dan memasukan dalam mulutnya. "Aku bahkan, lupa memesankan untukmu." Cibir Emery.

"No need." Cegat Galen. Emery tetaplah Emery, gadis itu berdiri dan memesan untuk Galen. Galen biarkan saja, apa yang Emery lakukan selagi itu masih batas wajar dan bisa ditoleransi.

Emery membawa segelas kopi dan mufin rasa keju. Galen melanjutkan membaca buku.

"Semua teman-temanku berganti pasangan setiap minggu. Dan sekarang, aku sama sekali tidak berminat untuk melakukan hal itu."

"Bagus." Jawab Galen, tanpa mengalihkan padangannya dari buku yang ia baca. Buku itu, buku yang berisi tentang teknologi sekarang yang makin canggih.

"Kurasa. Aku akan mencari pasangan satu untuk seumur hidupku. Hey, minum kopimu." Tegur Emery. Galen menurunkan bukunya, dan menyeruput pelan-pelan kopi yang masih panas tersebut.

Padangan Galen tepat pada Emery. Gadis ini cantik, seperti gaya khas remaja California kebanyakan. Emery gemar berdandan. Jadi, make up menyamarkan wajahnya terlihat lebih dewasa dari usianya. Jika Emery tak berdandan, akan terlihat wajah gadis itu, benar-benar masih remaja.

"Terima kasih, sudah mau menampungku." Ujar Galen tulus. Emery mengangguk.

"Tentu. Kau orang baik, mungkin kita bisa merayakan kebersamaan kita dengan berlibur bersama ketika musim panas tiba."

"Berlibur kemana?"

"Malibu."

"Boleh." Jawab Galen. Beberapa kali, Galen ke Malibu. Malibu itu tempat yang cantik. Malibu terkenal akan pantainya yang indah. Dan musim panas, memang waktu yang tepat untuk berjemur dibawah matahari, seperti kebanyakan masyarakat disini.

"Dan kapan-kapan, kau bisa mengajakku ke negaramu."

"Siapkan uang banyak."

"Tentu. Aku punya banyak tabungan, dan daddy punya banyak uang, untuk bisa berlibur kesana." Galen menyeruput kopinya lagi dan memakan mufin yang telah dipesan Emery. Galen tak pernah berniat mengajak Emery ke kampung halaman. Tapi, jika gadis itu ingin ikut, Galen tak bisa melarang. Hitung-hitung balas budi, atau memberi gadis itu kesanangan. Walau Emery agresif, hati gadis itu mulia. Buktinya, ia mau menampung dirinya, walau berawal dari ayahnya.

"Mungkin, kita bisa merencanakan musim panas tahun depan." Ya, liburan musim panas di Amerika begitu lama, berlaku dari pertengahan Juni hingga September. Tentu waktu yang pas untuk berpergian ke luar negri.

"Kurasa belum. Aku ingin menyelesaikan studyku dulu. Sekitar 2 tahun lagi."

"Tentu tidak masalah. Apa disana negara tropis?" Tanya Emery antusias. Gadis itu sangat suka pantai, dengan begitu, koleksi bikini seksi yang telah ia kumpulkan, tak sia-sia.

"Ya. Negara tropis, dan lumayan panas."

"Aku suka panas. Aku bisa seharian berjemur di bawah matahari dengan bikiniku." Galen diam. Ia tak bisa membayangkan, jika Emery berbikini ria di kampungnya. Akan menjadi omongan satu negara. Walau mereka maklum, gadis itu turis asing.

"Bikini Bottom." Jawab Galen asal. Hanya jawaban sederhana, tapi Emery tergelak tertawa begitu keras.

"Aku akan berbikini seperti Sandy." Galen tersenyum. Tanpa sadar, hubungan keduanya makin akrab. Dan tanpa mereka sadari lagi, kelak mereka takkan bisa hidup tanpa salah satunya.

Emery dan Galen sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Ponsel Galen berdering. Galen melihat caller id dan tersenyum.

"Siapa yang menelpon?" Tanya Emery. Yang ia tahu, Galen jarang sekali memainkan ponselnya dan mendapatkan panggilan telpon. Cowok tinggi itu lebih suka berpacaran dengan buku.

"Temanku." Jawab Galen dan mengangangkat panggilan itu.

"Hai Ai." Galen tersenyum dan melambai ke depan kamera.

Irish yang berada di sebrang lautan, memanas matanya. Air mata gadis meluruh karena rindu. Ia rindu Galen, sangat rindu.

"Alen. Apa kabar?"

"Baik. Gimana kamu? Kuliahnya gimana?"

"Ai juga baik. Kuliah lancar. Ai rindu." Terdengar isak tangis Irish di sebrang telpon.

"Iya, aku juga rindu. Tapi ini ujian buat kita. Semoga kamu kuat, aku kuat." Galen tak pernah memberitahu, kalau ia menumpang hidup dengan Emery sekarang. Galen tak ingin, Irish banyak pikiran.

"Iya Alen. Semoga kita cepat ketemu."

"Amin. Secepatnya kita ketemu." Jawab Galen mantap. Dua tahun. Jika ia menjalankan semua dengan senang, Galen rasa menunggu dua tahun itu pasti sebentar.

"Baik-baik disana ya Alen."

"Iya. Kamu juga." Galen tersenyum. Kita melihat bulir-bulir air mata Irish tak berhenti mengalir.

"Babe, who's that?" Tanya Emery penasaran. Jarang sekali, Galen berbicara begitu lembut dan senyum sepanjang berbicara. Pasti gadis itu spesial.

Emery beranjak dan berdiri di belakang Galen. Gadis itu penasaran. Emery menunduk dan memeluk leher Galen sambil melihat siapa yang menelpon.

"Is that your friend? Why she's crying?" Irish menyadari suara cewek. Gadis itu menatap layar, dan napasnya tercekat. Ada seorang gadis cantik, memeluk leher kekasihnya dari belakang, begitu akrab. Irish bahkan tak pernah berani seperti itu.

"Hi, I'm Emery. I'm Galen's girlfriend." Emery cekikikan seperti kuda. Dan Irish langsung mematikan ponsel itu. Ia masih shock dengan kata-kata gadis bule itu.

Apa iya? Apa ini alasan Galen jarang memberinya pesan, karena ada yang lebih asyik?

Hancur sudah semua impian Irish!

____________________________________

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status