Share

BAB 3

Melihat Cakra yang bersimpuh membuat Amara mendekati dengan hati-hati takut pecahan kaca menggores telapak kakinya. Membantu adiknya untuk bangun dan memosisikan di belakangnya. 

"Kakak bisa ‘kan tidak usah marah-marah dengan Cakra!?" Amara menahan marahnya, ia tak bisa meluapkan karena melihat kondisi kakaknya yang 'tidak baik'.

"Diam kamu, Mar! Seharusnya kamu bisa memberitahunya untuk jangan dekat-dekat dengan aku lagi!" teriak Guntur menatap tajam Cakra yang masih memegang erat baju Amara. 

"Kak, dia adik kita. Cakra adik kita!" protes Amara memeluk tubuh kurus Cakra. 

"Adik?" Tawa miris Guntur membuat Cakra semakin ketakutan. 

"Adik yang membuat ibu dan ayah pisah, iya, Mar?" 

Amara tak habis pikir kenapa Kakaknya bisa berbicara seperti itu terlebih di depan Cakra. Anak itu tidak tahu apa-apa, setidaknya belum. Belum mengetahui apa yang terjadi di keluarganya. 

Tanpa mau menyahut sang Kakak, Amara membawa Cakra pergi dan tak mengizinkan anak bertubuh kurus itu berhadapan dengan Guntur. Amara masih menutupi telinga Cakra tak ingin membuat adiknya mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut tajam yang sedari tadi tak ada habis-habisnya berucap. 

“Jadi apa yang membuat kak Guntur marah sama kamu?” Amara mengelus kepala adiknya. 

Anak berumur sepuluh tahun itu mengangkat bahunya. “Cakra hanya ingin minum dan kak Guntur juga melakukan hal yang sama.”

Amara mendesah dan tak bertanya apa-apa lagi.   

"Cakra sepertinya tadi melihat ayah, deh, Kak." Ia berkata sambil menatap tubuh kakaknya yang berjalan dengan membawa baju ganti untuknya. 

Amara yang mendengar itu hanya bisa tersenyum masam tak berniat menjawab. Ia memberikan pakaian yang dipegangnya. "Cepatlah pakai bajumu, setelah itu kita makan malam." Cakra hanya mengangguk tanda setuju, ia lupa jika cacing dalam perutnya sudah berdemo sejak tadi.

***

Kembali ke rutinitas seperti biasa membuat Angkasa berjibaku dengan laporan-laporan yang membuat kepalanya berdenyut seketika. Memang sudah cukup ia beristirahat selama satu hari untuk meluruskan otot-ototnya yang tegang. Tapi tetap saja, pekerjaannya seakan-akan tak pernah habis. 

Me-diall nomor yang sudah hafal di luar kepala, wanita di seberang sana pun tak lama mengangkat. "Tolong siapkan rapat dengan divisi marketing lima belas menit lagi." 

"Baik, Pak." 

Meletakkan gagang telepon, Angkasa kembali melihat angka-angka di atas kertas. Jumlah angka selama tiga bulan terakhir mengapa semakin lama semakin berkurang. Pasti ada yang salah.

Ketukan pintu membuat Angkasa melihat wanita berdiri dengan balutan formal dengan menggunakan kacamata. 

"Semua sudah siap, Pak," kata sekretaris Angkasa. 

Angkasa hanya mengangguk dan membawa flashdisk juga papperbag warna kuning. 

"Sha, kamu tidak perlu ikut. Ini hanya rapat santai saja dengan mereka." Angkasa meninggalkan ruangannya membuat sang asisten hanya menggaruk kepalanya, bingung. 

Meeting Room menjadi tujuan Angkasa. Ruangan yang terletak di lantai dua membuat ia harus turun dengan elevator. Tapi ternyata ia berpapasan dengan Pak Rizal, Manajer Pemasaran. Kebetulan sekali. 

"Pak Rizal," sapa Angkasa membuat pria berumur empat puluh dua tahun itu tersenyum dan menepuk pundak Angkasa. 

"Dari mana, Pak?" tanya Angkasa. 

"Biasa, Pak Direktur sedang berkicau." 

Sudah bisa dipastikan, hal yang Pak Direktur sampaikan pasti sama perihal yang akan Angkasa diskusikan. Tapi seharusnya sang Direktur tak perlu repot-repot mengurusi hal ini toh ada Angkasa yang menjadi penanggung jawabnya. 

"Jadi pagi-pagi Pak Rizal sudah dapat kultum?" tawa kedua orang yang berada dalam elevator membuat ruangan pengap itu menjadi bising. 

Angkasa membukakan pintu ruang rapat guna menghormati Pak Rizal yang lebih tua, meskipun kedudukan mereka sejajar namun sopan santun harus yang utama. Sudah ada delapan orang yang menunggu, Rizal dan Angkasa duduk berhadapan dengan staf Marketing di meja bundar. Ya memang meja itu berbentuk lingkaran. 

"Pagi semua." Rizal memberikan ucapan pembuka saat melihat timnya duduk tegang saat melihat Angkasa. Padahal tidak sekali dua kali Divisi Marketing rapat santai dengan divisi lainnya terlebih operasional. 

"Pagi." Suara pelan yang menggema di ruang kedap suara itu membuat kening Angkasa berkerut. 

"Kalian sedang berpuasa?" celoteh Angkasa dibalas tawa Rizal. 

Angkasa menatap satu persatu timnya, yang menarik perhatian adalah pria berambut keriting mengembang yang ia ketahui bernama Bastian. 

"Bas, kamu mau ini?" Pria yang sedari tadi sedikit mengantuk itu langsung membelalakkan matanya saat disodorkan bungkusan kuning di atas meja. 

"Buat saya, Pak?" Angkasa mengangguk. 

"Jadi hari ini Pak Angkasa ingin mengobrol santai dengan kita. Betul, Pak?" Rizal berkata sambil meminum kopi yang sudah disiapkan. 

Angkasa mengangguk sambil memberikan flashdisk pada Vero, wanita berkaca mata yang duduk paling dekat dengan monitor kecil. 

"Maaf sebelumnya karena saya terlalu jauh ikut campur dengan Divisi kalian. Tapi, tugas saya juga berkaitan dengan semua di perusahaan termasuk penjualan. Saya harap kalian mengerti," kata Angkasa. 

Rizal mempersilakan Angkasa berbicara. 

Vero yang sebagai operator dadakan membuka file yang terletak si monitor di hadapannya. Sambungan LCD yang lebih besar membuat semua orang di ruangan fokus pada apa yang ditayangkan di depan sana. 

"Saya akan menunjukkan penjualan seluruh produk perusahaan selama enam bulan terakhir." Angkasa berdiri berhadapan menghadap monitor  

"Kalian bisa lihat sendiri, grafik dari bulan Juni sampai bulan Agustus stabil malah cenderung meningkat walaupun hanya sepuluh koma tujuh persen. Tapi ...." Angkasa memberikan kode pada Vero untuk mengganti slide. "Ada apa di bulan Oktober?

"Dimulai dari September yang mengalami penurunan hingga Oktober penjualan benar-benar drastis hingga tiga belas persen dalam satu bulan." Angkasa melihat Rizal yang memegang dagunya, Manajer itu juga tampak berpikir. 

Semakin lama dunia bisnis semakin banyak saingannya, apalagi produk makanan yang kaya inovasi meskipun dengan bahan baku yang sama. 

"Saya tidak mengerti kenapa produk kita mengalami penurunan hingga tiga bulan terakhir." Angkasa kembali duduk di samping Rizal. 

"Ada yang tahu?" tanya Angkasa. 

"Seperti yang kita tahu Pak, mungkin masyarakat sudah bosan dengan produk kita dan lebih memilih produk baru apalagi bermain dengan warna." Dina, salah satu staf dengan rambut blonde

"Jadi menurut kamu produk kita akan kalah saing dengan homemade?" Angkasa mengetuk jarinya. 

"Di awalnya iya. Mereka penasaran tapi akhirnya masyarakat tahu produk yang dikonsumsi sejak lama pasti akan meninggalkan kesan dan mereka akan kembali membeli produk lagi." Singgih menimpali.

"Benar, Pak." Bastian dan Yessi membenarkan apa yang telah Singgih katakan. 

"Reza, kamu tidak ingin memberikan pendapatmu?" Angkasa melihat Reza yang masih mencatat pembicaraan diskusi di buku binder miliknya. 

"Tidak, Pak. Karena saya masih junior, saya setuju dengan kakak-kakak senior saja." 

Reza yang umurnya lebih kecil di antara yang lainnya. 23 tahun. Sedangkan yang lainnya rata-rata 25-26 tahun. Kecuali Zevanya, gadis cantik yang berumur 24 tahun. 

Angkasa menyenderkan tubuhnya. "Oh begitu." 

"Bastian kamu tidak mau coba buka bungkusan itu?" Angkasa menatap Bastian yang sedari tadi menatap bungkusan kuning itu. 

Pekikan terkejut apalagi Zevanya yang langsung mengambil benda kuning itu dan mencium aromanya. "Mozarella khas Malangnya, Kak!" Bastian hanya bisa melongo mendengar pekikan keras teman satu timnya. 

"Kamu salah naskah, Beb." Bastian mengambil kembali produk itu dari tangan Zevanya

Angkasa menjentikkan jarinya. "Nah kalian saja langsung mengenali produk itu. Karena apa? Marketing mereka benar-benar membuat masyarakat tidak pernah lupa apalagi promosi di media sosial." 

"Jadi kalian tahu apa yang kita butuh kan?" 

Semuanya menggeleng masih belum mengerti. 

"Tag Line untuk promosi secara besar-besaran di media sosial." 

Yessi memperhatikan temannya yang mengangguk mengerti. "Bukankah kita sudah punya Tag Line tersendiri, Pak?" 

"Apa kamu pikir orang akan selalu ingat Venus Foods dengan  kata-kata 'Food Healthy For You're Life'? Maksud saya, kita tak akan mengubah Tag Line yang ada. Tapi menambahkan untuk promosi di sosial media demi menarik pelanggan lebih banyak. Saya kira kalian lebih paham ‘lah mengenai hal itu apalagi menjadi timnya Pak Rizal yang dikenal dengan ide kreatifnya,” puji Angkasa. 

"Saya kira hanya ini saja yang saya sampaikan. Terima kasih sudah mengobrol santai dengan saya." Angkasa pamit dengan Pak Rizal untuk meninggalkan ruangan. 

Mengobrol santai katanya? Bastian mengernyit dan berdiri. 

"Hey, kalian ingin ke mana?" Pak Rizal menginterupsi saat melihat anak-anaknya sudah ingin meninggalkan tempat. 

"Kembali ke ruangan, Be," kata ZevanyaBabe, panggilan untuk Rizal dari semua anak-anaknya. 

"Tunggu sebentar, Babe punya berita menghebohkan dari pada tugas yang Pak Angkasa berikan." 

Setelah mendengar atasannya bicara semua orang mendekati Pak Rizal dengan heboh sambil menarik kursinya masing-masing. 

"Apa, Be?" Dina yang diketahui mempunyai suara lebih besar menaik-turunkan alisnya. 

"Tadi saat Babe dipanggil sama Pak Bos. Dia memberi kita pilihan ...." Sengaja menggantung ucapannya agar semua pada penasaran. 

Bastian menutup mulut Zevanya yang kedapatan terlihat terbuka. 

"Ih kamu apa-apaan sih, Kak." Sambil mengelap mulutnya yang sudah terkena sentuhan tangan Bastian. 

"Jika dalam dua bulan penjualan meningkat liburan yang diiming-imingi ke Singapura akan terlaksana. Tapi ...." Kebiasaan buruk Babe Rizal adalah membuat semua orang penasaran seperti ini contohnya. 

"Satu ... dua ...." Reza mulai menghitung karena sudah tak tahan. 

"Bogor menjadi salah satu tujuan perusahaan untuk Family Gathering jika dalam penjualan tak ada peningkatan." 

Mereka yang mendengar itu semua langsung menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi seolah lemas mendengar penuturan atasannya.

"Lebih baik aku pura-pura mati saja"

"Kenapa Bogor lagi sih tahun kemarin ‘kan kita sudah ke sana."

"Tidak sanggup lagi, sudah cukup Ferguso." 

Banyak lagi omelan yang di dengar Rizal. Pria yang hampir paruh baya itu hanya tersenyum tanpa makna. 

"Be, katakan sama Pak Abraham dong untuk tambah orang. Biar bisa membantu kita nih. Karyawan magang juga tidak apa-apa deh," celoteh Yessi diangguki yang lain.

"Kita sudah banyak orang loh, Yes," jawab Rizal. 

"Staf kita cuma dikit dibanding yang lainnya. Coba bayangkan divisi lain saja bisa sampai dua belas orang, sedangkan kita hanya tujuh orang. Apalagi laporan yang belum selesai-selesai," omelnya. 

"Catat, DELAPAN," koreksi Rizal penuh penekanan.

"Iya, sembilan." 

"Iya, Be. Kalau bisa yang cantik dan masih muda," bisik Bastian di sebelahnya tapi masih bisa didengar oleh semua orang.

"Kutandai kau, ya!" Zevanya menarik rambut Bastian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status