Guntur melihat Amara yang sedang turun dari angkutan umum. Meniti tubuh adiknya dari atas ke bawah. "Kamu benar kerja, Mar?" tanya Guntur. “Aku kira tidak bakal ada perusahaan yang mau terima lulusan sekolah menengah atas!”
Amara diam, tak menyahuti. Membiarkan Guntur dengan segala apa yang diinginkan pria itu lakukan. Bahkan jika hanya menjawab pertanyaan pun Amara sudah malas menanggapi. &nbs
Tanpa memperlama proses penasaran akhirnya Dina tersadar dari keterkejutannya. Ia dengan cepat mengambil sendok yang terjatuh di lantai dan menaruhnya di sisi kiri meja. "Loh, bapak sudah kenal dengan Amara?" sela Dina yang sedikit berbisik menimbulkan anggukan pada Yessi. Karena ia yakin bahwa Amara tak pernah berinteraksi dengan pimpinannya. A
"Kenapa lancang sekali memotong pembicaraan saya?" Pria itu menghardik keras. "Sekalinya orang miskin tetaplah miskin, mereka tidak ada tempat di dunia ini. Apalagi berhubungan langsung pada kita, jangan pernah! Jadi jangan buang-buang waktu berharga kita untuk meladeni mereka. Baju dan sepatumu bisa Papa belikan lagi nanti, tapi untuk acara kita tidak bisa ditunda." Amara semakin tak mengerti kenapa orang-orang kaya banyak yang terlalu merendahkan manusia lainnya. Bukankah semua terlihat sama saja di mata Tuhan? Apa yang membuat mereka berbeda?
Minggu berganti. Saatnya perusahaan mengeluarkan event puncaknya saat ini. Launching produk baru. Semua karyawan bahkan tamu undangan sangat antusias dengan apa yang di keluarkan oleh Venus Foods. Karena mereka tahu, dari proses panjang yang di kerjakan tak main-main untuk membuat sesuatu produk yang mempunyai nilai tinggi nantinya. Divisi pemasaran yang memang berencana memakai pakaian seragam membuat mereka terlih
Angkasa yang semula melihat kejadian di tengah-tengah prosesi acara langsung turun tangan. Ia tak mau acara yang memang sudah dikatakan nyaris sempurna berujung pada kekecewaan para tamu karena sesuatu kejadian yang tak diinginkan. Bukan serta merta ia memihak Bagas apalagi melihat keluarga pria itu menyudutkan salah satu karyawan yang tak sengaja menyenggolnya. Ya, Amara Lania menjadi sorotan bagi semua tamu.
Jam sepuluh menurut Amara adalah waktu yang paling tepat untuk bertemu dengan seorang atasan. Di mana waktu tersebut tidak terlalu pagi juga tak terlalu siang untuk memulai perbincangan yang menyangkut harga dirinya. Dina sudah memberitahukan perihal ia di panggil langsung secara terang-terangan karena insiden tadi malam. Amara yakini, pertemuan kali ini menjadi teguran pertama yang di dapatkan selama ia belum genap sebulan bekerja di sini.
Setelah menyelesaikan laporan-laporan akhir bulan akhirnya Amara bisa pulang dengan tenang. Laporan closing yang membuat Amara dan teman-temannya tertahan di kantor. Yessi tadi membujuknya untuk pulang bersama seperti biasa. Tapi ia menolak, ia tak ingin saat bertemu dengan seseorang dan temannya mengetahui hal itu.
”Pah dari mana saja kok baru pulang?” tanya Niken pada suaminya dan membukakan jas. ”Lembur, Mah. Senja sudah tidur?” Niken menggandeng lengan suaminya dan membawanya masuk ke dalam kamar. ”Tidur. Tadi dia mencarimu karena belum pulang.” Niken menaruh jas suaminya ke tempat pakaian kotor. ”Aku siapin
Amara sudah di periksa dan diberikan obat. Untungnya suster klinik memperbolehkannya tertidur di sana. Gejala yang Amara alami ternyata adalah darah rendah. Pantas saja sedari pagi kepalanya terasa pusing dan badannya lemas. Ia bahkan tak bertenaga untuk melakukan aktivitas. Tapi ia tak ingin izin karena ia masih terhitung menjadi anak baru. Bisa-bisa absennya menjadi kotor untuk bulan ini. &