Sebuah mobil sport berwarna hitam mulai memasuki halamn parkir sebuah mansion yang terletak di Beverly Hills. Malam itu Daniel baru saja kembali dari Barcelona. Dia memilih menikmati waktunya untuk bersantai dengan sahabatnya. Tentu, dia tidak langsung kembali ke rumah. Dia lebih memilih bertemu dengan sahabatnya lebih dulu dari pada harus pulang ke rumahnya.
“Tuan Daniel,” sapa Harry kala melihat Daniel turun dari mobil dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah.
“Kau di sini? Apa ayahku memanggilmu?” Daniel mengerutkan keningnya, dia menatap lekat Harry. Tidak biasanya assistantnya itu datang ke rumahnya di malam hari.
Harry mengangguk. “Tuan Besar Gio memanggil saya untuk membahas beberapa pekerjaan.”
“Sekarang di mana ayahku?” tanya Daniel dingin.
“Tuan Besar Gio sedang beristiahat, Tuan,” jawab Harry. “Maaf, Tuan. Saya ingin mengingatkan besok ada rapat pemegang saham di Queen Hospital.”
Daniel mengangguk singkat. “Ya, aku mengingatnya.”
“Harry?” panggil Daniel serius.
“Ya, Tuan?” jawab Harry.
“Ada yang ingin aku tanyakan,” tukas Daniel dingin.
“Maaf, apa yang ingin Tuan tanyakan?” tanya Harry dengan tatapan begitu serius ke arah Daniel.
“Aku ingin bertanya, apa pandanganmu jika melihat seorang wanita yang sangat cantik, tapi dia terlihat tangguh. Dia bagai mawar yang di luar begitu indah. Tapi ketika kau menyentuh mawar itu, tanganmu bisa terluka dengan duri yang mengelilingi mawar itu,” ujar Daniel. Dia berkata dengan begitu santai, namun tatapaannya begitu serius.
“Tuan, menurut saya wanita tidak selamanya lemah. Meski pada dasarnya para wanita memang harus kita jaga. Tapi banyak juga wanita yang tidak ingin dianggap lemah. Kebanyakan wanita dengan ciri yang Tuan maksud memiliki harga diri yang tinggi. Dan pasti wanita yang Tuan maksud memiliki sifat keras.” Harry menjelaskan dengan apa yang dia pikirkan tentang sosok wanita yang dimaksud oleh Daniel.
Daniel mengangguk-anggukan kepalanya. “Sepertinya apa yang kau nilai tentang wanita itu sudah menjelaskan tentang karakter wanita itu,” balas Daniel yang membenarkan perkataan assistantnya itu. “Harry, apa kau sudah mencari wanita yang tepat untukku? Wanita itu harus menemaniku di pertunangan Adam dan juga Mr. Jonathan. Apa kau sudah menemukannya?”
“Tuan maaf, sebelumnya saya sudah mengirimkan beberapa foto dari anak pengusaha terkenal di sini tuan. Tapi kemarin tuan tidak memilih satu pun dari mereka,” jawab Harry hati-hati.
Daniel membuang napas kasar. “Foto yang kau berikan tidak ada yang aku suka. Aku suka wanita yang cantik natural. Tidak berlebihan, sedangkan kau mengirimkan wanita yang berpenampilan berlebihan.”
“Tuan, tapi kebanyakan wanita dari kalangan atas, maaf maksud saya jika mereka Nona dari keluarga kaya mereka akan berpenampilan seperti yang Tuan maksud.” Harry berusaha menjelaskan.
“Kalau begitu cari dari kalangan biasa. Tidak perlu berlebihan. Aku tidak menyukai wanita yang berpenampilan berlebihan!” tukas Daniel dingin.
“Tuan, bukannya sebelumnya anda meminta wanita dari anak pengusaha terkenal?” tanya Harry memastikan. Pasalnya, Daniel mengatakan padanya jika dia harus mencari seorang wanita berpendidikan tinggi dan juga anak dari pengusaha terkenal untuk bisa menemaninya nanti di pesta.
Daniel mengumpat pelan. “Ini karena Adam, dia terus mendesakku mencari anak dari pengusaha. Tapi sekarang lebih baik kau mencari yang lain. Tidak masalah dia hanya karyawan biasa, perawat, atau pekerjaan apa pun selama wanita itu berasal dari wanita baik-baik.”
Ya, Daniel terpaksa mencari wanita yang tepat untuk menemani dirinya. Berkali-kali, Adam sahabatnya selalu meledek dirinya karena hingga detik ini, dia masih sendiri dan tidak memiliki seorang kekasih. Bukan tidak bisa mendapatkan kekasih, tentu Daniel sangat mudah mendapatkan wanita yang dia inginkan. Dengan kekuasaan yang dimilikinya membuat para wanita bertekuk lutut padanya. Tidak hanya memiliki kekuasaan, tapi Daniel memiliki wajah yang sangat tampan, tubuh yang tegap bahkan tidak ada seorang wanita yang mampu menolak seorang Daniel Renaldy. Namun, sejak perselingkuhan Rossa, kekasihnya, Daniel sudah tidak lagi menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Dia lebih fokus pada pekerjaannya.
Harry mengangguk patuh. “Baik Tuan, saya akan mencari wania yang anda inginkan.”
“Satu lagi, mungkin wanita bermata biru. Terlihat sangat cantik bukan? Wanita bermata biru dan berambut coklat,” tambah Daniel dengan seringai di wajahnya.
“Tuan, sebelumnya ada wanita bermata biru bernama Nona Alana. Tapi hanya berbeda rambut Nona Alana berwarna pirang. Apa Tuan menginginkan Nona Alana?” Harry berusaha menawarakan salah satu pilihannya.
“Alana Foland, aku mengenal wanita itu. Tidak aku tidak menginginkan wanita seperti Alana Foland. Aku tidak suka wanita terlalu angkuh. Dia selau memandang rendah seseorang. Bukan wanita seperti itu yang aku inginlan. Lagi pula, aku menginginkan wanita berambut coklat. Sepertinya jauh lebih menganggumkan dengan perpaduan mata yang indah.” Daniel membayangkan wanita berambut coklat dann bermata biru.
“Baik Tuan, saya akaan berusaha mencarinya,” jawab Harry. “Tuan, saya juga ingin mengingatkan besok adalah rapat pemegang saham di Queen Hospital.”
Daniel mengangguk samar. “Ya, aku mengingatnya. Sudah lama aku tidak melihat perkembangan rumah sakit itu secara langsung. Aku hanya melihat dari laporan yang kau berikan ruamh sakit itu berkembang sangat pesat. Rencananya aku akan membuka cabang Queen Hospital di Europe.”
“Benar tuan, saat ini Queen Hospital memang sangat maju dan berkembang dengan pesat. Saya yakin, jika kita memperluas cabang Queen Hospital tentu akan membuat Queen Hospital semakin memiliki reputasi yang sangat baik,” ujar Harry yang membenarkan perkataan Daniel.
“Aku ingin beristirahat. Besok setelah rapat pemegang saham, aku ingin lebih bersantai dan kosongkan jadwalku,” tukas Daniel dingin.
“Baik tuan,” jawab Harry.
Kemudian, Daniel berjalan meninggalkan Harry menuju kamar. Namun langkah Daniel terhenti ketika melihat Ali, ibunya turun dari tangga. Melihat Alin menghampiri Daniel, dengan cepat Harry menundukan kepalanya lalu undur diri.
“Daniel, Mama ingin bicara pada mu!” kata Alin tegas.
“Ada apa?” tanya Daniel sedikit malas. Terakhir kali Alin membahas tentang perjodohan yang membuat pria itu enggan bebricara dengan Ibunya.
“Mama tahu kau takut Mama bicara tentang perjodohan, bukan?” Alin bisa menebak dari raut wajah putranya itu yang tidak ingin membahas tentang perjodohan.
Daniel membuang napas kasar. “Jangan membahas itu.”
Alin melangkah mendekat, dan tersenyum. “Tidak sayang, kali ini mama tidak membahas itu.”
“Lalu apa yang Mama inginkan?” Daniel menautkan alisnya. Tatapanna menatap dingin ibunya itu.
“Adikmu sudah resmi menjadi dokter di Queen Hospital. Mama ingin kau terus menjaga dan mengawasi adikmu. Mama tidak ingin dia kembali tinggal di Paris. Mama ingin kalian tinggal di sini. Kau sebagai kakak tidak boleh lengah. Kau harus menjaga adikmu dengan baik,” kata Alin mengingatkan.
“Aku tahu, sekarang aku ingin beristirahat,“ balas Daniel datar.
“Ya, istirahatlah.” Alin mengelus rahang putranya itu.
Tanpa lagi menjawab, Daniel langsung melangkah masuk ke dalam kamr. Beruntung, Ibunya tidak lagi membahas tentang perjodohan. Sejak dulu, Daniel tidak pernah menyukai jika dirinya harus dijodohkan. Biasanya, Daniel akan selalu menghindar permintaan Ibunya yang menginginkan dirinya agar segera menikah.
***
-To Be Continued
Suara alarm berbunyi, membuat dua wanita yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena alarm sejak tadi tidak berhenti. Calllista dan Olivia yang masih tertidur pulas begitu terganggu karena bunyi alarm.“Callista! Kenapa alarmmu berisik sekali! Aku masih mengantuk!” seru Olivia. Dia menutup kepalanya dengan bantal. Sunggguh alarm Callista ini benar-benar mengganggu tidurnya.Callista mengumpat dalam hati, dengan cepat Callista mematikan ponselnya agar alarm itu tidak lagi menganggu tidurnya.Namun saat Callista mematikan ponselnya, tiba-tiba Olivia melempar bantal yang tadi dia gunakan untuk menutup kepalanya, dengan wajah panik Olivia mengambil arloji miliknya. “Astaga Callista kita terlambat!” Suara teriakan Olivia kencang saat melihat kini sudah pukul delapan pagi.Callista tidak bergeming, dia memilih untuk menutup matanya. Callista masih mengantuk dan rasanya dia masih belum ingin membuka matanya.Olivia mengumpat kasar saat melihat Callista masih menutup mata. “Callista bang
Meeting berakhir, suara tepuk tangan memenuhi ruang meeting. Daniel turun dari podium dan melangkah keluar. Callista masih tidak bergeming dari tempatnya. Sedangkan para dokter lain sudah berdiri menyambut pria itu. Callista mendengus tak suka, kenapa para dokter muda bersikap terang-teramgan menyukai pria itu? Sebenarnya tanpa ditanya Callista sudah tahu alasannya. Tentu mereka menyukai pria yang memiliki kekuasaan.“Aku rasa dunia begitu sempit hingga kita bertemu lagi, kau masih mengingatku, Dokter?” kata Pria itu dengan nada rendah, kemudian dia melirik name tag yang tetera nama Dr. Callista. “Well, aku tidak menyangka kau adalah seorang dokter?” lanjutnya dengan seringai di wajahnya.Callista memberanikan diri mendongakan wajahnya, lalu menatap lekat pria yang berada di hadapannya itu. “Maaf, aku tidak tahu kalau kau adalah Tuan Daniel Renaldy pemegang saham di perusahaan ini.”Daniel melangkah mendekat dan tersenyum miring. “Apa kau ingat perkataanku sebelumnya Dokter Callista?”
Sinar matahari pagi yang begitu cerah. Musim kemarau adalah salah satu musim yang Callista sukai. Sebenarnya, semua musim Callista menyukainya. Hanya saja, Callista kurang menyukai musin panas dan juga musin dingin.Callista melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju Renaldy Company. Hari ini dengan terpaksa Callista harus bertemu dengan pria yang menolongnya itu. Entah beruntung atau tidak kenyataannya pria itu ternyata adalah pemegang saham terbesar di rumah sakit tempat di mana dia bekerja.Jika boleh memilih, Callista lebih baik memeriksa pasiennya atau beristirahat di apartemen, dari pada harus bertemu dengan Daniel Renaldy yang telah memaksanya untuk bertemu dengannya. Padahal hari ini Callista memiliki jadwal yang cukup padat di rumah sakit. Beruntung Olivia mau menggantikannya.Callista melirik arloji kini masih pukul sembilan pagi. Setidaknya dia tidak akan terlambat. Mengingat pria itu mengatakan padanya untuk tidak datang terlambat. Lagi pula Callista tidak akan lama,
Callista membelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumah sakit. Dia turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit dan langsung berjalan menuju ruang kerja.“Callista!” Suara teriakan Olivia memanggil Callista cukup keras, hingga membuat Callista menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggilnya.Callista mengerutkan keninganya melihat Olivia bersama dengan dua orang Dokter yang tidak di kenalnya. Callista terus menatap kedua Dokter itu. Dia benar-benar tidak mengenali kedua Dokter yang bersama dengan Olivia.“Callista kau baru datang?” tanya Olivia saat dirinya sudah berada di hadapan Callista.“Ya, aku baru saja datang,” Jawab Callista. “Olivia, apa ini Dokter baru?” tanyanya yang sejak tadi penasaran dengan dua Dokter yang tidak dia kenali ini.“Ah iya benar. Aku lupa memperkenalkanmu. Callista ini Dokter Grace. Dia Dokter Spesialis Kandungan. Sedangkan di sampingnya Dokter Mike, Dokter Spesialis Jantung.” Olivia memperkenalka
Daniel duduk di kursi kebesarannya. Pikirannya terus memikirkan wanita yang berhasil menarik perhatiannya. Dia sungguh tidak menyangka, wanita yang dia selamatkan ternyata adalah Dokter di rumah sakit miliknya. Ya, dunia terasa begitu sempit. Namun, tidak bisa dipungkiri dirinya begitu bahagia mengetahui Callista adalah dokter di rumah sakit miliknya.Suara ketukan pintu terdengar membuat Daniel menghentikan lamunanya dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Kemudian, dia langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan,” Harry, assistant Daniel melangkah masuk seraya menundukan kepalanya. “Ada apa, Harry?” tanya Daniel pada assistantnya yang berdiri di hadapannya. “Tuan saya sudah mendapatkan beberapa wanita yang anda inginkan. Wanita berambut coklat dan bermata biru sesuai permintaan anda. Jika anda ingin saya bisa mengatur anda bertemu dengan mereka,” jawab Harry. “Aku tidak membutuhkan mereka. Aku sudah mendapatkan wanita yang tepat menemnaiku,” tukas Daniel dingin. “Maaf, Tuan. An
Suara dering ponsel terdengar. Callista yang masih tertidur pulas harus terbangun karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Perlahan Callista membuka matanya, dia mengerjap beberaap kali. Tepat di saat Callista sudah membuka matanya, dia menatap jam dinding kini masih pukul enam pagi. Callista mendengus kala ponselnya kembali berdering. Dia paling tidak suka ada yang mengganggunya.“Siapa yang menggangguku di pagi hari,” gerutu Callista kesal. Dengan terpaksa dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Seketika Callista berdecak kala melihat nomor Alice, Ibunya muncul di layar ponselnya. Ingin sekali dia tidak menjawab, tapi jika dia tidaj menjawab, itu sama saja mencari masalah dengan Ibunya itu. Kini Callista menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. “Ya, Ma,” jawab Callista dengan nada malas saat panggilan terhubung. “Kau di mana, Callista?” Suara Alice, Ibunya terdengat begitu dingin dari seberang line. Callista men
“Daniel? Kau sudah pulang?” Alin menyapa putranya yang kini melangkah masuk ke dalam rumah. “Tidak biasanya kau pulang lebih awal. Apa hari ini kau tidak memiliki banyak pekerjaan?” tanyanya penarasan.“Ya, hari ini aku tidak terlalu sibuk,” jawab Daniel datar. “Kalau begitu temui ayahmu. Sejak kau kembali dari Barcelona, kau masih belum mengajaknya berbicara banyak,” balas Alin. “Sekarang ayahmu berada di ruang kerjanya. Segera temui dia,” lanjutnya mengingatkan putranya itu. Daniel mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah menuju ruang kerja Gio, ayahnya. Ya, sejak dirinya kembali dari Barcelona, Daniel memang tidak terlalu banyak berbicara dengan ayahnya. Hanya percakapan biasa.“Pa?” panggil Daniel saat melangkah masuk ke dalam ruang kerja Gio. Gio mengalihkan pandangannnya, menatap Daniel. “Kau sudah pulang?” “Sudah.” Daniel menarik kursi, lalu duduk tepat di hadapan ayahnya. “Bagaimana kondisi perusahaan yang kau pimpin di Barcelona?” tanya Gio sambil menatap Daniel serius
“Callista, aku sudah membuatkanmu pasta. Kau makanlah.” Olivia memberikan pasta yang dia buat untuk Callista. Ya, pagi hari Olivia memutuskan untuk memasak. Pasalanya, hari ini Calista bangun terlambat. Dia tidak mau menunggu Callista terlalu lama.“Thanks,” Callista menarik kursi dan langsung duduk tepat di hadapan Olivia. Kemudian, dia mulai menikmati pasta yang dibuat oleh Olivia. “Callista, kemana pelayanmu? Kenapa dia belum datang? Menyusahkanku saja, jika ada pelayanmu pasti aku tidak perlu repot membuat sarapan,” ujar Olivia seraya menyesap coklat panas di tangannya. “Hari ini pelayanku datang jam sepuluh pagi. Aku sengaja memintanya untuk datang setelah aku berangkat ke rumah sakit,” jawab Callista. Olivia mendesah pelan. “Sejak dulu kau tidak berubah. Jika aku menjadi dirimu aku akan memiliki paling tidak dua sampai tiga pelayan.” “Jangan bicara yang tidak-tidak, Olivia,” Callista mengambil gelas yang berisikan orange juice lalu menyesapnya perlahan. “Callista, besok apa