Share

Bab 9 Sarapan Bersama

Suara dering ponsel terdengar. Callista yang masih tertidur pulas harus terbangun karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Perlahan Callista membuka matanya, dia mengerjap beberaap kali. Tepat di saat Callista sudah membuka matanya, dia menatap jam dinding kini masih pukul enam pagi. Callista mendengus kala ponselnya kembali berdering. Dia paling tidak suka ada yang mengganggunya.

“Siapa yang menggangguku di pagi hari,” gerutu Callista kesal. Dengan terpaksa dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Seketika Callista berdecak kala melihat nomor Alice, Ibunya muncul di layar ponselnya. Ingin sekali dia tidak menjawab, tapi jika dia tidaj menjawab, itu sama saja mencari masalah dengan Ibunya itu. Kini Callista menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya.

“Ya, Ma,” jawab Callista dengan nada malas saat panggilan terhubung.

“Kau di mana, Callista?” Suara Alice, Ibunya terdengat begitu dingin dari seberang line.

Callista mendengus. “Ma, ini masih ham enam pagi. Aku tentu di apartemenku. Ada apa, Ma menelponku sepagi ini? Aku masih mengantuk.”

“Kapan kau pulang, Callista? Apa kau ingin membuat ayahmu marah padamu? Mama tidak bisa terus menerus membelamu di hadapan ayahmu.”

“Ma, aku bukan anak kecil lagi. Jangan perilakukan aku layaknya anak kecil. Nanti aku akan pulang tapi tidak sekarang. Sudahlah, aku ingin segera ke rumah sakit. Hari ini aku memiliki banyak pekerjaan.”

“Callista, tunggu-“

“Aku mencintaimu, Ma.”

Callista menyela ucapan Alice dan langsung menutup panggilan teleponnya dan meletakan ponselnya ke tempat semula.

Kini Callista beranjak dari ranjang dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap-siap. Meski sebenarnya dirinya masih mengantuk tapi lebih baik baginya untuk segera berangkat ke rumah sakit.

Tiga puluh menit kemudian, setelah Callista selesai mandi dan telah berias—lalu berjalan meninggalkan apartemennya.

***

“Callista? Kau hari ini datang pagi?” Olivia yang baru saja turun dari mobil, dia menatap Callista yang juga baru turun dari mobil.

“Ya, aku sedang ingin datang pagi.” Callista melangkah mendekat ke arah Olivia. “Kau sendiri, kenapa datang pagi?”

“Tiga jam lagi aku memiliki jadwal operasi,” jawab Olivia.

“Yasudah, kita masuk ke dalam,” balas Callista.

Olivia mengangguk. Kemudian, dia dan Callista melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit.

“Dokter Olivia?” Seorang perawat berlari menghampiri Olivia di area lobby dengan begitu tergesa-gesa.

“Ada apa?” tanya Olivia dengan tatapan bingung pada perawat itu.

“Dokter Olivia, pasien sedang membutuhkan anda,” seru perawat itu dengan wajah panik.

“Minta Dokter lain untuk menggantikanku sebentar. Aku akan segera ke sana,” jawab Olivia cepat.

“Baik, Dokter,” Perawat itu langsung berjalan meninggalkan Olivia.

“Callista, aku duluan. Pasien membutuhkanku,” tukas Olivia seraya menatap Callista.

Callista mengangguk. “Ya, Olivia.”

Tanpa lagi berkata, Olivia melangkah menuju ruang kerjanya. Tepat di saat Olivia pergi, Callista pun hendak menuju ruang kerjanya. Namun, langkah Callista terhenti kala tiba-tiba dia melihat sosok yang melangkah mendekat ke arahnya.

“Well, rupanya kau Dokter yang sangat rajin. Pagi hari kau sudah datang. Padahal tadi aku melihat jadwalmu, kau tidak memiliki jadwal di pagi hari,” tukas Daniel dengan seringai di wajahnya.

Callista membuang napas kasar. “Tuan Daniel Renaldy yang terhormat, apa kau tidak memiliki pekerjaan lain hingga membuatmu melihat jadwalku?” jawabnya dengan nada kesal.

Daniel mengedikan bahunya tak acuh. “Datang ke rumah sakit milikku, ini sudah termasuk dengan bekerja.”

Callista mengumpat dalam hati mendengar apa yang dikatakan oleh Daniel. Pasalnya, pria itu mengatakan hal benar. “Sudahlah, aku ingin masuk ke dalam ruang kerjaku.”

“Tunggu.” Daniel menahan lengan Callista.

Callista mengalihkan pandangannya menatap dingin Daniel. “Ada apa, Tuan Daniel?”

“Kau bisa memanggilku cukup dengam namaku,” tukas Daniel.

“Tidak bisa, ini lingkungan kerja. Aku tidak mungkin memanggilmu hanya dengan nama saja,” balas Callista yang tidka menyetujui permintaan pria itu.

“Alright, kau benar. Ini masih lingkungan kerja,” jawab Daniel. “Tapi jika tidak di lingkungan kerja, kau cukup panggil namaku.”

Callista mengangguk singkat. “Sekaranga bisa kau lepaskan tanganmu? Aku ingin segera kembali bekerja.”

“Aku ingin kau menemaniku sarapan.” Tanpa menunggu jawaban dari Callista, Daniel langsung menarik Callista meninggalkan area lobby rumah sakit. Seketika Callista terkejut melihat Daniel menarik tangannya. Dia hendak menolak, namun tidak mungkin karena banyak orang di area lobby. Dengan Daniel menarik tangannya saja sudah menjadi pusat perhatian. Apalagi jika sampai dia memberotak. Itu sudah pasti akan menjadi berita pagi ini. Lebih baik baginya untuk mengikuti keinginan pria itu.

***

“Ada apa, Tuan Daniel? Kenapa kau memintaku untuk menemanimu?” tanya Callista sambil menyesap coklat panas di tangannya. Ya, kini dirinya dna Daniel telah berada di café terdekat dengan rumah sakit.

“Aku hanya ingin sedikit berbicara dengan Dokter yang bekerja di rumah sakit milikku,” jawab Daniel dengan santai.

Callista menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. “Kau ingin berbicara apa?”

“Apa alasanmu menjadi seorang Dokter?” tanya Daniel.

“Kenapa dengan profesionalku menjadi Dokter? Apa itu salah?” Bukannya menjawab, Callista membalikan pertanyaan Daniel dengan nada yang masih kesa.

“Tidak ada yang salah menjadi seorang Dokter. Aku hanya bertanya saja.” Daniel mengambil cangkir yang berisikan kopi espresso lalu dia menyesapnya perlahan.

“Sejak aku kecil, menjadi seorang Dokter adalah mimpiku,” jawab Callista.

Daniel mengangguk. “Mimpi yang berhasil kau wujudkan. Kau termasuk beruntung, Dokter Callista.”

Callista mengangkat sebelah bahunya tak acuh. “Ya, aku bekerja keras mendapatkan apa yang aku impikan.”

‘Walau sebenarnya seluruh keluargaku melarangnya,’ tambah Callista dalam hati.

“Bailah, Tuan Daniel. Aku rasa aku harus segera kembali ke rumah sakit sekarang. Hari ini, banyak pasien yang harus aku periksa.” Callista melihat arlojinya kini sudah pukul sepuluh pagi. “Apa ada lagi hal yang ingin kau bicarakan padaku?” tanyanya sambil menatap Danuel sebelum dia pergi dari café itu.

“Tidak,” Daniel menggelengkan kepalanya. “Terima kasih untuk waktumu, Dokter Callista.”

“Terima kasih juga karena anda telah mentraktirku sarapan,” balas Callista. Kemudian, dia melangkah meninggalkan café itu dan segera kembali menuju rumah sakit.

Senyum di bibir Daniel terukir saat Callista sudah pergi meninggalkannya. Wanita itu keras kepala, tidak bukan hanya keras kepala tapi wanita itu juga memiliki sifat dingin dan terlihat sangat tangguh. Tidak bisa dipungkiri, wanita itu benar-benar cukup menarik. Karena memang selama ini, Daniel selalu mengenal wanita yang memiliki sifat manja dan kekanakan. Sangat berbeda dengan Callista. Diawal mengenal, tentu pria akan berpikir Callista wanita yang lemah lembut karena memiliki paras begitu cantik. Tapi, nyatanya wanita itu memiliki sifat yang keras dan tangguh.

***

-To Be Continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status