"Joya!"
Suara laki-laki yang memanggil namanya membuat langkah Joya terhenti. Joya berbalik, mengarahkan pandangan matanya ke arah seorang laki-laki yang belum pernah ia lihat sebelumnya, "apa aku mengenalmu?" tanya Joya dengan mengerutkan keningnya.
"Itu," tukas laki-laki itu terhenti, kepalanya tertunduk seakan ragu untuk membalas tatapan Joya, "maukah, kau berpacaran denganku?" ujarnya kembali dengan suara yang hampir susah didengar.
"Namamu?"
"Doni." Laki-laki itu menggenggam erat kedua tangannya, berusaha menghilangkan rasa gugup yang menyelimuti tubuhnya.
"Baiklah, Doni. Apa kau memiliki kendaraan?" Doni mengangkat wajahnya ketika Joya mengatakannya, "apa kau memiliki usaha? Apa kau bisa memberikan uang bulanan yang banyak untukku? Atau, apa kau bisa membantuku membayar semua biaya sekolahku?" Doni tertegun, dia menggigit kuat bibirnya ketika Joya berdiri di hadapannya dengan menyilangkan kedua lengannya.
"Jika kau tidak bisa memenuhi salah satu dari keempat syarat yang aku katakan," tukas Joya dengan mengangkat keempat jarinya, "maka aku tidak bisa menerimamu."
"Maafkan aku, tapi aku gadis miskin yang membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup. Jika kau benar-benar menyukaiku, utarakan perasaanmu kepadaku lagi ketika kau sukses. Karena untuk sekarang, kau benar-benar bukan tipe laki-laki yang aku sukai," lanjut Joya kembali, dia membalikkan tubuh sebelum berjalan menjauh meninggalkan Doni yang terpaku menatap punggungnya.
Berikan aku uang, maka aku akan menyayangimu.
Hanya satu kalimat itu yang selalu Joya junjung di dalam hidupnya selama ini. Baginya, uang adalah segalanya. Aku tidak akan mengenalmu, jika kau tidak pernah mengeluarkan sepeser uang pun untukku. Aku tidak akan beramah-tamah padamu, jika kau tidak menguntungkan untukku ... Sudah tak terhitung, berapa kali Joya mengatakan hal tersebut pada dirinya sendiri.
______________
Joya turun dari atas motor yang ia tumpangi, dia menggerakkan tangannya membuka helm yang melekat di kepalanya lalu memberikan kembali helm berwarna ungu tersebut kepada pengendara Wo-Jek yang ada di hadapannya itu, "terima kasih, Pak," ucapnya kepada laki-laki paruh baya itu sebelum dia kembali melangkahkan kakinya berjalan.
"Tumben Joy, pulangnya lama," tukas seorang wanita yang tengah mengelap meja saat Joya melangkahkan kakinya masuk ke dalam warung nasi yang ada di pinggir jalan.
Joya menghentikan langkah kakinya di hadapan perempuan tadi, dia mengangkat tangannya lalu meraih tangan perempuan itu, "gurunya tidak berhenti mengoceh, jadi kami semua harus menunggunya selesai bicara agar bisa pulang," sahut Joya dengan menciumi tangan perempuan yang ada di hadapannya itu.
"Maaf Bibi, aku terlambat datang berkerja lagi hari ini," sambung Joya dengan menatap penuh mohon kepadanya.
Seseorang yang ia panggil Bibi itu, tidak lain adalah Mira, pemilik kost tempat Joya tinggali. Joya seringkali heran kepadanya, padahal dia bisa mendapatkan uang hanya dengan duduk di Rumah ... Tapi kenapa? Dia harus mengeluarkan tenaga untuk mengurusi sebuah warung nasi. Walaupun, jauh di dalam lubuk hatinya, Joya bersyukur bisa mengenal Mira saat Joya hampir putus asa karena kedua orangtuanya.
"Tidak apa-apa. Makanlah terlebih dahulu, dan simpan tas sekolahmu," ujar Mira dengan melirik ke kanan tubuhnya.
Joya berjalan melewatinya ketika dia melepaskan genggaman tangannya di tangan Mira, "Bibi mau pulang sekarang? Joya bisa menjaga warungnya sendirian," tukas Joya dengan mengangkat tas yang ia kenakan dari pundaknya, Joya berjongkok sembari meletakkan tas tadi ke dalam lemari yang ada di bagian belakang warung.
"Bibi sedang menunggu Dona untuk mengantarkan dua ratus kotak pesanan nasi."
Joya berjalan ke luar dengan kedua tangannya mengikat kuat rambut hitamnya, "Bibi mendapatkan pesanan? Kenapa tidak memberitahukan aku? Padahal, aku bisa bolos untuk membantu Bibi," ungkap Joya dengan melirik ke arah tumpukan kantung plastik berwarna putih berisikan beberapa kotak nasi di dalamnya.
"Sekolah itu penting. Lagi pun, kau ingin menjadi perempuan yang kaya bukan? Belajarlah yang banyak, agar nanti bisa menghasilkan banyak uang, lalu bayar semua hutang budi yang kau maksudkan itu ke Bibi," ungkap Mira ketika Joya telah kembali berjalan mendekatinya.
"Saat aku kaya, aku akan membelikan apa pun yang kau inginkan Bibi. Jadi, do'akan aku," sahut Joya tersenyum, dia melangkahkan kakinya mendekati sebuah kursi lalu mendudukinya.
"Bibi akan ingat itu." Mira lagi-lagi meraih ponsel miliknya yang ia letakkan di atas meja, berkali-kali ia mengecek ponselnya itu dengan harap-harap cemas, "sebenarnya, ke mana perginya anak ini?" gumam Mira sambil menempelkan ponsel yang ada di tangannya itu ke telinga.
"Ada apa, Bibi?" tanya Joya ketika Mira kembali menatapi ponselnya. "Dona membalas wa bibi, dia mengatakan jika dia ingin pergi dengan temannya. Tapi bagaimana," ungkap Mira terhenti diikuti pandangannya yang melirik ke arah tumpukan kotak nasi.
Joya beranjak berdiri, "aku yang akan mengantarkannya Bibi. Berikan saja padaku, alamat berserta nota penagihannya," cetus Joya berjalan mendekati tumpukan kotak nasi yang ada di sudut ruangan.
Joya mengangkat satu per satu kantung berisikan kotak nasi tersebut, dia meletakkan semua kantung-kantung itu di teras depan warung, "apa kau yakin, Joya?" Mira terlihat ragu untuk meminta Joya melakukannya.
Joya meraih dua lembar kertas yang ada di tangan Mira, "aku senang, jika itu membantumu, Bibi. Jadi janganlah sungkan, akan tetapi ... Ongkos pergi ke sana, Bibi yang menanggungnya, ya," ungkap Joya tersenyum yang dibalas anggukan kepala dari Mira.
Joya duduk di teras warung, menunggu Wo-Car pesanannya yang akan membantunya mengantar semua makanan. Joya beranjak berdiri, dia memasukkan ponsel yang ada di genggamannya ke dalam saku ketika Wo-Car yang ia pesan datang. Joya mengangkat lalu memindahkan satu per satu bungkusan nasi ketika supir membuka bagasi mobilnya.
Mobil berhenti setelah berjalan sekian lama menyusuri jalan, Joya memberikan beberapa lembar uang puluhan kepada supir sebelum membuka pintu mobil lalu berjalan keluar. Pandangan Joya terpaku, menatap gedung tinggi yang ada di hadapannya, dia kembali berbalik ketika suara supir Wo-Car itu memanggilnya.
"Terima kasih, Pak," ucap Joya kepada supir yang telah membantunya menurunkan semua pesanan dari bagasi.
Supir itu menganggukkan kepala sebelum dia melangkah dengan membawa mobilnya pergi. "Perusahaan sebesar ini, memesan makanan dari warung nasi kecil seperti kami?" gumam Joya sambil mendongakkan kepalanya, berusaha menghitung berapa banyak lantai yang ada di gedung itu.
"Aku tidak perduli. Asalkan itu menambah pundi-pundi uangku, maka aku tidak akan mempermasalahkannya," ucap Joya pelan, dia menunduk dengan meraih ponsel yang ada di saku seragamnya.
Joya menggeser layar ponselnya, mencari nomor yang diberikan oleh Mira kepadanya. "Halo," suara laki-laki menjawab panggilan telepon yang Joya lakukan.
"Maaf, aku sudah berada di luar gedung. Kalau boleh tahu, ke mana aku harus memberikan pesanannya?"
"Bawa semuanya ke lantai sepuluh, pinta security untuk membantumu membawakannya," tukas laki-laki itu singkat, sebelum panggilan telepon di antara mereka berakhir.
Satu per satu kantung berisi kotak nasi, Joya susun di dekat tangga. “Ini pesanan yang dipinta untuk diantar ke lantai sepuluh?” tanya seorang security yang keluar dari dalam gedung.Joya menganggukkan kepalanya saat tiga orang security itu sudah berdiri di hadapannya. Joya mengangkat masing-masing satu kantung berisi kotak nasi di tangan kanan dan kirinya, sedangkan kantung-kantung yang lain dibawa oleh tiga orang security tadi. “Pak, apa kita tidak menggunakan lift?” Joya termangu ketika tiga orang security tadi mengajaknya untuk melewati tangga darurat.“Lift, digunakan hanya untuk mereka yang berkerja, dan juga para client. Jangan banyak bertanya!" sahut salah satu security dengan mengarahkan pandangan tajam ke arah Joya.
Agha mengejar Joya keluar dari ruang rapat, tangannya meraih dan menggenggam pergelangan Joya ke atas, “berikan ponselmu itu!” perintah Agha sambil melirik ke arah ponsel Joya yang bersembunyi di balik saku seragamnya.“Cobalah ambil sendiri, dan sekaligus … Cobalah lihat ke sekitar, kau akan menggali kuburanmu sendiri jika melakukannya,” jawab Joya sembari tersenyum membalas tatapan Agha.Agha melirik ke atas, dia kembali mengarahkan pandangannya kepada Joya setelah matanya menangkap beberapa buah CCTV yang ada di sekitar. “Berapa harganya? Berapa yang harus aku bayar?” tanyanya setengah berbisik.“Lima ratus ribu,” jawab Joya dengan tetap berusaha melepaskan cengkeraman tangan Agha di tangannya.
Joya bersandar di jok mobil, matanya melirik ke arah lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Joya sedikit beranjak saat suara ponsel milik Agha yang ada di sakunya berbunyi, “Lalita,” ucap Joya sembari mengangkat layar ponsel yang berdering itu ke samping Agha.“Matikan saja panggilannya,” balas Agha dengan tetap mengarahkan pandangannya ke depan.Joya melakukan apa yang Agha perintahkan. Ponsel itu kembali berdering saat Joya baru saja hendak menyimpannya kembali ke dalam saku, “dia lagi,” sambung Joya sambil menatap nama Lalita di layar ponsel.“Apa kau membutuhkan uang?”Joya membesarkan pandangannya ke arah Agha, “ap
Joya dan Agha berjalan berdampingan menuruni tangga jembatan, sesekali Agha mengangkat telapak tangannya mengusap keningnya yang banjir akan keringat. “Oi,” tukas Agha ketika Joya telah berjalan melewatinya, “bagaimana, kau akan menjelaskan tentang ponselku yang kau lempar itu?” Agha kembali bersuara sambil melirik ke arah sisa-sisa serpihan ponselnya yang telah hancur lebur di tengah jalan.Joya yang menghentikan langkah kaki karena ucapan Agha, dia hanya dapat menggigit kuat bibirnya lalu berbalik menatap Agha sebelum berjalan mendekatinya, “aku tidak memiliki uang,” ungkapnya sambil meraih ponsel miliknya yang ada di saku, “aku tahu, jika ponselku ini … Tidak akan pernah sebanding dengan ponsel milikmu. Tapi, kau bisa memilikinya jika memang aku harus menggantinya. Dan juga-”Joya menghentikan ucapann
“Berhenti di sana,” tukas Joya sembari menunjuk ke sebuah rumah kosan besar yang ada di sebelah kanan mereka.Agha melirik ke arah yang Joya tuju, dia menghentikan mobilnya di depan pagar rumah tersebut. “Terima kasih,” ucap Joya kembali ketika dia telah membuka pintu mobil.“Aku pikir, kau manusia yang tidak tahu berterima kasih,” sindir Agha, dia menoleh ke arah Joya sambil menyandarkan tubuhnya ke jok.Joya menoleh ke belakang, “apa kau pikir, aku manusia yang tidak tahu berterima kasih, Sultan? Jaga bicaramu, atau setelah kita menikah … Entah racun apa, yang akan aku berikan di makananmu,” ungkapnya seraya kembali menutup pintu mobil.
Sudah beberapa hari sejak Agha dan Joya bertemu. Tidak ada kelanjutan yang jelas tentang perjanjian mereka, bahkan mereka berdua pun melakukan aktivitas seperti tidak terjadi apa pun. “Apa ada yang ingin kalian tanyakan, anak-anak?” tanya Akbar, guru matematika sekaligus wali kelas Joya.Akbar melempar pandangan ke arah murid-muridnya yang terdiam, “baiklah, kerjakan hal. 45 untuk tugas di rumah,” seru Akbar, dia merapikan buku-buku miliknya yang ada di atas meja sebelum melenggang keluar.Joya beranjak setelah merapikan buku-bukunya ke dalam tas, “oi Joya!” Joya mengangkat pandangannya ke arah kumpulan anak perempuan yang berjalan mendekat.“Ada apa?” tanya Joya sembari mengenakan tas miliknya itu ke punggun
Joya berkali-kali mencuri pandang ke arah Agha yang masih memfokuskan matanya ke depan, “ada apa? Apa kau memerlukan sesuatu?” tanya Agha tanpa sedikit pun membuang pandangannya.“Aku selalu memikirkannya dari kemarin, berapa usiamu?” Joya balik bertanya kepadanya.“Dua puluh lima,” jawab Agha singkat, “apa itu mengganggumu?” Dia balas bertanya dengan melirik ke arah Joya yang duduk di sampingnya.Joya menggeleng pelan, “tidak. Aku hanya bertanya, karena akan terdengar aneh jika aku tidak mengetahui apa pun mengenai seseorang yang akan menjadi pasanganku,” tukas Joya yang kembali melempar pandangannya ke depan.“Apa masih jau
Agha melirik ke arah Joya, “kau tinggal hitung saja semuanya,” ucapnya ketika menghentikan langkah kaki di samping sebuah pintu.Joya yang ikut menghentikan langkahnya, masih terdiam menatap Agha yang tengah memencet bel yang ada di samping pintu. Joya menarik napas dengan mencengkeram lengan pakaian Agha saat pintu yang ada di hadapan mereka itu terbuka.Seorang laki-laki berdiri di depan pintu, “Agha?” ucapnya dengan melirik ke arah Joya yang masih terdiam, seakan tak melihat lirikan yang dilakukan laki-laki tersebut.“Apa kau akan membiarkan kami berdiri di sini?!”Joya melirik ke arah Agha yang menatap tajam ke arah laki-laki di hadapan mereka. “Masuklah,” ucap laki-laki tersebut saat dia berjalan mundur, menyingkirkan dirinya dari pintu.Lirikan Joya berpaling ke depan, tatkala Agha sadar kalau Joya sedari tadi tak berpaling darinya. Agha berjalan masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, disus