Joya duduk di atas motor dengan masih menatap pundak Agha, pelukannya pada bungkusan plastik semakin erat saat Joya sendiri menunduk, untuk sekedar melihat isi dari bungkus plastik itu kembali. “Di komplek, ada masjid juga, kan? Mau coba ke sana nanti?” tukas Agha sambil mencoba untuk melihat Joya yang duduk di belakangnya.
Joya mengangguk pelan dengan sebelah tangannya menggenggam pakaian Agha, “baiklah,” jawab Joya kepadanya, saat mereka sudah hampir mendekati rumah.
Joya beranjak turun tatkala motor tersebut berhenti. Dia lanjut berjalan ke arah teras sambil berdiri menunggu Agha yang tengah mendorong motor tersebut ke teras rumah. Joya lanjut berjalan seraya membuka pintu rumah dengan kunci yang ia simpan di dalam tas sekolah, dia masuk lalu melepaskan sepatu sambil meletakan bungkusan di atas meja sebelum dia berjalan menuju dapur.
“Joya, aku ingin memakan sesuatu yang berkuah hari ini.”
Joya yang berdiri dengan membuka pintu kulkas, melirik ke arah Agha
"Joya!"Suara laki-laki yang memanggil namanya membuat langkah Joya terhenti. Joya berbalik, mengarahkan pandangan matanya ke arah seorang laki-lak
Satu per satu kantung berisi kotak nasi, Joya susun di dekat tangga. “Ini pesanan yang dipinta untuk diantar ke lantai sepuluh?” tanya seorang security yang keluar dari dalam gedung.Joya menganggukkan kepalanya saat tiga orang security itu sudah berdiri di hadapannya. Joya mengangkat masing-masing satu kantung berisi kotak nasi di tangan kanan dan kirinya, sedangkan kantung-kantung yang lain dibawa oleh tiga orang security tadi. “Pak, apa kita tidak menggunakan lift?” Joya termangu ketika tiga orang security tadi mengajaknya untuk melewati tangga darurat.“Lift, digunakan hanya untuk mereka yang berkerja, dan juga para client. Jangan banyak bertanya!" sahut salah satu security dengan mengarahkan pandangan tajam ke arah Joya.
Agha mengejar Joya keluar dari ruang rapat, tangannya meraih dan menggenggam pergelangan Joya ke atas, “berikan ponselmu itu!” perintah Agha sambil melirik ke arah ponsel Joya yang bersembunyi di balik saku seragamnya.“Cobalah ambil sendiri, dan sekaligus … Cobalah lihat ke sekitar, kau akan menggali kuburanmu sendiri jika melakukannya,” jawab Joya sembari tersenyum membalas tatapan Agha.Agha melirik ke atas, dia kembali mengarahkan pandangannya kepada Joya setelah matanya menangkap beberapa buah CCTV yang ada di sekitar. “Berapa harganya? Berapa yang harus aku bayar?” tanyanya setengah berbisik.“Lima ratus ribu,” jawab Joya dengan tetap berusaha melepaskan cengkeraman tangan Agha di tangannya.
Joya bersandar di jok mobil, matanya melirik ke arah lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Joya sedikit beranjak saat suara ponsel milik Agha yang ada di sakunya berbunyi, “Lalita,” ucap Joya sembari mengangkat layar ponsel yang berdering itu ke samping Agha.“Matikan saja panggilannya,” balas Agha dengan tetap mengarahkan pandangannya ke depan.Joya melakukan apa yang Agha perintahkan. Ponsel itu kembali berdering saat Joya baru saja hendak menyimpannya kembali ke dalam saku, “dia lagi,” sambung Joya sambil menatap nama Lalita di layar ponsel.“Apa kau membutuhkan uang?”Joya membesarkan pandangannya ke arah Agha, “ap
Joya dan Agha berjalan berdampingan menuruni tangga jembatan, sesekali Agha mengangkat telapak tangannya mengusap keningnya yang banjir akan keringat. “Oi,” tukas Agha ketika Joya telah berjalan melewatinya, “bagaimana, kau akan menjelaskan tentang ponselku yang kau lempar itu?” Agha kembali bersuara sambil melirik ke arah sisa-sisa serpihan ponselnya yang telah hancur lebur di tengah jalan.Joya yang menghentikan langkah kaki karena ucapan Agha, dia hanya dapat menggigit kuat bibirnya lalu berbalik menatap Agha sebelum berjalan mendekatinya, “aku tidak memiliki uang,” ungkapnya sambil meraih ponsel miliknya yang ada di saku, “aku tahu, jika ponselku ini … Tidak akan pernah sebanding dengan ponsel milikmu. Tapi, kau bisa memilikinya jika memang aku harus menggantinya. Dan juga-”Joya menghentikan ucapann
“Berhenti di sana,” tukas Joya sembari menunjuk ke sebuah rumah kosan besar yang ada di sebelah kanan mereka.Agha melirik ke arah yang Joya tuju, dia menghentikan mobilnya di depan pagar rumah tersebut. “Terima kasih,” ucap Joya kembali ketika dia telah membuka pintu mobil.“Aku pikir, kau manusia yang tidak tahu berterima kasih,” sindir Agha, dia menoleh ke arah Joya sambil menyandarkan tubuhnya ke jok.Joya menoleh ke belakang, “apa kau pikir, aku manusia yang tidak tahu berterima kasih, Sultan? Jaga bicaramu, atau setelah kita menikah … Entah racun apa, yang akan aku berikan di makananmu,” ungkapnya seraya kembali menutup pintu mobil.
Sudah beberapa hari sejak Agha dan Joya bertemu. Tidak ada kelanjutan yang jelas tentang perjanjian mereka, bahkan mereka berdua pun melakukan aktivitas seperti tidak terjadi apa pun. “Apa ada yang ingin kalian tanyakan, anak-anak?” tanya Akbar, guru matematika sekaligus wali kelas Joya.Akbar melempar pandangan ke arah murid-muridnya yang terdiam, “baiklah, kerjakan hal. 45 untuk tugas di rumah,” seru Akbar, dia merapikan buku-buku miliknya yang ada di atas meja sebelum melenggang keluar.Joya beranjak setelah merapikan buku-bukunya ke dalam tas, “oi Joya!” Joya mengangkat pandangannya ke arah kumpulan anak perempuan yang berjalan mendekat.“Ada apa?” tanya Joya sembari mengenakan tas miliknya itu ke punggun
Joya berkali-kali mencuri pandang ke arah Agha yang masih memfokuskan matanya ke depan, “ada apa? Apa kau memerlukan sesuatu?” tanya Agha tanpa sedikit pun membuang pandangannya.“Aku selalu memikirkannya dari kemarin, berapa usiamu?” Joya balik bertanya kepadanya.“Dua puluh lima,” jawab Agha singkat, “apa itu mengganggumu?” Dia balas bertanya dengan melirik ke arah Joya yang duduk di sampingnya.Joya menggeleng pelan, “tidak. Aku hanya bertanya, karena akan terdengar aneh jika aku tidak mengetahui apa pun mengenai seseorang yang akan menjadi pasanganku,” tukas Joya yang kembali melempar pandangannya ke depan.“Apa masih jau