Share

3

Felicia melirik jam tangannya kemudian menghela nafas menyadari ini sudah tiga puluh menit ia menunggu didepan ruangan Bu Dinda yang berada di lantai dua laboratorium, dekat lab farmakologi. Karena bidang dosen itu memang tentang farmakologi. Beberapa mahasiswa lain yang tengah melakukan penelitian melewatinya dengan membawa berbagai alat dan hewan penelitian. Ada yang membawa organ- organ hewan, alat-alat dari gelas kaca mau pun sebuah baki berisi hewan penelitian yang masih hidup. Tentu baunya gak karuan. Felicia sampai mual. Padahal di lantai satu tidak terlalu tercium baunya tapi disini... astaga.

"Eh, Felicia ya?" Tanya dosen berkacamata dengan tubuh tinggi semampai itu. Dosen muda itu pun tersenyum pada Felicia yang duduk di kursi panjang depan lab farmakologi. Gadis itu langsung bangun dan menyalaminya." Maaf ya tadi makan siang dulu," ucapnya yang kemudian masuk ke ruangannya setelah membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya lebih dahulu." Ayo masuk."

"Baik, Bu." Agak canggung, Felicia memasuki ruangan sempit namun tampak nyaman itu. Ada satu set meja kerja dan bangku disana juga dua bangku lainnya didepan meja. Karpet kecil juga terdapat di sebelahnya, sepertinya biasa digunakan untuk sholat karena ada mukena dan sejadah disana. Beberapa buku dan skripsi yang telah di hard cover tertumpuk rapih di lemari kayu bertingkat.

"Silahkan duduk. Saya mau ambil dokumennya dulu." Ucap Bu Dinda mempersilahkan kemudian dosen muda itu menuju lemari kayu bertingkat, mengambil buku jurnal tebal disana. Ia kembali ke mejanya dan meletakkan buku jurnal didepan Felicia. " Kita tunggu dua orang lagi ya. Yang akan sekelompok sama kamu."

"Oh. Emang ada berapa orang, bu?" tanya Felicia, penasaran. Ia sih sudah menduga tidak akan sendirian mengerjakan proyek. Ia harap sih teman proyeknya nanti tidak masalah dengan dirinya yang sudah setahun molor kuliah.

"Sama kamu jadi tiga sih," jawab Bu Dinda sambil menatap ponselnya, membaca pesan disana." Eh tuh pada dateng."

Felicia melihat dua orang lagi masuk ke ruangan bu Dinda. Satu orang wanita dengan rambut digerai lurus warna hitam, juga kacamata yang bertengger di hidungnya semakin memperlihatkan keangkuhannya. Membuat Felicia menelan ludahnya sendiri dengan perasaan tidak enak. Tapi begitu satu mahasiswa lagi masuk, gadis itu langsung membuka mulutnya. Ingin bersuara tapi urung karena ada Bu Dinda disini.

"Bagus kalian udah dateng. Jadi kita bicarain soal penelitiannya ya. Saya udah siapin tiga judul," ucap bu Dinda yang kemudian membuka buku jurnal besarnya setelah tiga mahasiswa itu duduk didepan kursi mejanya.

Sekilas Felicia melirik kearah Jayden yang tampak serius walau kemudian pria itu melirik kearahnya juga dengan senyum meledek. Felicia ingin berdecih tapi ia urungkan lagi.

"Felic," panggil bu Dinda karena merasa mahasiswinya itu tak fokus." Kamu siap kan dengan judulnya?"

Felicia malah melirik Jayden yang lagi- lagi hanya mengedikkan bahunya.

"Kamu bagian uji toksisitas subakut tikus ya. Dan histopatologi hati," jelas bu Dinda lagi. Untung dia memang tipe dosen yang sabar walau terkadang juga tegas.

"Eh, iya bu. Saya siap," jawab Felicia dengan yakin. Kemudian gadis itu berpikir lagi. Tikus? What?

Jayden hanya geleng- geleng kepala di tempatnya melihat Felicia yang tampak sibuk sendiri.

"Jadi udah fix ya. Kalian akan pake hewan tikus dan sama- sama uji toksisitas. Kalo Jayden uji toksisitas subakut dan uji histopatologis ginjal. Felicia histopatologis hati. Dan Harumi, kamu bagian cek profil darahnya ya. Darah lengkap,"

Jadi namanya Harumi. Batin Felicia yang baru tau nama mahasiswi yang sekelompok dengannya itu. Tapi agaknya gadis itu memang angkuh. Buktinya dia sibuk sendiri aja. Jayden pun tak mengajak bicara. Pria itu malah sibuk mengkode dirinya dengan tatapan meledek.

Menyebalkan.

"Untuk pembuatan ekstrak kita akan mulai setelah seminar proposal. Jadi selama dua bulan ini kalian fokus aja ke seminar proposal ya. Dua bulan lagi jadwal pendaftaran sidang semprop. Kita harus kejar target. Apalagi kamu kan, Felic," ucap Bu Dinda sambil menatap Felicia penuh arti." Ini semester ke sepuluh kamu. Walaupun memang karena cuti kamu jadi terlambat lulus. Saya maunya kamu segera lulus biar menyusul teman- teman angkatanmu. Maksimal di semester sebelas InshaAllah kamu udah bisa lulus dan wisuda." Wanita yang baru menginjak umur tiga puluh tahun itu tersenyum tulus.

Ya. Tulus.

Felicia bisa membedakan mana senyuman tulus dan mana senyuman meremehkan. Toh Bu Dinda juga tau IPKnya dan pernah mengajarnya waktu semester awal. Memang hanya orang yang tau ceritanya sejak awal semester lah yang bisa mengerti kondisinya saat ini. Siapa sih yang mau lulus lama? Kalo gak ada hambatan?

Jika saja Ayah Felicia tidak mengalami kecelakaan lima tahun lalu, tentu ia tak akan mengalami hal seperti ini. Tapi namanya musibah, siapa yang bisa menebak dan mencegahnya? Mungkin memang sudah takdir Allah menjemput Ayahnya lebih dulu. Membuat ia dan Ibunya harus berpikir lebih keras dan bekerja tanpa mengenal waktu demi bertahan hidup. Karena saudara mereka pun tak peduli melihat kesengsaraan ia dan Ibunya. Felicia jadi enggan meminta bantuan orang lain. Meski itu saudaranya sekalipun. Ia lebih baik bekerja sendiri, dibanding menjadikan dirinya seperti pengemis saat meminta bantuan sanak saudaranya.

Ditambah Ibunya hanya anak dari panti asuhan, tak punya saudara satu pun. Hanya Ayahnya yang malah pergi lebih dulu. Sementara keluarga Ayahnya adalah keluarga terpandang. Yang sempat tak direstui pernikahannya.

Setelah membicarakan proyek dengan Bu Dinda, mereka bertiga pun keluar dari ruangan dosen muda itu.

"Jay, ke perpus yuk cari materi buat proposal penelitian." Sahut Harumi dengan nada sok ramah. Kenapa sok? Karena saat gadis itu menatap Felicia, ia seperti tak suka dengan keberadaan seniornya itu. Sepertinya dia anak konversi dari D3 yang melanjutkan jenjang ke S1.

Felicia tau dari pembicaraan dengan Bu Dinda tadi. Mungkin dia merass lebih tau segalanya karena anak konversi dan pernah melakukan penelitian untuk tugas akhirnya, makanya dia terlihat angkuh didepan Felicia yang semester tua tapi belum lulus.

"Eh, Felic. Ikut juga yuk sekalian kita ngerjain proposal kewirausahaan," ajak Jayden yang teringat tugas proposal dari bu Lastri.

"Oke deh tapi gue gak bisa lama- lama ya soalnya mau kerja part time," jawab Felicia antusias.

"Ya, terserah sih. Kalo lo nyari materinya lama ya proposal lo juga lama jadinya. Materi kita emang sama tapi Cuma di metode ya. Sisanya cari sendiri- sendiri di buku," sahut Harumi dengan nada ketus, membuat Felicia mengerutkan keningnya. Heran tiba- tiba diketusin sama anak konversi itu.

"Tenang aja. Gak harus dari buku kok. Bisa dari jurnal dan internet. Yang penting datanya valid," ucap Jayden seakan membela Felicia.

Harumi menipiskan bibirnya," Terserah kalian aja. Yang penting jangan sampe menghambat yang mau lulus cepet. Kalo lo kan ya udah keliatan lulusnya lama. Gue gak mau, apalagi Jayden yang cerdas dan mau lulus cepet. Ya kan?" ia menatap Jayden seakan minta pembelaan.

"Santai aja kali. Gue tau tanggung jawab gue kok. Toh gue lulus lama tapi IPK gue bagus. Daripada lo, udah konversi tapi udah hampir tiga tahun disini belum juga lulus," balas Felicia tak kalah tajam. Ia tau Harumi satu angkatan dengan Jayden hanya bedanya dia anak konversi dari D3.

"Beraninya lo..."

"Udah udah. Kita kan satu kelompok sekarang. Gak boleh cekcok gini. Gak baik." Jayden berusaha menengahi.

"Gue duluan aja ke perpus. Terserah kalian sih. Gue mau nyari materi dari buku aja biar skripsi gue bagus. Bukan asal- asalan buka google terus kayak pikiran kalian."

Jayden memundurkan dirinya dengan tatapan heran. Padahal Bu Dinda pun tak masalah mau cari data darimana asal valid dan bisa dipertanggung jawabkan saat sidang seminar proposal nanti.

Harumi segera berjalan dengan cepat menuju gedung perpustakaan yang berada di belakang gedung laboratorium tanpa menoleh lagi. Langkahnya pun terlihat angkuh.

"Dia kenapa sih?" Felicia tampak kesal.

"Biasa. Dikejar buru- buru lulus, soalnya udah ketuaan. Ngejar target nikah kali." Canda Jayden dengan tawa khasnya. Ia memang tidak terlalu ambil pusing.

Felicia berdecak sebal.

"Makanya lo mending diem aja gak usah ditanggepin. Kan keliatan cara orang pinter dan orang sok pinter kalo ngomong. Dia mah tipe sok pinter. Padahal mau lulus S1 udah ngabisin tujuh tahun. Lo baru lima tahun kan? Apa mau kayak dia?"

"Amit- amit." Balas Felicia dengan cepat. Lima tahun di kampus ini aja sudah cukup menyiksanya dengan pandangan buruk orang lain.

"Dia juga bisa dapet proyek ini karena mohon- mohon sama Bu Dinda kok. Padahal IPKnya gak sampe tiga." Jayden seperti mata- mata yang sedang melapor ke bosnya sekarang.

"Lo tukang ghibah ya?"

Jayden mengangkat tangannya," gue liat sendiri. Dan dia dulu tipe yang sambil kerja mulu makanya lama lulusnya. Per semester ambil SKS aja dikit. Giliran udah mau tahun ke empat gini baru deh sok mau lulus cepet. Padahal emang dia takut aja kali dapet surat peringatan dari kampus."

Felicia terdiam. Memang di kampus ini punya peraturan ketat untuk menuntut mahasiswanya lulus sebelum batas waktu. Biasanya dua belas semester. Kalo konversi biasanya delapan semester karena beban SKS lebih sedikit dibanding mahasiswa regular. Gadis itu pun jadi berpikir lagi tentang dirinya. Semoga di semester depan yang adalah semester ke sebelasnya di kampus ini, ia bisa segera sidang skripsi.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status