Share

4

Usai bekerja di cafe, Felicia kembali ke rumahnya dengan menggunakan bus transjakarta yang kebetulan haltenya tak jauh dari lokasi cafe Matching Point. Cafe tempatnya bekerja setiap selesai jam kuliah. 

Felicia langsung masuk ke dalam bus yang membawanya menuju rumahnya. Lumayan jauh memang dari halte bus ke rumahnya, sekitar dua ratus meter. Tapi transportasi ini adalah yang termurah. Sehingga ia bisa irit ongkos.

Sekitar 30 menit kemudian, Felicia sampai di halte bus terdekat dengan rumahnya. Ia pun turun dari sana dan keluar setelah tap kartu di pintu otomatis. Langkah kaki jenjangnya dengan santai berjalan menyusuri jalan besar lalu masuk ke sebuah gang. Tak jauh dari jalan masuk gang, di sebelah kanan terdapat gerbang kecil yang didalamnya sebuah bangunan kecil berdiri disana. Dengan dikelilingi pagar tanaman lalu beberapa pohon di sekelilingnya, seperti mengasingkan rumah itu dari keramaian. Walaupun rumah tetangga mereka cukup dekat, hanya berjarak sepuluh meter. 

Felicia membuka pintu pagar dari besi yang sudah penuh karat itu perlahan karena akan timbul bunyi berdecit yang cukup mengganggu telinga. Apalagi di malam hari seperti ini. Ia pun kembali melangkahkan kaki melewati halaman rumahnya yang tampak terawat. Sebagian besar halaman rumahnya masih dari tanah merah yang subur. Hanya dibuat jalan setapak menggunakan batu- batuan yang menghubungkan dari pagar ke teras rumah. 

Meski hari sudah gelap, pintu rumahnya masih terbuka sedikit. Diselingi dengan suara mesin jahit yang terdengar begitu Felicia mendekat ke pintu. Ia pun membuka pintunya perlahan, menampakkan sosok wanita paruh baya yang kini duduk di kursi meja jahitnya dengan tangan terampil mendorong kain diatasnya.

"Udah pulang, Fel?" tanya wanita itu dengan tatapan tetap fokus pada pekerjaannya.

"Udah, Mah." Felicia menghampiri wanita itu dan menyalaminya dengan sopan.

"Makan dulu sana sebelum istirahat," ucap Emili- mamahnya Felicia. 

"Mamah tidurnya jangan malem- malem." Felicia berusaha mengingatkan mamahnya yang suka lupa waktu kalo bekerja, sama seperti dirinya. "Untuk biaya penelitian mamah gak usah khawatir. Felicia dapet proyek dosen kok. Paling biaya kecil aja." 

"Oh ya? Syukurlah. Tapi mamah udah biasa kerja sampe malam. Lagian udah ada janji sama pelanggan," ucap Emili lagi, sama keras kepalanya dengan Felicia.

"Yaudah Felicia ke kamar dulu." Gadis berambut coklat itu segera masuk ke kamarnya yang cukup luas dan sederhana. Hanya ada lemari kayu usang disana, ranjang kecil juga meja belajar yang dirangkap dengan susunan make upnya yang tidak banyak. 

Felicia membaringkan tubuhnya ke atas ranjang yang cukup empuk untuk melepas lelah setelah seharian belajar dan lanjut bekerja. Gadis itu menatap langit- langit kamarnya yang dihias lampu tumblr demi mempercantik kamar sederhana ini.

Setidaknya ia dan mamahnya tidak perlu memikirkan tempat untuk berteduh lagi, karena Ayahnya telah membangunkan rumah sederhana ini dengan penghasilannya. Felicia merasa beruntung memiliki Ayah yang sangat mencintai keluarganya, sampai- sampai Allah mencintai Ayahnya lebih dalam lagi.

Tidak banyak yang Felicia harapkan. Ia hanya ingin segera lulus dan bekerja sesuai bidangnya. Ia ingin menabung demi melanjutkan kuliahnya ke apoteker lagi. Ia ingin mengangkat derajat mamahnya sehingga tidak akan ada lagi orang yang menganggap remeh keluarganya, terlebih keluarga dari ayahnya yang hingga kini menyalahkan ia dan mamahnya yang membuat ayahnya harus bekerja keras sampai mengalami kecelakaan. Padahal siapa juga yang ingin kehilangan sosok ayah dan suami di hidupnya? Meski ditukar dengan harta sebesar apapun. Keluarga adalah yang utama. 

Perlahan Felicia menutup matanya, berusaha melepas segala penat dalam kepalanya. 

Hari ini tidak ada yang istimewa walau beberapa orang menguji emosinya. Gadis itu berusaha tegar meski harus membatasi diri dari orang- orang yang berusaha menjatuhkannya. Ia hanya perlu menutup telinga dari perkataan buruk orang lain tentangnya, kedua tangannya tak akan cukup untuk menutup mulut orang- orang itu.

Semakin lama tubuhnya semakin terlelap. Sekelilingnya yang hening semakin melarutkannya dalam mimpi. Mimpi yang akan ia wujudkan dengan segala kerja keras dan jerih payah yang ia lakukan. Bahkan malam ini mungkin ia akan terbangun lagi di sepertiga malamnya. Kerutinan yang ia lakukan semenjak Ayahnya pergi. Demi mendekatkan pada Tuhan yang telah memberinya kekuatan hingga kini. Ia juga terbiasa bangun jam tiga pagi untuk mematangkan pelajaran untuk hari itu juga ditambah mengerjakan proposal kewirausahaan dan mencari materi proposal skripsi.

Segala kesibukan yang Felicia miliki setidaknya akan membuat gadis itu tak sempat memikirkan perkataan buruk orang yang tak menyukainya. Karena ia sibuk mewujudkan mimpinya sendiri.

......

Jayden menatap keluar jendela kamarnya sambil menopang dagu. Didepannya laptop masih terbuka dan menyala, menampilkan deretan jurnal yang ia download untuk melengkapi materi proposal penelitiannya. Kepalanya mulai terasa pusing karena masih terjaga hingga dini hari begini. Tapi ia enggan untuk istirahat. 

Di kepalanya terbayang wajah manis Felicia dan segala kekeraskepalaan gadis itu, apalagi kegalakan yang terang- terangan dia tunjukan padanya. Membuat Jayden tersenyum sendiri. Gadis yang menarik perhatiannya sejak awal semester. Saat ia melihatnya di taman sedang asik membaca buku sendirian. Saat itu Felicia terlihat tersisihkan dari yang lain. Namun di semester berikutnya, ia tak melihat sosok gadis itu lagi. Dari berita yang ia dengar, Felicia mengambil cuti semester. Padahal mereka sempat satu kelas, walau seingatnya gadis itu lebih tua dua tahun darinya. 

Tidak tau kenapa dan tidak mau mencari tau lebih dalam, Jayden hanya menunggu hingga gadis itu kembali di semester berikutnya. Di semester ini. Saat menjelang semester akhirnya. Ternyata gadis itu juga mulai ambil skripsi. Dan dari berita yang ia dengar, Felicia pernah cuti dua kali. Membuat Jayden mengerti kenapa di angkatannya hanya dia yang masih ambil mata kuliah semester bawah. Tak ada yang salah kan?

Bukannya sama aja seperti dirinya yang sejak awal sudah mengambil mata kuliah semester atas terus ditambah saat semester antara ia juga mengambil mata kuliah demi menyelesaikan beban SKSnya. Hingga kini ia bisa mengambil seminar proposal di semester yang masih terbilang awal. Sama- sama berjuang demi lulus, bedanya Felicia dianggap bodoh tapi ia dianggap pintar. Mereka gak tau aja sepintar apa Felicia tapi hanya menganggap gadis itu buruk tanpa tau yang sebenarnya. 

Sampai Jayden tau penyebab Felicia cuti semester sampai dua kali. Saat ia berkunjung ke sebuah kafe di pusat kota dan melihat gadis itu sedang melayani pelanggan. Itulah saat Jayden yakin soal hatinya yang mulai memiliki perasaan lebih pada senior yang bahkan tak ia kenal dengan dekat. Tapi kerinduannya sedikit terobati pasca gadis itu mengambil cuti lagi. Membuat ia tau penyebabnya dan semakin mengerti soal kehidupan Felicia, tentu tanpa Felicia tau ada yang memperhatikannya sampai sedetail ini.

Jayden mendesah pelan kemudian tersenyum kecil, ia mengetuk- ngetuk pulpen ditangannya sambil membayangkan wajah Felicia yang jarang terlihat ramah padanya. Tapi kemudian pria itu teringat saat Felicia terlihat ramah sekali pada salah satu laboran di laboratorium kampus. Entah siapa pria itu dan apa hubungannya dengan Felicia, tapi Jayden iri.

"Kenapa malah senior kayak lo yang narik perhatian gue sih? Padahal banyak senior bahkan junior yang suka sama gue." Jayden menggeleng- gelengkan kepalanya karena pikirannya yang kepedean ini." Tapi lo tenang aja, gue gak akan ganggu lo meraih mimpi lo. Gue hanya akan memantau dari jauh dan memastikan semua baik- baik aja. Karena gue tau, cinta gak akan terpikirkan sama lo saat ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status