Dokumen-dokumen Penting Terkait Mitos Oge
oleh Badan Riset & Data Vampir Koba (BRDV Koba)
1. Laporan dalam surat kabar “Jurnal Modern” oleh Nero Saputra
Vampir, makhluk yang disebut-sebut sebagai gambaran manusia abadi nan menawan serta bertaring versi Indonesia, mulai mengemuka pada tahun 2018 lampau. Oleh pecinta klenik drakula, dikatakan bahwa tampilan fisik dan kebiasaan vampir sama dengan vampir Barat, hanya saja tahan sinar matahari dan lebih kuat. Tetapi, apakah vampir Indonesia itu sebenarnya?
Vampir Indonesia yang sebenarnya tidaklah sama dengan vampir-vampir Barat kebanyakan. Pengalaman pribadi saya sebagai hasil dari menyaksikan secara langsung salah satu dari merekalah yang membuat saya menulis ini.
Vampir yang berjenis kelamin laki-laki itu tidak bersedia disebutkan namanya di sini, sebab (seperti yang vampir tsb. katakan) ia takut akan dieksekusi oleh Tetua Vampir kota tempatnya tinggal lantaran mengekspos hidup dan jati diri bangsa mereka terhadap manusia.
Sedangkan, alasan mengapa ia bersedia mengekspos jati dirinya sendiri terhadap manusia, masih menjadi misteri tersendiri bagi saya. Mungkin ia hanya ingin vampir dikenal manusia, tidak hanya sebagai mitos, melainkan juga makhluk senyata manusia? Atau karena dendam pribadi terhadap bangsanya sendiri? Atau ….
2. Laporan dalam majalah “MISTERI-a” oleh Rosa
… pengakuan diri sebagai seorang manusia serigala atau vampir bukan yang pertama kali ini terjadi di Indonesia, meskipun orang-orang ini lantas tak bisa membuktikan dengan jelas sehingga hanya dicap sebagai pembual belaka.
Pada awal berita paling panas itu sendiri, topik vampir menempati urutan pertama trending-topic di semua media sosial serta media elektronik lainnya di Indonesia selama berhari-hari. Hal ini tentu saja menjadi bahan perbincangan seru, baik di dalam maupun luar negeri. Pasalnya, tak banyak antusiasme terhadap topik mengenai mitos seperti ini. Dan bukan Indonesia namanya, jika tak ada humor yang muncul akibat suatu peristiwa. Tentu saja, banyak sekali meme, parodi, dan foto serta video-video lucu lain yang menunjukkan seolah-olah Indonesia tak pernah kehabisan topik untuk dijadikan humor, pun memperlihatkan betapa mitos vampir terdengar konyol di telinga para netizen Indonesia.
Meski begitu, ada saja orang yang dengan serius mengaku sebagai seorang vampir. Sebut saja sepasang kekasih asal Jakarta bernama Brian Andre dan Liza Fernanda, yang memposting sejumlah foto di I*******m dengan caption yang menunjukkan bahwa pengakuan mereka tidak untuk ditertawakan. Pasangan itu menjadi terkenal, tetapi pada akhirnya diketahui bahwa mereka ternyata hanyalah sepasang manusia biasa, bukan vampir.
Selain itu, laporan mengenai keberadaan para makhluk yang diklaim abadi itu (disertai foto atau video blur) mulai merebak pada tahun 2019 - 2020. Bahkan ada sejumlah orang yang mengaku pernah melihat seseorang dengan taring yang tiba-tiba menyembul keluar dari antara bibirnya. Beberapa lagi mengaku pernah menjalin kontak dengan salah satu dari bangsa vampir dan bangsa perubah-serigala, lalu mempublikasikannya di sejumlah media. Namun …
3. Laporan Pribadi Beberapa “Mata” Kepada BRDV Koba (Pesan Terenkripsi)
Mata Saoji - 01 Januari 2019
Seorang saksi mata sempat mengambil foto seorang vampir yang sedang melintas dalam keadaan Ekspos. Tidak perlu dikhawatirkan. Saksi mata mengambil gambar dalam keadaan tidak siap, dan hasil fotonya tidak jelas. Saya sudah mengaburkan sedikit memori saksi tersebut dengan Hipno-Sederhana.
Mata Dwolo - 01 April 2019
Curiga pada seorang jurnalis amatir. Sempat mengikuti beberapa manusia yang dia pikir adalah vampir dan perubah-serigala. Satu atau dua orang diantaranya bahkan benar-benar mereka. Banyak mengambil foto dengan hasil sangat jelas dan jernih. Salah satu foto memperlihatkan seorang vampir yang sedang berada di tepi hutan, mengisap darah seekor babi. Terlalu banyak bukti yang dimiliki. Terpaksa menghapus sebagian memorinya menggunakan Hipno-Darurat, dan menutupi kejanggalan tersebut dengan kecelakaan mobil. Untuk kasus para perubah bentuk, sudah lapor kepada badan yang bersangkutan. Cek, teliti, dan periksa ulang. Semua sudah beres.
Mata Tael - 01 Agustus 2019
Berusaha membuat banyak orang percaya bahwa laporan Nero Saputra cuma bualan. Sudah melenyapkan bukti-bukti yang ada. Nero menjadi gusar dan marah, tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Selalu mengawasi Nero. Tak bisa menghapus memori saksi terkait. Sepertinya Pengkhianat kita sudah memberinya perlindungan akan itu. Masih berusaha melacak dan mengejar Pengkhianat. Punya dugaan dan kecurigaan, dan masih menyelidiki vampir terkait.
—·—·—
“PENTING!”
Kepada seluruh vampir yang tinggal di Pulau Bangka Belitung, agar lebih memerhatikan dan memperketat penjagaan terhadap seisi kota. Tersangka yang dikhawatirkan, yaitu Yang Terkutuk (HS), telah berhasil kabur dari Bilik Keamanan Lorentz Papua. Dikabarkan HS sudah meninggalkan Papua dan terbang ke Bangka Belitung, untuk memburu seseorang yang dicurigai sebagai seorang wolvire.
Tetap waspada! Jika wolvire terkait sudah ditemukan, mohon untuk segera dibawa ke markas terdekat. Agar selanjutnya bisa ditempatkan ke markas pusat untuk pengamanan lebih ketat.
Tertanda,
Rokan Allegro, Pimpinan Tinggi Indonesia
IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23°C, langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka … eh, tapi ini kisah Bella pada novel Twilight, bukan kisahku.Hehe, maaf pada Stephanie Meyers karena sudah dengan kurang ajar menyalin paragraf utama novelnya. Tidak bermaksud plagiat, sungguh!Tentu saja Ibu mengantarku ke bandara … dengan ayah kandungku, bukan ayah tiri. Bandaranya tidak terletak di kota Phoenix, tapi kota Jakarta, Indonesia.Mengenai benda yang kubawa-bawa … bukan cuma sepotong parka, tapi sekoper pakaian. Lalu, sekoper lagi yang berisi sisa pakaian, buku-buku, dan benda-benda lain yang kupikir penting.Kemudian, ponsel dan seutas earphone.Apa yang diharapkan dari seorang gadis berumur delapan belas tahun sepertiku
Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya malam itu. Kudongakkan kepala dan menatap langit yang mendung. Ayunan dengan kursi bersandar yang kududuki tampak agak bergoyang saat aku membenarkan posisi duduk.Aku tengah berada di Taman Kota Koba … nama yang terpampang, sih, begitu. Tapi, kata Kakek, orang-orang lebih senang menyebutnya alun-alun. Apa pun alasannya, aku sedang tak ingin peduli dengan itu.Lantunan lagu “Jangan Menyerah” yang dibawakan D'Masiv berdentum merdu di telingaku. Namun, hanya itu saja. Aku hanya bisa mendengarkan musik itu tanpa bisa menyaksikannya dengan benar.“Ape-ape ikak ne!”Aku menoleh. Beberapa meter dariku, Kakek sedang bersenda gurau menggunakan bahasa Bangka yang tak kupahami dengan beberapa temannya. Salah satunya adalah seseorang yang sempat berteriak tak keruan di depan rumah tadi siang.Sungguh menyebalkan. Kukira benar-benar ada preman atau apa. Ternyata hanya teman Kakek yan
Saat aku berkata "terserah kalian saja", Ayah dan Ibu akan benar-benar melakukan apa pun yang mereka ingin aku lakukan. Mereka tak pernah mengerti bahwa di balik kata terserah yang kulontarkan, tersembunyi makna "aku ingin didengarkan".Namun, aku tak menyangka Kakek juga akan berlaku sama seperti Ayah dan Ibu.Seringnya aku curhat kepada Kakek lewat telepon sebelum datang ke sini, dan betapa beliau kedengaran sebal serta selalu menghiburku, aku seperti punya pemikiran bahwa Kakek tak akan tega membatasi ruang gerakku. Nyatanya, aku salah.Keesokan hari setelah malam itu, Kakek memperingatkan aku untuk tidak keluar rumah sedikit pun. Ia berangkat jam tujuh pagi untuk pergi ke sekolah sebagai seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP.Sebelum berangkat, ia dengan sangat jelas menyatakan, “Aku akan mengurus semua kebutuhan homeschooling kamu nanti. Diam saja di rumah. Kalau perlu apa-apa, beli saja lewat online. Atau kau bisa titip padaku.&rdquo
Cafe di kota kecil ini sangat berbeda dengan cafe di Jakarta. Meski begitu, tetap saja estetika tampilannya tak mengecewakan. Terutama Cafe Ananda yang kini aku—kami—singgahi.Aku menyesap es kapucino bertabur granula kecoklatan di atasnya dengan perasaan senang. Seorang pemuda merangkap vampir paruh waktu di depanku tengah menatap sekumpulan gadis-gadis bercelana pendek di seberang tempat kami duduk. Gadis-gadis yang sebagian besar mengenakan atasan minim itu cekikikan saat sadar Saga mengawasi mereka.“Yang benar saja.” Saga mendengus ke atas minuman mirip es selasih warna hijau di bawah hidungnya. “Cewek-cewek itu kira aku sedang mengagumi mereka atau bagaimana. Pakaian mereka kekurangan bahan.”Aku tertawa. “Kau ini kolot sekali, Saga. Berapa sih umurmu?”Saga cemberut. “Aku baru berumur satu tahun!”Hampir saja aku menyemburkan cairan espreso susu ke mukanya.“Jangan bila
Selama delapan belas tahun hidup, tak pernah aku merasa seberkeringat ini saat berada di dalam mobil dengan AC menyala. Telapak tanganku sangat lembab dan licin hingga meremas-remas tangan terasa begitu mudah. Aku bernapas dengan berat, seakan oksigen pelan-pelan tersedot keluar dari mobil. Kecemasan dan kekhawatiranku bertambah satu persen setiap detiknya. Aku bahkan tak berani menoleh ke kursi pengemudi di sampingku. Suasana di kendaraan pribadi ini tak lebih baik. Rasanya seolah ada bom rahasia yang siap diledakkan kapan saja. Tubuhku yang terasa dingin di dalam dan panas di luar sama sekali tak membantu. Benar-benar waktu yang tidak tepat untuk masuk angin. Untuk kesejuta kalinya dalam beberapa menit ini, hatiku meneriakkan segala jenis makian untuk Saga si vampir bodoh sepanjang masa, yang kini punya situasi hampir sama sepertiku. Setelah sisa motor Saga dinaikkan ke mobil patroli dan kami digiring masuk ke kendaraan tersebut, kami dibawa ke kantor polisi. Kami pada intinya m
Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?Apa yang salah dari menjadi hidup?Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu in
Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu t
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru