Share

Awal

IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23°C, langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka … eh, tapi ini kisah Bella pada novel Twilight, bukan kisahku.

Hehe, maaf pada Stephanie Meyers karena sudah dengan kurang ajar menyalin paragraf utama novelnya. Tidak bermaksud plagiat, sungguh!

Tentu saja Ibu mengantarku ke bandara … dengan ayah kandungku, bukan ayah tiri. Bandaranya tidak terletak di kota Phoenix, tapi kota Jakarta, Indonesia.

Mengenai benda yang kubawa-bawa … bukan cuma sepotong parka, tapi sekoper pakaian. Lalu, sekoper lagi yang berisi sisa pakaian, buku-buku, dan benda-benda lain yang kupikir penting.

Kemudian, ponsel dan seutas earphone.

Apa yang diharapkan dari seorang gadis berumur delapan belas tahun sepertiku di tahun 2021 ini? Tentu saja harus ada gadget!

Lagipula, kisahku mungkin bakal sedikit berbeda dari Isabella Swan.

Aku terbang dari Jakarta ke Bangka Belitung untuk pindah ke rumah Kakek. Bukan karena ibuku menikah lagi dan berhak menikmati hari-hari bahagianya, bukan.

Ayah mendapat tugas baru di sebuah kota terpencil (atau desa, aku tak ingat), dan Ibu terpaksa mendapat dilema karenanya. Beliau tak bisa jauh-jauh dari Ayah, tetapi juga tak mungkin bisa meninggalkanku di Jakarta seorang diri.

Kenapa begitu?

Orang tuaku selalu saja berpikir bahwa aku masih seorang bayi. Itu murni pendapatku, tapi tak ada yang salah mengenainya. Aku tak boleh bersekolah di luar, jadi, jalan keluarnya hanya satu; homeschooling.

Tidak hanya itu. Aku sangat dilarang keluar rumah sendirian tanpa didampingi salah satu orang tuaku. Aku bahkan tidak boleh bermain ke rumah tetangga atau ke toko sendirian, tak peduli apapun alasannya.

Pernah suatu kali aku membangkang. Diam-diam aku pergi ke sebuah warung kecil di dekat rumah, untuk membeli keperluan pribadi seorang wanita muda, dan sekantong makanan ringan nan menggoda.

Hasilnya? Ayahku marah besar. Ibuku sampai menangis seperti artis kacangan sehingga membuatku agak mual. Setelah itu aku tak berani lagi pergi diam-diam. Orang lain bisa-bisa mengira aku baru saja meledakkan perut buncit seseorang saat melihat bagaimana ayahku marah pada saat itu.

Ayah dan Ibu memanjakan aku semanja-manjanya dengan membelikan apapun yang aku mau. Kasih sayang mereka sungguh sangat tak terkira. Mereka bahkan memperbolehkan aku main media sosial, dengan catatan jangan melanggar norma-norma atau batasan yang ada. Dengan begitu aku tak ketinggalan berita atau trend terbaru sedikit pun dan tetap modis.

Namun, aku masih merasa seperti tahanan khusus berkebutuhan bebas. Hanya punya teman dan tetangga online … sungguh tak bisa dibayangkan.

Selama hampir delapan belas tahun tak boleh jauh-jauh dari gandengan tangan orang tua … kembali ke dilema ibuku sajalah.

Memanfaatkan kebingungan Ibu, maka, di situlah aku mulai berimprovisasi.

“Aku akan ke rumah Kakek,” usulku saat itu.

Kulihat wajah Ayah dengan heran. Ia seperti akan marah lagi. Sedangkan Ibu menarik napas tajam dan menggeleng kuat-kuat.

Ibu berkacak pinggang. “Di sana lebih berbahaya, Barbie!”

Aku merinding mendengar nama panggilan itu. Kucoba untuk menahan lidahku dari mendebat bahwa Ibu boleh memanggilku dengan Barbara, Barb, atau Bara; tapi, tidak dengan Barbie!

Alih-alih, aku malah bertanya, “Kok bisa?”

Ibu mulai berceloteh tentang kenakalan remaja yang sangat mengkhawatirkan dan betapa banyak kebun sawit serta pohon karet di Bangka Belitung—yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Ayah menambahkan dengan berlebihan bahwa banyak pelaku kriminal di sana, yang mana aku, putrinya yang berharga, tak boleh dekat-dekat dengan kota mereka.

Sungguh, perkataan mereka membuatku malu sendiri. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku minta maaf kepada pulau Bangka Belitung. Aku sering menonton acara bertema Bangka Belitung, dan pemandangan-pemandangan di sana sungguh luar biasa indah. Kakek sering mengirimkan foto-foto laut dari berbagai daerah di Bangka Belitung, dan tak mungkin aku berkata yang jelek-jelek sementara potretnya jelas sangat menakjubkan.

Mengenai kenakalan remaja dan tingkat kejahatan … kupikir tak ada bedanya dengan wilayah Indonesia yang lain. Jadi, ocehan Ayah dan Ibu benar-benar tidak berguna. Aku tak akan kaget jika mereka dipidana gara-gara menjelek-jelekkan sesuatu tanpa dasar.

“Apa kau dengar, Barbie?”

Ucapan Ibu menyadarkan lamunanku. Ayah bersedekap dengan tampang kesal. Melenceng dari kenyataan, pikiranku tiba-tiba mengocehkan betapa jahat mereka berdua, karena tidak sedikit pun mewariskan wajah menawan mereka padaku. Kutatap mereka sambil mendengus satu kali.

“Kalau begitu, aku punya satu solusi menarik.” Aku ikut bersedekap sambil menyandarkan punggung di sofa yang kududuki.

Ekspresi orang tuaku tampak waspada. Seperti anaknya ini akan minta pistol saja!

“Coba kami dengar,” kata ibuku.

Aku berdeham. “Aku ikut.”

Wajah orang tuaku waktu itu mendadak saja jadi kosong. Kupikir aku melakukan kesalahan … atau tidak?

Tiba-tiba, ponsel Ayah berdering. Setelah Ayah menjawab panggilan telepon itu dan sempat berdebat jarak jauh dengan seseorang yang tampak lebih berkuasa darinya, maka di sinilah aku; beberapa hari kemudian, beribu-ribu kaki di atas permukaan laut, mengendarai burung besi, dalam perjalanan ke rumah Kakek di Bangka Belitung.

Oh, Kebebasan! Sungguh aku menginginkanmu!

Eh … sepertinya dia tidak menginginkan aku. Sial!

—·—·—

Sekitar satu jam atau lebih kemudian, aku sudah berdiri di depan seorang lelaki berpenampilan seperti preman dengan wajah agak berkeriput. Lelaki itu tersenyum secerah langit kota Pangkalpinang setelah memasukkan koper-koperku ke dalam bagasi. Beberapa orang tampak heran dengan kami, seolah tengah menyaksikan adegan preman memalak gadis malang.

Ehem. Aku bukan gadis malang. Kubuat begitu agar kata-katanya berima, itu saja.

“Kakek!” Aku mencak-mencak pada lelaki preman itu. “Kenapa harus pakai baju seperti ini, sih?!”

Kakekku tertawa. Ia membimbingku untuk masuk ke kursi penumpang, lalu ia sendiri masuk ke kursi pengemudi dan menghidupkan mobil Toyota Avanza hitam itu.

“Aku masih berumur lima puluh satu tahun, lho,” kata kakekku berkelakar. “Masih belum tua!”

Aku memberengut saat ia mulai menjalankan mobilnya. “Belum tua … yang benar saja, Kek! Sudah tahu umur, mesti paham keadaan, dong!”

Kakekku pura-pura terluka. “Hei! Wajahku masih terlihat muda! Lihat? Kalau kau mau, aku bisa mencarikanmu nenek baru. Bagaimana?”

“KAKEK!”

Kakek tertawa keras-keras. “Aku cuma bercanda, Bara!”

Diam-diam aku tersenyum karena ia masih memanggilku dengan nama itu seperti yang sudah-sudah.

“Lagipula, aku punya alasan.” Kakek membelokkan setirnya saat melalui tikungan, lalu sekilas mengedipkan mata padaku. “Ada konser D'Masiv nanti malam, dan aku berencana untuk menontonnya. Kau mau ikut?”

Menggiurkan.

“Aku ikut. Tapi, Kek, D'Masiv bukan band musik rock atau yang sangar-sangar,” ujarku datar. “Apa hubungannya dengan band musik pop dengan pakaian preman?”

Kakekku tertawa lagi. “Tidak ada. Cuma kepengin saja. Haha.”

Aku hanya memutar-mutar bola mata tak habis pikir. Aku menguap, dan memutuskan untuk tidur saja. Kata Kakek, perjalanan dari Pangkalpinang ke kota Koba memakan waktu cukup lama. Sekitar satu jam atau lebih … atau kurang … entahlah, lagi-lagi aku tidak begitu ingat. Soalnya, aku sudah keburu tidur.

Saat akhirnya aku terbangun dengan kelopak mata lengket karena belekan, kami sudah tiba di depan rumah bercat putih satu lantai yang sederhana. Rumah itu punya halaman kecil di setiap sisi, dengan beberapa pohon dan tanaman liar yang hidup bebas di kiri-kanannya.

“Nah, selamat datang!” Kakekku tersenyum, kemudian turun dari mobil.

Kakek menyeret kedua koperku memasuki rumahnya dan aku mengikuti dengan perasaan masih mengantuk.

Bagian dalam rumah Kakek juga sama sederhananya. Terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dan satu dapur. Sofa-sofa berwarna merah terang menyakiti mataku saat kami melewati ruang tamu untuk pergi ke kamar tidurku.

Beberapa detik selanjutnya aku baru ingat kalau Kakek menyukai warna merah. Itulah kenapa alat dan perabotan hampir semuanya berwarna merah. Bahkan pigura yang membingkai fotoku saat masih kecil pun berwarna merah juga!

“Kenapa Kakek tidak mengecat rumah dan lantai dengan warna merah juga?” aku menggerutu sebal ke punggung Kakek saat melewati ruang keluarga.

Kakek membalikkan badan tiba-tiba, mengagetkanku. “Aku masih belum punya cukup waktu luang. Tapi, aku sudah membeli cat merah untuk dinding-dinding itu. Aku takut catnya mengering gara-gara terlalu lama diabaikan. Apa aku menyewa orang saja, ya? Dan untuk lantai … aku berpikir akan memesan keramik-keramik berwarna merah juga. Bagaimana menurutmu?”

Aku mendengus. Seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa tentang yang merah-merah.

Kakek membuka sebuah pintu “Ngomong-ngomong, ini kamarmu.”

Dengan ragu, aku melongok. Untunglah, warna merah tak merajai kamarku. Sepertinya Kakek tahu kalau aku lebih suka warna netral seperti hitam atau putih.

“WOI, YADI! KELUER KA!” seseorang berteriak.

Terkejut, aku menoleh pada Kakek yang tampangnya berubah datar. Kedengarannya suara itu berasal dari depan rumah.

“MEN DAK KELUER, KUDOBRAK RUMAH IKAK!”

Tanpa memahami maksud teriakan orang aneh di luar, kutatap dengan waswas saat Kakek menemuinya dengan langkah berderap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status