Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya malam itu. Kudongakkan kepala dan menatap langit yang mendung. Ayunan dengan kursi bersandar yang kududuki tampak agak bergoyang saat aku membenarkan posisi duduk.
Aku tengah berada di Taman Kota Koba … nama yang terpampang, sih, begitu. Tapi, kata Kakek, orang-orang lebih senang menyebutnya alun-alun. Apa pun alasannya, aku sedang tak ingin peduli dengan itu.
Lantunan lagu “Jangan Menyerah” yang dibawakan D'Masiv berdentum merdu di telingaku. Namun, hanya itu saja. Aku hanya bisa mendengarkan musik itu tanpa bisa menyaksikannya dengan benar.
“Ape-ape ikak ne!”
Aku menoleh. Beberapa meter dariku, Kakek sedang bersenda gurau menggunakan bahasa Bangka yang tak kupahami dengan beberapa temannya. Salah satunya adalah seseorang yang sempat berteriak tak keruan di depan rumah tadi siang.
Sungguh menyebalkan. Kukira benar-benar ada preman atau apa. Ternyata hanya teman Kakek yang mengira kakekku membawa seorang wanita panggilan dan sebangsanya. Lalu, teman Kakek itu berakhir salah tingkah saat aku cemberut lalu masuk ke kamar dengan kaki mengentak.
“Bara!”
Aku hanya melirik malas sebagai balasan untuk kakekku, yang sedang menenteng botol alkohol dan mencoba untuk menyembunyikan itu dariku.
“Jangan jauh-jauh. Kau diam di situ saja! Nanti tersesat!”
Lagi-lagi, aku menghela napas. Ternyata, Kakek sama saja dengan Ayah dan Ibu. Mereka pikir aku akan terus … selalu harus di samping mereka? Hanya boleh berinteraksi dengan orang lain melalui komunikasi online?
Aku benar-benar sudah lelah.
Saat perhatian Kakek tercurah sepenuhnya ke obrolan bersama teman-temannya, aku berdiri dan mulai mengendap-endap seperti seorang pencuri.
Aku berjalan perlahan menjauhi area khusus anak-anak itu dengan sangat waspada. Begitu yakin kalau Kakek masih anteng di sana, aku berlari tanpa benar-benar menimbulkan suara. Puji syukur kepada dewa mana saja, suara Rian D'Masiv menyamarkan langkah-langkahku.
Karena taman kanak-kanak berada di belakang panggung, maka aku terus berlari memutar hingga tiba di selarik jalan aspal kecil yang masih dalam wilayah alun-alun. Ratusan orang sudah memadati area penonton dan aku mengeluh keras-keras. Tak mungkin aku menjejalkan diri ke sana.
Aku terlampau asing di sini.
Maka, sebagai bentuk dari menghibur diri sendiri, aku keluar dari area khusus konser. Hal pertama yang kulakukan setelah itu adalah mulai menjelajahi semua stan makanan dan minuman dengan perasaan berharap.
Pertama, aku singgah di stan yang khusus menjual milkshake ice blend. Aku membeli satu dengan rasa cokelat menggunakan uang jajanku di ATM—sore tadi Kakek mengambilkannya untukku. Rencananya aku baru bisa beli ini-itu kalau Kakek mendampingi cucunya ini. Untung aku punya rencana memberontak.
Lalu kedua, aku berhenti di stan dengan banner Sosis & Sempol. Dengan semangat aku membeli sepuluh tusuk sosis sekaligus dengan ukuran besar-besar.
Ini kebahagiaan!
Kalau boleh jujur, aku sebenarnya agak-agak gugup. Ini pertama kalinya aku pergi ke keramaian seorang diri—benar-benar sendiri!—setelah sekian lama.
Lega rasanya.
Setelah itu, aku hanya melewati stan-stan lain sambil menikmati sosis telur bersaus pedas dengan perasaan santai. Ada stan khusus anak-anak, warung bakso dan mie ayam dadakan, stan kacang rebus, stan merchandise D'Masiv, stan permen kapas, dan stan-stan lain yang membuat jalanan di luar alun-alun jadi sangat padat oleh manusia yang berjejalan.
Beberapa menit telah berlalu, maka aku memutuskan untuk kembali. Aku sedang tak ingin diceramahi oleh Kakek sekali pun.
—·—·—
“Ikak ni diem-diem nek nyari' tunang ka yang selingkuh, ok?”
Aku terkejut dan menoleh pada orang kurang ajar yang membuat jantungku hampir berakhir. Setelah memastikan Kakek masih saja mengobrol dengan teman-temannya—kini sambil duduk bersila di atas tanah—aku kembali menoleh ke samping dan melotot.
“Aku tidak bisa bahasa Bangka!” kataku ketus.
Kucoba untuk mengabaikan kata "selingkuh" yang terdengar sama maknanya jika diartikan dalam bahasa Indonesia.
Mata pemuda kurang ajar itu membulat. Ia mengangguk-angguk seakan cepat paham.
“Oh, kau baru pindah ke sini, ya?” pemuda itu berkata penasaran dengan suara agak keras, meningkahi suara artis bernyanyi di samping kami. Keningnya berkerut. “Kau dari mana?”
Giliran keningku yang berkerut. Kutelaah penampilannya. Ia memakai jaket denim biru dengan kaos putih, serta celana jeans dan sepatu kasual warna hitam. Rambutnya yang berpotongan pendek berwarna sehitam iris matanya. Wajah anak itu lumayan oke, tapi ekspresinya seperti bocah bodoh.
Sudah jelas yang namanya bocah bodoh itu tidak berbahaya.
“Aku dari Jakarta,” kujawab dengan singkat.
“Aku punya teman di sana.” Pemuda itu memberitahu.
“Aku tidak tanya,” sahutku datar.
Ia mengendus udara setidaknya dua kali sebelum kemudian mengoceh asal-asalan. “Kau ini apa, sih? Vampir atau perubah-serigala? Aku benar-benar tak bisa membedakannya. Kenapa bisa begitu? Kau pakai apa biar bisa mengacaukan aroma tubuh seperti itu?”
Setelah sempat kaget sebentar, kujaga ekspresiku agar tetap datar dan terkesan tidak peduli. Diam-diam kuputuskan, pemuda di depanku ini tidak bodoh; hanya idiot kelas berat.
“Oh, ya, kenalkan!” Pemuda itu menyodorkan tangannya. Kujabat ia dengan agak waswas. “Namaku Saga. Saga Adrian. Kau?”
“Bara.”
Kulepas jabatan tangannya, lalu beranjak meninggalkan pemuda sinting itu.
“Eh, tunggu!”
Aku menoleh. “Apa lagi?”
“Aku serius! Kau ini vampir atau perubah-serigala, sih? Beritahu saja. Aku mau jadi temanmu, kok!”
Aku menggeram. Dia mau, aku tidak mau, kataku dalam hati. Untung saja aku tidak punya cukup jam terbang untuk mengumpati seseorang secara langsung.
“Dengar, Saga.” Hampir saja kumuntahkan kembali nama itu dari mulutku. Namanya bagus, otaknya tidak. “Aku tak tahu apa masalahmu, tapi berhenti mengatakan yang tidak-tidak! Vampir atau perubah-serigala … topik viral itu sudah tenggelam bertahun-tahun lalu! Masa kau masih memikirkannya, sih?”
Saga mengerutkan kening gusar. Ia tampak luar biasa heran. Kuanggap itu sebagai pertanda bahwa otaknya memang rada bergeser.
“Kau ingin berkata bahwa kau tidak tahu siapa dirimu?” ujar Saga keheranan.
Sial. Sampai kapan ini akan berlanjut?!
Aku berkacak pinggang, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan sabar.
“Saga yang Tampan—” pemuda itu langsung tersipu, “—aku tahu siapa diriku ini, percayalah. Apa pun yang kau pikirkan, pikirkan saja sendiri. Itu urusanmu. Tapi, jangan seret aku ke dalam kegil—”
“BARBARA!”
Tak pernah kudengar Kakek memanggilki seperti itu kecuali sedang marah.
Mencoba melemaskan tubuh dari kebekuan yang melanda tiba-tiba, aku menurunkan tanganku dan membalikkan badan seperti robot. Ada yang salah dengan persendianku.
“Halo, Kakek.” Cicitanku ditenggelamkan suara Rian D'Masiv yang manis.
Leher dan punggungku mulai panas. Tanda-tanda akan terkena azab duniawi sebentar lagi.
“Mau kemana kau?” bentak Kakek, tapi, matanya melotot ke arah Saga.
“Eh, tidak ke mana-mana, kok,” jawabku cepat. “Aku cuma jalan-jalan di sekitar sini, dan tidak sengaja bertemu dia.”
Aku tersenyum gugup. Ingin rasanya aku memberi kode lewat tatapan agar Saga bisa menyamai kebohonganku, tapi urung kalau mengingat bagaimana pikirannya berjalan.
“Tidak usah berbohong!”
Aku terperanjat. Ya ampun. Deteksi Kebohongan yang dimiliki Ayah ternyata diwarisinya dari orang tua ini. Kuputuskan untuk diam saja sambil menunggu Kakek menggiringku pulang.
KEMANA KEBERANIANKU YANG AGUNG?!
“Dan kau!” Jari telunjuk Kakek secara mengejutkan menusuk dada Saga dengan geram. “Jauhi Barbara!”
Tampang Saga berubah kesal. “Keluargamu membiarkan dia ti—”
“DIAM!”
Ekspresi Saga tidak berubah. Ia tetap kesal. Aku hanya bisa menatap keduanya dengan bingung. Kakek sepertinya sudah kenal Saga.
“Pikirkan urusanmu sendiri! Jangan urusi orang lain!” tukas Kakek marah.
Hatiku bersorak karena kata-katanya hampir sama denganku beberapa saat yang lalu. Sudah jelas Saga memang tidak beres. Kakek saja sampai berpikiran begitu.
Kakek menggamit lenganku, dan kami pulang saat itu juga. Lebih cepat dari yang seharusnya.
Di perjalanan, aku cuma bisa diam sambil mengawasi hutan-hutan kecil di seberang jalan. Kakek masih tampak marah.
Sesungguhnya, aku tak pernah benar-benar tahu apa yang membuat Kakek dan orang tuaku semarah itu. Ada apa dengan Barbara dan kebebasannya?
Sialan!
“Aku menyerah, Kek,” kataku pelan.
Kakek menghentikan mobilnya di tepi jalan, membiarkan mobilnya tetap hidup.
“Apa maksudmu?” sahut Kakek datar. Matanya mengawasi motor dan mobil yang hilir mudik.
Aku menggertakkan gigi. “Ayah dan Ibu tak pernah benar-benar memberiku alasan yang cukup masuk akal. Kuharap kau bisa.”
“Tentang apa?” Suara datar itu lagi.
Ingin rasanya aku berteriak kuat-kuat di samping lubang telinga Kakek.
Alih-alih, aku hanya menjawab di antara sela-sela gigi yang masih kugertakkan. “Tentang kebebasanku seperti anak-anak normal yang lain. Kenapa aku dibatasi? Aku ini tahanan negara atau apa?”
Kakek menghela napas berat. Ia masih tak mau menatapku.
Kakekku memulai. “Kau hanya tak boleh kelu—”
“Hanya?! Apanya yang hanya?” potongku pedas.
Kakek memijit pangkal hidungnya seakan sedang lelah. “Orang tuamu sudah berusaha mengabulkan semua permintaanmu, Bara. Tolonglah hargai permintaan mereka juga.”
Aku meradang. Aku sudah cukup sabar selama belasan tahun ini. Aku tak mau jadi tahanan keluarga lebih lama lagi.
“Berikan aku alasan yang LOGIS, Kakek! Mengapa itu saja dipersulit?!”
“Karena alasan itu hanya akan membunuhmu!” Kakek berteriak. Matanya menyala-nyala oleh kemarahan saat ia akhirnya menatapku. “Tak ada dari kami yag menginginkanmu mati begitu saja!”
Aku tertawa seperti orang gila. Mataku mulai basah.
Aku berhenti tertawa. “Batasi aku beberapa bulan lagi, Kek, dan aku akan lebih cepat mati.”
“Jaga bicaramu!” bentak Kakek.
Air mataku meleleh.
“Orang tetap akan mati suatu hari nanti!” teriakku. “Apa dengan mengawasiku tiap detik lantas bisa membuat Tuhan membatalkan kematianku?!”
“Kau tetap akan mati, Bara, tapi dengan cara yang normal.” Kakek menggeram. “Bukan dengan cara … cara lain!”
Kuhapus air mataku dengan kasar. Aku tertawa dan mendengus. Tahu percakapan ini tak akan membawa kami ke mana-mana.
“Terserah kalian sajalah, Kek. Terserah kalian saja.”
Saat aku berkata "terserah kalian saja", Ayah dan Ibu akan benar-benar melakukan apa pun yang mereka ingin aku lakukan. Mereka tak pernah mengerti bahwa di balik kata terserah yang kulontarkan, tersembunyi makna "aku ingin didengarkan".Namun, aku tak menyangka Kakek juga akan berlaku sama seperti Ayah dan Ibu.Seringnya aku curhat kepada Kakek lewat telepon sebelum datang ke sini, dan betapa beliau kedengaran sebal serta selalu menghiburku, aku seperti punya pemikiran bahwa Kakek tak akan tega membatasi ruang gerakku. Nyatanya, aku salah.Keesokan hari setelah malam itu, Kakek memperingatkan aku untuk tidak keluar rumah sedikit pun. Ia berangkat jam tujuh pagi untuk pergi ke sekolah sebagai seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP.Sebelum berangkat, ia dengan sangat jelas menyatakan, “Aku akan mengurus semua kebutuhan homeschooling kamu nanti. Diam saja di rumah. Kalau perlu apa-apa, beli saja lewat online. Atau kau bisa titip padaku.&rdquo
Cafe di kota kecil ini sangat berbeda dengan cafe di Jakarta. Meski begitu, tetap saja estetika tampilannya tak mengecewakan. Terutama Cafe Ananda yang kini aku—kami—singgahi.Aku menyesap es kapucino bertabur granula kecoklatan di atasnya dengan perasaan senang. Seorang pemuda merangkap vampir paruh waktu di depanku tengah menatap sekumpulan gadis-gadis bercelana pendek di seberang tempat kami duduk. Gadis-gadis yang sebagian besar mengenakan atasan minim itu cekikikan saat sadar Saga mengawasi mereka.“Yang benar saja.” Saga mendengus ke atas minuman mirip es selasih warna hijau di bawah hidungnya. “Cewek-cewek itu kira aku sedang mengagumi mereka atau bagaimana. Pakaian mereka kekurangan bahan.”Aku tertawa. “Kau ini kolot sekali, Saga. Berapa sih umurmu?”Saga cemberut. “Aku baru berumur satu tahun!”Hampir saja aku menyemburkan cairan espreso susu ke mukanya.“Jangan bila
Selama delapan belas tahun hidup, tak pernah aku merasa seberkeringat ini saat berada di dalam mobil dengan AC menyala. Telapak tanganku sangat lembab dan licin hingga meremas-remas tangan terasa begitu mudah. Aku bernapas dengan berat, seakan oksigen pelan-pelan tersedot keluar dari mobil. Kecemasan dan kekhawatiranku bertambah satu persen setiap detiknya. Aku bahkan tak berani menoleh ke kursi pengemudi di sampingku. Suasana di kendaraan pribadi ini tak lebih baik. Rasanya seolah ada bom rahasia yang siap diledakkan kapan saja. Tubuhku yang terasa dingin di dalam dan panas di luar sama sekali tak membantu. Benar-benar waktu yang tidak tepat untuk masuk angin. Untuk kesejuta kalinya dalam beberapa menit ini, hatiku meneriakkan segala jenis makian untuk Saga si vampir bodoh sepanjang masa, yang kini punya situasi hampir sama sepertiku. Setelah sisa motor Saga dinaikkan ke mobil patroli dan kami digiring masuk ke kendaraan tersebut, kami dibawa ke kantor polisi. Kami pada intinya m
Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?Apa yang salah dari menjadi hidup?Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu in
Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu t
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru
Serigala itu menerkamku hingga tubuhku jatuh dan terhempas ke lantai hutan. Namun, cuma itu. Serigala itu mendengking senang dan segera menyingkir dari hadapanku seraya melompat-lompat kecil seperti anak anjing. Seandainya aku punya riwayat penyakit jantung, aku pasti sudah bertemu malaikat tampan yang siap menghukumku di neraka. Kutatap Justin dari bawah. “Apa-apaan itu tadi?!” Aku berdiri dalam satu helaan ringan. Namun, hal selanjutnya yang terjadi membuatku menyesal telah berdiri. Aku berharap masih terkapar di tanah. Kalau bisa pingsan sekalian. Serigala hitam di hadapanku menguap seperti kabut kelabu tebal di pagi hari yang dingin. Tak sampai lima detik, serigala berkabut itu digantikan dengan sesosok pemuda lain sebaya Justin yang berdiri sambil berkacak pinggang. Ia cengar-cengir memandang Justin dan aku. Aku bisa dibilang telah menampar otot lengan Justin dan membuat telapak tanganku panas sendiri. “Dia siapa?” bisikku pada Justin. “Dia cuma sulap, 'kan?” Justin menatap
Baru sekitar seratus lima puluh meter kami memelesat, Justin dan David berhenti di sebuah bukaan sempit dengan pohon-pohon tinggi yang melingkarinya. Sepatuku menginjak permukaan tanah yang lebih lembap dari tempat kami semula.“Mau apa kita berhenti di sini?” tanyaku heran.Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi David merogoh sebuah lubang di antara semak-semak. Aku takut pemuda itu terpatuk ular, tapi saat David mengeluarkan tangannya, tak ada apa pun yang terjadi.Justin menggamit tanganku dan kami bertiga mundur ke salah satu sisi pohon. Sedetik kemudian, bukaan bundar di hadapanku ambrol ke bawah tanah. Aku terkejut dan tersurut mundur lebih jauh.“Come in.”David melompat ke lubang bundar gelap itu tanpa ragu sedikit pun.Aku mencengkeram lengan Justin. “Apa maksudnya, ‘come in’?”Justin melepas cengkeraman tanganku dan beralih menggenggamnya.“Hitungan ketiga, kita lompa