Share

Kebenaran

Selama delapan belas tahun hidup, tak pernah aku merasa seberkeringat ini saat berada di dalam mobil dengan AC menyala. Telapak tanganku sangat lembab dan licin hingga meremas-remas tangan terasa begitu mudah.

Aku bernapas dengan berat, seakan oksigen pelan-pelan tersedot keluar dari mobil. Kecemasan dan kekhawatiranku bertambah satu persen setiap detiknya. Aku bahkan tak berani menoleh ke kursi pengemudi di sampingku.

Suasana di kendaraan pribadi ini tak lebih baik. Rasanya seolah ada bom rahasia yang siap diledakkan kapan saja. Tubuhku yang terasa dingin di dalam dan panas di luar sama sekali tak membantu.

Benar-benar waktu yang tidak tepat untuk masuk angin.

Untuk kesejuta kalinya dalam beberapa menit ini, hatiku meneriakkan segala jenis makian untuk Saga si vampir bodoh sepanjang masa, yang kini punya situasi hampir sama sepertiku.

Setelah sisa motor Saga dinaikkan ke mobil patroli dan kami digiring masuk ke kendaraan tersebut, kami dibawa ke kantor polisi. Kami pada intinya mendapat ceramah ekstra dari para penegak hukum berseragam abu-abu itu.

Tentu saja, itu bukan yang terburuk.

Setelah diinterogasi dan diperiksa, ternyata motor yang dikendarai Saga bukanlah milik dia ataupun salah satu anggota keluarganya. Melainkan, milik salah satu teman Saga.

Di situlah cikal bakal sumbu dinamit diciptakan.

Para polisi memaksa kami untuk memanggil orang tua atau wali kami untuk segera datang ke kantor polisi. Teman Saga sang pemilik motor juga dipanggil.

Parahnya, sejak datang sampai kemudian pulang, ekspresi kakekku tak berubah sama sekali.

Datar.

Lagi-lagi, itu bukan satu-satunya yang mengganguku. Ketika Kakek turun dari mobil dan memasuki kantor polisi, serta kemudian menyadari siapa saja yang berada di ruangan itu, Kakek tiba-tiba membeku selama kira-kira tiga detik.

Saat itu, Kakek menatap orang tua angkat Saga yang memiliki kulit gelap dengan mata menyipit. “Keluarga Adrian, huh? Kuharap putra kalian tidak mengatakan yang tidak-tidak pada cucuku.”

Aku cuma memandang mereka dengan bingung. Aku ingin bertanya pada Saga, tapi ia sedang menunduk di samping ayahnya dan sama sekali tak menoleh ke arahku.

“Tenang saja, Pak Yadi.” Pak Adrian waktu itu menyahut dengan nada dingin. “Kalaupun Saga mengatakan sesuatu, itu pastilah kenyataan. Bukan ilusi yang dipaksakan.”

Perkataannya membuatku merinding. Tiba-tiba aku merasa waswas. Aku takut tebakanku tentang apa yang mereka bicarakan menjadi cocok.

Duniaku selangkah lebih tidak masuk akal.

Setelah mendapat teguran dan sangsi di sana-sini, kami semua diperbolehkan pulang. Kakek berderap memasuki mobilnya dan aku mengikuti sambil berlari-lari kecil. Ia bahkan tak menoleh atau melirik keluarga Adrian lagi.

Dan di sinilah aku sekarang, beberapa menit kemudian, dalam mobil yang terasa pengap padahal sebenarnya tidak.

Begitu tiba di rumah, aku langsung memegang pintu mobil; bermaksud untuk membukanya dan keluar. Namun, suara dingin Kakek menghentikan aksiku selama sekejap.

“Orang tuamu akan terbang kemari malam ini dan akan sampai di sini besok pagi. Sebelum mereka menjejakkan kaki di lantai rumah ini, kau tak boleh keluar rumah. Sedikit pun.”

Aku gemetar. Kugigit bibir bawahku dengan senewen.

Aku baru saja membuka mulut untuk berbicara, tapi Kakek menduluiku. “Mereka dan aku akan menjelaskan padamu. Semuanya. Sekarang, masuklah!”

Aku keluar dengan kaki yang hampir menjadi jeli dan tak sengaja menutup pintu mobil agak keras. Aku berlari hingga sampai ke kamarku dan menutup pintunya hingga berdebam. Jantungku berpacu. Kupejamkan mata sambil mengatur napasku pelan-pelan.

Aku berjalan perlahan ke tempat tidur, lalu duduk di sana dengan perasaan tegang. Kuambil ponsel dari saku dengan jari gemetar.

Saat di cafe bersama Saga tadi, kami sudah bertukar nomor ponsel. Kami memutuskan untuk saling mengabari jikalau ada hal penting menyangkut dunia kevampiran yang aku harus tahu.

Dalam hal ini, Saga harus ikut tahu perkembangan usaha kami berdua dalam menguak misteri terbelenggunya Barbara sang Tahanan Keluarga.

Meski aku tak merasa kami sudah berusaha untuk itu.

Pada nada dering keempat, telepon diangkat. Saga menyapa dari seberang sana dengan suara pelan.

(Ada apa?) Saga bertanya curiga.

Tanganku masih gemetar, jadi kucengkeram pinggiran kasur kuat-kuat.

“Orang tuaku akan terbang ke Bangka malam ini,” bisikku tegang.

(Untuk apa tepatnya?) Saga ikut-ikutan tegang.

Aku menggigit bibir bawahku lagi. “Kakekku bilang … dia bilang mereka semua akan mengatakan padaku … semuanya.”

(Itu bagus, dong!) Saga berseru tertahan.

Harusnya aku berseri-seri atau apa, tapi malah tegang terus-menerus. Masalahnya ini bukan tentang mereka akan memberiku kejutan ulang tahun dan sebagainya. Aku sudah menunggu-nunggu kejujuran mereka selama hampir satu setengah dekade ini selama hidupku.

Aku tak tahu apa lagi yang akan kuobrolkan dengan Saga di tengah adrenalin yang tak ada hubungannya dengan kematian ini. Jadi, kututup telepon dengan ucapan "sampai jumpa nanti", dan Saga membalasnya dengan "kabari aku nanti".

Sudah kuputuskan untuk menjadikan si bodoh Saga menjadi sahabat nyataku. Mungkin terlalu cepat, tapi ia sudah dengan baik hati membuka mataku akan kehidupan lain selain manusia.

Juga, ia sudah membantuku—paling tidak mencoba—untuk memberitahu siapa aku sebenarnya.

Aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar bukan manusia biasa.

Siapa aku ini?

Malam itu aku tak bisa tidur. Tengah malam perutku jadi mual dan perih. Aku mengendap-endap keluar dari kamar menuju dapur. Karena seharian tadi aku tak memasak apa pun—awalnya sebagai bentuk pemberontakan karena perlakuan Kakek kepadaku—maka, aku memutuskan untuk memasak mie instan dengan telur.

Mie telur … itu keahlianku yang paling utama dalam hal masak-memasak. Kurang dari sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk lesehan di depan meja ruang keluarga.

Kunyalakan televisi dan mengganti salurannya ke acara yang menayangkan film Hollywood lawas. Aku mengecilkan volumenya, lantas mulai mengaduk mie instan yang sudah kuberi saus, kecap, dan tambahan cabai bubuk sensasional, BonCabe.

Selanjutnya, aku menonton film dengan perasaan lebih tenang sambil mencoba untuk tidak membakar lidahku sendiri dengan kuah panas.

Kakek tidak keluar dari kamarnya, jadi kuasumsikan dia tak masalah dan mungkin saja ia sudah tertidur. Atau malah diam-diam mengawasiku dari celah lubang kunci kamarnya.

Pukul satu dini hari, dengan perut yang tak lagi berteriak minta makan, aku mematikan televisi dan mencuci mangkukku.

Setelahnya, aku jadi mengantuk. Maka, kuputuskan untuk tidur sambil menunggu kedatangan orang tuaku.

Dini hari itu aku memimpikan Saga si vampir menjadi salah satu aktor di drama Vampire Diaries.

—·—·—

“Barbara!”

Cahaya matahari mengintip dari celah ventilasi di atas jendelaku. Suara ketukan di pintu membangunkanku. Aku meregangkan badan seperti kucing malas. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit.

“Sebentar!” sahutku dengan suara serak.

Ketukan tak lagi terdengar, tapi karenanya aku jadi membeku. Aku menoleh cepat ke arah pintu itu. Tak salah lagi, yang tadi itu suara ibuku!

Aku bangkit tergesa-gesa dan berlari ke kamar mandi yang terhubung dengan kamarku. Aku mandi secepat yang kubisa dengan jantung yang kembali berdegup kencang.

Hatiku kembali pada perasaan penuh antisipasi.

Setelah kira-kira lima belas menit, aku sudah berdiri menggunakan pakaian kasual dan sapuan bedak sederhana. Tak lupa aku memakai lip balm rasa ceri. Rambut panjangku yang agak keriting masih setengah basah. Namun, aku tak punya waktu untuk mengeringkannya menggunakan hair dryer.

Merasa seolah-olah akan berkencan saja sudah cukup memalukan tanpa harus memaksimalkan hal tersebut.

Aku menarik napas panjang dan membuka pintu kamarku.

Wajah Ayah, Ibu, dan Kakek langsung memenuhi jarak pandangku di ruang keluarga yang berada di depan kamar tidur. Hatiku agak mencelus. Aku mengambil tempat di sofa single dengan diiringi tatapan tajam ketiganya.

Aku berdeham-deham. “Hai, Yah. Bu.”

Ayahku bersedekap. “Apa yang kau lakukan kemarin?”

Aku menatap Ayah dengan bingung. Kukira Kakek sudah memberitahunya tentang ini!

“Aku pergi minum kopi ke cafe bersama Saga!” Suaraku mendadak ketus. Aku takut mereka menjatuhkan angan-anganku yang sebenarnya.

Ibuku menghela napas. Sorot tajam matanya melembut. “Barbie, soal telepon kemarin, kau tidak sungguh-sungguh, 'kan? Saga pasti melakukan semacam trik agar kau mempercayainya.”

“Trik.” Nada suaraku datar. Kuikuti gaya Ayah; bersedekap. “Kalau memang trik, kenapa kalian harus bersusah payah datang kemari?”

Wajah ayahku berubah marah. “Apa kau ingin mati, Bara?! Kami mencoba dengan segenap hati kami agar kau tetap hidup! Kenapa kau harus—”

“—melanggar kesepakatan?” sambungku dingin. “Aku tak tahu apa motif kalian, sungguh. Tapi, Ayah, aku sudah tak tahan lagi. Hentikan masa batasan ini. Aku bukan anak kecil lagi, demi Tuhan! Sampai kapan kalian akan terus begini?”

Mereka terdiam, tapi Ayah dan Kakek masih tampak marah.

“Barbie …,” ibuku memulai.

“Berhenti, Ibu, berhenti,” kataku tega. “Katakan padaku, apakah benar aku bukan manusia?”

Mereka semua kini membeku.

“Katakan padaku!” teriakku frustrasi. “Bilang padaku kalau itu cuma fiksi!”

“Kau bukan anak kami.”

Perkataan Ayah menamparku. Aku tertawa ragu, kemudian terdiam. Menunggu penjelasannya lebih lanjut.

“Bara, kau bukan anak kami.” Ayah mengulang. “Kami berdua vampir.”

Jantungku tak bisa lebih kuat lagi berdetak dari ini. Kutatap Ayah dan Ibu dengan nanar. Tatapanku beralih ke Kakek.

“Aku kakekmu, Bara. Seratus persen.” Kakek mengkonfirmasi dengan suara lelah.

Bibirku hampir bergetar. “A-Apa aku manusia biasa, kalau begitu? Apa aku harus diubah seperti … seperti Saga?”

Ayah menatap langit-langit dengan hampa. Mata Ibu berkaca-kaca … apa vampir bisa menangis?

“Barbara, kau bukan manusia biasa,” ujar ibuku sedih. Hatiku mencelus lagi. “Tolong tetaplah anggap kami sebagai orang tuamu. Kami menyayangimu lebih dari sekadar tanggung jawab yang diberikan pada kami.”

Air mataku sudah menetes satu kali, tapi keningku lantas berkerut.

“Tanggung jawab?” tanyaku tak mengerti.

Ayah akhirnya menunduk menatapku. Ia menghela napas. “Ya, Bara. Tanggung jawab. Orang tua kandungmu sendiri yang menyerahkanmu pada kami. Mereka meminta kami untuk menjagamu.”

Aku masih tak mengerti.

Kakek membuka suara. “Orang tuamu mati terbunuh, Bara. Pembunuh mereka sudah mengincarmu sejak kau lahir di dunia ini.”

Hatiku mulai kacau lagi. “Kenapa?”

Kakekku tak sanggup menjawab. Namun, Ayah mengambil alih menjawab pertanyaanku.

“Orang tua kandungmu … ayahmu seorang vampir, dan ibumu seorang perubah-serigala. Kau adalah wolvire, seorang vampir-serigala. Namun, itu tak begitu penting.”

Buatku, itu sangat penting dan mengejutkan. Namun, seperti kata ayah angkatku, itu bukan bagian terpenting.

“Kau punya titisan darah dewa, Bara. Kau punya darah suci. Semua makhluk abadi menginginkan darah itu. Kami sekuat tenaga membuatmu hidup seperti manusia biasa dengan membatasi gerakmu, agar kau dan musuh-musuh di luar sana tak menyadari siapa dirimu. Kalau tidak, hidupmu taruhannya.”

Yang hampir menjelaskan perlakuan orang tua angkatku selama ini padaku.

Aku bukan vampir, bukan pula perubah-serigala.

Aku keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status