Share

Bersembunyi

Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.

Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.

Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.

“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”

Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.

Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu terus berkelebat hingga tiba di sebuah hutan yang lumayan lebat. Aku tak begitu tahu persisnya di kota mana. Entah tetap Koba atau bukan.

Sesungguhnya, aku tak begitu peduli. Aku lebih memfokuskan diri dalam angan-angan hampa, yang membuatku merindukan masa-masa indah bersama Kakek dan orang tua (angkat)ku saat aku belum tahu apa-apa tentang vampir.

Leherku terganjal lagi. Rasa sesal masih menggayuti hatiku. Seandainya aku tak macam-macam dengan urusan vampir … seandainya Ayah tak mendapat tugas kerja di luar kota … seandainya, seandainya; terus itu yang kupikirkan.

Kupeluk erat-erat dahan yang tengah kurengkuh seperti seorang kekasih. Aku menggigit bibir; kebiasaan baru sejak otakku terinvasi vampir.

Setetes air mata jatuh ke celana pensil hitamku. Tangisku berhenti mendadak saat pandangan tertumbuk ke lenganku sendiri.

Kardigan merah.

Aku menangis lagi. Warna kesukaan Kakek. Aku memakai pakaian hampir seperti orang bingung. Tanpa sadar memakai sesuatu yang mengingatkanku akan Kakek.

Demi Tuhan, kakekku masih hidup! Kenapa aku harus begini menyiksa diri sendiri? Tak bisakah aku berpikir positif dan setidaknya berharap Ayah dan Kakek akan datang kemari? Memelukku? Memberiku kesempatan meminta maaf karena terlalu lancang membuka rahasiaku yang berbahaya?

Sudah dua minggu aku dan Ibu bersembunyi di hutan ini, selama itu pula kami belum mendapat kabar dari Ayah dan Kakek. Ibu membuang ponsel kami berdua di sebuah sungai saat kami masih berkelebat di jalanan. Sebagian orang tampak bingung karena ada angin lewat di tengah jalan dan terlihat aneh.

Namun, bukan para penonton angin aneh yang kukhawatirkan. Melainkan ponselku; aku tak akan bisa menghubungi Ayah atau Kakek lagi.

Aku sempat memprotes, tapi lantas Ibu menjelaskan bahwa akan berbahaya jika tetap mempertahankan ponsel-ponsel itu.

“Kita 'kan tinggal menonaktifkannya saja!” protesku saat itu.

“Ini dunia modern!” bentak Ibu. “Siapa yang tahu kalau ponsel mati pun masih bisa disadap?!”

Selanjutnya aku hanya terdiam saat Ibu sempat menyuruhku bersembunyi sebentar dan kembali dengan kantong-kantong besar berisi makanan dan selimut. Apa yang Ibu katakan tentang ponsel terdengar masuk akal, dan aku membenci kebenaran di dalamnya.

Kini, bertengger di atas pohon dan memeluk salah satu dahannya seperti seekor ular sawa, aku hampir terlihat seperti gadis menyedihkan yang sedang menantikan kepulangan sang pangeran dari medan perang ….

Kuakui, itu agak berlebihan.

“Barbara!”

Seruan ibuku terdengar ditahan-tahan; ia takut ada vampir atau perubah-bentuk—jenis makhluk yang belum pernah kulihat—tak dikenal yang bisa saja mendengarnya.

Aku segera meloncat turun dengan satu lompatan sempurna … hanya saja tidak dengan keseimbanganku. Aku hampir membuat diriku sendiri keseleo.

“Iya, aku di sini!” sahutku agak keras.

Aku berkelebat ke arah Ibu memanggil. Sensasi lari secepat bersinan orang membuatku merasa hampir melayang dari tanah. Saat kutanyakan pada Ibu kenapa dulu lariku masih senormal manusia, ia bilang itu karena Segel Varsan yang menahannya. Namun, cuma itu. Ibu menolak menjelaskan bagaimana segel itu bisa ada di tubuhku sementara aku sama sekali tak menyadarinya.

Yang bisa kupikirkan hanyalah segel di perut Naruto. Sayang sekali, tak ada gambar segel apa-apa di perut atau punggungku.

“Ada apa, Bu?” Aku bertanya begitu tiba di tempat Ibu menunggu.

Ibuku sudah mengumpulkan dua ikat kayu bakar, dan menggendong salah satunya di punggung beliau.

“Oh, maafkan aku,” kataku dengan sikap bersalah. “Aku tak tahu Ibu sedang mencari kayu bakar. Biar kubantu bawakan.”

Kuangkat seikat besar kayu bakar itu naik ke punggungku. Aku mendengus. Ini sudah beberapa kalinya aku memanggul kayu bakar, tapi tetap saja masih merasa sedikit aneh.

Bukan karena tak pernah—meski itu tak salah—tapi, lebih karena aku mengira seorang vampir sepertiku pasti punya kekuatan di atas manusia. Kukira itu akan semudah manusia membopong sekantong kapas. Ternyata, beratnya sama saja.

Suatu hari ibuku pernah berkata, “Kau merasa begitu karena kau separuh perubah-serigala, Barb.” Namun, bukannya memaklumi keadaan itu, aku malah kembali berpikir, bagaimana mungkin aku seorang perubah-serigala, sementara diri ini sama sekali tak merasakan tanda-tanda werewolf apa pun.

“Itu werewolf di film, Barbara,” keluh Ibu sedikit kesal waktu itu.

Karena aku tak mau membuatnya lebih repot dari sekarang, aku hanya cengengesan tanpa berkata apa-apa.

Selang kurang dari tiga menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah sederhana yang lebih mirip gubuk kecil dari bambu dan rotan.

Ibu—dibantu aku yang tak tahu apa-apa—membangun rumah kecil ini selama kurang lebih tiga hari dengan peralatan seadanya. Sebelum rumah itu sepenuhnya jadi, kami terpaksa tidur beralaskan terpal dengan langit-langit terbuka.

Setelah pembangunan rumah selesai, Ibu pergi keluar hutan lagi—sendirian. Ia tak memperbolehkan aku ikut—untuk mencari keperluan yang kami butuhkan; seperti bahan makanan, kasur lipat dan bantal sederhana, beberapa potong pakaian dan tambahan selimut, serta kebutuhan kamar mandi dan beberapa peralatan dapur.

Cuma dua hal yang menggangguku: fakta bahwa Ibu terpaksa mencuri semua keperluan itu karena takut menggunakan kartu debitnya, dan nyamuk—padahal Ibu sudah menyemprotkan obat nyamuk ke seluruh bagian rumah, bahkan membakar satu keping obat nyamuk bakar setiap malamnya!

Tak pernah ada di bayanganku kalau vampir bisa digigit nyamuk.

“Ibu mau pergi dulu, Barb.”

Aku menoleh setelah meletakkan kayu bakar di belakang rumah.

Aku mengerutkan kening heran. “Ibu mau ke mana? Kukira semua keperluan masih lengkap.”

Ibu menggeleng. “Bukan untuk itu.”

“Lalu?”

Ibu menghela napas. “Ini sudah terlalu lama. Ibu akan mencoba mencari informasi tentang ayah dan kakekmu.”

Jantungku berdegup tiba-tiba. “Bu, itu bisa berbahaya!”

Ibuku tersenyum menenangkan. “Aku paham kekhawatiranmu, Barb. Tapi, Sayang, aku perlu tahu di mana suami Ibu … ayahmu. Dan juga kakekmu. Aku takut ….”

Kuraih Ibu ke dalam pelukan. Kami berdua sama-sama khawatir selama ini, hanya saja kami jarang mengungkapkannya. Hanya membiarkan harapan melambung di antara kami berdua tanpa kami harus mengatakan apa-apa.

“Hati-hati, Bu,” bisikku.

Ibu mengangguk dan melepas pelukanku. “Aku selalu berhati-hati.”

Senyumnya menular ke wajahku. Saat Ibu mengatakan ia sudah memasakkan makan siang untukku dan berkelebat menjauh, aku meneriakkan kata hati-hati lagi padanya.

Doaku selalu yang terbaik untuk Ibu … untuk mereka bertiga.

Aku terlalu bosan untuk tetap berada di rumah, jadi aku berjalan membelah semak-semak liar untuk menjelajah bagian lain hutan yang belum sempat kutelusuri.

Sebenarnya, definisi telusur yang kumaksud hanya berjalan kurang dari setengah kilometer, lalu berakhir melompat dan nangkring di atas pohon.

Rencanaku hari ini kurang lebih sama. Namun, hari ini aku terlampau sial.

Baru beberapa ratus meter dari rumah, setelah berkutat dengan sulur-sulur tanaman liar, aku mematung di sebuah bukaan bebas semak dengan ekspresi luar biasa takut.

Seorang pemuda berkulit kecokelatan berdiri di hadapanku dengan tatapan tajam bak serigala lapar. Ia hanya memakai celana pendek selutut, tanpa mengenakan baju apa-apa, sehingga mempertontonkan bisep dan roti sobek … eh, maksudku perut six pack-nya.

Mata pemuda itu tak berubah; tetap sekelam langit malam. Namun, saat ia menarik bibirnya ke belakang, dua taring muncul di antara giginya. Sikapnya berubah mengancam.

Sialan.

Sialan, sialan, sialan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status