Share

Wolf-shifter

Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya.

Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar.

Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga.

Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah.

“Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.”

Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; grup penyanyi asal Korea yang kukagumi. Yang membuatku lebih kaget, ia tak terdengar menakutkan sama sekali. Hampir-hampir ramah, malah.

“Wilayah?” aku membeo tak paham.

Kerutan pemuda berkulit eksotis itu semakin dalam.

“Kau dari suku apa, sih?” Pemuda itu mulai mencecar. “Kenapa kau ada di sini? Lagi cari santapan baru? Di sini cuma ada babi hutan. Memangnya kau doyan daging babi? Rumahmu di mana? Namamu siapa?”

Aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Pertanyaannya memberondongku seperti peluru yang ditembakkan tanpa henti.

Perumpamaan yang berlebihan, tapi rasanya memang begitu.

Kucoba menjawab pertanyaannya sebisa mungkin. Aku tak mau membuat ketidakberbahayaan pemuda ini meluntur.

“Aku … entahlah, aku tak tahu suku apa yang kau maksud. Suku Jawa? Dan … aku tinggal sendiri dengan ibuku di hutan ini,” jelasku ragu-ragu. “Aku sedang berjalan-jalan saja dan … tidak, aku tak suka daging babi. Aku lebih suka sayur-mayur dan ayam. Rumahku tak jauh dari sini. Namaku ….”

Aku hampir merasa seperti anak nakal yang sedang diinterogasi oleh polisi; kenangan bersama Saga di kantor polisi beberapa waktu silam berkelebat di benakku.

“Namamu …?” Pemuda itu mendorongku.

Aku meneguk ludah gugup. “B-Bara.”

Pemuda itu tiba-tiba tertawa renyah. “Kau tampak pucat sekali, Bara. Aku tidak akan mengajakmu bergulat, kau tahu?”

Aku tertawa salah tingkah. Masih terlalu dini untuk berpikir bahwa pemuda ini tak berbahaya. Ia belum tahu saja statusku.

Pemuda itu menyodorkan tangannya kepadaku. “Justin. Aku dari suku Serigala Hitam.”

Hatiku berdesir saat menyambut jabatan tangannya yang mantap. Kucoba memenangkan hati dan membayangkan wajah Min Yoongi sekeras yang kubisa.

Aku tak mau berakhir bodoh dengan pipi merah di depan pemuda asing. Tak akan pernah.

Aku melepas tanganku darinya. “Suku Serigala Hitam?”

“Kenapa? Kau perubah-serigala dan kau justru tak pernah dengar?”

Pipiku memanas.

SUDAH KUBILANG AKU TAK MAU MEMPERMALUKAN DIRI SENDIRI DI DEPAN … ah, sudahlah. Sialan.

“Aku tak tahu apa-apa tentang apa-apa!” tukasku jengah.

Mata Justin melebar. “Apa maksudnya, tuh?”

Aku tergagap. Kulirik jalan di belakang yang kulewati tadi.

“Kurasa aku harus pergi,” kataku cepat.

Dengan bodohnya aku mengambil langkah berkecepatan manusia normal. Alhasil Justin berhasil menghentikanku lagi dan menghalangi jalanku.

“Kau varga, ya?” tanya Justin tiba-tiba.

Aku menatapnya bingung. “Namaku Bara, bukan Varga.”

Justin menepuk jidatnya seakan tak habis pikir. “Maksudku ‘varga’; singkatan dari vampir-serigala, istilah lainnya wolvire.”

“Oh, iya. Itu aku,” gumamku seperti orang bodoh.

“Kau tak tahu apa-apa tentang suku serigala … orang tuamu merahasiakan semuanya darimu?”

Hampir saja mulutku ternganga lebar.

Ini sungguh membingungkan. Justin ini sebenarnya aman atau tidak sih, seandainya ia tahu kalau aku pemilik darah suci?

Kuputuskan untuk mengambil langkah aman.

“Ya. Aku baru tahu tentang jati diriku beberapa minggua yang lalu,” kataku hati-hati. “Orang tuaku pikir aku bisa hidup sebagai manusia biasa saja.”

Justin mendengus. Tatapannya berubah ragu. “Aku percaya saja kalau orang tuamu merahasiakan tentang suku serigala. Tapi, jati diri? Itu mana mungkin!”

Ekspresiku berubah dongkol. “Mungkin saja, tuh! Buktinya aku tak pernah merasakan apa pun yang berkaitan dengan … eh, kecepatan lari misalnya.”

Bibir Justin mengerucut. “Masa? Kok bisa?”

“Karena Segel Varsan. Ibuku bilang begitu.”

Justin tersentak. Ekspresinya terkejut luar biasa. Ia menggeleng-geleng tak percaya.

“Kau pasti bercanda!” sergah Justin keras-keras.

“Aku tidak bercanda!” sangkalku semakin sebal. “Lagipula, segel apa sih itu? Aku selalu gagal mendapat jawaban yang lengkap dari ibuku!”

Mata Justin menyipit ragu. “Kau yakin tidak berbohong?”

Aku menatapnya dengan pandangan mencela. “Tentu saja aku yakin!”

“Masa?”

“Iya!”

“Kau yakin?”

“Harus berapa kali aku bilang yakin?!”

“Bohong!”

“Apa katamu?!”

Suaraku berubah marah. Sepenting apa sih Segel Varsan itu sampai-sampai anak sok tahu di depanku ini begitu ngotot aku bohong?

“Memang apa coba yang mau disembunyikan dari orang tuamu?” Justin meremehkan. “Kau 'kan bukan anak manusia yang diadopsi vampir!”

Kata-kata Justin membuatku teringat dengan Saga dan keluargaku lagi.

“Apa sih maumu?!” bentakku berang.

“Segel Varsan … hah! Untuk apa coba?” dengus pemuda itu.

“Kalau kau tak diam, anak urakan—”

“Aku cuma tanya segel itu untuk apa!”

“Karena aku punya darah suci! Aku—”

Aku membeku di tengah teriakanku yang belum selesai. Aku dan Justin saling menatap; aku dengan tatapan ngeri, Justin dengan tatapan terpana.

“J-Justin …,” bisikku memohon. Aku hampir menangis. “Tolong jangan beritahu siapa-siapa tentang ini. Aku mohon!”

Justin cuma memandangku dengan keterkejutan yang tak kunjung mereda.

“Justin? Kumohon katakan sesuatu! Bilang padaku kau tak akan bocorkan informasi ini pada siapa pun! Justin!”

“Kau … soal darah suci … aku tidak ….”

Justin terdiam seakan kehilangan lidahnya untuk berbicara.

Suara geraman binatang mengagetkan kami berdua. Tiba-tiba, seekor serigala hitam besar meloncat keluar entah dari mana, dan berhenti sekitar dua meter dari tempatku berdiri. Ia menggeram lagi, menarik moncongnya ke belakang dan memperlihatkan gigi-gigi tajam yang menakutkan.

Serigala itu menerkam ke arahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status