Share

Chapter 1 - Ana

Ana melemaskan badan, ia baru saja kembali dari melakukan misi. Kali ini ia membawa pulang beberapa peti kayu berisi senjata pesanan mereka yang dikirim dari Rusia, misinya berjalan cukup keras karena informasinya bocor dan langsung ditangani langsung oleh kepolisian.

Ana terkena goresan peluru di bahu kanannya ketika melakukan tembak menembak saat ingin membawa peti-peti itu ke markas. Tetapi, tentunya tidak ada misi yang tidak berhasil saat ia yang melakukannya. Ana kembali ke markas dengan bangga walaupun tergores peluru.

Bahunya segera ia obati di klinik kesehatan yang ada di markas.

“Kamu harus lebih bertahi-hati lagi, Ana. Tubuh kamu itu berharga, kami tidak ingin kau mati sia-sia hanya demi besi berat itu.” ucap seorang gadis muda kepada Ana.

Ana meringis sedikit ketika gadis itu menyiramkan alkohol di bahunya. “Aku tahu Rei. Duh, bisa pelan-pelan nggak sih?”

Gadis yang di panggil Rei itu hanya tertawa, “Maaf, tadi aku liat Martin lewat jadi nggak sengaja.”

“Ih, obatin yang bener dulu.” Ucap Ana tajam.

Rei gelagapan, “Iya, ini aku obatin. Tadi, gimana? Katanya polisi nggak mudah nyerah?”

Ana mengangguk, ia mengingat kejadian tadi. Misi yang seharusnya berjalan mudah malah di kacaukan oleh polisi. Seharusnya bahkan mereka tiba di markas satu jam yang lalu tetapi terlambat karena polisi itu mencium keberadaan mereka.

Entah siapa yang membocorkan misi karena hanya beberapa orang saja yang tahu mereka hari itu akan mengambil senjata. Ana masih berpikir siapa kira-kira yang menjadi informan untuk polisi, tidak ada yang bisa ia curigai dari semua orang yang tadi pergi bersamanya.

“Iya, aku seharusnya tahu jika misi itu memang tidak segampang yang kupikir tetapi tidak tahu jika para polisi itu bahkan menyiapkan perlawanan dengan sangat maksimal. Sepertinya, rumor yang tersebar kalau di markas ini punya informan memang benar.” Ucap Ana.

Rei mengangguk pelan, ia telah selesai memasang perban di bahu Ana. Gadis itu mempersilahkan Ana kembali untuk memakai pakaiannya. Tetapi, gadis itu menolak dan lebih memilih keluar dengan menggunakan sport bra.

Ana cuek dengan tatapan beberapa pria yang mengarah kepadanya, ia sering berpakaian seperti ini dan merak hanya berani melihat dari jauh. Ia berjalan menuju bangunan utama untuk melapor kepada Burke Chester yang merupakan pimpinan organisasi.

Jika di perhatikan, markas mereka bukanlah markas kumuh. Mereka tinggal di sebuah rumah  yang sudah seperti istana. Rumah terpencil yang berada di pinggir kota Washington, rumah mereka di kelilingi oleh hutan. Hanya satu akses masuk untuk menuju kemari dan itu di jaga oleh anak buah Burke.

Jika nekat untuk lewat hutan maka banyak hewan buas yang sudah menunggu untuk menerkan. Ana bergidik begitu membayangkannya, ia tidak ingin menjadi umpan hidup bagi hewan buas itu dan kejadian itu sudah beberapa kali terjadi bagi orang yang berusaha kabur, hanya pakaian tercabik dan berlumuran darah yang ditemukan.

Ana menaiki lift menuju lantai lima, rumah mewah ini memiliki banyak lantai dan kamar. Ia salah satu yang memiliki kamar di rumah ini dan itu sudah sangat terhormat bagi Ana yang baru bergabung tiga tahun yang lalu.

Ana meningkat cukup pesat, dari yang awalnya hanya menjadi orang yang di suruh-suruh, sekarang ia sudah menjadi anggota di tim utama yang paling sering mengerjakan misi yang tergolong memiliki tingkat kesulitan sedang.

Ana mengetuk pintu, beberapa menit kemudian ia di persilahkan masuk. Ia menutup pintu dibelakangnya. Ana datang untuk melapor, ia baru memakai bajunya demi kesopanan, Ana menunduk sopan begitu melihat seorang pria paruh baya melangkah ke arahnya.

“Bagaimana? Apa polisi itu merepotkanmu?” tanya Burke dengan bibir tersenyum miring.

Ana mengangguk, “Cukup membuatku kesal. Ku pikir memang ada informan yang bersembunyi di dalam markas. Kita harus cepat menemukannya sebelum informan itu semakin menjadi.”

“Benar, aku akan tugaskan orang untuk menyelidiki. Kau, beristirahatlah di kamarmu sampai makan malam. Nanti Rei yang akan menjemputmu jika waktunya sudah tiba.” Ucap Burke.

Ana mengangguk pelan, “Tidak ada yang lecet dari senjatanya. Aku pastikan semua aman dan jumlahnya sesuai dengan yang kita pesan.”

“Bagus, itu akan sangat berguna untuk mengacaukan kota.” Ucap Burke menyeringai jahat.

Ana sudah tidak takut dengan seringaian itu selama beberapa bulan terakhir. Berbeda dengan dulu, ia bahkan tidak ingin memandang wajah pemimpinnya ini karena terlalu seram, wajahnya sedikit hancur karena kecelakaan yang di alami pria itu.

Dari cerita yang Ana dengar, Burke pernah menjadi korban ledakan bom. Ia sengaja mengumpankan dirinya untuk terkena agar tidak di curigai oleh kepolisian dan itu memang berhasil sampai sekarang. Tidak ada polisi yang mencarinya entah kerena uang suapan atau mereka memang tidak tertarik dengan penjahat kelas kakap ini.

Ana pamit undur diri ketika setelah selesai memberikan laporan. Ketika ia menutup pintu Ana langsung melangkah menuju lift untuk pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ana lebih beruntung di banding orang lain yang berada di tempat ini.

Ana merebahkan tubuhnya ketika sampai di tempat tidur, ia sedikit mengantuk karena begadang semalaman untuk menyelesaikan misi. Belum lagi, misinya yang berdekatan tipis dengan maut.

Ana melihat kamarnya yang berukuran 4x3 itu, cukup luas untuk ia tempati sendiri. Ia bahkan memiliki samsak sendiri di dalam kamarnya yang bisa ia pukul ketika bosan. Ana membuka pakaiannya lalu bersiap untuk membersihkan diri.

Bahu kanannya terasa menyengat ketika di siram air dingin. Ana sedikit meringis dan buru-buru mandi dan segera keluar dari kamar mandi. Ia mengambil kotak P3K di kamarnya lalu membalut perban sendiri di bahunya, tidak sebagus balutan Rei tetapi cukup rapih untuk yang dilakukan hanya dengan satu tangan.

Ana memutuskan untuk berbaring sebentar, ia sangat lelah. Walaupun sudah tiga tahun menjalani rutinitas seperti ini, ia tetap lelah dan juga tertekan. Pikirannya berkecamuk ketika menjalankan misi. Sebenarnya, jika bisa Ana tidak ingin melakukannya tetapi ia terpaksa karena jika tidak ia bisa saja akan mati tanpa ia ketahui.

Dua jam kemudian Ana terbangun saat seseorang mengetuk pintu kamarnya, ia terbiasa langsung siaga ketika bangun jadi kesadarannya langsung pulih hanya beberapa detik ketika ia membuka mata. Ana langsung membuka pintu kamarnya dan ternyata Rei berdiri di depan pintu.

“Waktunya makan malam.” ucap Rei.

Ana mengangguk, “Sebentar, aku cuci muka dulu.”

Rei mengangguk dan membiarkan Ana untuk masuk kembali ke kamarnya. lima menit kemudian, mereka turun bersama ke lantai satu untuk makan malam. Hal yang selalu membuat Ana kagum dengan organisasi ini adalah mereka selalu makan bersama, semua orang tidak memandang atasan atau bawahan bahkan Burke ikut makan bersama mereka dengan makanan yang sama.

Ana duduk di meja makan, meja makan itu terbagi menjadi tiga, sangat panjang hingga cukup untuk menampung semua orang. Sebelum makan mereka bersulang untuk kesuksesan hari esok, Ana tidak tertarik dengan semua itu, di pikirannya sekarang bagaimana ia bisa pergi dari sini.

Ana berlari di treadmill, ia menambah kecepatan agar merasa lebih terpacu. Setengah jam kemudian, ia melangkah turun dan duduk sembari menyeka keringatnya. Ketika ia hendak meminum air, seseorang datang dan menepuk bahunya, Ana segera menoleh dan menatap orang itu dengan tatapan tajam.

Ia hampir tersedak air dan orang itu menatapnya dengna tampang tidak bersalah. “Apa?”

“Kau di tantang Samuel untuk beradu di dalam ring tinju, sekarang.” Ucap anak belasan tahun itu kepada Ana lalu segera pergi.

Ana yang ingin beristirahat setelah berolahraga langsung bediri sembari menghela napas lelah. Lagi-lagi ada yang hendak berduel dengannya, mendengar hal itu banyak orang yang langsung mengikuti langkah Ana menuju ruangan duel.

Tiba di sana, Ana langsung di bukakan jalan oleh beberapa orang yang sudah sampai. Matanya menyipit melihat seorang pria yang sudah menatapnya sombong dari dalam ring tinju.

Ana berdecak lalu menghela napas kasar, “Awas saja kalau kau membuang waktuku.” Ucapnya dingin.

Pria bernama Samuel itu menatap Ana menantang, “Tidak akan, aku yakin kau akan kalah kali ini.”

“Jangan banyak bicara, kalahkan aku dulu baru sombong.” Ucap Ana pelan.

Mereka mengambil posisi kuda-kuda yang kokoh, saling menatap satu sama lain untuk menilai siapa yang akan maju duluan. Ana tidak ingin menunggu lebih lama memilih untuk menyerang Samuel duluan, serangannya mengenai

pria itu telak dan membuat sudut matanya bedarah.

Well,” ucap Ana tersenyum miring.

Samuel yang terbakar amarah karena terkena pukulan Ana langsung menyerang gadis itu secara membabi-buta, semua orang yang melihat pertarungan mereka berkali-kali menahan napas dan terkaget. Kecepatan menghindar Ana sudah lebih tinggi dan serangannya lebih akurat dari pada sebelumnya.

Mereka bergantian saling pukul, sikut dan menendang, tidak ada juri yang berdiri di antara mereka. Pertarungan ini selesai jika salah satu dari mereka tumbang di atas ring tinju. Tetapi, Ana melakukan serangan terakhirnya itu dengan gerakan menendang memutar dan mengenai kepala Samuel telak dan langsung membuat pria itu terlentang di atas ring dengan kesadaran yang menghilang.

Ana hanya menggeleng pelan ketika melihat pria itu di bawa ke klinik kesehatan sementara ia turun dari ring lalu keluar dari tempat itu menuju kamarnya. Ana tidak menyangka jika pertandingan itu dilihat oleh Burke, pria tua itu bertepuk tangan sebelum pergi.

Setelah hari itu, Ana seperti menjadi orang penting di dalam organisasi. Ia yang awalnya ingin pergi kembali memikirkan niatnya karena ia merasa posisinya kini lebih tinggi ketika mengalahkan Samuel yang merupakan seniornya, pria itu sudah lama menjadi kebanggaan Burke dan dengan Ana mengalahkannya itu menjadi sesuatu yang sangat merubah posisinya di dalam organisasi.

Kini, setiap ada rapat untuk misi baru, Ana selalu ikut andil di dalamnya. Walaupun bukan dia yang akan melaksanakan misi itu. Tetapi, itu menjadi sesuatu yang membuat Ana kini lebih dihormati, ia lah wanita kedua yang berhasil masuk untuk  berbicara mengenai hal penting yang akan dilakukan organisasi selain wanita yang menjadi tangan kanan Burke yang berstatus sebagai pembunuh bayaran.

Ana duduk di sudut meja, dari jauh ia dengan jelas mendengar semua pembicaraan. Sejenak ia merinding begitu Burke mengatakan akan melakukan pengeboman, Ana mencatat waktu dan tanggalnya di catatan kecil lalu ia simpan setelah selesai rapat.

“Apa yang membuatmu terlihat pucat seperti itu?” tanya Rei kepada Ana. Ana sengaja pergi ke klinik kesehatan untuk menenangkan diri karena hanya di tempat itu ada orang yang bisa berbiara dengan cukup normal kepadanya.

Ana menggeleng pelan, “Bukan sesuatu yang penting.”

Rei tertawa, “Apa? Katakan saja, kau dapat misi untuk membunuh?”

Ana menggeleng, “Aku belum mendapatkan misi lagi sejak hari itu.”

“Lalu apa?”

Ana menatap Rei tepat di kedua mata gadis itu, “Tidak lama lagi akan ada pengeboman di beberapa pusat kota.”

Rei melebarkan mata dan menatap Ana terkejut. Mereka berlua menghela napas pelan dengan wajah sama pucatnya. Ana tertekeh, berusaha mencairkan suasana.

“Seharusnya, aku tidak memberitahumu.” Ucap Ana lalu pergi dari kelinik itu.

Rei sadar jika Ana sudah keluar, “Mau kemana?”

“Keluar, cari udara segar.” Ucap Ana lalu berjalan ke arah mobil yang terparkir.

Ia memilih mobil yang akan ia gunakan, Ana mengambil kunci mobil sedan hitam lalu ia segera mengemudikannya keluar dari markas. Ana akan ke kota untuk berjalan-jalan dan mencari udara segar.

….

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sixthly
makasihh kak ?
goodnovel comment avatar
Jihanna Yvonne
Here we goook
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status