Share

Chapter 4 - Fright

Ana melajukan mobilnya sampai dua ratus meter dari lokasi kecelakaannya. Ia memarkir mobilnya di sebuah lorong gelap yang berada di antara dua gedung tidak terlalu ramai. Ana memegang bahu kanannya yang sakit akibat terbentur di badan mobil.

Ia melihat Sherly yang juga dalam kondisi yang tidak jauh lebih baik darinya, bahkan kepala gadis itu berdarah akibat terbentur di kaca mobil. Ana menggeram lalu membuka sabuk pengamannya untuk mengambil dua benda yang merupakan sebuah benda hitam mirip remot yang hanya memiliki dua tombol.

Ana berdecak ketika melihat lampu berwarna biru terlah menyala di kedua benda itu yang berarti keduanya sudah di tekan dan otomatis sudah meledak jika bom terpasang dengan sempurna.

“Shit! Siapa yang nabrak sih!” maki Ana kesal.

Ana hanya bisa mengemudi dengan satu tangan, ia keluar dari lorong itu dan menuju jalan besar, ternyata keadaan sangat rusuh dengan orang-orang yang berlarian ke sana kemari, ad ajuga yang berlari dengan kepala atau tubh berdarah. Ana tidak bisa melihatnya dan terus mengemudikan mobil dengan sangat pelan dan berhati-hati.

Mereka di hampiri oleh seorang polisi, Ana buru-buru menendang alat pemicu bom itu ke bawah kursi mobil agar tidak ketahuan saat mobil mereka di periksa.

“Apakah kalian baik-baik saja? Ku pikir kalian harus ke rumah sakit, sebentar saya panggil petugas medis.” Ucap polisi itu setelah memeriksa keadaan Ana dan Sherly.

Ana menggeleng, “Nggak apa-apa, pak. Kami bisa ke rumah sakit sendiri, masih banyak orang yang lebih membutuhkan pengobatan medis.” Ucap Ana menolak.

Ia tidak boleh berhubungan dengan polisi bagaimana pun caranya, sekarang ia hanya harus kembali ke markas untuk mendapat perawatan. Di dalam markas juga memiliki fasilitas dan peralatan yang sama dengan rumah sakit. Setelah berpikir sejenak polisi itu membiarkan mereka pergi ketika keadaan lebih sedikit gawat.

Ana langsung menyalakan earphone dan menghubungi seseorang, “Tolong, kami mengalami kecelakaan.”

Hanya itu yang di ucapkan anak lalu mengaktifkan sinyal GPS yang ada di mobil agar tim lain yang di berangkatkan bersama agar bisa menemukan merkea dengan cepat. Ana kembali masuk di gang sempit, ia tidak bisa menahan bahunya yang sangat sakit. Rasanya menyengat sampai membuat kepalanya pusing.

Tidak lama kemudian seseorang memerika keadaan mereka, Ana mengenalinya sebagai salah satu anggota yang pergi. “Kondisi kalian parah sekali, apa yang menabrak sampai mobil rusak seperti ini?”

Ana terdiam, ia mencoba mengingat kendaraan yang menabrak mereka. “Sebuah truk, sedikit lebih besar dari truk biasanya, mungkin truk yang mengantar barang. Tapi badan truknya terlihat kusam dan berkarat.” Jawab Ana dengan napas memburu.

Orang itu lalu membuka pintu mobil, beberapa orang lain mengangkat tubuh Sherly yang sudah tidak sadarkan diri. mereka langsung di bawah pulang ke markas menggunakan mobil lain. Plat mobil yang mereka pakai juga sudah di ganti agar menghilangkan jejak jika mereka pernah masuk ke kota.

Mereka juga melewati jalan pinggir kota dan agar tidak terekam oleh CCTV. Setengah jam kemudian, mereka langsung di sambut panik oleh beberapa orang yang sudah menunggu mereka di dalam markas. Ana langsung menceritakan cerita lebih lengkap kepada mereka agar rekannya bisa menyelidiki.

Ana meringis ketika serpihan kaca mobil di cabut dari pipi, dan juga bahunya. Rei yang tidak tega melihat Ana kesakitan tidak jadi betanya hal lain kepada Ana, mungkin itu juga rahasia gadis itu dan ia tidak perlu tahu karena tentu saja tanda kemerahan di leher Ana merupakan hal rahasia yang di rahasiakan oleh Ana.

Rei melakukan ronsen di bahu Ana dan menemukan jika bahu gadis itu sedikit retak dan begeser dari tempatnya. “Kayaknya tabrakan tadi keras banget ya. Mobil sampai nggak berbentuk kayak gitu.” Ucap Rei ikut khawatir.

“Aku juga nggak ngerti, aneh banget tiba-tiba mobil truk besar kayak gitu ada di tengah kota dan di tengah kerumunan orang. Kayaknya memang sengaja buat nabrak aku.” Ucap Ana pelan.

Rei mengangguk pelan, ia mengobati bahu Ana dan menyuruh seorang dokter untuk mengembalikan tulang lengan Ana ke tempatnya semula. Cara ini lebih cepat dan tidak terlalu lama menahan sakit.

Ana menggeretakkan gigi ketika proses itu berlangsung, memang tidak terlalu sakit tapi jantungnya seperti ingin berhenti ketika dokter itu mengembalikan posisi tulangnya ke posisi semula.

“Untung sementara lengan kanan kamu harus di gips dan di perban karena retak.” Ucap Rei.

Ana mengangguk pelan, “Bagaimana dengan keadaan Sherly?”

“Barusan sudah sadar, kondisinya juga sudah stabil. Kulit kepalanya sedikit robek karena terkena pecahan kaca mobil.” jawab Rei.

Ana berdecak marah, “Aku harus memberi pelajaran orang yang menabrak kami. Ku harap tim lain sudah mendapatkan jejaknya, agar aku bisa memberinya pelajaran.”

Rei tertawa, “Tenang saja, mereka sudah mencarinya. Tuan Burke juga menduga jika ini bukan kecelakaan biasa. Itu mungkin tanda jika ada yang ingin menyerang kita.”

Ana tidak menjawab, kejadian tabrakan itu ia ingat berkali-kali agar bisa mengingat hal yang tidak ia ucapkan sebelumnya agar bisa membantu tim lain untuk mendapatkan mobil truk itu.

Tetapi, tidak ada hal lain yang bisa ia ingat. Semuanya sudah ia ucapkan sebelumnya. Ketika Rei selesai memasang sebuah penyangga lengan, Ana segera berdiri dan keluar dari ruang perawatan.

“Nanti aku antar obatmnya ke kamar.” ucap Rei yang langsung di balas dengan Ana dengan mengangkat tangannya edengan membuat pola huruf ‘o’ dengan telunjuk dan ibu jarinya yang berarti ‘oke’.

Ana menutup pintu ruang perawatan lalu berjalan ke arah ruangan kendali yang sudah meretas seluruh CCTV pusat kota Washington. Ana meringis ketika kembali merasakan sakit di bahunya saat berjalan. Semua orang langsung menoleh saat ia masuk.

“Ana? Kenapa kamu ada di sini? Seharusnya kamu di ruang perawatan?” ucap Reon, pria yang menolongnya tadi.

Ana menggeleng, “Aku ingin melihat siapa yang berani-berani menabrakku.”

“Sayangnya, dari hasil penyelidikan. Dia menyetir dengan mabuk, truk itu total menabrak tiga buah mobil dan mobil kamu yang pertama, makanya rusak parah karena kecepatannya memang di atas rata-rata.” Ucap Reon.

Ana menggeram, “Apa kalian yakin dia mabuk?”

“Iya, sekarang di ada di kantor polisi. Selanjutnya, kita menunggu informasi dari anggota kita yang ada di sana untuk informasi lebih lanjut.” Terang Reon, “…bahumu sudah tidak apa-apa?”

Ana mengangguk, “Retak dan sedikit bergeser tapi tadi sudah di kembalikan. Ya, sekarang seperti ini.”

Reon meringis begitu melihat bahu Ana, “Kamu ke kamar aja. Nanti kalau ada informasi baru aku bakal ke kamar kamu.”

Ana mengangguk, “Kalau sibuk langsung hubungi aja. Ponselku aktif terus. Thanks.” Ucap Ana lalu melangkah pergi dari ruangan itu.

Ana langsung ke kamarnya untuk beristirahat, kejadian bersama Werren langsung sepenuhnya hilang dari kepalanya dan sudah tidak membekas lagi untuk sekarang. Ana merasa seluruh tubuhnya sakit, ia membaringkan tubuhnya sembari memakai penyangga lengan.

Tidak lama kemudian, Rei segera masuk membawakan Ana bubur dan obat penghilang rasa sakit dan beberapa vitamin. “Makan dulu sebelum tidur, terus obatnya jangan lupa di minum.” Ucap Rei tegas.

Ana mengangguk, “Thanks, Rei. Makasih juga karna nggak bertanya hal lain. Kalau kamu ingin tau, ini menjadi alasan kenapa aku terlambat datang.” Ucap Ana mengejutkan Rei.

Rei melotot, “Bukannya kamu nggak mau ya? Di antara semua gadis lajang di sini, hanya kamu yang belum pernah,”

Ucapan Rei terhenti ketika Ana sudah menatapnya tajam, “Oke, aku berhenti membahasnya. Tapi, itu terlihat panas. Ah, aku penasaran siapa pria yang bisa membuatmu seperti itu.”

Ana tersenyum miring, “Aku bertemu dengannya di kelab malam dan malam itu terakhir kalinya kami akan bertemu. Dia sepertinya, sedikit berbahaya.”

“Kenapa?” Rei duduk di sudut ranjang Ana.

Ana menghela napas panjang, “Dia berhasil mengetahui kemana aku pergi dengan mengingat jalur yang biasa ku ambil. Jika aku bertemu dengannya lagi, aku mungkin bisa mengantarnya menuju markas. Itu berbahaya, kami berdua bisa di bunuh.” Terang Ana.

Rei terkisap, “Aku setuju dengan yang kau pikirkan. Jangan, bertemu lagi dengannya, setidaknya di beberapa minggu ini. Kota sudah sangat kacau akibat bom dan para polisi sudah pasti mencari siapa pelakunya. Kalian sedikit tersamarkan sebagai pelaku karena mobil kalian jelas-jelas terlihat di tabrak di CCTV pusat kota.”

Ana berdecak, “Hanya aku sepertinya yang tidak menyembunyikan diri dari CCTV. Semoga tidak ada yang menduga jika mobil yang di tabrak truk itu merupakah salah satu dari pelaku pengeboman. Kau sudah dapat informasi? Bagaimana keadaan pusat kota sekarang?” tanya Ana.

“Kacau, sudah seratus lebih orang yang di temukan meninggal dunia. Ini mengerikan, walaupun aku senang kau selamat tetapi aku tidak tega melihat perbuatan Burke itu membuat banyak nyawa lenyap.” Ucap Rei lalu beranjak untuk meraih remot TV.

Ana bangkit dari tempat tidur dengan susah payah, ia memposisikan dirinya untuk duduk di kepala ranjang dengan sandaran bantal yang sudah ia posisikan agar membuatnya lebih nyaman.

“Kau lihat? Bahkan belum tiga jam tapi berita sudah menyebar di seluruh dunia. Presiden menaikkan keamanan pusat kota Washington menjadi siaga satu.” Ucap Rei pelan.

Ana terpaku melihat layar TV, di sana banyak sekali korban yang berjatuhan dan gedung-gedung yang terbakar. Kondisi saat pelik di tengah kota, Ana mengalihkan tatapannya. “Aku mau keluar dari tempat ini,” gumamnya pelan.

Rei menoleh sangat cepat ke arah Ana, “Sshhh… apa yang kau katakan? Jika ada yang dengar mungkin kau akan di gantung lagi seperti dulu!”

Ana menatap Rei lalu menghela napas kasar, “Aku tidak bisa berada di sini lagi Rei. Aku sudah membunuh ratusan nyawa sejak aku bergabung di tempat ini, aku tidak ma menambahnya lagi.”

Rei mendekat ke arah Ana. “Tetapi, tidak ada yang bisa kita lakukan! Kau belum punya apapun untuk bisa pergi dari sini, jika kau memang ingin kabur, binatang buas siap menunggumu di luar markas. Kalau kau kabur saat misi pasti ketahuan, semua mobil memiliki GPS yang bisa di lacak secara paksa.” Terang Rei mengingatkan Ana tentang keadaan yang tidak mungkin beruntung untuk gadis itu.

Ana mengangguk pelan, “Mungkin di misi selanjutnya, kau tahu, aku sudah sangat tidak bisa menahannya. Mungkin jika tidak bisa keluar aku akan bunuh diri di sini.”

Rei mengerutkan kening, ia menatap Ana tidak percaya. Bagaimana gadis yang selalu ia lihat dengan kepercayaan diri yang tinggi bisa menjadi seperti ini, Ana gadis tangguh yang sudah melewati banyak kejadian dengan tangguh tetapi, Rei baru tahu kalau gadis itu hanya pura-pura agar dirinya tidak di ganggu atau di remehkan oleh anggota yang lain.

Rei melihat ekspresi terpukul dari Ana, sesuatu yang tidak pernah diperlihatkan oleh gadis itu selama mereka saling mengenal. Rei, hanya menepuk pundak Ana lalu beranjak keluar dari kamar dan meninggalkan Ana sendiri setelah mematikan TV.

Ana meneteskan air matanya setelah pintu tertutup, ia terisak pelan tanpa bisa menghapus air matanya. Ana semakin membulatkan tekad untuk pergi dari tempat ini, walaupun tentunya ia akan mempertaruhkan nyawanya.

Ana berlari di treadmill dengan napas memburu, ia mengatur napasnya berulang kali agar tidak kelelahan. Gips lengannya sudah di lepas empat hari yang lalu, ia sudah tidak pernah keluar dari markas sejak terluka. Kondisi Ana sudah kembali stabil sekarang. Walaupun pemulihannya terbilang sangat cepat dari kondisi normal, ia tetap tidak di perbolehkan untuk ikut misi sampai bulan depan.

Ana memelankan laju treadmill dan melangkah dengan perlahan-lahan sembari menormalkan napasnya. Setelah lima belas menit kemudian, Chayra berpindah untuk melakukan angkat beban. Ia memulainya dengan berat sepuluh kilo sampai delapan puluh.

Otot tubuh Ana terlihat sangat jelas jika melakukan angkat beban. Anggota lain yang berada di tempat itu melihat Ana dengan kagum, apalagi mereka tahu jika Ana baru saja sembuh tetapi gadis itu sudah mencoba untuk mengangkat beban seberat itu.

“Hei, kau membuat anak baru ngiler.” Ucap Reon yang tiba-tiba menghampiri Ana.

Ana melepaskan anggkat bebannya ke lantai lalu berdiri dan sukses melihat apa yang Reon katakan. Ana lalu tersenyum kecil, “Apa mereka tidak pernah liat seorang gadis berolahraga seperti ini?”

Reon berdecak, “Tentu saja, sebagian gadis di sini lebih memilih untuk menjadi kekasih mereka atau bahkan hanya menjadi tukang besih-bersih. Berbeda denganmu yang memilih untuk menjadi seperti kami.”

Reon memandang tubuh Ana sangat tertarik, gadis itu hanya memakai bra sport dan juga celana pendek setengah paha yang membuat sebagian besar tubuh Ana terekspose. Reon menjilat bibirnya pelan, Ana sangat seksi hanya karena menggunakan pakaian ini, ia tidak bisa membayangkan jika Ana berada di bawahnya dan mendesahkan namanya.

Ana meninju perut Reon, “Jangan berfantasi dengan tubuhku, cari wanita lain atau ku patahkan lenganmu.”

Reon meringis kesakitan sembari memegang perutnya, “Oke, maafkan aku. Hanya, kau memang sangat seksi.”

Ana tersenyum miring, “Suruh kekasihmu berolahraga kalau kau menginginkannya, karena aku tidak akan pernah berada di atas ranjang bersamamu.” Bisik Ana di telinga Reon lalu meninggalkannya mematung di tempat itu.

Ana mengambil handuk dan botol airnya lalu keluar dari tempat olahraga itu. Ana langsung pergi ke halaman untuk mendapatkan sinar matahari pagi. Ana duduk di rumput sembari merentangkan kakinya dan menutup mata.

Ia langsung menerima pancaran hangat mengenai tubuhnya, tiba-tiba sosok Werren melintas di kepalanya. Ana mengingat malam itu, malam yang menjadi mimpi buruk akhir-akhir ini kepadanya karena menginginkan sentuhan pria itu lagi.

“Shit!” umpat Ana ketika merasakan bagian bawah tubuhnya langsung lembab ketika membayangkan malam itu. Werren sialan! Maki Ana dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status