Aku melangkahkan kakiku keluar dari pintu, dan terduduk di balkon ditemani oleh udara dingin dan juga suara nyamuk. Aku hanya tersenyum karena hal remeh, bisa melihat bintang bersinar di atas sana. Rasanya ingin menjadi bintang saja, bisa membuat hati yang lain bahagia, dan juga bisa menyinari, betapa bergunanya Tuhan menciptakan bintang. Tidak denganku.
Aku memeluk lututuku sendiri, ditemani kesepian seperti biasa. Memangnya apalagi yang aku harapkan? Aku hanya memperhatikan para semut di bawah, hanya melihat pergerakan semut saja, sudah membuatku bahagia bukan main. Mungkin karena faktor tak ada kawan dan juga tak tahu bagaimana itu bercanda, aku mudah tertawa pada hal receh seperti ini.
Aku memeluk lututuku sendiri dan tersenyum. Ya hanya tersenyum. Jika orang rumah mendapatimu seperti ini, mereka pasti mengiraku sudah gila. Biarlah, toh mungkin jiwaku memang sudah gila dari sana.
Aku menendang-nendang kecil kakiku, dan bertepuk tangan. Mungkin hanya bayangan kawan setiaku saat ini. Walau begitu aku senang, karena masih ada 'teman'.
Sekarang sekitar pukul 22.26. karena sebelum menginjakan kaki keluar 22.11. tebakan receh seperti itu, nyatanya membuatku terhibur dan tak merasa kesepian. Aku sudah makan, ketika sore tadi sebelum ada yang menangkap pergerakanku, di dapur. Sebelum itu, aku membuat susu untuk menghangatkan perutku dan juga sebagai penunda lapar, hingga besok di sekolah. Ya, sudah terbiasa jadi tak ada yang perlu diratapi disini. Kehidupan yang keras, mengajarkanku untuk tidak cengeng karena terlalu banyak eliminisai bisa membuatku tersingkir hidup di alam ini.
Aku suka mendengar musik, dan ingin sekali belajar bermain gitar. Ketika sendirian seperti ini, bunyi ketikan dari senar gitar berharap bisa mengobati sedikit rasa gundah gulana karena hidup ini.
Biasanya, aku akan duduk di luar hingga merasa sudah tak sanggup dan masuk ke dalam kamar dan tidur, walau sering tersadar karena rasa cemas yang berlebihan.
"Lisha hanya anak kesepian." gumanku sendiri. Aku menggeleng, kenapa aku harus mengeluh? Bukankah kesepian sudah menjadi nama tengahku?
Entah kenapa, aku ingin nekat turun dari balkon dan berjalan di kegelapan malam yang dingin. Aku menimbang semuanya dan sepertinya ini akan menarik. Akhirnya, aku mengambil bed cover milikku yang sedikit panjang, dan mengikat di salah satu tiqng. Setelah memastikan semuanya aman, aku melihat ke bawah, rumput yang lumayan empuk, membuatku tidak akan kehabisan darah, seandainya kain ini robek. Di depannya tepat berhadapan dengan gudang. Kutarik sekali lagi kain itu, setelah merasa kuat, aku menaiki balkon dan memegang kain tersebut.
Aku memegang tiang balkon dengan erat, dan memindahkan tanganku ke kain pengikat tadi dan langsung meluncur walau sedikit takut, jika kian robek atau tanganku licin dan berakhir tulangku patah. Kesakitan dan kesepian adalah jiwaku, harusnya aku tak perlu menakuti ini semua.
Walau mendarat dengan tak mulus, membuat bokongku mencium lantai dengan begitu keras, tapi aku senang dan sedikit mempunyai teman sekarang.
Akhirnya, aku melangkahkan kakiku dengan telanjang dan menginjak rumput yang tajam-tajam menusuk kakiku. Aku memeluk diriku sendirian, tak ada tujuan. Aku hanya berkeliling di komplek rumah, sambil berjalan tanpa arah.
Kebanyakan, semuanya sudah sibuk dalam rumah masing-masing dan bercengkrama bersama keluarga masing-masing.
Aku memeluk tubuhku sendiri, sambil memikirkan bagaimana keluargaku tengah berbincang mesra di ruang keluarga, dan membiarkan TV menyala. Dengan fokus utama Meisha, karena Kak Geisha akan sibuk belajar dengan buku selalu di tangannya. Meisha akan bermanja di pangkuan mama, sambil membicarakan kegiatannya di sekolah, seperti anak yang membanggakan. Padahal, aku tahu betul nagaimana Meisha itu di sekolah. Ah, sudahlah kenapa aku harus mengurus dirinya? Jika diriku, begitu menyedihkan.
Kulihat, ada beberapa anak muda sedang duduk di teras rumah sambil bercengkrama. Kadang, aku sering berpikir, kapan aku bisa mempunyai teman sejati. Tapi, rasanya begitu sulit kugapai. Aku adalah anak manusia, yang terlahir dengan keadaan sudah berdosa.
Udara dingin, rupanya berganti dengan hawa yang panas sekarang. Kaki telanjangku juga, rasanya sudah tak kuat untuk menyentuh setiap batu kerikil yang kecil. Bahkan, sudah luka di bawah sana. Akhirnya aku putar arah, kembali ke rumah. Mungkin sekitar empat puluh lima menit berjalan, lumayan membakar kalori walau tubuhku kurus dan ringkih karena jarang makan. Aku mengelus perutku, dan terus berjalan ke rumah.
Terkadang, aku masih mempertanyakan sampai kapan aku akan diperlakukan seperti ini. Walau aku selalu mempunyai satu keyakinan kuat, hidupku bisa berubah. Layaknya roda, atau langkah. Kita pasti terus melangkah, ke arah yang lebih baik.
Kupandangi rumah yang nyatanya jadi neraka buatku, hanya rumah dua lantai yang teak terlalu besar, tapi mampu membuatku hidupku terasa berat ketika aku menginjakan kaki disana. Ketika, aku melangkah memasuki lantai yang dingin tersebut, aku tahu apa yang akan terjadi nanti.
Aku memasuki dengan pelan, membuka pintu pagar. Mendorongnya kembali dengan perlahan dan mengendap-endap lewat samping rumah yang langsung berhubungan dengan dapur.
Aku mendorong pelan pintu, dan bersyukur lampu dapur telah dimatikan. Dengan begini, aku bisa mencuri makanan membawa ke kamarku.
Aku membuka kulkas, mencari makanan sisa. Aku langsung memakan dengan lahap, beberapa potongan cake entah kapan tersimpan disini.
"Oh bagus. Malam keluar melacur, dan sekarang lapar? Kenapa nggak beli makanan di luar?" mulutku yang masih terisi penuh langsung kutelan bulat-bulat dan tak berani menatap Mama yang memandangku buas.
"M-mama." tegurku takut.
"Jangan panggil aku mama anak sialan! Kenapa nggak jual diri, biar bisa makan enak?"
Aku hanya menunduk. Rasa ingin melawan begitu kuat, tapi aku tahu aku tetap akan berada dalam posisi yang lemah.
"Kenapa nggak melacur aja hah?!" tanya Mama dengen berteriak. Aku berbalik menatap Mama dengan menantang.
"Lisha bukan pelacur!" balasku tak mau kalah, dengan air mata yang terus bercucuran.
Plak!!
Mama langsung mendekatiku dan menamparku. Membuat kepalaku langsung terasa pusing, dan pipiku terasa panas dan perih.
"Kenapa mama nggak pernah sayang Lisha?" tanyaku degan lirih. Aku tak pernah menanyakan ini, karena ujungnya hanya akan ada jawaban berupa tamparan, tapi malam ini mulutku sedikit gatal.
"Kamu hanya anak pelacur. Jangan panggil aku mama!" balas Mama tak kalah kuat dan membanting gelas ke lantai, membuat gelas itu hancur begitu juga dengan hatiku yang rasanya remuk. Aku tak pernah menemukan alasan pasti dengan semua pembencian ini. Dalam logikaku, alasan mama terlalu mengada-ada. Memangnya aku pernah minta untuk dilahirkan? Jika tahu, hidupku akan sesusah ini, aku tak perlu berlomba dengan speram lain untuk cepat mencapai garis finish. Lebih baik aku mengalah.
Aku memungut pecahan beling itu, dan mengoreksinya di lenganku. Ya, setelah mengetahui hal menyenangkan ini, aku sering mengores tanganku, bahkan sebelumnya saja belum sembuh.
Kutancapkan sedikit dalam dan mulai menggoreskan sepanjang lenganku dan melihat darah segar itu mengalir. Tak ada rasa sakit, yang ada hanya kepuasan. Aku puas, melihat darah.
Aku berjalan ke kamarku sambil terus mengores tangaku hingga, mataku berkunang karena banyak sekali hilang darah.
Setelah melukai diri dengan dua sisi. Bagian kiri dan kanan, aku masuk dalam selimut, berharap bisa sembuh dari luka ini atau masih banyak kesempatan besok, untuk menambah koleksi luka di lenganku.
________________________________"Akhirnya kita berjumpa lagi cantik." ujar seorang cowok norak di depan gerbang. Aku tak menghiraukan, dan memasuki gerbang dengan memakai tas ransel milikku yang berwarna kuning, terlalu mencolok bahkan mungkin norak. Ini adalah, tas pemberian nenek saat aku memasuki SMP kelas VII.
"Siapa namanya?" tanya cowok itu sambil menarik tasku. Andai tali taksi putus, maka nyawanya juga akan putus. Kupastikan itu. Aku menyikutnya dengan tak senang. Malas sebenarnya berurusan dengan anak-anak seperti ini. Hidupku sudah terlalu banyak masalah, dan tak ingin menambah beban baru.
"Wes ... Sombong bangat maniez ... Nih, kalau lubangnya dimasuki ramai-ramai seru kali ya." ujar cowok yang kuingat saat merokok dulu. Oh, izinkan aku untuk menendangnya ke Venus sekarang.
Aku hanya memutar bola mataku malas, dan berjalan terus. Si sialan itu menahan lenganku, yang mana itu adalah bekas aku mencoret diriku, dan saat luka yang belum kering itu tersentuh aku bisa merasakan bagaimana perihnya.
"Lepasin sialan! Sakit." teriakku. Tapi, si sialan itu semakin mencengkram kuat lenganku, membuat seragam itu perlahan berwarna. Aku langsung menendang selangkangannya.
"Awh ... Anjing! Betulan di nendang pusaka aku." cowok itu meringis sakit sambil memegang miliknya. Kulihat matanya, menatapku dengan amarah yang besar. Dia yang salah kenapa aku harus takut. Aku menunggu disana sambil menantangnya.
"Heh perek kecil!" maki cowok itu sambil berjalan ke arahku. Tiba-tiba tubuhku terasa kaku, walau aku juga sudah mengambil ancang-ancang jika ia datang meninju wajahku.
"Weh ... Kalem man. Ini cewek, gila Lo. Anak orang nggak salah."
"Ngelunjak nih perek kecil. Macam gini, aku rusaki sekali selesai." tantang cowok it masih tak terima. Sebenarnya aku sudah merasa ketakutan sekarang. Kulihat keadaan sekeliling yang masih sepi. Aku tak bisa meminta tolong, terpaksa aku harus melayani ini sendirian.
"Kau cowok banci! Berani lawan cewek." aku menantangnya dengan rasa gentar. Walau aku bisa mendengar detak jantungku. Cowok itu langsung berlari ke arahku, tapi ditahan oleh teman-temannya. Jika di berani memukulku, maka ia bisa dikeluarkan dari sekolah ini. Jadi, aku harusnya tak perlu takut dengannya.
"Anjing nih perek! Tunggu kau ya. Nggak akan selamat lagi." Ancam cowok itu. Nyaliku langsung menciut, setelah ini aku akan merasakan dua kali lipat apa itu neraka. Oh Tuhan, selamatkan hidupku.
"Kalian bawa dia bro. Udah nggak sehat nih si Jovan." ujar cowok yang menolongku tempo hari. Aku hanya memandang cowok yang ditarik oleh teman-temannya menjauh.
"Kita tunggu tanggal mainnya perek! Kau akan hancu!"
"Banci." aku mencibirnya. Ah, paling dia hanya anak mami yang masih berlindung dibalik ketiak ibunya.
Cowok yang menolongku menatap temannya menajuh. Malah, para cowok-cowok yang berisi tiga orang sedang berkelahi di depan gedung sekolah mereka.
"Aku lupa. Oke, aku nggak ingat nama kamu. Tapi, kalau jumpa dia tolong menghindar. Dia benar-benar bahaya, dan ancamannya beneran. Jovan nggak pernah ngancam main-main."
Aku melihat darah kering di lengan kemeja seragam dan menatap cowok yang sedang memasukan tangannya dalam saku, dan menilit dirinya. Ia tinggi.
"Bilang sama temanmu. Aku nggak pernah ngusik hidup mereka, kenapa aku harus takut? Kalau dia beneran, berati dia banci." cowok itu menggeleng dan mendekat ke arahku. Aku beringsut mundur.
"Dengar ya dek. Pokoknya, kalau di sekolah jumpa dia menghindar. Kalau bisa, ke kantin atau ke sekolah bawa kawan, biar si Jovan nggak berani."
"Aku lapor guru."
"Bukan dek. Argh ..." cowok itu mengacak rambutnya. Aku hanya berdiri disana, sambil menatapnya.
"Pokoknya ingat pesan aku itu ya. Oh iya, siapa namanya?" aku memicingkan mataku ke arah cowok ini, apa ini adalah salah satu modus.
"Kamu modus?" tuduhku dengan polos. Cowok itu menggeleng dan tersenyum. Entah kenapa, melihat senyumannya ada kedamaian yang menjanjikan dari terbitan senyum itu.
"Enggak. Aku Ayden, kalau kamu lupa." aku hanya mengangguk. Cowok itu mengacak rambutku dengan gemas, aku menepis tangannya.
"Siapa namanya?"
"Memangnya penting?"
"Dengar ya dek. Mulai sekarang, hidup kamu nggak akan tenang lagi. Kamu udah mengusik harga diri seorang Jovan. Jadi kalau ada dia, sembunyi. Mengerti?" tanya cowok itu seperti aku anak umur lima tahun. Tapi, akhirnya aku mengangguk juga.
"Siapa namanya?" cowok itu mengulurkan tangannya, melihat senyumannya dan juga ketulusannya aku mengulurkan tanganku.
"Lisha." dia tersenyum. Aku hanya menatapnya polos. Aku suka melihat senyumannya.
Tiba-tiba aku melihat mobil yang sangat kukenali, ada Mama dan Papa yang mengantar Kak Geisha dan Meisha. Kulihat, Kak Geisha sudah turun di depan gedung sekolahnya. Mama pun turun dan menciumi Meisha di seluruh wajahnya dan mencium anak kesayangannya berkali-kali. Tanpa sadar aku meremas tangan cowok itu. Ketika sadar, aku menarik tanganku dan menunduk.
"Hati-hati sayang. Belajar yang pintar, semuanya udah Mama siapkan." Mama bahkan mengantar Meisha hingga ke dalam. Aku hanya memandang keluargaku dengan iri. Keluarga? Ah, mereka menganggapku bukan dari keluarga mereka.
"Dah Mama ... Memei belajar yang benar kok, bukan pacaran terus." sindir Meisha saat melewati depanku. Mungkin ia mengira aku pacaran, karena masih berdiri dengan cowok ini. Bahkan, aku sudah tak ingat siapa namanya tadi. Adi? Adyar? Adin? Ah, lupakan itu.
Kulihat Mama memandangku jijik dan tak suka, entah kenapa Mama malah berjalan ke arahku. Aku memandang Mama dengan was-was. Akankah hari ini akan tiba, Mama menerimaku dan memperlakukanku seperti saudariku yang lain?
"Sini dulu." aku mendekati Mama. Walau tahu, nada suaranya tak senang sama sekali. Aku menunduk dan mendakti Mama.
"Jalang kecil udah jumpa mangsanya? Selamat, setelah ini nggak perlu sekolah lagi. Ngangkang aja, duitnya banyak loh. Nanti, bertahap mainnya sampai bayar mahal. Sekali ngangkang 70 juta. Gimana? Aku punya banyak kenalan." aku hanya memandang sekeliling merasa seperti gedung dan orang-orang berputar. Perkataan Mama membuatku mati rasa dan sangat keterlaluan.
Apa aku memang ditakdirkan untuk menjadi jalang?
______________________________Bagaimana perasaan kalian baca bab 2? Udah kerasan belum?
Masih perkenalan ya. Tandai typo, dan kalau ada namanya yg terbaik🤣🤣🤣🤣. Suka salah nama soalnya.
Baca Sequelnya di I Was Never Yours. Dengan tema sad, bagi yg mau mewek cerita itu recommended.
See you🙌🙌🙌🙌🥰🥰🥰🥰🥰
"Ssshhhhhttttt!!"Tubuhku ditarik, aku tak bisa berontak. Badanku juga dikunci, mulutku ditutup. Aku bergerak-gerak memberi perlawanan tapi si pelaku tak ingin melepaskanku.Tubuhku didorong untuk bersembunyi dibalik tembok, karena berada dalam posisi lemah, aku akhirnya terdiam dan bernapas lega, ketika akhirnya si pelaku melepaskan tangannya.Hufh ... Akhirnya."Kamu kenapa sih?" tanyaku tak senang."Shhhttt! Tadi tuh ada Jovan. Dia beneran nyari kamu, jadi lebih baik kamu sembunyi.""Anjing, mana sih tuh perek kecil? Kayaknya dia udah tahu deh." Mataku lamgsung melotot, sialan si buas itu. Harusnya aku keluar dan menyobek mulutnya, agar dia tidak sembarangan bicara seperti itu padaku. Memangnya aku gadis open BO? Ugh ... Aku benci, jika hidupku terus disudutkan, padahal aku tidak tahu menahu urusan mereka."Anjing! Besok harus kesini lagi. Pokokny
"Lishaa ... Yuhu.." aku yang sedang membaca buku di bawah ranjang menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Meisha. Mau apa dia? Malas melayani, aku tetap melanjutkan membaca cerpen di buku pelajaran bahasa Indonesia. Aku suka membaca, ya memang apalagi yang bisa aku sukai?"Woi setan, dipanggil juga." tegur Meisha gondok, setelah sadar aku tidak menggubrisnya."Apa?""Besok sekolah?""Ya.""Besok sama aku ke sekolah.""Kenapa?""Ngikut aja sialan! Bagus ada teman." sungut Meisha. Aku meletakan buku pelajaran bersampul biru di atas kasur, sambil merenggangkan tanganku dan memandang Meisha malas. Ah, punya saudara tidak menarik dan tidak seru. Atau aku yang tidak seru? Mungkin, aku tidak pandai dalam memilih teman, karena aku selalu kesepian setiap saat. Bisa makan, tidur, menghirup oksigen gratis dan sekolah, sudah lebih dari cukup buatku.
"Ini kemana?" tanyaku panik, saat tahu kami berada di sebuah tempat yang sepi. Sebuah jembatan, dengan banyak batu besar di bawahnya dan airnya sedikit. Seperti musim kemarau panjang, hingga air di sungai ikut kering. Jarak antara jembatan dan jurang ke bawah begitu jauh, jadi aku bisa menjamin siapa yang yang jatuh ke bawah sengaja ataupun tidak, nyawanya ikut melayang."Tuh lihat di sebelah jembatan ada kuburan." Benar, saat aku melihat di samping jembatan, ada banyak kuburan disana."Itu adalah bekas orang-orang yang meninggal karena jembatan ini. Saat itu, hujan terus sampai banjir dan orang yang disini saat nyebrang maupun yang tinggal di sini banyak yang terhanyut, jadi jasad mereka di makamkan di sampingnya.""Oh ya?" Aku menatap cowok di sampingku yang tersenyum, rambutku terus tertiup angin yang begitu kencang saat berdiri di sekitar sini.Tiba-tiba cowok itu mengeluarkan rokoknya dan menyalakan a
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini."Kenapa Lisha nggak pernah disayang Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial."Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapapun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar. Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan
"Bisa-bisanya, udah sebulan tapi tak berhasil juga." Jovan menghisap rokoknya karena kesal. Pemburuannya tak membuahkan hasil. Si perek kecil itu susah sekali ditemukan. Ayden yang bersama rombongan memilih diam, karena ia yang selalu menyelamatkan gadis itu dari rencana busuk Jovan dan kawan-kawan.Apa Ayden tulus? Kita lihat saja nanti. Ayden memilih pura-pura menggigit roti. Selama ini Jovan dan kawan-kawan tak tahu, jika ia sengaja tak berkumpul atau pura-pura izin karena ingin terus bersama Delisha. Bersama gadis itu seperti menjadi candunya. Saat melihat tatapan polos, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayden bisa melihatnya, bukan berarti ia cenayang atau seorang psikolog handal, Ayden hanya bisa melihat melalui mata itu, mata itu mengatakan segalanya.Ayden merenggakan jari-jarinya, diam-diam ia merindukan gadis itu. Ayden senang saat melihat bagaimana Delisha melotot padanya, bagaimana ekspresi Delisha yang membuatnya selalu gem
Aku menutup mataku, menggigit bibirku menikmati rasa asing yang nikmat menyerangku dari berbagai arah. Kenapa aku baru tahu, kalau bermain seperti ini rasanya luar biasa? Ya Tuhan, biasakah aku merasakan ini untuk selamanya?"Enak?" tanya Ayden. Aku hanya mengeluh, tak berani membuka mataku. Ini rasanya seperti surga. Diibaratkan makanan juga, makanan kalah enaknya karena ini seperti makanan paling lezat sedunia. Aku memeluk belakang Ayden, mencium aroma tubuhnya yang lama-lama berubah bercampur dengan keringatnya, tapi masih menjadi bau yang enak dicium."Nggak sakit 'kan?" Aku menggeleng, dan tak bisa bicara lagi, saat Ayden dengan brutal mencium bibirku dan juga miliknya di bawah sana semakin dalam memompa miliku, aku merasa sesak dan penuh. Kupu-kupu semakin berterbangan dan aku merasa seperti ingin meledak ke awan. Ini bukan tentang rasa asin, manis atau gurih, ini tentang bagaimana semua rasa nikmat disatukan dan membuat kita tak bisa mengatasi semua
"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya."Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?"Woi sial!"Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku."Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata
"Makan?" Aku menggeleng. Sudah seminggu aku terkurung dalam sangkar emas Oma. Harusnya aku merayakan bisa terbebas dari para iblis, tapi aku mengkhawatirkan sekolahku. Sedari dulu, walau bukan orang yang berprestasi aku selalu mengutamakan pendidikan. Aku ingin menjadi orang yang terpelajar dan terdidik agar bisa dihargai orang ketika menginjak usia dewasa."Oma ... Lisha mau sekolah.""Pulihkan diri dulu. Kamu tak bisa terus bersama para iblis itu. Atau mau pindah sekolah." Aku tahu, Oma sangat mengkhawatirkan kesehatan mentalku. Tapi aku sebenarnya ingin meyakinkan Oma bahwa aku baik-baik saja."Oma ... Lisha sebentar lulus sekolah. Saat masuk SMA, Lisha bisa pindah kesini. Sekarang mau pindah nanggung, Lisha hitungan bulan sudah tamat.""Bagaimana kalau mereka masih jahat sama kamu?" Aku terdiam, aku tahu tak ada jaminan untukku selamat dari Mama. Mama pasti akan menyimpan dendam lebih padaku, tapi aku juga harus sekolah. Sekolah ta