Share

2. Kesepian Nama Tengahku

Aku melangkahkan kakiku keluar dari pintu, dan terduduk di balkon ditemani oleh udara dingin dan juga suara nyamuk. Aku hanya tersenyum karena hal remeh, bisa melihat bintang bersinar di atas sana. Rasanya ingin menjadi bintang saja, bisa membuat hati yang lain bahagia, dan juga bisa menyinari, betapa bergunanya Tuhan menciptakan bintang. Tidak denganku.

Aku memeluk lututuku sendiri, ditemani kesepian seperti biasa. Memangnya apalagi yang aku harapkan? Aku hanya memperhatikan para semut di bawah, hanya melihat pergerakan semut saja, sudah membuatku bahagia bukan main. Mungkin karena faktor tak ada kawan dan juga tak tahu bagaimana itu bercanda, aku mudah tertawa pada hal receh seperti ini.

Aku memeluk lututuku sendiri dan tersenyum. Ya hanya tersenyum. Jika orang rumah mendapatimu seperti ini, mereka pasti mengiraku sudah gila. Biarlah, toh mungkin jiwaku memang sudah gila dari sana.

Aku menendang-nendang kecil kakiku, dan bertepuk tangan. Mungkin hanya bayangan kawan setiaku saat ini. Walau begitu aku senang, karena masih ada 'teman'.

Sekarang sekitar pukul 22.26. karena sebelum menginjakan kaki keluar 22.11. tebakan receh seperti itu, nyatanya membuatku terhibur dan tak merasa kesepian. Aku sudah makan, ketika sore tadi sebelum ada yang menangkap pergerakanku, di dapur. Sebelum itu, aku membuat susu untuk menghangatkan perutku dan juga sebagai penunda lapar, hingga besok di sekolah. Ya, sudah terbiasa jadi tak ada yang perlu diratapi disini. Kehidupan yang keras, mengajarkanku untuk tidak cengeng karena terlalu banyak eliminisai bisa membuatku tersingkir hidup di alam ini.

Aku suka mendengar musik, dan ingin sekali belajar bermain gitar. Ketika sendirian seperti ini, bunyi ketikan dari senar gitar berharap bisa mengobati sedikit rasa gundah gulana karena hidup ini.

Biasanya, aku akan duduk di luar hingga merasa sudah tak sanggup dan masuk ke dalam kamar dan tidur, walau sering tersadar karena rasa cemas yang berlebihan.

"Lisha hanya anak kesepian." gumanku sendiri. Aku menggeleng, kenapa aku harus mengeluh? Bukankah kesepian sudah menjadi nama tengahku?

Entah kenapa, aku ingin nekat turun dari balkon dan berjalan di kegelapan malam yang dingin. Aku menimbang semuanya dan sepertinya ini akan menarik. Akhirnya, aku mengambil bed cover milikku yang sedikit panjang, dan mengikat di salah satu tiqng. Setelah memastikan semuanya aman, aku melihat ke bawah, rumput yang lumayan empuk, membuatku tidak akan kehabisan darah, seandainya kain ini robek. Di depannya tepat berhadapan dengan gudang. Kutarik sekali lagi kain itu, setelah merasa kuat, aku menaiki balkon dan memegang kain tersebut.

Aku memegang tiang balkon dengan erat, dan memindahkan tanganku ke kain pengikat tadi dan langsung meluncur walau sedikit takut, jika kian robek atau tanganku licin dan berakhir tulangku patah. Kesakitan dan kesepian adalah jiwaku, harusnya aku tak perlu menakuti ini semua.

Walau mendarat dengan tak mulus, membuat bokongku mencium lantai dengan begitu keras, tapi aku senang dan sedikit mempunyai teman sekarang.

Akhirnya, aku melangkahkan kakiku dengan telanjang dan menginjak rumput yang tajam-tajam menusuk kakiku. Aku memeluk diriku sendirian, tak ada tujuan. Aku hanya berkeliling di komplek rumah, sambil berjalan tanpa arah.

Kebanyakan, semuanya sudah sibuk dalam rumah masing-masing dan bercengkrama bersama keluarga masing-masing.

Aku memeluk tubuhku sendiri, sambil memikirkan bagaimana keluargaku tengah berbincang mesra di ruang keluarga, dan membiarkan TV menyala. Dengan fokus utama Meisha, karena Kak Geisha akan sibuk belajar dengan buku selalu di tangannya. Meisha akan bermanja di pangkuan mama, sambil membicarakan kegiatannya di sekolah, seperti anak yang membanggakan. Padahal, aku tahu betul nagaimana Meisha itu di sekolah. Ah, sudahlah kenapa aku harus mengurus dirinya? Jika diriku, begitu menyedihkan.

Kulihat, ada beberapa anak muda sedang duduk di teras rumah sambil bercengkrama. Kadang, aku sering berpikir, kapan aku bisa mempunyai teman sejati. Tapi, rasanya begitu sulit kugapai. Aku adalah anak manusia, yang terlahir dengan keadaan sudah berdosa.

Udara dingin, rupanya berganti dengan hawa yang panas sekarang. Kaki telanjangku juga, rasanya sudah tak kuat untuk menyentuh setiap batu kerikil yang kecil. Bahkan, sudah luka di bawah sana. Akhirnya aku putar arah, kembali ke rumah. Mungkin sekitar empat puluh lima menit berjalan, lumayan membakar kalori walau tubuhku kurus dan ringkih karena jarang makan. Aku mengelus perutku, dan terus berjalan ke rumah.

Terkadang, aku masih mempertanyakan sampai kapan aku akan diperlakukan seperti ini. Walau aku selalu mempunyai satu keyakinan kuat, hidupku bisa berubah. Layaknya roda, atau langkah. Kita pasti terus melangkah, ke arah yang lebih baik.

Kupandangi rumah yang nyatanya jadi neraka buatku, hanya rumah dua lantai yang teak terlalu besar, tapi mampu membuatku hidupku terasa berat ketika aku menginjakan kaki disana. Ketika, aku melangkah memasuki lantai yang dingin tersebut, aku tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku memasuki dengan pelan, membuka pintu pagar. Mendorongnya kembali dengan perlahan dan mengendap-endap lewat samping rumah yang langsung berhubungan dengan dapur.

Aku mendorong pelan pintu, dan bersyukur lampu dapur telah dimatikan. Dengan begini, aku bisa mencuri makanan membawa ke kamarku.

Aku membuka kulkas, mencari makanan sisa. Aku langsung memakan dengan lahap, beberapa potongan cake entah kapan tersimpan disini.

"Oh bagus. Malam keluar melacur, dan sekarang lapar? Kenapa nggak beli makanan di luar?" mulutku yang masih terisi penuh langsung kutelan bulat-bulat dan tak berani menatap Mama yang memandangku buas.

"M-mama." tegurku takut.

"Jangan panggil aku mama anak sialan! Kenapa nggak jual diri, biar bisa makan enak?"

Aku hanya menunduk. Rasa ingin melawan begitu kuat, tapi aku tahu aku tetap akan berada dalam posisi yang lemah.

"Kenapa nggak melacur aja hah?!" tanya Mama dengen berteriak. Aku berbalik menatap Mama dengan menantang.

"Lisha bukan pelacur!" balasku tak mau kalah, dengan air mata yang terus bercucuran.

Plak!!

Mama langsung mendekatiku dan menamparku. Membuat kepalaku langsung terasa pusing, dan pipiku terasa panas dan perih.

"Kenapa mama nggak pernah sayang Lisha?" tanyaku degan lirih. Aku tak pernah menanyakan ini, karena ujungnya hanya akan ada jawaban berupa tamparan, tapi malam ini mulutku sedikit gatal.

"Kamu hanya anak pelacur. Jangan panggil aku mama!" balas Mama tak kalah kuat dan membanting gelas ke lantai, membuat gelas itu hancur begitu juga dengan hatiku yang rasanya remuk. Aku tak pernah menemukan alasan pasti dengan semua pembencian ini. Dalam logikaku, alasan mama terlalu mengada-ada. Memangnya aku pernah minta untuk dilahirkan? Jika tahu, hidupku akan sesusah ini, aku tak perlu berlomba dengan speram lain untuk cepat mencapai garis finish. Lebih baik aku mengalah.

Aku memungut pecahan beling itu, dan mengoreksinya di lenganku. Ya, setelah mengetahui hal menyenangkan ini, aku sering mengores tanganku, bahkan sebelumnya saja belum sembuh.

Kutancapkan sedikit dalam dan mulai menggoreskan sepanjang lenganku dan melihat darah segar itu mengalir. Tak ada rasa sakit, yang ada hanya kepuasan. Aku puas, melihat darah.

Aku berjalan ke kamarku sambil terus mengores tangaku hingga, mataku berkunang karena banyak sekali hilang darah.

Setelah melukai diri dengan dua sisi. Bagian kiri dan kanan, aku masuk dalam selimut, berharap bisa sembuh dari luka ini atau masih banyak kesempatan besok, untuk menambah koleksi luka di lenganku.

________________________________

"Akhirnya kita berjumpa lagi cantik." ujar seorang cowok norak di depan gerbang. Aku tak menghiraukan, dan memasuki gerbang dengan memakai tas ransel milikku yang berwarna kuning, terlalu mencolok bahkan mungkin norak. Ini adalah, tas pemberian nenek saat aku memasuki SMP kelas VII.

"Siapa namanya?" tanya cowok itu sambil menarik tasku. Andai tali taksi putus, maka nyawanya juga akan putus. Kupastikan itu. Aku menyikutnya dengan tak senang. Malas sebenarnya berurusan dengan anak-anak seperti ini. Hidupku sudah terlalu banyak masalah, dan tak ingin menambah beban baru.

"Wes ... Sombong bangat maniez ... Nih, kalau lubangnya dimasuki ramai-ramai seru kali ya." ujar cowok yang kuingat saat merokok dulu. Oh, izinkan aku untuk menendangnya ke Venus sekarang.

Aku hanya memutar bola mataku malas, dan berjalan terus. Si sialan itu menahan lenganku, yang mana itu adalah bekas aku mencoret diriku, dan saat luka yang belum kering itu tersentuh aku bisa merasakan bagaimana perihnya.

"Lepasin sialan! Sakit." teriakku. Tapi, si sialan itu semakin mencengkram kuat lenganku, membuat seragam itu perlahan berwarna. Aku langsung menendang selangkangannya.

"Awh ... Anjing! Betulan di nendang pusaka aku."  cowok itu meringis sakit sambil memegang miliknya. Kulihat matanya, menatapku dengan amarah yang besar. Dia yang salah kenapa aku harus takut. Aku menunggu disana sambil menantangnya.

"Heh perek kecil!" maki cowok itu sambil berjalan ke arahku. Tiba-tiba tubuhku terasa kaku, walau aku juga sudah mengambil ancang-ancang jika ia datang meninju wajahku.

"Weh ... Kalem man. Ini cewek, gila Lo. Anak orang nggak salah."

"Ngelunjak nih perek kecil. Macam gini, aku rusaki sekali selesai." tantang cowok it masih tak terima. Sebenarnya aku sudah merasa ketakutan sekarang. Kulihat keadaan sekeliling yang masih sepi. Aku tak bisa meminta tolong, terpaksa aku harus melayani ini sendirian.

"Kau cowok banci! Berani lawan cewek." aku menantangnya dengan rasa gentar. Walau aku bisa mendengar detak jantungku. Cowok itu langsung berlari ke arahku, tapi ditahan oleh teman-temannya. Jika di berani memukulku, maka ia bisa dikeluarkan dari sekolah ini. Jadi, aku harusnya tak perlu takut dengannya.

"Anjing nih perek! Tunggu kau ya. Nggak akan selamat lagi." Ancam cowok itu. Nyaliku langsung menciut, setelah ini aku akan merasakan dua kali lipat apa itu neraka. Oh Tuhan, selamatkan hidupku.

"Kalian bawa dia bro. Udah nggak sehat nih si Jovan." ujar cowok yang menolongku tempo hari. Aku hanya memandang cowok yang ditarik oleh teman-temannya menjauh.

"Kita tunggu tanggal mainnya perek! Kau akan hancu!"

"Banci." aku mencibirnya. Ah, paling dia hanya anak mami yang masih berlindung dibalik ketiak ibunya.

Cowok yang menolongku menatap temannya menajuh. Malah, para cowok-cowok yang berisi tiga orang sedang berkelahi di depan gedung sekolah mereka.

"Aku lupa. Oke, aku nggak ingat nama kamu. Tapi, kalau jumpa dia tolong menghindar. Dia benar-benar bahaya, dan ancamannya beneran. Jovan nggak pernah ngancam main-main."

Aku melihat darah kering di lengan kemeja seragam dan menatap cowok yang sedang memasukan tangannya dalam saku, dan menilit dirinya. Ia tinggi.

"Bilang sama temanmu. Aku nggak pernah ngusik hidup mereka, kenapa aku harus takut? Kalau dia beneran, berati dia banci." cowok itu menggeleng dan mendekat ke arahku. Aku beringsut mundur.

"Dengar ya dek. Pokoknya, kalau di sekolah jumpa dia menghindar. Kalau bisa, ke kantin atau ke sekolah bawa kawan, biar si Jovan nggak berani."

"Aku lapor guru."

"Bukan dek. Argh ..." cowok itu mengacak rambutnya. Aku hanya berdiri disana, sambil menatapnya.

"Pokoknya ingat pesan aku itu ya. Oh iya, siapa namanya?" aku memicingkan mataku ke arah cowok ini, apa ini adalah salah satu modus.

"Kamu modus?" tuduhku dengan polos. Cowok itu menggeleng dan tersenyum. Entah kenapa, melihat senyumannya ada kedamaian yang menjanjikan dari terbitan senyum itu.

"Enggak. Aku Ayden, kalau kamu lupa." aku hanya mengangguk. Cowok itu mengacak rambutku dengan gemas, aku menepis tangannya.

"Siapa namanya?"

"Memangnya penting?"

"Dengar ya dek. Mulai sekarang, hidup kamu nggak akan tenang lagi. Kamu udah mengusik harga diri seorang Jovan. Jadi kalau ada dia, sembunyi. Mengerti?" tanya cowok itu seperti aku anak umur lima tahun. Tapi, akhirnya aku mengangguk juga.

"Siapa namanya?" cowok itu mengulurkan tangannya, melihat senyumannya dan juga ketulusannya aku mengulurkan tanganku.

"Lisha." dia tersenyum. Aku hanya menatapnya polos. Aku suka melihat senyumannya.

Tiba-tiba aku melihat mobil yang sangat kukenali, ada Mama dan Papa yang mengantar Kak Geisha dan Meisha. Kulihat, Kak Geisha sudah turun di depan gedung sekolahnya.  Mama pun turun dan menciumi Meisha di seluruh wajahnya dan mencium anak kesayangannya berkali-kali. Tanpa sadar aku meremas tangan cowok itu. Ketika sadar, aku menarik tanganku dan menunduk.

"Hati-hati sayang. Belajar yang pintar, semuanya udah Mama siapkan." Mama bahkan mengantar Meisha hingga ke dalam. Aku hanya memandang keluargaku dengan iri. Keluarga? Ah, mereka menganggapku bukan dari keluarga mereka.

"Dah Mama ... Memei belajar yang benar kok, bukan pacaran terus." sindir Meisha saat melewati depanku. Mungkin ia mengira aku pacaran, karena masih berdiri dengan cowok ini. Bahkan, aku sudah tak ingat siapa namanya tadi. Adi? Adyar? Adin? Ah, lupakan itu.

Kulihat Mama memandangku jijik dan tak suka, entah kenapa Mama malah berjalan ke arahku. Aku memandang Mama dengan was-was. Akankah hari ini akan tiba, Mama menerimaku dan memperlakukanku seperti saudariku yang lain?

"Sini dulu." aku mendekati Mama. Walau tahu, nada suaranya tak senang sama sekali. Aku menunduk dan mendakti Mama.

"Jalang kecil udah jumpa mangsanya? Selamat, setelah ini nggak perlu sekolah lagi. Ngangkang aja, duitnya banyak loh. Nanti, bertahap mainnya sampai bayar mahal. Sekali ngangkang 70 juta. Gimana? Aku punya banyak kenalan." aku hanya memandang sekeliling merasa seperti gedung dan orang-orang berputar. Perkataan Mama membuatku mati rasa dan sangat keterlaluan.

Apa aku memang ditakdirkan untuk menjadi jalang?

______________________________

Bagaimana perasaan kalian baca bab 2? Udah kerasan belum?

Masih perkenalan ya. Tandai typo, dan kalau ada namanya yg terbaik🤣🤣🤣🤣. Suka salah nama soalnya.

Baca Sequelnya di I Was Never Yours. Dengan tema sad, bagi yg mau mewek cerita itu recommended.

See you🙌🙌🙌🙌🥰🥰🥰🥰🥰

Komen (4)
goodnovel comment avatar
atiqah Irawati
maaf ya... ngeri aku bacanya...
goodnovel comment avatar
Nunyelis
knp delisha sampe diperlakukan dzolim oleh ortu x....salah x apa
goodnovel comment avatar
Hilda Nabila
penasaran kelanjutannya lanjutkan thor, jangan kasih kendorrr gaskeun teroos
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status