"Ssshhhhhttttt!!"
Tubuhku ditarik, aku tak bisa berontak. Badanku juga dikunci, mulutku ditutup. Aku bergerak-gerak memberi perlawanan tapi si pelaku tak ingin melepaskanku.
Tubuhku didorong untuk bersembunyi dibalik tembok, karena berada dalam posisi lemah, aku akhirnya terdiam dan bernapas lega, ketika akhirnya si pelaku melepaskan tangannya.
Hufh ... Akhirnya.
"Kamu kenapa sih?" tanyaku tak senang.
"Shhhttt! Tadi tuh ada Jovan. Dia beneran nyari kamu, jadi lebih baik kamu sembunyi."
"Anjing, mana sih tuh perek kecil? Kayaknya dia udah tahu deh."
Mataku lamgsung melotot, sialan si buas itu. Harusnya aku keluar dan menyobek mulutnya, agar dia tidak sembarangan bicara seperti itu padaku. Memangnya aku gadis open BO? Ugh ... Aku benci, jika hidupku terus disudutkan, padahal aku tidak tahu menahu urusan mereka."Anjing! Besok harus kesini lagi. Pokoknya, harus sampai dapat. Tikam lubangnya ramai-ramai, sampai longgar." Aku mengepalkan tanganku. Dasar sialan!
"Jangan takut, aku akan melindungi kamu." ujar cowok itu menenangkan. Aku bahkan sudah lupa namanya siapa, tapi dia sudah berkali-kali melindungiku, atau dia juga hanya satu dari sekian dari laki-laki modus yang hanya modus juga?
"Aku lupa namamu."
"Panggil aku bee. Aku akan memanggil kamu honey." aku hanya tertawa, memangnya dia kira kita sedang di alam? Ada-ada saja, tapi kehadirannya membuatku sedikit terhibur. Apa aku boleh menganggap dia teman?
"Dih norak."
"Norak itu lebih menyenangkan."
Aku hanya menggelengkan kepalaku, pada seorang cowok narsis di depanku.Akhirnya kami keluar dari tempat persembunyian, dan berjalan menuju post. Aku hari ini hanya ingin jalan kaki.
"Aku boleh minta nomor hape kamu?" aku pun menyebutkan nomor ponsel yang diminta. Sambil berjalan berdampingan. Hari ini, cuaca sangat panas. Aku hanya menutupi kepalaku dengan tas, panas yang menyengat tubuhku begitu terasa seperti disengat api neraka.
"Aku masih belum lupa siapa nama kamu." Cowok itu menyugar rambutnya, karena aku memang payah mengingat nama orang kecuali dia orang penting dan orang terdekat.
"Ayden. A y d e n. Dipanggil sayang, atau bee." cowok itu mengeja namanya, lagi-lagi aku tertawa. Ah, bisakah kalian menghitung berapa banyak aku tertawa? Di rumah, kotak suaraku dicuri Spongebob, dan bersama dia, aku terus tertawa seperti Patrick. Apakah dia Garry atau Patrick?
"Panas nih, kamu mau makan ice cream?" aku mengangguk, dan kami berdua masuk ke sebuah supermarket yang bercat putih dan merah. Bukan hanya membeli ice cream, kami membeli banyak jajanan, dan juga minuman soda.
Ketika keluar dari supermarket, aku langsung menggigit ice cream coklat tersebut. Saat meleleh dalam mulutku, terasa surga turut hadir di dalam sana.
"Kamu harus banyak makan, nanti dilihat kayak ranting berjalan." aku melotot pada cowok itu, sambil menancapkan stik itu pada bahunya kesal. Bisa-bisanya dia body shamming.
"Ini adalah tubuh yang diinginkan semua wanita."
"Mau tahu, tubuh yang diinginkan semua laki-laki?"
"Jangan! Aku masih di bawah umur." aku menutup telingaku. Cowok itu terkekeh dan mengacak rambutku.
"Panggil aku bee ya." Ia menarik hidungku, dan berjalan duluan. Dasar tak sopan! Sebentar, seharusnya cowok seperti ini membawaa motor atau mobil. Kenapa dia harus jalan kaki?
"Eh, woy! Woy, aku lupa namamu. Kamu nggak bawa motor?" teriakku dari belakangnya. Tapi cowok itu sengaja tak mau mendengarnya. Untuk ukuran anak remaja yang sedang merasakan cinta monyet, menurut pandanganku cowok ini tampan, bahkan sangat tampan. Mungkin saat besar nanti, ia bisa mengalahkan Lee Min Ho. Tapi, aku tak memikirkan itu. Hidupku sudah terlalu rumit, aku tak ingin menambah daftar panjang hal rumit yang lainnya.
"Hey kamu. Tungguin, mana motormu?"
"Aku punya nama." teriak cowok itu. Aku mengepalkan tanganku.
"Aku lupa!" teriakku tak mau kalah.
"Bee. Panggil aku bee atau sayang." Dasar cowok agresif!
"Beruang!" refleks saja aku memanggilnya beruang. Maksudku beruang disini adalah, beruang madu. Karena jika bee cukup menggelikan kurasa.
"Baiklah aku terima beruang. Sebenarnya, lumayan nggak buruk bangat." cowok itu berbalik sambil tersenyum padaku.
"Bukankah, anak SMA boleh bawa kendaraan?" Aku menyamakan langkah kakiku, bersamaan dengannya. Kami berjalan pelan-pelan, menyusuri jalanan yang rindang karena terik matahari yang begitu menyegat.
"Anak SMA belum pulang." Oh iya benar. Untuk SMP pulang, pukul 1.45. Untuk anak SMA pukul tiga atau empat, aku lupa.
"Dan kamu bolos?" tuduhku. Cowok itu mengedihkan bahunya.
"Bolos itu manusiawi." aku hanya mencibir, alasan konyol.
"Itu ada pos, kita minum disana ya."
Kami pun, masuk dalam pos penjagaan yang warna temboknya sudah usang tidak terawat dan atap berbentuk segitiga di depannya.
"Jadi rumahmu masih jauh?" tanya cowok itu, duduk di di tembok yang setengah dibangun dan aku hanya berdiri di bawah.
"Habis ini lurus, belok kiri, lurus, belok kiri dan sampai."
"Kamu tiap hari jalan kaki?"
"Kadang jalan kaki, kadang naik angkot." aku membuka bungkusan keripik kentang dan menawarkan padanya. Cowok itu mengambilnya dan memasukan dalam mulutnya, rambutnya yang hitam legam menambah kesan macho, hidungnya yang mancung, wajahnya yang tampan, tapi tatapan mata itu seperti arus yang membuat siapa saja masuk dalam pusaran tersebut. Kuperhatikan urat-urat tangannya saat memegang kaleng minuman dan meneguknya.
"Kamu pernah pacaran?" aku berhenti mengunyah keripik tersebut dan menggeleng. Memangnya siapa yang peduli, pada pacaran? Aku tahu, banyak laki-laki yang memandangiku lapar, tapi aku tak berminat menjalin hubungan dengan orang lain.
"Nggak papa masih kecil. Jangan pikirin itu, sekolah yang benar biar jadi anak pintar." aku hanya mencibir, dia berlagak seperti orang tua. Ah, membahas orang tua selalu membuatku sakit dan tak percaya, orang tauku seperti iblis. Atau memang mereka bukan orang tuaku? Tapi mereka adalah monster yang menghancurkanku kapan saja.
Aku membuka minuman kaleng punyaku yang berwarna biru dan putih, sambil minuman sedikit asam itu menyapa lidahku. Aku menutup botol dan menyeka bibirku dari sisa-sisa air.
"Habiskan minumnya, nanti kita jalan lagi. Kalau nggak kuat jalan, nanti aku gendong." aku hanya menggeleng, memangnya dia pikir aku orang cacat? Atau aku seorang bayi?
"Nama kamu Lisha bukan?"
"Iya, Lalisa Manoba." cowok itu melompat turun, dan mengacak rambutku. Tiba-tiba, ia meghimpit tubuhku ke tembok aku hanya berjalan mundur dan mentok disana, sambil memperhatikan dirinya yang menunduk melihatku. Dan jantungku bekerja tak sehat, aku masih menatapnya dengan polos.
"Kamu cantik." puji cowok itu sambil mengelus pipiku. Baru kali ini, aku sedekat dengan laki-laki, karena aku memang tak punya teman sebelumnya.
Cup!
Aku membeku, ketika cowok itu mencium pipiku. Bentuk bibirnya masih terbentuk jelas di pipiku, aku hanya mengerjapkan mataku berkali-kali, karena memang bodoh tak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Bibir kamu pasti semanis madu." tangan cowok itu sudah bermain di bibirku. Ia memainkan bibirku yang bawah.
"Warna merah alami, dengan bentuk mungil yang mengemaskan dan penuh, pasti rasanya bikin mabuk." Dan aku yang mabuk beneran. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dada cowok itu makin menempel ketat, dan aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak tak karuan seperti milikku. Apa ia juga deg-degan?
"Boleh cium?" kupandangi hidung mancung tersebut dengan kumis tipis yang baru tumbuh bibir tipis yang berwarna kemerahan juga, pandanganku turun ke jakunnya yang naik-turun. Kualihkan pandanganku ke atas, menatap tepat di manik matanya yang terasa kelam di dalam sana. Alis matanya yang tersusun rapi seperti ulat bulu, dan rambutnya yang hitam legam.
Tangannya yang bermain di bibirku sudah memeluk pinggangku, dan semakin menunduk. Hidungnya menyentuh hidungku, dan aku bisa merasakan napasnya yang hangat, dan tercium aroma mint dari mulutnya dan juga tubuhnya. Wangi khas cowok yang membuatku betah.
Saat bibir itu menempel, refleks aku menutup mataku. Dan saat, dikecup ringan, aku hanya membatu. Ketika kurasakan, bukan hanya menempel, tapi ia memiringkan wajahnya dan memaksa lidahnya untuk masuk. Karena tak tahu, aku membuka mulutku dan merasakan lidahnya mencari lidahku. Aku mengulurkan lidahku, saat mendapatinya ia menghisap lidahku tanpa ampun. Dengan naluri, aku mengikuti langkahnya aku menghisap lidahnya juga bergantian. Aku tak tahu, jika perutku terasa geli sekarang. Ah, ciuman itu tidak buruk-buruk bangat, walau aku memikirkan saling bertukar penyakit, karena berbagi air liur. Bisa saja, dia menularkan penyakit hepatitis, TBC.
Ia semakin meremas rambutku, dan menempelkan tubuhnya semakin erat. Aku kehabisan napas, tapi dia tak mau melepaskan pangutan kami. Yeah, Delisha kehilangan first kiss pada cowok yang bahkan ia tak ingat namanya.
_________________________________POV 3.
Berkumpul merupakan, kegiatan rutin yang dilakukan semua remaja laki-laki, saat malam hari.
Dan sekarang, gang Abstrak berkumpul, tak ada kegiatan berarti yang mereka lakukan kecuali berbincang apa yang anak remaja laki-laki lakukan sambil merokok.
Ayden melepas helm-nya dan menyimpan di stang motor dan berkumpul di kos Varda. Namanya seperti perempuan bukan? Atau, memang teman-temannya sering mengejek Vrindavan. Hingga membuat Varda jengkel, percayalah tak ada darah India sama sekali dalam darahnya, kebetulan saja namanya unik.
"Akhirnya datang." seru Rian, sambil menghisap batang berasap tersebut sambil mengembuskan.
"Makan apa nih?"
"Lu datang-datang langsung minta makan?"
"Mie doang."
"Masak mil." Aydeng menepuk kepala Varda. Sudahlah numpang, diejek, rasis, dan sekarang menyuruh dirinya untuk masak. Hufh ... Manusia seperti apa Ayden ini?
"Lo kemana sih tadi?" tanya Jovan yang bersandar di sofa usang berwarna maroon, milik Varda yang merupakan sifa hibah dari tentangga kos sebelah yang kebetulan pindah.
"Main basket sendirian." dusta Ayden, sambil membuka jaketnya kulitnya.
Setelah ciuman itu, keduanya merasa asing. Terutama, wajah Delisha yang Ayden perhatikan memerah sepanjang waktu, membuat Ayden semakin gemas pada gadis polos itu.
"Masak la anying, lapar nih." Ayden langsung beranjak dari kerumunan dan melihat rak hijau yang jorok karena jarang dibersihkan, ada bawang merah yang sudah busuk, ada bungkus garam yang isinya sudah habis. Cowok itu, mengambil membuka mie dua bungkus dan memasaknya dengan telur setengah matang. Ya, kebetulan di luar sedang hujan.
Tiba-tiba Ayden memikirkan Delisha. Kira-kira apa yang gadis itu lakukan sekarang? Seandainya mereka berdua yang disini, pasti suasana lebih seru lagi. Walau hanya makan mie rebus.
"Jadi, gimana rencana kita bro?" tanya Jovan. Ayden sudah menduga, jika berkumpul begini, hal-hal buruk yang akan dibahas. Yeah, sudah hal biasa mereka menjadi track record mencicipi semua gadis. Mau bagaimana lagi, pergaulan yang salah dan sudaj terlanjur, membuat mereka tidak bisa berhenti.
"Atur aja." teriak Ayden dari belakang. Mengambil gunting dan membuja bumbu dan memasukan dalam mangkok yang sudah ia sediakan.
"Kalian cari tempat kosong. Atau disini aja?"
"Jangan lah anying. Kos gue mulu, saksi kalian ena-ena disini." protes Varda. Karena kos yang bebas, mereka bebas membawa teman wanita dalam kos ini kapan saja.
"Lo dapat jatah juga setan." sergah Jovan sambil melempar bungkus rokok itu ke wajah Varda yang berbaring di kasur buluknya.
Ya, ke empat manusia gang Abstrak ini saling berbagi rasa. Jika, mereka sudah mendapat satu korban, maka mereka akan menggilirnya semua. Dan semua wanita yang mereka gauli, adalah korban salah pergaualan, dan mereka menerima semuanya dengan senang hati. Bahkan, mereka bisa mengajak dua perempuan sekakigus di kos Varda. Pergaulan remaja sekarang, memang memprihatinkan.
Ayden membawa mangkok berisi mie yang asapnya mengepul, menambah selera. Varda langsung bangun dari posisi nyaman dan nyegir begitu melihat mie yang mengungah selera.
"Jadi, gimana?"
"Libur dulu lah. Gila lu, tuh batang apa nggak patah." seloroh Ayden memasukan telur kuning yang meleleh itu dalam mulutnya. Varda menatap dengan penuh minat, seperti anak anjing minta makan. Ayden mengetuk kepala Varda dengan sendok.
"Dapatin tuh anak kecil itu, aku tobat." Ayden memandanga Jovan yang tampak kusut. Ia tahu, teman yang sudah ia kenal dua tahun ini bicara selalu serius, bukan hanya gertakan.
"Dia masih anak baik-baik. Jangan rusaki anak orang." Ayden pantas disebut manusia munafik ulung, dia yang telah merampas ciuman pertama gadis itu, dan sekarang bicara jangan rusaki, seperti manusia sok suci yang bertapa keluar dari gua naga.
"Kan ini mau tobat sialan! Tapi dapatin dulu, pasti rasanya peret bangat. Ini dapat longgar semua." tukas Jovan, terlalu santai. Seperti ia berbicara tutorial membuka bungkus permen.
"Coba aja. Eh anjing! Diambil juga." maki Ayden saat melihat dua sendok sudah bergabung, menghabiskan mie yang hanya tersisa kuah.
"Jadi, gimana strategi kalian?"
"Dia kayaknya nggak punya kawan."
"Aku tahu, dia Kakak Meisha. Dan kurasa kita bisa kerja sama. Meisha tergila-gila sama lo." timpal Rian yang sibuk berebut sia kuah mie milik Ayden. Cowok itu sudah minum malah.
"Hm, boleh juga bro." Jovan menegakan tubuhnya. Sepertinya ini akan menarik. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, si perek kecil itu tidak akan bisa lepas dari cengkramannya. Karena hanya dia yang boleh memguasai Delisha, dan kartu mati gadis itu di tangannya.
Dan sepertinya ini akan menarik.
________________________Tujuan cerita ini kubuat untuk memberitahu, kenakalan remaja yang terlewat batas dan juga akan banyak sex edukasi di dalamnya.
Ya, negara kita masih tabu bahas hal ini, semoga yg membaca disini bisa melek. Kalau, anak-anak kita atau kita sendiri, itu butuh sex edu demi kebaikan bersama. Sex edu, bukan langsung otaknya mikir porno ya. Tapi, dengan belajar sex edu, mereka bisa bertanggung jawab terhadap tubuh mereka masing-masing.
See youπππ
Kasih rateπ₯°π₯°π₯°π₯°
"Lishaa ... Yuhu.." aku yang sedang membaca buku di bawah ranjang menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Meisha. Mau apa dia? Malas melayani, aku tetap melanjutkan membaca cerpen di buku pelajaran bahasa Indonesia. Aku suka membaca, ya memang apalagi yang bisa aku sukai?"Woi setan, dipanggil juga." tegur Meisha gondok, setelah sadar aku tidak menggubrisnya."Apa?""Besok sekolah?""Ya.""Besok sama aku ke sekolah.""Kenapa?""Ngikut aja sialan! Bagus ada teman." sungut Meisha. Aku meletakan buku pelajaran bersampul biru di atas kasur, sambil merenggangkan tanganku dan memandang Meisha malas. Ah, punya saudara tidak menarik dan tidak seru. Atau aku yang tidak seru? Mungkin, aku tidak pandai dalam memilih teman, karena aku selalu kesepian setiap saat. Bisa makan, tidur, menghirup oksigen gratis dan sekolah, sudah lebih dari cukup buatku.
"Ini kemana?" tanyaku panik, saat tahu kami berada di sebuah tempat yang sepi. Sebuah jembatan, dengan banyak batu besar di bawahnya dan airnya sedikit. Seperti musim kemarau panjang, hingga air di sungai ikut kering. Jarak antara jembatan dan jurang ke bawah begitu jauh, jadi aku bisa menjamin siapa yang yang jatuh ke bawah sengaja ataupun tidak, nyawanya ikut melayang."Tuh lihat di sebelah jembatan ada kuburan." Benar, saat aku melihat di samping jembatan, ada banyak kuburan disana."Itu adalah bekas orang-orang yang meninggal karena jembatan ini. Saat itu, hujan terus sampai banjir dan orang yang disini saat nyebrang maupun yang tinggal di sini banyak yang terhanyut, jadi jasad mereka di makamkan di sampingnya.""Oh ya?" Aku menatap cowok di sampingku yang tersenyum, rambutku terus tertiup angin yang begitu kencang saat berdiri di sekitar sini.Tiba-tiba cowok itu mengeluarkan rokoknya dan menyalakan a
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini."Kenapa Lisha nggak pernah disayang Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial."Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapapun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar. Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan
"Bisa-bisanya, udah sebulan tapi tak berhasil juga." Jovan menghisap rokoknya karena kesal. Pemburuannya tak membuahkan hasil. Si perek kecil itu susah sekali ditemukan. Ayden yang bersama rombongan memilih diam, karena ia yang selalu menyelamatkan gadis itu dari rencana busuk Jovan dan kawan-kawan.Apa Ayden tulus? Kita lihat saja nanti. Ayden memilih pura-pura menggigit roti. Selama ini Jovan dan kawan-kawan tak tahu, jika ia sengaja tak berkumpul atau pura-pura izin karena ingin terus bersama Delisha. Bersama gadis itu seperti menjadi candunya. Saat melihat tatapan polos, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayden bisa melihatnya, bukan berarti ia cenayang atau seorang psikolog handal, Ayden hanya bisa melihat melalui mata itu, mata itu mengatakan segalanya.Ayden merenggakan jari-jarinya, diam-diam ia merindukan gadis itu. Ayden senang saat melihat bagaimana Delisha melotot padanya, bagaimana ekspresi Delisha yang membuatnya selalu gem
Aku menutup mataku, menggigit bibirku menikmati rasa asing yang nikmat menyerangku dari berbagai arah. Kenapa aku baru tahu, kalau bermain seperti ini rasanya luar biasa? Ya Tuhan, biasakah aku merasakan ini untuk selamanya?"Enak?" tanya Ayden. Aku hanya mengeluh, tak berani membuka mataku. Ini rasanya seperti surga. Diibaratkan makanan juga, makanan kalah enaknya karena ini seperti makanan paling lezat sedunia. Aku memeluk belakang Ayden, mencium aroma tubuhnya yang lama-lama berubah bercampur dengan keringatnya, tapi masih menjadi bau yang enak dicium."Nggak sakit 'kan?" Aku menggeleng, dan tak bisa bicara lagi, saat Ayden dengan brutal mencium bibirku dan juga miliknya di bawah sana semakin dalam memompa miliku, aku merasa sesak dan penuh. Kupu-kupu semakin berterbangan dan aku merasa seperti ingin meledak ke awan. Ini bukan tentang rasa asin, manis atau gurih, ini tentang bagaimana semua rasa nikmat disatukan dan membuat kita tak bisa mengatasi semua
"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya."Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?"Woi sial!"Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku."Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata
"Makan?" Aku menggeleng. Sudah seminggu aku terkurung dalam sangkar emas Oma. Harusnya aku merayakan bisa terbebas dari para iblis, tapi aku mengkhawatirkan sekolahku. Sedari dulu, walau bukan orang yang berprestasi aku selalu mengutamakan pendidikan. Aku ingin menjadi orang yang terpelajar dan terdidik agar bisa dihargai orang ketika menginjak usia dewasa."Oma ... Lisha mau sekolah.""Pulihkan diri dulu. Kamu tak bisa terus bersama para iblis itu. Atau mau pindah sekolah." Aku tahu, Oma sangat mengkhawatirkan kesehatan mentalku. Tapi aku sebenarnya ingin meyakinkan Oma bahwa aku baik-baik saja."Oma ... Lisha sebentar lulus sekolah. Saat masuk SMA, Lisha bisa pindah kesini. Sekarang mau pindah nanggung, Lisha hitungan bulan sudah tamat.""Bagaimana kalau mereka masih jahat sama kamu?" Aku terdiam, aku tahu tak ada jaminan untukku selamat dari Mama. Mama pasti akan menyimpan dendam lebih padaku, tapi aku juga harus sekolah. Sekolah ta
Masa remaja adalah masa untuk mengenal jati diri. Dan adalah masa percobaan. Banyak hal di sekitar yang membuat para remaja penasaran dan coba-coba. Jika, tidak dibekali dengan ilmu yang cukup atau diberi edukasi yang baik tentu mereka akan terjerumus dan masa remaja yang seharusnya disiapkan demi masa depan seolah tergerus dan tak ada masa depan yang menjanjikan di sana.Seks edukasi itu sangat penting. Dan para orang tua sebisa mungkin mendengarkan anak-anak mereka saat mereka mengadu menjalani pelecehan seksual. Bukan malah tutup mulut, karena pelaku adalah keluarga dan akhirnya membuat anak trauma hingga dewasa.Delisha benar-benar tak tahu, jika masa depannya telah direnggut paksa. Bagaimana ia tak tahu, jika masa depannya bisa hancur hanya karena semua kepolosannya. Ketika dengan suka cita Delisha menyerahkan dirinya pada Ayden. Padahal Ayden juga begitu muda, belum mengerti apa itu bertanggung jawab jika seandainya ia hamil. Bahkan Delisha tak mengerti