Share

Good Papa, Bad Husband
Good Papa, Bad Husband
Penulis: Di_evil

1 - Sandiwara Hamil

"Kalian akan segera menikah karena Latri sedang mengandung cucu Ayah. Benar begitu, Nak?"

Wirya langsung menganggukkan kepala, membenarkan apa yang ingin dikonfirmasi oleh sang ayah tentang rencana pernikahannya bersama Latri. Tak ada keraguan dalam diri Wirya ketika mengambil keputusan tersebut. Ia telah merasa yakin. Walau, harus sedikit dibumbui dengan kebohongan di dalamnya.

Terkhusus mengenai kehamilan Latri yang hanya sandiwara belaka. Wirya bahkan belum pernah menyentuh wanita itu melebihi ciuman di bibir. Namun, ia tidak mempunyai cara lain untuk dapat digunakan dalam rangka mempertahankan Latri agar selalu berada di sisinya. Meskipun, sangat terkesan memaksa dan egois.

"Ayah tidak mempermasalahkan hal ini. Akan tetapi, sebelum upacara pernikahan kalian berdua resmi digelar. Kehamilan Latri harus kita sembunyikan demi menjaga nama baik keluarga agar tidak tercoreng."

Wirya terlihat mengangguk sekali lagi, menyetujui permintaan dari sang ayah. Pria itu kemudian menolehkan kepala ke samping kanan guna ingin mengetahui reaksi Latri yang sejak tadi hanya diam, tidak mengeluarkan suara atau tanggapan.

Dan saat mata mereka saling beradu pandang, Wirya tak dapat menampik jika terpancar kesedihan dan juga keputusasaan dalam manik cokelat milik Latri. Semua pasti memang ada kaitannya dengan pernikahan mereka. Namun, Wirya memilih tidak peduli.

"Ayah sangat mengimpikan jika calon cucu pertama Ayah adalah laki-laki. Ayah akan menjadikan anak kalian berdua sebagai pewaris utama perusahaan keluarga."

Sebentuk seringaian puas dibentuk kedua bibir Wirya pasca mendengar harapan yang besar dari ayahnya. Ia pun turut menginginkan. "Saham saya dan Latri sudah cukup mampu mendukung anak kami supaya dapat menduduki posisi utama dan tertinggi di perusahaan nantinya. Ayah tidak perlu khawatir."

"Latri, tolong jaga calon cucu kami sebaik-baiknya. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya."

Lengkungan senyuman harus dengan terpaksa Latri perlihatkan di hadapan Pak Indra. Wanita itu tak mempunyai kekuatan untuk tidak melakukan akting di tengah-tengah kebohongan tentang kehamilannya. Ia sedikit pun tak ingin mengikuti permainan Wirya, tapi di sisi lain dirinya juga tidak bisa berkelid.

"Saya akan berusaha menjaga calon anak kami dengan baik, Paman," ujar Latri tanpa menciptakan keraguan dalam suaranya.

"Berikan kami cucu laki-laki, Nak. Bukan perempuan. Yang kami berdua butuhkan adalah penerus perusahaan."

......................................................

Hampir lebih dari satu bulan, Latri telah menyandang status sebagai istri seorang Wirya. Dan menetap secara permanen di rumah mewah berlantai tiga suaminya itu. Kediaman yang mereka diami bisa dikatakan megah dengan fasilitas lengkap.

Wirya memang sengaja menyiapkan semua untuk kenyamanan Latri, tapi wanita itu tidak dapat merasakan hal demikian. Nyatanya Latri cukup tertekan hidup dan menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah. Ia tak dapat pergi ke luar secara leluasa dikarenakan Wirya selalu mengawasi.

Dan paling tidak untuk hari ini, Latri tak akan larut dalam kesendirian serta rasa sepi, mengingat ibu mertuanya memiliki jadwal berkunjung ke rumah mereka. Kehadiran Ibu Ratna belum sepenuhnya dapat membuat Latri nyaman. Ia sedikit diselimuti rasa canggung. Permasalahan di masa lalu hingga berlanjut hingga kini jadi salah satu faktor penyebab.

"Bagaimana kabarmu, Nak?"

Lati mengulas senyuman lumayan lebar guna menyambut pertanyaan yang beberapa detik lalu dilontarkan oleh ibu mertuanya. "Saya sehat, Bi."

"Kenapa masih saja memanggil saya Bibi, Nak Latri? Saya sudah menjadi Ibu kamu."

Ukiran senyum Latri belum memudar, tetapi juga tak bertambah. "Maaf, Bi."

Wanit itu menjeda tidak kurang dari tiga detik sebelum menjawab, "Ibu. Ya maksud saya Ibu." Latri berupaya meralat cepat.

"Jangan canggung begitu, Nak. Tidak apa-apa. Ibu tahu kamu butuh proses dan waktu," balas Ibu Ratna dalam nada yang terdengar santai. Beliau coba untuk membangun keakraban sebagai keluarga lebih kuat dengan menantunya.

Sementara itu, Latri semakin tidak memperoleh kenyamanan walaupun sang ibu mertua menyuguhkan senyum serta sikap yang hangat. Ia pun dapat melihat pula sorot kepura-puraan di mata Ibu Ratna. Latri belum bisa merasakan ketulusan ibu mertuanya.

"Wirya pulang kantor jam berapa nanti, Nak?"

"Mungkin agak malam, Bu. Akhir-akhir ini dia sering lembur," jawab Latri sesopan mungkin demi menjaga rasa hormatnya.

"Wirya harus mementingkan urusan pekerjaan dan perusahaan. Meski, dia tidak bisa memberikan perhatian penuh padamu. Ibu harap kamu bisa menjaga calon cucu kami dengan baik," pesan Ibu Ratna dalam nada bicara yang serius.

Wanita paruh baya itu juga menatap lekat menantunya. "Ibu tidak ingin hal yang buruk terjadi pada penerus utama keluarga kami, Latri. Calon anak pertama kamu dan Wirya adalah aset berharga bagi kami."

"Iya, Bu. Baik." Ketegasan Latri saat menjawab sangat mampu berpesan menutupi kebohongan Wirya yang ia ikuti sejak awal. Latri tak memiliki pilihan lain.

"Ibu juga sudah menemukan dokter spesialis kandungan yang menurut Ibu terbaik dan akan bertugas untuk melakukan pengecekan serta kontrol pada kandunganmu sampai waktu bersalin tiba."

Selepas mendengar pemberitahuan dari ibu mertuanya. Mau tidak mau, Latri pun mengeratkan pegangan dua tangannya di masing-masing lengan kursi roda yang sedang didudukinya. Raut keterkejutan tak mampu untuk disembunyikannya.

"Do... dokter kandungan, Bu?" Latri memastikan. Tadi, mungkin ia salah dengar.

Ibu Ratna mengangguk dengan gaya anggun beliau. "Dokter kandungan pribadi. Kamu dan Wirya tidak perlu pergi ke rumah sakit untuk periksa. Di klinik dokter itu sudah ada alat-alat yang lengkap."

"Baik, Bu." Lagi-lagi Latri tak punya pilihan, selain terus mempertahankan akting dan kebohongan. Sungguh, ia tidak suka dengan jalan seperti ini.

"Ibu akan segera memperkenalkan dokter itu padamu. Sekitaran satu atau dua minggu lagi. Ibu sudah tidak sabar melihat hasil USG calon cucu pertama kami. Kamu setuju, Nak?"

Ketegangan melanda Latri. Tubuhnya ikut kaku. Bahkan, wanita itu tak bisa menghirup oksigen secara maksimal karena rasa kaget yang semakin besar. Semua terasa begitu sangat mendadak. "I...iya, Bu."

..................................

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status